Gaviandra Saputra
Seolah tak cukup satu kejadian malapetaka yang hadir bertubi-tubi di satu malam, Sherin kembali dihadapkan pejodohan irasional yang diatur bahkan tanpa keterlibatan izin darinya. Papanya, pemilik perusahaan broker rumah terkenal menganggap dirinya adalah properti yang dapat dialih-tangankan ke orang lain, dengan ikatan pernikahan.
Tak sampai di situ, objek perjodohan tersebut adalah ia dan teman ingusannya, Gaviandra Saputra.
Apa-apaan?
Pria itu.. Tidak, cowok itu, bisa Sherin katakan sebagai kandidat paling tak layak untuk dijadikan pasangan sehidup semati. Dimulai dari mulut kasar yang selalu ia suguhkan untuk Sherin, perlakuan-perlakuan tidak etis seolah Sherin adalah kacung yang wajib dibully serta kelakuan kekanak-kanakan cowok itu sepanjang hidupnya.
Sherin pernah bersumpah pada dirinya sendiri, jikalau ada hambatan di antara kisah kasihnya dengan Jean-Pierre Geraldine, yang menyebabkan keretakan hubungan fatal dan yang takkan pernah bisa diperbaiki lagi, Sherin terikat janji oleh dirinya sendiri akan menaikkan standar tipe pria yang bisa mengencaninya. Dan Gaviandra is totally a downgrade.
Apalagi untuk menikah dengan cowok itu, sepertinya ia harus dalam keadaan setengah sakau jika Tony memaksanya berjalan di altar dan bersanding dengan cowok itu—saling mengikat janji suci perkawinan.
“Papa said something hilarious,” Sherin menenggak coke di kalengnya sembari menatap jauh ke langit-langit malam di rooftop Eleanor. “Katanya kita berdua dijodohin.”
Dengan ekspresi kelewat tenang, Gavi yang sedang tertidur tanpa alas—membiarkan kaos abu-abunya dihinggapi debu-debu rooftop Eleanor—lalu melirik Sherin yang duduk di sebelahnya. “Bukannya gue udah pernah bilang, ya? Kalau kita dijodohin?”
Masih bisa terkekeh, walau dipaksakan, Sherin kembali berucap. “Can you imagine? Us? Married? Perasaan baru kemarin main petak umpet di Eleanor bareng Bianca.”
“Gue bisa kok jadi suami yang baik buat lo, buat calon anak-anak kita.”
“What the hell?! Stop bilang hal-hal cringe, Gav, geli gue dengernya,” kekeh Sherin lalu meninju paha cowok di sebelahnya, berusaha mencairkan suasana yang canggung setelah kejadian tidak wajar di kolam renang antara ia dan om Jean.
Gavi beranjak duduk, menenggak kaleng sama yang Sherin minum. “Do you have anybody else? Kalo lo punya, lo tinggal bilang om Tony—jadi perjodohan kita bisa batal.”
Awalnya ada, sekarang posisi itu.. kosong.
Sherin menarik oksigen, memompa rongga dadanya yang pengap. “Lo tahu, kan, gue sama om Jean—”
“Pacaran?” potong Gavi kilat, mengkaitkan beberapa hal janggal yang terjadi belakangan. “I know.“
Dalam sepersekian detik, Sherin cukup kaget dengan jawaban Gavi yang masuk di sela-sela rungunya.
Ternyata perasaan itu nyata, ia tak menyangka dirinya merasa tak nyaman ketika mengakui hubungan gelapnya dengan Jean. Sebuah ikatan yang lebih pantas dicap sebagai hubungan terlarang, dan tak seharusnya ada percikan itu diantara ia dan teman papanya.
“I don't judge you,” ucap Gavi, seolah sadar lawan bicaranya yang diam seribu bahasa. “Jatuh cinta itu nggak berbatas, Sher, tapi kepada siapa kita jatuh cinta itulah yang harus dibatasi.”
