Before You Go
Song related : Before You Go by Lewis Capaldi
“Waah!”
Mulut penuh Bianca menganga, mencermati Sherin yang keluar dari tirai putih tempatnya menge-pas gaun dan membuatnya seperti seorang putri kerajaan. Gaun panjang yang membungkus lekuk tubuh Sherin terlihat sederhana, berbahan satin tanpa lengan yang berkilau bila ditempa cahaya lampu. Potongan dadanya setinggi tulang selangkanya, tetapi ketika Sherin memutar, Bianca bisa melihat gaun itu mengekspos punggung mulusnya.
“Okay, what do you think?” Sherin menarik senyum kaku sembari membetulkan tudung berenda yang menutupi seluruh wajahnya.
Bianca meletakkan gelas sampanye-nya di meja rendah, ia bahkan beranjak dari sofa empuk hanya untuk bertepuk tangan. “Lo cantik banget,” pujinya dengan buliran bening yang lolos dari pelupuk matanya.
Sherin membalikkan muka secepat kilat, menyembunyikan matanya yang berair karena ekspresi Bianca. “Baru gaun pertama udah dibilang cantik aja.”
“Ini aja, you should take this,” desak Bianca dengan jemari menutupi mulutnya, “I can’t believe you’re getting married!”
Sherin benci mengatakan bahwa ia lebih suka Bianca yang judes dan kejam daripada Bianca yang berusaha mati-matian menahan tangisan agar tidak berubah menjadi rengekan penuh haru. Bukan saja itu membuat Sherin ikut menangis, hal itu membuatnya cemas. Ia memiliki keraguan. Apa keputusannya sudah cukup matang? Menikahi orang yang tidak seharusnya ia beri tanggung jawab sebesar seorang bayi? Dan bagaimana pendapat pria yang seharusnya ia nikahi? Apa mereka akan menjadi co-parents meski Sherin menikahi pria lain?
Matanya memicing pada pantulan dirinya di cermin. Ketika tirai putih yang membatasi tempat ia berganti gaun ditutup dan hanya ada dirinya di sana, ia bergulat dengan bayangan dirinya sendiri. Mengabaikan betapa indahnya gaun yang melekat di tubuhnya dan lebih mementingkan nasib pernikahan dadakan ini ke depannya.
Bukan Jean, melainkan Gavi. Kepalanya berputar pada skenario jahat yang Sherin limpahkan pada Gavi. Setelah menjadi manusia tersadis karena mengabaikan perasaan pria itu selama bertahun-tahun, kini ia kembali menghukum Gavi dengan ikatan pernikahan. Gavi memang menginginkan pernikahan ini, tetapi Sherin membutuhkannya, untuk lari dari Jean.
Tirai putih di belakangnya dibuka paksa, membuat Sherin buru-buru menyeka pipinya yang basah karena airmata pengampunan. Jean berdiri di sana untuk beberapa detik penuh keheningan, kemudian menutup tirai setelah memasukkan dirinya ke tempat Sherin akan mengganti gaunnya. Pria itu mengenakan jaket kulit kasualnya, celana jins belel dan mukanya terlihat berantakan. Rambutnya tidak tertata seperti biasanya, wajahnya kusut dan jelas jika pria itu tidak bercukur selama berhari-hari.
Sherin tidak sempat terkejut dengan kedatangannya, ia terlalu sibuk menyamarkan airmatanya begitu melihat pria itu menatapnya dengan pandangan terluka. Ia asumsikan bahwa pria itu tahu tentang pernikahan dadakan ini.
“You look beautiful,” Jean berdiri tepat di belakang Sherin, sementara Sherin menatapnya balik melalui cermin di hadapan mereka. “This is exactly what happened in my dream. You in the white wedding dress.”
“Do you want to be there? At my wedding?” Sherin bertanya, tak ada salahnya berbasa-basi walau ia tak berharap pria itu akan menjawab iya.
“We need to talk,” kata Jean melangkah mendekati Sherin, “kamu mau keluar sendiri atau saya yang robek gaunnya dan gotong kamu keluar?”
Sherin tersenyum miring, “gaun ini harganya jutaan, lo mau ganti rugi kalau sampai rusak?”
“Saya bisa beli ratusan gaun untuk saya robek, kalau gaun itu bukan gaun yang kamu pakai di pernikahan kita.”
Desisan Jean masuk ke telinga Sherin bagai ancaman penuh kesungguhan. Bibir pria itu mengatup rapat, kemarahan terpampang menyala di sorot matanya. Sherin menggigil berada tak jauh dari sosok Jean, bahkan untuk menelan saliva-nya saja ia tak mampu.
