17 full of sweetness
7 years earlier, Bianca's sweet seventeen birthday party
Eleanor—rumah kastil warisan turun temurun di keluarga besar Geraldine—malam ini kehilangan sisi kunonya. Bangunan tua setinggi tiga lantai dengan aksen pilar-pilar gaya keeropaan tersebut disulap oleh Event Organizer sewaan Joan Geraldine untuk perayaan besar pesta ulangtahun putri semata wayangnya yang menginjak usia tujuh belas malam ini.
Ratusan undangan berpendar kesegala sudut kastil, menikmati hidangan yang disuguhkan tuan rumah. Pesta informal malam itu diisi ratusan siswa Nirvana Elite Olympian—atau biasa disingkat Neo School, dan relasi undangan Joan dari kedutaan. Tak lupa kehadiran The Alpha, geng bukan sembarang geng beranggotakan Joan, Jean—adiknya, Tony, David, Yuda dan Tama.
Bisa dikatakan, acara malam itu begitu meriah walau diadakan di dalam satu atap Eleanor. Setidaknya hingga sebuah kejadian janggal terjadi di sana.
Tengah malam pergantian hari, yang harusnya menjadi prosesi peniupan lilin diatas cake tingkat dua, diundur karena penanggung jawab bagian tiup lilin menghilang. Sherin Agatha mendadak lenyap ditengah-tengah besarnya kastil dan banyaknya kerumunan tamu pesta undangan.
Dari sekian banyak manusia yang mencari keberadaannya, menyisir penjuru Eleanor, mengapa harus Jean-Pierre Geraldine yang berhasil menemukannya?
“There you are,” ucap Jean setelah menyipitkan matanya, memastikan bahwa yang ia lihat betulan manusia atau cuma rakun iseng yang nongkrong santai di semak-semak.
Sebagai status ODP (orang dalam pencarian), gadis itu duduk di balik rerumputan tinggi pinggiran kolam yang dikelilingi tembok granite. Bermodalkan sebotol wine putih yang diam-diam dicurinya dari ruangan penyimpanan anggur keluarga Geraldine, ia bersandar ke tembok dalam keadaan teler. Suatu kesalahan besar bagi Sherin malam itu bahwa ia memilih mengenakan oversized t-shirt dengan celana pendek ketat. Karena ketika ia mabuk, oversized t-shirt itu gagal menutupi bagian bawah dirinya.
Jean mendesah malas, melihat ABG arogan seumuran keponakannya yang masih coba-coba dengan alkohol, dan seolah tak peduli dengan resiko yang diakibatkan cairan psikoaktif penurun kesadaran tersebut. Ia tak punya pilihan selain melucuti jaket denimnya, kemudian menutupi Sherin yang menatapnya dengan kekehan geli.
“Gezz, look what you've done.“
Jean mengorbankan dirinya kedinginan dengan kaus tipis di tubuhnya hanya untuk bersikap gentle pada bocah itu, and for what? Bocah tersebut tak mengatakan terimakasih atau basa-basi ringan dan hanya menatapnya konyol. Tipikal pemabuk pemula tapi memaksa dirinya sendiri untuk menenggak sebotol white wine. Tunggu, bahkan botol itu baru berkurang sepertiga bagian saja.
“Sini botolnya,” kata Jean dengan dahi berkerut saat Sherin hendak menenggak minuman itu. “Udah mabuk parah juga masih aja minum terus.”
Cengiran tak lepas dari wajah Sherin yang kemerahan, ia terkekeh kecil sembari menarik denim Jean di pangkuannya dan membau aromanya. “Ih! Enak!” pekiknya kecil lalu menatap pemilik jaket di sebelahnya, “kok selera parfum lo dari dulu nggak berubah sih, om?”
Ikut tergelak, Jean membalas, “emang kamu tau darimana selera saya berubah apa nggak?” tanyanya terkesan percuma, karena tak ada untungnya membuka perbincangan dengan orang separuh sadar.
Tiba-tiba Sherin memajukan indra penciumannya mendekat ke arah Jean, menghirup dalam-dalam tengkuk pria itu tanpa pamrih. “Oh, ini bukan bau parfum ya? Tapi emang aroma badan lo yang enak begini?”
