#cout d'etat

Menghabiskan waktu dengan Paris nampaknya tak buruk juga untuk kesehatan mental Renata. Ia lebih banyak tertawa, tersenyum dan bersenang-senang seharian ini daripada menangis, mengurung diri di kamar dan mencari-cari kesalahannya sendiri.

Apalagi ketika menunjukkan satu ruangan di sebelah gudang belakang yang membuat Renata deja vu. Ia seperti berjalan-jalan lintas memori melihat hampir semua karya lukisnya tidak hanya dipajang, tapi dirawat dengan sangat baik di sana.

“Tuan Jay tak pernah absen datang kemari, bahkan setelah Tuan Jay menikah dengan anda, Nona.”

Renata membalikkan badan ke arah Paris yang ada di akses pintu keluar dari ruangan itu dengan wajah bingung, “kenapa? Kenapa kesini kalo dia bisa pulang ke apartemen and meeting me in person?”

Paris menaikkan dua bahunya, “saya rasa Tuan Jay merindukan masa lalu dimana kalian berdua masih belum terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Tuan Jay dengan Hartono Group, anda dengan Brand pakaian anda sendiri.”

Netra Renata menangkap putung rokok di ujung ruangan, bersama dengan gelas sloki bekas minum yang terlihat baru. “dia masing sering kesini?”

“Selama anda tak mau sekamar dengannya, ia bermalam di sini, tak mau makan apa-apa selain minum whiskey,” jawab Paris lalu menghela nafas beratnya, “ini mungkin bukan tempat saya untuk bicara seperti ini, tapi setidaknya beri Tuan Jay kesempatan untuk menjelaskan. Saya hanya tak mau pernikahan Tuan Jay berakhir seperti kedua orangtuanya.”

Mau tak mau Renata merasa tersadarkan oleh ucapan Paris. Ucapannya ada benarnya juga. Sulit bagi seorang Jayson Hartono, bocah kecil yang lahir diantara bisnis dan perceraian orangtua diusia dini untuk berkomitmen. Butuh banyak perdebatan dan perselisihan Renata dengan pria itu untuk meyakinkan pria itu bahwa pernikahan mereka tidak akan berujung seperti orangtuanya. Tak ia sangka, ia berada di titik dimana ia sendirilah yang menghancurkan keyakinan itu.

“Tuan Jay pernah bilang pada saya, dari puluhan gadis yang ia kencani, cuma anda yang paling layak menyandang gelar Nyonya Jayson Hartono,” ujar Paris lagi tersenyum di sela-sela keriput wajahnya yang muncul karena usianya yang tak lagi muda. “Anda berhak marah karena Tuan Jay mengacau, anda mendiamkannya, itu sudah cukup menyiksanya. Bahkan hukuman dari Tuan Besar tidak begitu membuatnya sedepresi ini.”

“Terimakasih, Paris, lo butler terkeren sepanjang sejarah,” ujar Renata lalu berlari memeluk kepala pelayan tua itu dengan penuh semangat. “Now will you excuse me, gue mau balik ke kamar dan telepon Jay.”


Berjalan menyusuri rumah inti keluarga Hartono bukanlah hal pertama bagi Renata. Bahkan sebelum dirinya menjadi bagian dari keluarga itu, ia sering diajak berkeliling oleh suaminya. Tapi sepanjang yang ia tahu, ia tak pernah tahu bahwa Shella dan Theo memang memiliki kamar terpisah.

Harusnya Renata tak tahu, tapi begitu ia melewati Pavilium Barat untuk menuju kamarnya, ia mendengar suara lengkingan perempuan. Suara khas alto Shella. Bukan melengking hendak menyanyi seriosa, tapi melengking marah, berteriak, lalu suara benda dibanting terdengar heboh. Renata berhenti sejenak dibalik pilar untuk menguping, ya dia menguping karena wanita jalang yang hamil itu berkali-kali meruntuhkan kesehatan mentalnya.

“Bajingan lo, Theo! Gue minta cerai!”

Wow, sepertinya bukan hanya Renata dan Jay yang mengalami krisis pernikahan, sejoli ini juga.

“Lo ingat isi surat perjanjian pra-nikah kita? Lo gak bakal dapat kekayaan sepeserpun dari Hartono kalo lo belum kasih gue anak!”

“Yang gue kandung ini apa? Ini anak lo, bajingan, gue gak nyangka gue mau mengandung anak seorang bajingan kayak lo!”

“Hei, jaga ucapan lo! Lo kira para pembantu sama staff gak tahu? Sejak nikah kita gak pernah tidur sekamar, gimana bisa kita punya anak?”

“Bagus bener ucapan lo, Theo. Ya, makanya lo bawa bocah bernama Jovanka itu? Itu jalang lo yang baru kan? Ngaku lo!”

Suara tawa Theo terdengar cukup keras, “hei hei hei, lo juga seneng kan karena adanya Jovanka kita bisa jebak Jay? Kalo Jay dan Renata cerai, kita yang paling diuntungkan, Shella. Gue yang akan duduk di kursi CEO, dan Jay akan lengser karena hidupnya terlalu banyak skandal.”

Oh.. too much information.. shit..

“Gue jijik liat Renata keliaran di sini, ditambah Jovanka.. lo dapet darimana sih cewek itu hah? Dan hamil..? Anaknya siapa, Theo? Kok bisa lo jebak Jay kayak begini, apa yang gak lo bilang ke gue hah?”

“Carlos.”

“Carlos terlibat?”

“Jay terlalu selektif, rencana dia mau kick gue sama Carlos itu bocor dan buat Carlos berbalik arah melawan Jay. Ini perfect timing buat gue, gue punya Carlos dan Aurora, sedangkan Jay sendirian. Plus, ia ditinggal Renata, imagine how fragile he is!”

Renata memaksa kakinya berlari ke arah kamarnya, sembari mengantongi terlalu banyak fakta baru yang menusuk indra pendengarannya. Ini kudeta untuk menggulingkan jabatan Jay. Theo, Carlos dan Aurora, mereka bertiga bekerjasama. Apa-apa an ini?

Poor Jay, batin Renata berdesir, membayangkan satu keluarga melawan dirinya sendirian ketika ia rapuh kalau ditinggal Renata sang istri. Bahkan Renata tak bisa membayangkan betapa berat beban di pundak suaminya saat ini.

Begitu masuk kamarnya, ia gemetaran hebat. Masalah keluarga ini lebih rumit dari kelihatannya, bahkan terlalu rumit. “This family is so fucked up,” bisiknya entah pada siapa.