“Tunggu di luar, gimme five.”
Jean melangkah keluar, menyibakkan tirai dan menampakkan Bianca yang melontarkan argumen kasar kepada Jean. Sherin buru-buru melepaskan gaun mewah itu dan merasa muram ketika ia kembali mengenakan pakaiannya yang biasa. Celana santai dan sweternya tidak membuatnya merasa spesial. Apalagi kenyataan bahwa Jean menunggunya di balik tirai putih itu, menyeretnya untuk berbicara empat mata… Sherin mendadak merasakan perutnya yang menggulung.
“Sherin, don’t!” Bianca berseru, sebelah tangannya menghadang Sherin yang baru keluar dari tirai.
“Nggak papa, Bi,” gumamnya mengusap kecil lengan Bianca, “kayaknya emang harus diselesaikan, biar gue nggak ada beban di hari pernikahan.”
Jean mengulurkan satu lengannya, hendak menuntun Sherin ke dalam mobilnya dengan menggandengnya. Sherin menghapus senyum dan mengabaikan tangan Jean, kemudian ia berjalan melewatinya. “Di mana kita mau ngobrol?”
Merasa tertolak, Jean menghela napas sembari mengekori langkah Sherin yang tergesa-gesa. “Ke mana pun kamu mau,” ucapnya berhasil mendahului langkah Sherin dan membukakan pintu mobil untuknya.
Sherin berbelok ke sisi lain mobil, tepatnya di kursi pengemudi. “Gue yang nyetir,” gumamnya sebelum membanting pintu mobil.
Jean berusaha menahan amarah yang terkumpul di pembuluh darah kepalanya, tetapi ia sadar bila dirinya tidak sedang di pihak yang bisa menyuarakan kekesalan. Sudah bagus jika Sherin mau diajak untuk bicara berdua, setelah apa yang telah ia lakukan kepada wanita itu.
Bisa diduga jika Sherin membisu di perjalanan. Matanya fokus ke jalanan, menyetir tanpa mempedulikan kehadiran Jean di sampingnya dan membelokkan mobil tanpa kesepakatan ke gedung apartemen Jean. Bahkan di dalam kotak lift, Sherin melipat tangannya angkuh sambil memperhatikan dinding lift—mengabaikan setiap ucapan yang keluar dari Jean.
“Now, talk.” Setelah masuk ke dalam apartemen, barulah wanita itu bersuara. Sherin berdiri di balkon, menjaga jarak dari Jean yang duduk di sofanya.
“Apa kita—” Jean berdeham memberi jeda, “apa kita betulan sudah selesai?”
“Ya.”
Jean mengerutkan keningnya tidak suka. “Kenapa kamu berdiri di situ? Duduk sini, Sher, I know how much you love this couch.”
Sherin menyeringai, menyadari maksud perkataan Jean tentang sofa yang sedang diduduki pria itu. Di situlah tempat bayi di kandungannya diciptakan. “Kalau cuma mau ngomongin itu, gue mau—”
“Sherin.” Jean menyela cepat, “saya tahu kamu hamil. Anak saya.”
Tangan Sherin meraih pegangan balkon, menggenggam benda itu untuk mencari kekuatan. “Did Bianca—?”
“Gavi,” sahut Jean, “dia yang kasih tahu saya.”
“Gavi kasih tahu lo? Tapi… kenapa?”
Jean menyipitkan matanya seraya bangkit dari sofa, “jadi kamu berniat nggak akan pernah kasih tahu saya soal bayi saya?”
“Dih, tanya ke Adel juga sana, kali aja dia juga hamil anak lo!”
“Sherin!” Jean menaikkan nada ucapannya, amarah yang dipendamnya perlahan tumpah dan lepas dari kendalinya. “Bisa kah kita ngomongin kita dulu—dan bayi kita—tanpa melibatkan siapapun?”
“Excuse me, bayi kita?” Sherin terbahak mendengar kenyataan konyol itu, “siapa bilang bayi ini akan jadi bayi lo? Haha, seriously?”
“Maksud kamu apa, Sherin?”
“Bayi ini akan jadi anak gue… sama Gavi.”
Jean mendengar suara pecahan di kepalanya, cukup nyaring hingga oksigen yang ia hirup tertahan di nasofaring. Dan suara itu berasal dari pecahan hatinya yang hancur, tak bersisa. “You gotta be fucking kidding me,” bisiknya tak mempercayai apapun yang baru saja ia dengar.
Sherin menarik satu senyuman lebar ketika rencananya untuk membalas dendam pada pengkhianatan Jean itu berakhir mulus. Meski bayangan Jean bersama Adel akan selamanya tinggal secara gratis di kepala Sherin, setidaknya ia mendapatkan kesenangan sementara atas ekspresi Jean yang seperti tertampar bara api.
