Daddy Issues

Warning : there's some inappropriate words below, please be wise.


Jemari Sherin nyaris mengetikkan sandi apartemen Jean, karena susunan angka itu telah diingatnya diluar kepala. Tapi kemudian ia berhenti dan memilih menekan bel apartemen yang letaknya tepat di sebelah papan sandi.

Ia menyiapkan senyum terbaiknya, berharap ketika pintu itu terbuka, pelukan Jean lah yang akan menyambutnya.

“Sherin?”

Senyumnya tandas begitu melihat seorang wanita yang berdiri di sana, hanya mengenakan bathrob dan rambut panjangnya yang kusut karena basah. Adel tersenyum menatap mata Sherin yang membulat kaget, tangannya terlipat di depan dada dan badannya menyandar kecil ke pintu besi yang dibuka lebar.

May we help you, Sherin?” tanyanya menggoda, menekankan kalimat 'we' yang merajuk pada 'ia dan Jean' sebagai penghuni apartemen pada Sherin, tamu tak diundang.

Kelu, Sherin kehilangan kosakata. Ia membuang muka lalu memilih menapakkan kaki menjauhi apartemen nomer 127 dengan perasaan tak karuan. Kakinya setengah berlari begitu pintu lift yang berhasil membawanya ke lobby gedung apartemen terbuka. Ia ingin secepat kilat menghilang dari bumi, daripada menghadapi kenyataan bahwa ayah dari anak yang dikandungnya sedang berduaan di apartemen dengan mantan pacarnya.


Who's that?” Jean bertanya, lalu melemparkan handuk kering ke tangan Adel untuk mengeringkan kepalanya yang lembab.

“Biasa, pihak gedung cuma mau ngecek keadaan sekitar,” jawab Adel sambil mengusap rambutnya dengan handuk kecil, “thanks ya, gue nggak tahu kemana lagi harus minta tolong.”

Jean mengangguk dan duduk di sofa, “lain kali kalau mau photoshoot tuh bawa baju ganti.”

“Iya-iya, bawel!”

“Lo bisa cepet pergi nggak?” desak Jean sembari beberapa kali mengecek jam di pergelengan tangannya, “soalnya Sherin mau kesini, gue nggak mau dia salah paham sama situasi kayak gini.”

Oh! “Kalian udah baikan?” tanya Adel basa-basi, berusaha menahan tawanya.

Jean melirik jemari Adel yang dihiasi banyak cincin, tapi hanya satu cincin yang menarik di matanya. “Bisa balikin cincin yang lo curi? Gue mau lamar Sherin pake cincin itu.”

“Ups, sorry,” Adel melepaskan benda berkilau dari jari manisnya, “gue kira cincin ini buat gue.”

Why would you think so?

Berat rasanya melepaskan lingkaran perak dilapisi belasan karat dari tangannya. Adel terlanjur jatuh cinta oleh cincin tersebut walau ia tahu bukan dirinyalah alasan benda itu dibeli Jean. “Gue kira lo mau lamar gue di malam.. you know, di malam kita.. you know..”

Had sex?” potong Jean kilat sembari menerima uluran cincin dari Adel, “gue mabuk, that's all, it didn't mean anything.

Jean tersenyum kecil pada benda mengkilat itu dan meletakkannya di rumahnya, kotak belundru warna maroon. Dirinya tak sabar melihat betapa kagetnya Sherin ketika ia berlutut dan melamarnya di balkon apartemennya. Tanpa tahu bahwa Sherin takkan pernah datang hari itu—setelah memergoki keeksistensian Adel di apartemen nomer 127 milik Jean.


“Nangis terus, nggak laper apa?”

Sherin mengerjapkan matanya yang membengkak, entah sejak kapan alat pengelihatannya terus-menerus memproduksi tetesan airmata yang kemudian membuat wajahnya seperti ditonjok dua kepalan tangan orang dewasa. Ia melihat Gavi duduk di kursi riasnya, memandangi Sherin diatas ranjang kamarnya seolah dirinya adalah seonggok daging lemas tanpa tulang.

“Makan yuk, lo mau apa?” tanya Gavi dengan segala effortnya yang patut Sherin acungi dua jempol, “jangan bilang diet, itu kalori makanan kemarin udah habis lewat tangisan lo soalnya.”

“Gue nggak bisa makan gitu aja setelah tahu ternyata nyokap gue selingkuh.”

So what? Dunia ini tetep berjalan semestinya walaupun lo jatuh, keseleo, mau patah tulang pun, dunia nggak peduli, Sher,” ucap cowok itu lalu ikut merebahkan diri di atas ranjang—tepat di sebelah Sherin berbaring telungkup. “Sekarang makan dulu, ya? Oke?”

“Nggak laper.”

“Apa perlu gue ajak Bianca juga?” tawar Gavi memandangi penampakan Sherin yang luar biasa kacau, “cocok deh kita bertiga, bikin perkumpulan anak broken home sabi kali ya?”

Mengabaikan banyolan Gavi, Sherin bergumam lirih, “gue nggak nyangka hidup gue bakalan kayak gini.”

“Kayak gini gimana, sih? Lo punya gue, si goblok yang dengan tololnya naksir lo even though ada nama cowok lain yang ada di hati lo sekarang.”

