#all of the years

warning : lil bit NSFW


Ketika mendengar ketukan pintu, harusnya Renata tidak membukanya. Harusnya ia tetap bermain lego bersama Juan, menumpuk ratusan warna-warni mainan itu hingga berbentuk benteng sebesar manusia dewasa. Harusnya ia melihat dulu siapa yang ada dibalik pintu depan apartemen sebelum membukanya.

Itu suaminya, Jayson Hartono menampakkan batang hidungnya setelah lima tahun lenyap dari agenda hariannya.

Dengan gerakan kilat, ia menutup daun pintu yang dua kali lebih besar daripada tubuhnya. Sayang sekali, lengan pria di depannya jauh lebih kuat dan menahan pintu untuk tetap terbuka.

“Fuck off,” ujar Renata tak sungguh-sungguh, karena jujur saja, ia ingin melemparkan dirinya ke pelukan pria itu. Tapi egonya mengalahkan segalanya, menguatkan Renata untuk kokoh pada pendiriannya yang bilang tidak mau berurusan dengan Hartono lagi lima tahun lalu.

“Ren, tolong,” gumamnya perlahan, semudah menahan bulu bila dibandingkan pegangan tangan Renata di handle pintu.

Ia menyerah, jelas tak mungkin menang bila beradu kekuatan dengan pria di depannya. Langkahnya perlahan bergerak mundur, menjaga jarak aman untuk jantungnya. “What do you want?”

Jayson memasukkan diri ke flat yang masuk ke dalam jajaran assetnya, tapi tak pernah ia kunjungi barang sekalipun. Ia menutup daun pintu dan berdiri berhadapan dengan si penghuni utama flat itu yang tak lain dan tak bukan masih berstatus istri sahnya.

“Gak mau mempersilahkan duduk atau apa gitu?”

Renata melipat tangan di depan dada, “no, what do you want?” tanyanya sedingin embun freezer di kulkas yang menggunung.

Tanpa aba-aba, Jayson memotong jarak diantara mereka, menarik wajah di depannya dalam ciuman sepihak. Renata meronta, memukul dada Jayson untuk menghentikan gerakan agresif darinya, tapi gagal. Pria itu tetap menciumnya, kasar dan terkesan menuntut. Hingga membuat Renata akhirnya luluh, dan jatuh dalam dosa bersama dengan bibir yang absen mencumbunya bertahun-tahun.

Hmm, gak dosa dong kan technically dia masih suami sah gue.

“Mama, Mama dimana?”

Panggilan halus dari arah kamar bermain Juan membuat mereka berdua berhenti dari kegiatan panas mereka. Lebih tepatnya Renata yang memaksa pergulatan bibir mereka dihentikan. Renata mencoba melepaskan diri dari Jayson yang memenjara hampir seluruh alat geraknya. “Jay..,” gumamnya memohon kecil.

“Aku boleh ketemu Juan?” tanya Jayson perlahan, dengan ibu jadi menyapu permukaan bibir Renata yang basah akan ciuman sensual mereka.

Renata mendorong bahu di depannya sekuat tenaga dan berhasil melepaskan diri. “Lo disini aja, awas sampe masuk-masuk!” ancamnya, mengacungkan telunjuk tepat di depan wajah Jayson dengan ekspresi garang.

Sebelum Renata sampai ke sumber suara, anak laki-laki usia lima tahun dengan kaus dan celana kasual keluar dari sebuah kamar. Renata pun kaget, belum saatnya mengenalkan sosok Jayson pada Juan yang knowless perihal ayah biologisnya. Setahu bocah itu, Winarta adalah ayah satu-satunya dihidupnya. Walaupun hanya sebatas orangtua baptis.

“PAPA!”

Renata melotot melihat Juan—bocah yang keluar dari rahimnya lima tahun lalu, memanggil Jayson—pria yang tak pernah ia temui sama sekali—dengan sebutan.. apa tadi? Papa? Dan yang tak terduga, anak kecil itu berlarian ke arah Jayson, memeluk pria yang sedang berjongkok seperti ia memeluk Winarta. Aduh, Juan, Mama tau itu papa kamu, tapi kamu gak kenal dia, nak. Main peluk-peluk aje lu, tong.

“Papa kok lama sih datengnya,” ujar suara mungil itu, membuat Renata double terkejut. “I miss you so bad, Papa.”

“Papa harus kerja, ya kan, Ma?” Jayson menggendong Juan di depan dadanya dengan sebelah tangan, ia melirik Renata yang tak jauh darinya dan mengerling seolah memberi kode udah iya-in aja biar Juan seneng.

Renata yang masih kagok menjawab dengan terbata, “i-iya, Juan, Papa kan-kan harus kerja.” Ia mungkin menjawab dengan lembut tapi tatapan matanya yang melebar itu seolah mengancam, kok Juan bisa panggil lo Papa?


Sudah satu jam lebih Renata gelisah sembari menatap satu pintu dengan banyak sticker dinosaurus dan empat huruf yang tersusun membentuk nama Juan. Itu kamar anaknya, dan fakta bahwa ada Jayson di dalam kamar anaknya, berdua saja dengan Juan yang membuatnya kebingungan bercampur khawatir.

Gak mungkin lah Juan diapa-apain sama Jayson, itu kan anak dia juga. Udah lo tunggu aja sampe Jayson keluar, baru ngobrol berdua.

Eh, tapi kalo Jayson dendam sama lo karena lo kabur lima tahun lalu dan sakitin Juan gimana?

Ketika pikiran-pikiran buruk mulai menghantuinya, tanpa pikir panjang ia bergegas ke arah pintu itu dan membukanya perlahan. Jayson dan Juan berbaring di satu ranjang kecil, si kecil yang setengah teler—karena sudah jam tidur siangnya—melambai kecil ke arah Renata di pintu. Sementara Jayson perlahan bangkit dari ranjang dan ikut melambaikan tangan ke arah Juan.

