Fly Me to the Moon


(baca part # 339)

Hartono Jet, Mediterranean Sea

“Ada beberapa alasan yang mendorong aku memutuskan mau melakukan rencana bunuh diri ini.”

Helaan nafas tenang Jayson pertanda akan adanya pembicaraan serius yang mengiringi perjalanan panjang Renata dengan jet pribadi Hartono, dari London menuju Jakarta. Entah popcorn atau liqour, Renata bingung harus mempersiapkan makanan pendamping apa untuk beberapa menit obrolan mereka kedepan.

Setelah memastikan Juan terlelap di kursinya, mereka berbicara empat mata di ruangan konferensi mini bagian belakang jet, dengan gelagat Jayson yang sesekali memeriksa sekitar memastikan tak ada yang menguping pembicaraan mereka. Bisa gawat jika master plan nya Sam bocor.

“Aku baru tahu ternyata Opa bukan meninggal karena serangan jantung, melainkan dibunuh.”

Nafas Renata tertahan, “maksudnya dibunuh?”

Hartono memang bukan perusahaan multinasional paling bersih seantero jagad perbisnisan. Veteran dunia bisnis manapun tahu sejarah lengkap perusahaan besutan Surya Hartono itu. Beberapa kali terlibat dengan penggelapan dana, pencucian uang, kerjasama ilegal, itu harga kecil yang harus Surya Hartono bayar untuk kesuksesannya sebesar sekarang ini.

Tapi pembunuhan? Oh, no no no no. This is way too much. Renata tak bisa bayangkan kalau masalah keluarga old money ini telah berevolusi menjadi tindak kriminal kelas berat (baca : pembunuhan). Apalagi melibatkan seorang Surya Hartono.

Opanya Jayson dimata Renata sudah seperti ketua organisasi sekelas Yakuza yang tidak mungkin mati semudah dibunuh. Ia tak tersentuh. Literally untouchable. Ia membangun Hartono Group dari nol, sendirian. Hanya bermodal tekad dan segenggam recehan rupiah. Siapa yang berani membunuh pria dibalik harta yang takkan habis oleh tujuh turunan itu?

“Opa meninggal karena dibunuh?” tanyanya lagi, mempertanyakan perkataan Jayson barusan. “Gak mungkin Surya Hartono dibunuh, kan? Jayson? Kamu bilang dia kena gagal jantung?!”

“Yes, he was murdered,” jawab Jayson tenang, memotong pertanyaan demi pertanyaan bingung Renata dengan suara getirnya. Ia berdeham, lalu kembali berucap ke nada normal. “Killed by the same person who killed Aurora.”

“AURORA?!” Renata membelalak kaget, tanpa sengaja menutupi mulutnya dengan sebelah tangan. “Hah? Kapan? Dimana? H-how? Jay? Becanda, ya? I swear to God, if you're joking I'm gonna slap your face!”

“Apa mukaku kelihatan lagi becanda sekarang?”

Sayangnya tidak. Renata berharap prianya sedang bercanda, memberinya surprise early birthday dan bersekongkol dengan Aurora untuk menyambutnya kembali ke Indonesia. Nyatanya tidak. Jayson memilin pangkal hidungnya sambil menutup matanya, kerutan di keningnya jelas mengatakan bahwa gue pusing banget, serius.

“Ini semua diawali dari aku tanam modal di pengembangan resort Penang atasnama Jordan Hendrawan. Karena aku investor utama, aku berhak ambil bagian seenggaknya 70% design nya.”

“Inget gak, aku pernah cerita soal keinginan Opa biar Aurora juga bisa berkembang dan ikut berkecimpung di Hartono Group daripada bakat-bakatnya kebuang sia-sia? Makanya aku seret Aurora masuk ke project ini, dengan dia sebagai ketuanya. Carlos pun ambil bagian, mereka beberapa kali meeting dan deal di beberapa ide. Sampai akhirnya aku kepikiran buat bangun perusahaan sendiri, SRJ, karena melihat perencanaan Aurora sama Carlos yang cukup prospek kedepannya.”

Renata berdeham kecil, “oke?”

“Theo tahu soal identitas palsu Jordan Hendrawan dan aku rasa dia khawatir soal Aurora sama Carlos berada di naungan SRJ, bukan Hartono Group lagi. Imagine, saingan sama aku aja dia kelimbungan, apalagi tahu kita bertiga bersatu, against him.”

“Then he killed Aurora,” lanjut Jayson mengetatkan rahangnya menahan gejolak kemarahan dari dalam dirinya. “Mungkin ia merasa posisinya terancam karena aku dan Carlos yang bersatu. Ditambah Aurora yang ikut SRJ, dia gagal manipulasi Aurora buat balik ke pelukan Hartono Group, maybe that's why he killed Aurora.”

