dead ends
(baca part # 339)
Langkah ambisius Jayson membelah lautan karyawan di gedung pusat Hartono yang akan makan siang diluar kantin. Tepatnya di lantai lima ketika Theo Hartono mengadakan pers conference mengenai lepasnya Jayson dari nama besar keluarga Hartono. Ia mengundang puluhan wartawan yang siap menyebarkan berita besar dalam dunia bisnis hingga ke pelosok negri.
Tidak sampai Jayson menginterupsi pers conference dengan kehadirannya yang mengacau. Ya, Jayson Hartono si pengacau dalam keluarga Hartono. Headline yang cukup menarik, diimbangi dengan gambar Jayson mengobrak-abrik meja conference yang diisi belasan microphone. Well done, Jayson.
Terdengar terlalu dramatis, tapi Jayson memang mengacau. Ia melangkah mantab melewati para wartawan dan lari ke sepupu paling besarnya. Ia melayangkan beberapa kali pukulan di wajah hingga pria itu tersungkur lalu menindihnya dan kembali menghajarnya. Membuat satu ruangan heboh akan tindakan impulsifnya.
Sam di belakang panggung conference masuk ke dalam TKP, dan melerai Jayson yang membuat wajah Theo penuh darah segar dari pelipis hingga sudut bibirnya. Dengan bantuan Carlos yang baru datang—karena baru diberi tahu kejadian memalukan itu—akhirnya mereka berdua bisa dipisahkan. Setidaknya Jayson bisa melihat rekaman dimana ia menghajar Theo di masa depan karena semua media mengarahkan kamera ke arahnya. Vividly. Terimakasih teknologi 4K.
Alhasil pers conference itu berujung malapetaka, menyebabkan kasak-kusuk yang disebarkan dari mulut ke mulut oleh para wartawan yang menyaksikan perkelahian dua saudara sepupu secara live. Ketidakharmonisan dalam hubungan persaudaraan Hartono atau Keterkaitan hubungan saudara sepupu pemilik Hartono Group dengan kematian saudarinya beberapa tahun silam. Kurang lebihnya, mari beri tepuk tangan pada Jayson Hartono yang menyebabkan desas-desus itu tercipta.
“Pertunjukan yang bagus,” gumam Dirga sembari menyodorkan sekantung balok es ke arah Jayson untuk mengompres tangannya yang nyut-nyutan.
“Wah, gila. Media beneran panas kena berita barusan.” Carlos mendelik ke arah iPad di tangannya, bahkan memutar video adegan abangnya memukuli abangnya yang lain.
Jayson yang wajahnya telah diplester hanya menatap iPad Carlos di depannya tanpa minat. “Berarti rencana kita berhasil.”
Carlos menghela nafas panjang, “gue kok jadi takut citra bentukan Opa dari belasan tahun bergeser hanya karena berita kayak begini.”
Dirga berdeham, “citra yang dibangun pak Surya itu sangat gak masuk akal. Ok ada baiknya, Hartono terkenal keluarga terpandang yang baik-baik aja tapi apa bener kalian baik-baik aja? You're not, ini waktunya speak up. Gak capek apa bersembunyi dibalik citra baik terus?”
Carlos berdecak, “yeah, you right. Padahal ini keluarga cacat dimana-mana, tapi publik gak tahu apa-apa.”
“Udah hampir 70% rencana, tinggal sisa lo kecelakaan aja,” ujar Dirga dengan lihainya mengalihkan pembicaraan.
Jayson mengepalkan telapak tangannya dan membukanya perlahan. Sepertinya tulang belulangnya disana terlihat bergeser karena memukul rahang Theo terlalu bersemangat. “Gue mau tambahin sedikit sentuhan di rencana akhir kita.”
“And what is that?” tanya Dirga penasaran.
“A party,” kata Jayson lalu menyeringai, “party rujuknya gue sama Renata, buat pengalihan isu miring,” sambungnya sembari memencet rahangnya yang sempat terkena kepalan tangan Theo. “Dikasih ide Mahesa—lebih ke promosi karena pacarnya party planner sih, sekalian bikin alibi kuat buat kalian semua.”
“Ngerekam alibi kita semua lewat media masa?” Dirga bertanya, anggukan Jayson menjadi jawabannya. “So basically, ini rekayasa pembunuhan lo berkedok pesta?”
“Bingo.” Jayson terkekeh pelan, menahan ngilu luar biasa yang terjadi akibat tulang rahangnya bergeser.
“Sam gimana? Dia kan musuh, lo gak mungkin kan undang dia sementara lo gak bisa undang Theo,” sela Carlos mengingatkan, “kalo lo undang Theo berarti dia punya alibi dong.”
“Ntar Sam dateng aja mandiri, chit-chat ringan dan bikin kesan kalo cuma gue sama Theo yang berantem, bukan sama dia juga,” balas Jayson ringan. “Civic udah siap, Dir?”
“Aman,” balas Dirga, “seperti yang lo duga, sidik jarinya Theo masih tertinggal disana.”
Jayson mengangguk-anggukan kepala, “alright, thats it, thats our plan.”
“Tunggu-tunggu,” kata Carlos dengan wajahnya yang khawatir, “apa gak lebih baik yang bawa BMW Theo itu Sam? Postur tubuh mereka hampir sama, bisa jadi ilusi optik di kamera CCTV seolah-olah yang keluar masuk apartemen Theo adalah Theo—padahal si Sam.”
“Bener juga,” kata Dirga, “switch plan aja, kalo Sam yang kemudikan BMW, lo yang bius Theo, sanggup?”
“Bisa gue,” jawab Carlos tapi kemudian menyeringai, “kalo bang Jay kecelakaan, Sam yang nabrak, gue yang bius Theo biar blackout, nah lo.. tugas lo apaan, bang Dir?”
“Gue?” Dirga tertawa mengacungkan telunjuk ke dadanya, “gue pegang peran paling penting. Gue memastikan media cukup sibuk biar gak nyariin kalian pada, selagi kalian mengendap-ngendap keluar gedung pesta. Jagain bocah-bocah as well, intinya pesta ini bakalan aman gue handle.”
Jayson terang-terangan terkejut, melihat Dirga—pria slengean yang doyannya menyebar komedi—berubah menjadi manusia licik yang membantunya berpura-pura mati. “Dir, serius, lo udah mateng. Dah siap jadi CEO SRJ?”
“Am I?”
“Ya, get ready,” gumam Jayson tersenyum lalu mengkoreksi ucapannya sendiri, “bukan, be ready.”