“Sherin… saya tahu kamu marah,” gumam Jean separuh memohon, “but, you can’t do this to me, Sher. Ini nggak adil.”
“I think it’s fair enough,” kekeh Sherin, bagai busur panah yang menancap persis di jantung Jean. “Dari seseorang gue belajar sesuatu. Hukuman paling tepat untuk seseorang yang selingkuh adalah dengan nggak bisa ketemu dan nggak bisa memiliki darah dagingnya sendiri.”
Jean menelengkan kepalanya kecil, matanya memicing ketika pidato kecil Sherin terdengar seperti sebuah cerita orang yang dikenalnya. Itu potongan kisah kedua orangtua Sherin, teman-teman baiknya. Jean di sana ketika Tony diselingkuhi dan membatasi ruang gerak Clarisa ketika menyangkut putri semata wayang mereka. Dan kini Jean adalah Clarisa—yang akan dibatasi ruang geraknya.
“Saya bukan mama kamu, Sherin.”
Sherin mengeratkan pegangan di balkon, “memang bukan. Lo lebih buruk dari dia, Jean. Lo tahu tentang bokap nyokap gue karena mereka teman lo, dan lo mengulang sejarah mereka ke anak mereka.”
“Clarisa meninggalkan kamu dan Tony, tapi saya nggak.” Jean melangkah mendekati Sherin, masih dengan tatapan mengiba, “Sher, saya di sini, saya nggak kabur ke mana-mana.”
Ketika jemari Jean terulur untuk menariknya masuk ke dalam apartemen, Sherin menurut. Bahkan ketika Jean menariknya dalam dekapan posesif, ia menerimanya.
“Janji nggak bakal ke mana-mana?” tanya Sherin nyaris berbisik.
Jean mengangguk dalam pelukannya. Ia menyesap lekat-lekat aroma yang menguar dari puncak kepala Sherin, mengobati kerinduan yang menggila. “I love you, Sherin, I will never leave, not now. Not ever.”
“Then lemme go,” Sherin memejamkan matanya, menikmati detak jantung Jean dan pelukan yang bisa jadi adalah pelukan terakhir mereka. Ia sudah memilih, dan tidak bersama Jean adalah keputusan yang bijak. “Lemme go, Jean.”
“Sher?”
Sherin mendorong dada Jean untuk memberi jarak dan menyeka sudut matanya yang sempat meloloskan bulir bening. “Gue tetap akan nikah sama Gavi, I don’t need your blessing.”
“Maka siap-siap pernikahan kamu kacau karena percayalah, Sherin, saya nggak akan diam saja melihat kamu menikah—tapi bukan sama saya.”
“Kalau lo mengacau, gue pastikan lo nggak akan pernah ketemu anak lo, Jean.” Sherin mengambil langkah mundur, keyakinannya tidak semudah itu digoyahkan oleh Jean. “Tentukan pilihan lo, Jean.”
Jean mengerang, “pilihan? Kamu nggak kasih saya pilihan, Sherin! Kalau saya pilih bayinya, saya kehilangan kamu! Kalau saya pilih kamu, saya kehilangan kalian berdua! Pilihan apa yang saya punya sekarang?”
“You do,” kata Sherin dengan berat hati, “terima pernikahan gue dan Gavi, maka lo akan punya kesempatan sama anak lo.”
Jean menghela napas kasar dan menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Ia menunduk, dengan siku tertekuk di paha dan menyangga kedua tangannya yang diletakkan di kepalanya. Bukan akhir seperti ini yang ia harapkan dari hubungannya dengan Sherin, apalagi melibatkan seorang bayi, yang bisa jadi adalah satu-satunya kesempatannya memiliki seorang bayi. Itu-pun bila ibu dari bayi itu mengizinkan Jean untuk memilikinya. Jika tidak, ia benar-benar hancur. Kehilangan ibu dari anaknya beserta anaknya.
“Pilih saya, Sherin. Apa yang nggak saya punya yang dimiliki Gavi? Kenapa harus Gavi? Kenapa bukan saya?”
Sherin mati-matian menahan airmata membanjiri mukanya. Ia berusaha tersenyum, meski melihat Jean sehancur itu membuatnya hancur pula.
“Lo punya segalanya, Jean. Lo lebih dewasa, lo jauh lebih kaya, dan yang terpenting you own my heart, sepenuhnya punya lo, sesuatu yang nggak dimiliki Gavi. But you break it, and that’s something Gavi would never do.”