Ulu hati Renata terasa tertusuk kenyataan, “that's it? Dia dibunuh karena egonya Theo? Segampang itu cabut satu nyawa hanya karena persaingan bisnis?”

“Setelah kematian Aurora pun, aku makin gak tenang. Carlos terancam, aku kayak hidup dalam pengawasan 24 jam sehari. Satu hal yang gak pernah aku sesali sampai sekarang yaitu kirim kamu sama Juan—yang masih di perut kamu saat itu, jauh dari Theo. Maaf harus sejauh London, tapi selagi kamu aman di sana, aku fokus cari bukti-bukti.”

“And?” Renata berharap-harap cemas, semoga ujung kalimat suaminya berakhir berita positif.

Jayson mendesah, dari helaan nafasnya yang gusar, Renata tahu kabar itu jelas buruk. “Bukannya dapat bukti, ternyata yang kudapat malah berita Theo yang juga bunuh Opa.”

“Jadi kamu bawa aku ke Indonesia, memohon biar aku mau pulang, for what? Balas dendam?”

Jayson beranjak dari duduknya, berkeliling ruangan sempit itu dan sesekali menenggak gelas whiskeynya. “Pilihan kita cuma dua, Ren. Bantu aku pilih. Kamu mau kita balas dendam, atau kamu mau Juan yang kena dampaknya? Aku kenal Theo, and I can tell, dia ancaman buat kita bertiga.”

Begitu mendengar nama anaknya bersama dengan kata ancaman, ibu mana yang tidak tergerak hatinya. “Kalo ngomongin soal Juan, kamu gak perlu suruh aku milih. Pasti aku pilih yang terbaik buat masa depan anak aku.”

“Anak kita,” koreksi Jayson.

“Iya, anak kita,” kekehnya lalu memberi Jayson pelukan.

Dekapan itu bagai obat penenang bagi Jayson, heroin versi halal. Parfum manis bebungaan memudar di ujung penciumannya, dekapan jemari Renata yang menepuk punggungnya perlahan membuatnya kehilangan amarah yang sesaat mengendalikan tubuhnya.

“Udah siap ketemu kakak kamu belum?”

Renata mengeratkan pelukannya mendengar pertanyaan mudah yang harusnya bisa ia jawab tanpa berpikir. “I dont know,” jawabnya meragu.

Merasakan tangan Renata di punggungnya bergetar, Jayson balik menepuk punggung Renata. Membalikkan penenang yang Renata berikan padanya. “Kok gatau, sih? Jangan takut, Ren, aku gak mungkin berani kenalin dia ke kamu tanpa research mendalam dan make sure kalo dia kakak kamu.”

“Aku cuma takut kalo kita ketemu, ternyata aku bukan adik yang kayak dibayangan dia. Aku—”

Masih dalam pelukan erat, Jayson bisa merasakan jantung istrinya berdebar tak karuan. Alur nafasnya memburu, dan badannya gemetaran. “He's so nice, Ren, he loves you so much. Usaha dia selama lima tahun belakangan ini ya cuma buat ketemu kamu, sama Juan.”

“Really?” ujar Renata sambil terisak kecil. “Aku boleh ketemu dia pas udah sampe Jakarta?”

“Boleh, but keep it close, ya? Jangan sampe ketahuan publik, karena yang publik tahu dia partner bisnisnya Theo,” gumam Jayson masih mendekap hangat Renata.


Keberadaan Samudera Kiehls di suite room Renata membuat semuanya terasa seperti mimpi. Ia, seorang anak panti asuhan, kini memiliki sebuah keluarga. Keluarga kecilnya. Bahkan untuk menjabarkan istilahnya saja, Renata tak percaya ia kini memilikinya.

Mimpi bocah sepuluh tahun di panti asuhan St. Vincent itu terdengar klise, menciptakan keluarganya sendiri dan menyalakan api ditengah-tengahnya, agar tak ada hawa dingin dari luar yang berani membekukan hatinya. Kehangatan yang terpancar dari raut wajahnya tak bisa berbohong. It's enough for her.

Apalagi ketika pria jangkung itu merengkuhnya dalam pelukan berdurasi sekian menit, Renata merasakan intuisinya berdesir. Anak dalam dirinya seolah mengatakan, hell yeah, that handsome tall guy is your bloody brother, you have a big bro, A BIG BRO, proud of you older Renata, you got what you always wanted, kan? Congratulation.

“What do you think about Seattle?” Sam menggeser dua paspor milik Jordan dan Regina Hendrawan, beserta tiket pesawat Business Class dengan tujuan serupa. “Far enough from Indonesia, but not so far from London.”

Mata Renata menatap ada yang janggal di meja itu, “mana paspornya Juan?”

Jayson beradu pandang dengan Sam, jelas tak kaget dengan pertanyaan seorang ibu yang menanyakan perihal anaknya. “Sam?” ujarnya, menyerahkan bagian penjelasan kepada kakak iparnya.