Kaku, Jean duduk di sebelah orang mabuk dan ada bocah teler yang menciumi aroma lehernya. “H-ha?” Jean mengernyit, cuma itu yang muncul di pembendaharaan kalimatnya. Bahkan beberapa detik berlalu, ia kehilangan kemampuan untuk bernapas dengan leluasa dan menggeser badannya beberapa jengkal menjauh.
Sherin menarik wajahnya, menyipitkan matanya kecil lalu bibirnya berucap kembali. “Loh?!” serunya dan mengacungkan telunjuk, “lo om Jean, kan? Omnya Bianca, kan? Iya, kan? Ayo, ngaku aja deh!”
Jean mengalihkan pandang, berusaha menahan tawanya karena bocah di sebelahnya baru saja membuatnya panik tapi membuatnya terhibur di waktu yang sama. “Iya, saya Jean, kamu ingat saya?”
“Inget lah!” ucapnya dengan nada kelewat tinggi, “lo kan yang bikin gue pingin cepet-cepet gede!”
“May I know why?“
Sherin memejamkan matanya, seperti memikirkan sebuah jawaban dengan gumaman panjang. “Hmmm... Well... Bianca bilang kalo mau jadi pacarnya om Jean, gue harus gede dulu! Kalo masih kecil nggak boleh.”
Berkali-kali terjebak dalam pengaruh alkohol berkadar tinggi, Jean masih saja takjub dengan efek minuman etanol itu. Sherin di kacamata Jean adalah teman keponakannya yang sopan dan menggemaskan. Di bawah pengaruh alkohol, bayangan Sherin di usia tujuh tahun seolah tanggal dari memori Jean. Jean sadar, gadis cilik itu sedang menggodanya dalam keadaan mabuk.
“You drunk,” gumam Jean menyadarkan dadanya yang sempat berdegup kencang. “Kita harus balik ke pesta, semua orang nyariin kamu, Sher.”
“Wait, here's the question,” Sherin cekikikan kecil, “gue udah tujuh belas tahun, om, gue udah cukup dewasa belum buat jadi pacar lo?”
She's drunk, Jean, she's drunk, she doesn't mean it, she's just fucking wasted, dibalik ketenangan wajahnya, Jean berusaha membuat isi kepalanya kondusif. Sialan betul, he can't be catching strange feelings with 17 years old girl, isn't he?
“Kita masuk dulu ya, Sher,” ujarnya kemudian, “kamu dicariin banyak orang.”
Peracau itu terdiam dan limbung, mencondongkan tubuhnya pada Jean seraya Jean membopongnya keluar dari persembunyian. Ia mendudukkan Sherin di kursi kolam renang, membetulkan jaket denim yang melilit di pinggang bocah itu agar pahanya tertutup dengan sempurna.
“What the fuck, Jean?!“
Seperti tertangkap basah, Jean dipergoki abangnya dengan seorang wanita berambut brunette sepunggung yang wajahnya tak asing, dan juga Gavi—teman keponakannya juga. Situasinya yang berduaan dengan gadis mabuk sepertinya akan membuatnya tersudut.
“Gue—”
“Gav, tolong bawa Sherin ke kamar atas, ya?” titah Joan, masih dengan tatapan menghakimi, “lo dah gila ya, Jean?! Dia temennya Bianca, keponakan lo sendiri, for God's sake!“
Selagi Sherin digendong oleh Gavi di punggung, Joan menggeleng-gelengkan kepala—berikut dengan decakannya yang membuat Jean layaknya pendosa paling asusila di muka bumi. Kejadian malam itu akan menambah panjang daftar kelakuan buruknya dimata Joan. Padahal yang dilakukan Jean hanyalah membantu bocah mabuk?
“Sebaiknya Tony nggak tahu kejadian ini,” ujarnya menutup kasus tanpa memberikan Jean kesempatan untuk menjelaskan. “Kita semua tahu betapa sensitifnya Tony perkara anak perempuannya.”
“All I did was just helping that drunk girl, Jo!”
Pembelaan Jean terasa hambar di mata Joan, terbukti dari tatapan menuduh abangnya yang tercetak jelas. “Kalau sampai ada apa-apa sama Sherin, lo harus tanggung jawab!”