Sherin menjatuhkan pandangannya ke manik Gavi, “apa sebegitu tercelanya gue buat jatuh cinta sama om Jean?”
“Lo mau jawaban jujur, atau sebaliknya?”
Pertanyaan macam apa yang baru saja Sherin dengar? Tentu saja Sherin ingin jawaban sebaliknya, jawaban dusta yang akan menutupi kesenangan sesaatnya karena dengan lancang beradu cinta dengan seseorang yang cukup tua untuk ia sebut sebagai 'om'.
“Kalau om Jean nikahin gue—”
“Kalau nggak?” Gavi memotong kalimatnya dengan kilat, pertanyaan lain yang membuat Sherin kelimpungan. “Kalau lo cuma dijadiin pelarian dia, apa itu bisa buat lo sadar, Sher? Sadar kalau lo salah langkah dan keluar dari jalur batasan lo.”
Kerutan di kening Sherin kian tercetak dalam, matanya dipenuhi tanda tanya besar. “Maksudnya gimana? He loves me, Gav, he's gonna risk everything for me.”
“Is he?” Raut sangsi Gavi meragukannya, “apa dia yang bilang gitu? Dia bilang mau nikahin lo juga, iya? Apa dia bilang sesuatu soal tante Adel? Tentang betapa depresinya dia saat tahu tante Adel memilih buat ninggalin dia demi menikah sama model Italia?”
“Itu kan persepsi lo,” sanggah Sherin, ia jelas terganggu dengan arah pembicaraan Gavi yang sangat menyudutkannya, “bisa aja kan dia udah move on, and then there's me, dan tiba-tiba kita punya perasaan saling suka? Apa orang depresi yang ditinggal nikah sama mantannya itu nggak boleh suka lagi sama orang lain?”
“Lemme ask you a question, and I'm highly hoping an honest answer,” gumam Gavi dengan muka seriusnya yang jarang diperlihatkan pada Sherin. “Lo sama dia udah berapa lama?”
Saliva kasar tanpa izin menyusuri kerongkongan Sherin. Itu pertanyaan mudah, tapi ia bagai di bilik pengakuan dosa. Dan ekspresi tanpa senyum dari Gavi menyebabkan atmosfir di sekitar mereka seakan hampa dan kekurangan kadar oksigen. Sherin kesusahan bernapas, ternyata mengakui dosa tak semudah menjetikkan jari.
“Kita jalan udah hampir enam bulanan..,” jawab Sherin akhirnya, dengan menundukkan kepalanya—pasrah akan reaksi Gavi selanjutnya.
“Cih, typical banget. Lo nggak ngerasa janggal? Tepat setelah tante Adel nikah, dia langsung pacaran sama lo?” tanya Gavi lagi, “Sher, wake up, jangan karena dia spoiling you, that doesn't prove that he loves you.“
Dalam keadaan tertohok dengan ucapan Gavi yang masuk akal, Sherin masih mempertahankan pendiriannya. “Dia yang minta hubungan ini go public—bilang ke bokap dan semua orang, gue rasa itu bukan sifat dari orang yang gagal move on.”
Kedua alis Gavi bertaut, berirama dengan bibirnya yang menipis karena menahan sesuatu agar tak keluar begitu saja yang kemudian bisa menyakiti Sherin. Ia menghembuskan nafas kasar, lalu ekspresinya kembali tenang.
“Oke, kalau lo sebegitu yakinnya sama om Jean, ucapan gue semuanya bakalan sia-sia,” ucap Gavi menutup sanggahannya. “Unless, lo lihat Jean Geraldine yang sebenarnya. Udah cukup siap buat tahu kenyataannya?”
Kembali diam, Sherin hanya bisa menatap Gavi dengan pandangan pura-pura sedia akan tantangan kecil yang cowok itu lontarkan padanya. Kendati demikian, ia sendiri tak bisa menghentikan raungan di dadanya yang tak bisa berbohong—kalau ternyata ada perasaan meragu dalam dirinya pada sesosok Jean yang kelewat ia agung-agungkan keberadaannya.