“Juan stays in London, with his godparents, Winarta and Ruby,” jawab Sam, tanpa dosa.

“Wh—? What the fuck are you thinking, Jayson Hartono? Are you fucking kidding me?”

Sam mendelik menatap adiknya menyumpahi suaminya sendiri—yang mana adalah Jayson Hartono—dengan logat britishnya yang kental, reaksi yang berbanding dengan Jayson yang nampak sudah terbiasa. “Ren, lemme explain it to you—”

Renata terbahak sarkasme sembari melipat tangannya di depan dada, “nope, Sam, let Juan's father give a shot, let's heard what's going on with his fucking head. Gimana bisa dia kepikiran buat pisahin aku sama anaknya sendiri?!”

Tak naik pitam, Jayson menggeser kursi istrinya agar lebih mendekatinya dan mengusap kepalanya perlahan. Menenangkan kepala yang nyaris meledak itu. “Setelah Theo menghadapi kiamatnya, we have nothing to worry, Ren. Juan harus lanjutin sekolahnya di London, Ruby dan Winarta 100% prepared. You hear me? 100% prepared. Sementara itu, we have a lot of time to play hard. Just like you wanna do.”

“Tapi Juan..?”

“Ada Ruby dan Winarta, plus we can always visit them, whatever you want.”

Sulit rasanya untuk menelan salivanya sendiri ketika membayangkan hari-harinya tanpa sosok Juan. Renata memilin pelipisnya, tak kuat merasakan kehampaan yang bahkan belum terjadi pada chapter hidupnya. “Kenapa? Kenapa Juan gak ikut kita ke Seattle? I trust Ruby and Winarta tapi aku gak bisa pisah sama Juan, never.”

Sam berdeham, “he's the future CEO of Hartono Group, Ren, kalo dia ikut pura-pura meninggal, terus buat apa kita susun rencana masa depan ini, Ren?”

“He's five.” Renata menatap tajam pria yang baru resmi menjadi abangnya selama tiga jam. “At the end of the day, cuma bisnis dan bisnis yang ada di otak kalian? Warisan dan legacy, that's all bullshit, kenapa kita gak bisa hidup tenang bareng-bareng?”

“Jadi kamu ngebiarin Hartono Group runtuh? Perusahaan yang dibangun sama Opa lenyap begitu aja? Sia-sia perjuangan Opa rintis semua ini? Gitu mau kamu?” Jayson menyimpulkan, dengan gerak-gerik tenangnya—sama sekali tak ikut terpancing dalam kegelisahan yang melanda Renata. Tapi ucapannya cukup ofensif dan mencerca Renata yang terdiam merenung, cukup membuat nyali Renata yang setinggi angin menciut.

“Ya.. gak runtuh juga maksudnya,” kini intonasi Renata terdengar kembali normal, “how about Carlos? He's a Hartono, older than Juan, older enough to take a big step, kan?”

“Carlos? Really?” Sam tertawa sinis, “he's terrible at making decision, gue gak mau memperkeruh ini tapi gue ngomong sesuai fakta dan lima tahun adalah waktu yang cukup buat menyimpulkan pemikiran gue ini.”

Renata menata ruang di koridor hatinya. Sedikit demi sedikit memprioritaskan hal yang masuk nalarnya. Walau Juan sebagai CEO masa depan Hartono Group jauh diluar jangkauan imajinasinya, belum-belum pikirannya dilanda kalut. Ia menguatkan dirinya, memutuskan untuk berfikir rasional. Dan berpisah dengan darah dagingnya tak begitu buruk, apalagi ia bisa berkunjung sewaktu-waktu.

“Tapi Juan harus tahu kita gak beneran meninggal, kan?”

Sam mendesah, “dia masih lima tahun, does he really know about dying people?”

“Hey!” Renata menaikkan nada bicaranya, “he's five, not an idiot!”

“Bukan itu maksud gue,” kekeh Sam, mulai menyesuaikan dirinya dengan gaya obrolan adiknya yang agak nyeleneh. “Lo udah siapin mobil yang mau dibikin kecelakaan?

Cengiran tampil menghiasi muka Jayson. “Gampang, dah gue siapin dari lama.”

“Mantab. Jangan mau kalah sama si BMW nya Theo.”

“Kalah apa gak, ntar gue juga bakalan mati.”

Renata menatap kedua pria di meja makan dengan pandangan ngeri. Ia sedikit bersyukur melewatkan lima tahun proses pengakraban suaminya dengan abangnya, yang jelas mereka berdua cukup gila karena berani mengambil resiko sebesar itu. Bahkan mempertaruhkan hidup dan mati? For God's sake, Jayson benar-benar serius soal obrolan mereka perkara play hard, huh?

“You guys crazy,” gumam Renata, entah memuji atau mencibir.