“Tanggung jawab apa? Gue nggak ngapa-ngapain!”
“Joan, kayaknya emang nggak ada apa-apa yang terjadi, deh,” ucap wanita di sebelah Joan yang tiba-tiba berada di kubu Jean.
Jean mengerjapkan mata beberapa kali menelaah wanita bermuka familiar di depannya, “lo artis?” tanya Jean dengan senyuman maut penakluk cewek-cewek, wajar karena wanita di depannya terlihat begitu cantik—jauh lebih cantik daripada Sherin Agatha yang tadi menggodanya lebih dulu.
“Model,” koreksi wanita itu lalu mengulurkan tangan, termakan senyuman mautnya Jean yang begitu mematikan, “gue Adel, juniornya Joan di kuliah.”
“Jean,” jawab Jean sambil menjabat jemari wanita itu dengan gestur merayu. “Gue nggak tahu Joan punya adik tingkat secantik ini.”
Melihat kelakuan adiknya di depan cewek jelita membuat Joan muak. “Del, gue mau cek anak gue bentar,” ujar Joan lalu memberikan lirikan tajam ke Jean, “tolong awasi adek gue ya, gue takut cari mangsa lagi.”
See? That's how Joan's perspective of him. Jean tersenyum kaku ke arah Adel, berharap wanita itu menganggap ucapan Joan hanya sebuah gurauan belaka.
Adel tertawa, “I knew he's just joking, santai.”
“Well, thank God,” kata Jean lalu tersenyum miring lalu menambahkan, “gue nggak mau lo ngira gue lagi cari mangsa.”
“Emang kenapa, coba?”
“Ya kan udah ketemu,” Jean mengerling, “elo.”
Adel terkekeh dengan rayuan kecil itu, tapi tak bisa membohongi dirinya sendiri jika pesona pria di depannya tak bisa dengan mudah ditolak. “How about that lil' girl? I saw how care you were toward her.“
“She's family,” balas Jean singkat, bertolak belakang dengan gejolak dalam dirinya yang tertahan untuk tidak lari menggantikan Gavi untuk membawa tubuh mungil gadis itu. “Of course gue harus peduli.”
“Iya deh, percaya,” kata Adel, dengan dua tangan terlipat di depan dada, menertawakan sikap salah tingkah Jean.
“Lagian nih ya, ngapain gue lebih milih bocah itu? Jelas-jelas di depan gue ada yang lebih cantik,” gumam Jean. “Eh, sadar kan kalo gue lagi ngomongin lo?”
Adel lagi-lagi cuma bisa ketawa-ketiwi, mukanya memerah bukan main dengan si ahli perayu di hadapannya. “Jean, you gotta ask me on a date properly ya, gue capek dighosting!”
Jean dengan bibirnya yang cas-cis-cus menanggapi, “yauda sini gue refill gelas lo, biar gue bisa ask you on a date properly like you want me to do.”
Keduanya masuk Eleanor, trik manuver Jean dalam menggaet Adel untuk berkencan berhasil membuat ia meluapkan perasaan anehnya pada Sherin Agatha. Kini ia berbincang dengan wanita berkarir cemerlang sebagai model, yang sebaya dengannya, dan yang lebih utama, cukup sober untuk diajak berkencan.
Yes, she's pretty, someone around his age, and cheerful. Talkative, cute, of course mature. Jean nyaman mengobrol dengannya selama kurang lebih sejaman, membicarakan ini dan itu, dari mulai pekerjaan, hingga hal-hal sepele yang mengundang tawa keduanya. Memang sudah kebiasaannya untuk merayu dengan mulus, Jean seperti terlahir mahir dalam berkencan.
Tapi.. ada yang kurang.. Jean tak merasakan getarannya, pacuan aneh di dadanya ketika bocah mabuk itu mengajaknya berpacaran, walau tanpa sadar.
“You'll never regret for asking me on a date, Jean,” kata Adel di penghujung pesta, diiringi kecupan ringan di bibir sebagai tanda jadi awal masa pendekatan mereka.
Jean meragukannya, bahkan sampai detik ini berjalan, ia tak melupakan kejadian malam pesta ulangtahun Bianca yang membuatnya terngiang-ngiang, bagaimana rasanya mengencani Sherin Agatha?