absofuckinlutely
(baca part # 365) Jakarta, ditengah-tengah perayaan private party Hartono
Udara malam itu terasa berbeda, kabut menyelimuti pinggiran kota Jakarta dengan segala keanehannya. Langitnya terselubung awan mendung, pertanda rintiknya akan segera menghujani ibukota.
Ditengah-tengah ramalan cuaca yang tak menentu, Civic hitam melaju membelah lenggangnya jalan tol, hingga mobil sedan itu mencapai batas kecepatan standar. Pengemudi sengaja menginjak pedal dalam-dalam, bermain kejar-kejaran kecil dengan BMW putih yang mengekor di belakangnya.
Renata di kursi belakang telah mengganti gaun hitam dengan hoodie kedodoran, jeans pendek dan sepatu running. Ia memeluk punggung kursi yang ditempati Jayson, tak biasa dengan segala percepatan mobil yang tengah mereka tumpangi. Tangan gemetarannya menepuk bahu Jayson yang telah menanggalkan jasnya, tersisa kemeja putih kusut yang bercampur keringat dingin. Ia waswas, kecelakaan yang dibuat-buat ini akan berujung kecelakaan betulan pada mereka jika Jayson tak kian menurunkan kecepatannya.
Alih-alih berhenti, Jayson membelokkan mobilnya ke tikungan tol yang belum terdaftar resmi oleh pemerintah. Ia menyeringai ketika terowongan yang ia rencanakan sebagai TKP pembunuhannya terlihat di radius beberapa meter.
BMW putih di belakangnya mengklakson beberapa kali, memberi jarak ketika Civic telah masuk terowongan. Sam, pengemudi dibalik setir BMW putih kesayangan Theo itu sengaja memelankan kendaraannya. Membiarkan Jayson melakukan aksinya dengan Civic, si sedan yang sporty. Ia membelokkan BMW, memarkir mobil keluarga itu jauh di belakang si Civic yang menciptakan bekas gesekan ban di aspal. Detil penting dalam sebuah kecelakaan.
Sam mengeluarkan dirinya, melangkah mendekati dua orang yang juga keluar dari si Civic. Ia membantu suami-istri itu menggeledah isi tas besar bawaan Jayson, yang memang sengaja diisi dua kantung darah—darahnya dan darah Renata, beserta jeriken berisikan bensin.
“PMI butuh banyak darah, kita malah buang-buang kayak gini,” gumam Renata di sela kegiatannya menyemprotkan isi kantung darahnya di dalam mobil dan aspal.
Sam mengguyur seluruh Civic dengan bensin, mobil yang sengaja Jayson pilih karena satu-satunya mobil di garasi yang pernah dipakai Theo selain BMW putihnya. Sidik jarinya masih tertinggal di interior mobilnya, mempermudah detektif mencari orang untuk disalahkan. Setelah cukup yakin tak ada yang tertinggal, Sam memberikan sentuhan akhir di ujung tangannya yang dilapisi sarung tangan.
“Good day to be die, brother?” kekeh Sam sembari menarik pemantik di korek zippo, menggoda Jayson. Sementara dirinya tak berani mengajak adik kandungnya becanda, karena wajahnya yang kelewat tegang. “Relax, Dek, lo gak mati beneran kok.”
“I hate you, both,” ujar Renata mengutuki nasib buruknya dan membiarkan para lelaki becanda sesukanya perihal hidup dan mati sementara ia memasuki mobil BMW.
“Do it,” kata Jayson menginteruksi. Ia perlahan mengekori istrinya masuk ke dalam BMW, duduk di belakang mobil dengan keringat mengucur deras di pelipisnya.
Sam melemparkan koreknya, memberikan dirinya sendiri waktu untuk berlarian masuk ke dalam BMW karena api kecil dari korek telah perlahan merambat ke cairan bensin yang tercecer di jalanan. Sepersekian detik dipacu detakan jantung ketiganya, Sam menginjak pedal sedalam-dalamnya. Memutar mobil keluaran Eropa itu ke arus berlawanan, berhasil keluar dari terowongan dan barulah terdengar ledakan kuat dari si Civic hitam.
Kejadian malam itu membuktikan rentetan kehebatan BMW yang biasanya hanya dijelaskan dalam brosur penjualan. Tenaga kudanya, mesin transmisinya, atau torsi maksimumnya. Berpacu dengan betapa kilatnya api ketika bertemu dengan teman lamanya—bensin, tentu bisa membuat ketiganya terkena ledakan Civic jika tak sedang mengendarai BMW yang Theo pesan khusus dari Jerman. Bahkan menurut majalah Forbes, cuma dia yang memiliki BMW seri itu di Indonesia. Ironisnya, mobil kesayangannya itu malah dipilih Jayson sebagai salah satu bukti paling kuat yang bisa memasukkan pemiliknya ke penjara.