“Juan tidur dulu, ya?” Jayson bergumam kecil, yang kemudian dibalas anggukan malas dari Juan lalu bocah itu tertidur pulas di tempatnya.

Kini tersisa Jayson dengan Renata, berdiri canggung di ruang keluarga yang senyap.

“Juan udah, tinggal ibunya.”

Renata mengernyit, “maksud lo? Lo mau nidurin gue kek lo nidurin Juan?”

“Kasih penjelasan,” koreksi Jayson sambil terkekeh karena melihat pipi Renata bersemu kemerahan. “Gue udah jelasin ke Juan, kenapa lama banget buat gue dateng nemuin dia. Utang gue udah lunas ke Juan, sekarang waktunya klarifikasi ke lo.”

“Ooh,” sahut Renata menutupi urat malunya dengan muka sinis.

“Kalo lo maunya ditidurin aja ya gue gak papa juga, sih.”

Renata meledak dalam kekehan marahnya, “enak aja!” ujarnya sambil memukul bahu Jayson, berharap pria itu kesakitan dengan pukulannya.

Alih-alih mengaduh, Jayson meraih kepalan tangan yang memukul bahunya dan membawanya dalam pelukan hangat. “Kangen banget gue sama lo.”

Renata di pelukan Jayson bergumam sambil mengerucutkam bibirnya, “kangen gue apa kangen anak lo?”

“Kangen lo lah,” ujarnya lalu mengecup singkat puncak kepala Renata, “butuh banyak effort buat gue gak kesini datengin lo. Kalo Juan mah, gue udah beberapa kali ketemu.”

“Heh? Kok bisa?” Renata melepas pelukannya lalu mengerutkan keningnya bingung, “jelasin gak? Kalo gak jelasin gue bakalan marah—literally marah beneran!”

Jayson menariknya kembali dalam pelukannya lagi dan terkekeh, “iya ini mau jelasin. The day after Juan's birthday, tiap tahun, menurut lo Juan kemana?”

“Sama Ruby dan Winar—son of a bitch!” Renata memukuli dada Jayson, baru tersadarkan oleh sesuatu. “Lo lo pada bohongin gue! Anjing banget! KEK KENAPA SIH HARUS BO'ONG?!”

Dengan lapang dada, ia terima segala pukulan di tubuhnya. He deserved it anyway, for a years. “Udah mukulnya?” tanyanya ketika Renata berhenti memukulinya dan duduk di sofa dengan tatapan yang tidak bersahabat.

“Sakit,” komentarnya dengan tangan memijat tangan yang lain. Ya, tangannya jelas kalah saing dibanding dada bidang Jayson yang entah ia latih berapa set tiap harinya.

Jayson menghampirinya, berjongkok di depan Renata sambil menahan senyumnya. “Sorry-sorry, masih sakit?”

“Masih,” jawabnya polos, tiba-tiba garis bibirnya melengkung ke bawah, diiringi tetesan air di matanya yang mendadak membanjiri pipinya. “Lo segitu gamaunya ketemu gue ya, Jay? Segala pake ngusir gue buat ketemu Juan. Palingan lo kesini juga mau ketemu Juan kan? Gak mau ketemu gue, kan? Iya, kan?”

“Bukan gitu,” gumam Jay pelan dengan ibujari menghapus bulir di wajah istrinya, “gue malu ketemu lo, masalah belum kelar tapi berani-beraninya muncul.”

“Kalo sekarang gimana? Udah kelar?”

“Udah.”

“That's why you're here?”

“That's why I'm here.”

Renata menarik nafas panjang, mengisi rongga dadanya yang kekurangan oksigen. “Start explaining,” ujarnya melepas pelukan Jayson dan mengesampingkan keinginannya untuk berlama-lama berpelukan, karena ia butuh jawaban.

Jayson ikut duduk disamping Renata, memutar otaknya—jujur, iapun bingung harus menjelaskan semuanya darimana. “Kamu jangan marah, ya?”

Renata menaikkan satu alisnya, ada apa nih tiba-tiba aku-kamuan? batinnya bertanya pada keadaan, saking lamanya mereka tidak semesra barang memanggil satu sama lain dengan sebutan aku dan kamu.

“Aku minta tolong ke Winarta sama Ruby, buat bujuk kamu pergi dari Indonesia.”

“What are you talking about, Jay?”

Jayson mengusap anak rambut Renata yang berwarna kecoklatan, tersenyum memohon agar Renata tak emosi ketika tahu kebenarannya. “Aku takut kamu kenapa-napa jadi aku jauhin kamu dari Theo, selagi aku ngurusin ini itu sama Carlos, sama satu orang lain juga.”

“Labuan Bajo gak cukup jauhin aku dari mereka?”

Reaksi yang sangat normal dan Jayson memaklumi itu semua. Dengan tetap memasang tampang tenangnya, Jay bergumam, “aku takut kamu kenapa-napa, Renata. I'm sorry kalau caranya harus kayak gini, tapi aku lega kamu aman.”

“Secara fisik, iya. Mentally? No, you god damn! Gue kangen lo! Banget! Every god damn night gue sembayang, berharap lo dateng, just to see me, and thinking about is he okay or not ya, Tuhan?, cuma itu.”

Dua lengan Jayson merengkuhnya lembut, “I miss you too, tapi sekarang udah selesai, Ren, kita akhirnya, beneran, literally, defenitely, bisa sama-sama lagi. Sama Juan juga.”

“Beneran?”

Jayson berbisik kecil, “beneran. Aku mau tebus semua lima tahun waktu yang terbuang, karena habis ini kita gak bakalan pisah lagi. Okay?”