Sherin berbisik, “gue rasa lo akan jijik setelah tahu semuanya.”

Which is..?” Gavi menyibakkan anak rambut yang basah dari wajah Sherin akibat terkena airmatanya sendiri. “Lo bisa ngomong apa aja ke gue, Sher. Anggep gue sebagai brankas kecil yang passwordnya cuma lo yang tahu.”

“Apa passwordnya?”

“Gavi ganteng?”

Sherin tertawa kecil, “oke, Gavi ganteng.”

Password identified,” katanya membuat suaranya seperti kotak peti besi yang.

“Jean selingkuh.”

Your 39 years old boyfriend—Jean?

Sherin mengangguk, “dan gue lagi hamil anaknya.”

Satu alis Gavi terangkat, sungguh ia tak berharap sesuatu seperti itu yang ia dengar sekarang. Tapi pikirannya melayang pada perasaan cewek di depannya, hamil dan diselingkuhi, what a day.

“Melihat dari ekspresi lo, lo udah mulai jijik ya sama gue?”

“Sebaliknya, gue nggak terima, Sher,” jawab Gavi menggeser tubuhnya mendekati Sherin dan menawarkan sebuah lengan untuk merengkuhnya lebih dekat, “you choose him over me and look what he did now? Dia sadar nggak sih, lo berkorban banyak cuma demi bisa pacaran sama dia?”

Sherin menerima lengan Gavi yang hendak memeluknya, itu pertama kali ia merasakan rengkuhan hangat cowok tengil di sebelahnya. Ia merebahkan kepala beratnya di dada Gavi, memenuhi rongga hidungnya dengan parfum khas cowok itu—wangi musk segar kekayuan yang maskulin—dan mendengarkan debar jantungnya yang terpacu secara abnormal.

“Kenapa lo deg-deg an?”

“Pertanyaan bodoh macam apa tuh anjir?” Gavi tertawa menyamarkan merah di pipinya, “siapa yang nggak deg-deg an cuddle kayak gini sama lo?”

Cuddle? Sherin tak menyalahkan Gavi kalau cowok itu bilang mereka sedang cuddling karena posisi keduanya yang berpelukan diatas ranjang. Ia tak tahu jika dua lengan Gavi yang memeluknya erat bisa membuatnya nostalgia pada pelukan sang mama. Hangat dan manis, seolah memang kesanalah tempat untuk berpulang.

“Harusnya gue anggap lo lebih dari temen biasa dan harusnya gue nggak coba-coba sama omnya Bianca,” aku Sherin dan menggalungkan sebelah tangan melingkari pinggang Gavi, kian menempatkan dirinya di posisi ternyaman.

“Masih belum terlambat buat anggap gue lebih dari sekedar teman,” kata Gavi lalu berdeham kecil, “marry me, Sher.”

Sherin mendongak, bertemu pandang dengan pemilik badan kekar yang dipeluknya bagai teddy bear raksasa. “Did you not hear what I said? Gue hamil, Gav, anaknya Jean.”

So?” Gavi mengedikkan bahunya enteng, “jangan remehin gue, gue bisa kok jadi suami dan bapak yang baik.”

You're too good to be true, Gav,” gumam Sherin mengangkat jemarinya untuk menyapu rambut Gavi yang menutupi sebagian jidatnya, “I can't do this to you, lo harus dapat cewek lain yang memang layak dapatin lo. Bukan gue.”

Gavi menghela nafas panjang, lalu berujar kecil, “gue mau tanya—mungkin pertanyaan ini kedengeran basi, tapi—kenapa Jean, Sher?”

“Karena gue cinta sama dia.”

“Cuma itu?”

“Gue ngerasain kupu-kupu di perut gue—kayak yang orang-orang bilang pas kita lagi jatuh cinta,” gumam Sherin tak sedikitpun berbohong, “dan gue ngerasain itu sama Jean. Kayak, kalau sama dia gue berasa hidup dan semuanya jadi terasa lebih gampang.”

Just so you know, butterflies are just excitement, Sher, its not love, it could be a moment of joy,” masih dengan tatapannya yang sayu, Gavi kembali berkata, “or it could be a daddy issues.”

Ucapan Gavi terlalu masuk di akal Sherin, ia bahkan tak bisa menyangkal tembakan fakta yang Gavi arahkan padanya. Ia menelan salivanya berkali-kali, mencoba berbohong dengan berkata no, you're wrong, gue nggak mungkin kena daddy issues, tapi mustahil untuk berujar dusta ketika ia mengobrol empat mata dengan tatapan intens cowok di depannya.

“Mungkin lo kangen sama bokap lo yang dulu, lo butuh sosoknya tapi lo nggak dapet itu. Kebetulan aja ada Jean dan lo ngerasa itu adalah cinta, Sher, please wake up, dia itu nggak pantes buat lo, Sher.”

“Dia bapaknya anak gue, Gav,” itu satu-satunya pembelaan Sherin, ia mengaku kehabisan alasan lain untuk bertahan dengan Jean.

“Gue bisa jadi bapaknya.” Gavi melepas kontak mata dan kembali memeluk Sherin, “gue bisa dan gue mampu.”