Renata memberanikan diri untuk melihat spion kiri mobil, gambaran kepulan asap dan kobaran api mulai terlihat di kaca kecil itu. Lalu ia melirik abangnya di sebelahnya, kemudian ke rear-view mirror di atasnya, menangkap senyum tipis dari belakang.
“We're gonna be okay, Ren.” Jayson berucap sembari menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi penumpang dan nafasnya yang memburu sisa adegan nekad mereka bertiga.
Renata tak kehilangan kekhawatirannya, ia masih gusar dan membalas, “I guess, karena kita sudah mati.”
Teringat sesuatu, cengiran Sam tanggal dari wajahnya. “Funny story, Jayson,” ujarnya lalu berdeham, “kenapa Mahesa bilang lo sempet mau kirim undangan pesta ke Theo?”
Damn. Jayson menelan salivanya pahit, seketika memperhatikan ekspresi Renata begitu mendengar Sam mengatakan hal itu. Mahesa, you're going to hell, you're going.. damn it. batinnya tak tenang.
Tentu saja penghuni kursi shotgun—kursi sebelah kemudi mobil, memutar punggungnya dan memberinya tatapan horror. “Jangan bilang kamu—”
“Ya,” potong Jayson membenarkan tatapan tak percaya dari Renata, “ya, aku nyaris kasih kesempatan terakhir buat Theo. Undang dia ke pesta, dan gak jadi buat kecelakaan palsu ini. Ada bagian diriku mau berdamai aja sama Theo, memaafkan dan melupakan semuanya,” ujarnya tanpa kontrol mengeluarkan isi kepalanya. Terurai begitu saja tanpa filter, membuatnya agak menyesal melihat kemurkaan istrinya yang kian nampak.
“Unbelievable,” ujar Renata tertohok, ingin sekali menghujani segala umpatan ke suaminya di kursi belakang tapi dirinya terlalu lelah dengan segala aksi kebut-kebutan tadi. “Istilah blood is thicker than anything ternyata masih berlaku buat seorang Jayson Hartono,” sindirnya sinis.
Sam merasa canggung, diantara atmosfir gelap yang menyelimuti percakapan suami istri disebelahnya. Tapi saat itu bisa dipastikan Sam membela adiknya, bukan karena ia blood tapi karena Renata berhak marah. Berkali-kali diinjak layaknya keset bertulis welcome, hati nurani Jayson masih sempat-sempatnya memberi belas kasihan pada orang yang dengan sengaja menindasnya.
“Tapi kemudian aku tau, Theo gak akan berubah dengan perdamaian.” Jayson memejamkan matanya, “perdamaian bukan solusi tepat menghadapi Theo. Hanya ada dua akhir, menang dan kalah.”
“Tapi lo kepikiran buat maafin dia, kan?!” Renata meledak dalam suaranya yang meninggi. “Kalo misalkan gue sama Theo kecebur laut, dan cuma satu diantara kita yang bisa lo selamatin, kayaknya lo bakalan mati-matian selamatin abang lo deh. Sedangkan gue? Tenggelam ngenes karena skip pelajaran renang pas SMP!”
“But I didn't do it.”
“But you intend to do it, don't you?”
“Enggak dilakuin, Ren, buktinya—”
“Tapi kepikiran buat ngelakuinnya, kan?”
“Oh my God, shut up you two!” Sam memutuskan terlibat, ia berteriak cukup kencang hingga Renata tak lagi mengomel dan Jayson tak lagi mencari-cari pembelaan. “Gue turunin kalian berdua, mau?”
Renata membuang muka lalu mencibir, “turunin aja, biar pada tahu kalo gue gak beneran mati.”
Sam menghela nafas, berpandangan penuh arti dengan Jayson lewat kaca rear-view diatasnya. Astaga, istri lo.. batinnya bertelepati dengan adik iparnya.
Adek lo, bales Jayson dengan dua alisnya yang terangkat, menampar Sam dengan fakta bahwa wanita yang tengah meledak-ledak itu saudarinya.
Iya juga sih, Sam menghela nafas, menyadari bahwa adiknya itu persis seperti ayahnya. Ia berbesar hati dan mencari jalan tengah dengan bergumam santai. “Kurang-kurangin keras kepalanya, Ren. Intinya Jayson gak lakuin itu, okay?”
“Ya tapi kan—”
“Okay?” potong Sam, mengulang pertanyaannya, menandakan tak ada tapi-tapian lagi. “Ren? Okay?”
“Okay okay,” ucapnya pada akhirnya, “puas?”
Kembali berpandangan lewat kaca kecil, Jayson dan Sam kembali bertelepati. Saling melontarkan perasaan tak menyenangkan ketika menghadapi si keras kepala Renata.