Get You

Warning : Mature Content please be wise


Bualan Bianca sukses mengerubungi kepala Sherin dengan segala ocehan tentang komitmen, keseriusan dan masa depan. Satu nama yang ikut berjejer rapi dengan rak kosakatanya, Jean-Pierre Geraldine, seolah keeksistensiannya di sisi Sherin sebagai pendamping dari kalimat-kalimat itu.

Ia bahkan berkunjung ke sarang pria itu, apartemen bernomor 127, mengantongi percakapan empat mata yang ia siapkan sejak imajinasinya melintasi ruang waktu dan menemukan dirinya dengan Jean berdiri di mimbar pernikahan, bersiap mengutus janji suci.

Bayangan itu diperkuat dengan kepiawaiannya mengetikkan sandi apartemen, memasukkan dirinya tanpa permisi seolah memang disanalah tempatnya bernaung, seolah ruangan itu tempatnya berpulang.

“Om?”

Sherin berdeham, menyadari kekakuan dalam suaranya, seraya langkahnya menyusuri ruang tamu dengan minim pencahayaan. Ia menyunggingkan senyum simpul begitu menangkap basah Jean terlelap di atas sofa dengan kepala menengadah karena mengikuti lekukan sandaran sofa. Sudah sejauh mana pria itu tertidur hingga tak menyadari kehadiran Sherin di apartemen nya.

Menatap om-om yang usianya terpaut dengannya cukup jauh sedang tak sadarkan diri, melalang buana ke alam mimpinya, dengan bibir tak terkatup sempurna membuat Sherin gemas bukan main. Wajah polos pria itu mampu membuat Sherin berjongkok menatapnya hingga bermenit-menit, senyumnya tak berhenti merekah karena betapa langka bagi dirinya melihat Jean-Pierre, menjadi less Jean-Pierre yang biasanya orang lain lihat.

Sherin bangga pada dirinya, cuma dirinya yang bisa melihat sisi Jean yang ini. Jean tanpa dinding pembatas, Jean yang.. menjadi dirinya sendiri.

“Om ganteng banget, ya?” Bibir tak terkatup itu bergeser, bergerak diiringi suara seraknya dan menjadi satu-satunya suara yang mengisi rungu Sherin. Kelopaknya perlahan membuka, mengerjap beberapa kali kemudian menatap Sherin lekat-lekat. “Sampai kamu diem anteng begitu?”

Tawa Sherin meledak, “emangnya gue nggak pernah diem anteng begini, apa?”

“Nggak, pasti ada aja yang kamu omongin,” ujarnya dengan seringaian kecil, “sini, Sher, ngapain kamu disitu terus?”

Melihat lengan Jean terulur agar dirinya mendekat, Sherin beranjak dari tempatnya dan mengambil duduk di sebelah pria itu. Sejenak nafasnya tertahan di kerongkongan, mendapati dirinya terkagum-kagum dengan muka khas bangun tidur Jean yang kelewat sempurna. Seolah terlalu fiktif bagi seorang manusia fana untuk menjadi setampan itu. Mustahil banget ini orang.. bangun tidur langsung cakep begini..

“Kayaknya pas bikin om Jean, mood Tuhan lagi baik banget deh,” celetuk Sherin tanpa basa-basi, “kok bisa sih, ada orang seganteng ini?”

Jean terkekeh, memunculkan dua lesung di kedua sisi wajahnya yang cukup dalam. Ia menutupi perasaan salah tingkahnya dengan pergerseran tubuhnya yang menjauh dari tempat Sherin duduk. “Sher, om ini udah milik kamu, nggak perlu digombalin terus.”

Astaga gemes banget, batin Sherin menjerit, melihat wajah Jean yang tersipu malu karena terang-terangan dipuji olehnya. Ia pun ikut menggeser dirinya kembali mendekati pria itu, kemudian setengah memeluk tubuhnya yang terbungkus kaus broken white tipis. “Serius? Gue punya hak kepemilikan atas om Jean yang gantengnya nggak masuk akal ini?”

“Sher.”

Alunan suara Jean terdengar berat di telinga Sherin, diiringi perubahan air muka Jean yang serius dan tangannya yang perlahan menyingkirkan pelukan Sherin. “Kalau kamu kayak gini terus, saya nggak jamin bisa kontrol apa yang bakalan kejadian selanjutnya.”

Bohong jika Sherin tak merasakan adanya pertambahan ritme dalam jantungnya ketika mendengar Jean mengatakan itu. Apa-apaan? Sherin menyatukan dua alisnya, merasakan adanya kembali jarak yang membentengi antara dirinya dengan pria itu. Seolah tiga setengah bulan jalinan kisah mereka yang dilakoni secara diam-diam itu tak berlalu sia-sia.

Tapi hari itu Sherin memberanikan diri untuk menjadi pihak yang mengambil langkah. Ia bukan lagi bocah tujuh tahun manja yang merengek ketika tak lagi mendapat belaian dari sang ibunda. Usianya 25 tahun depan, usia yang cukup dewasa baginya untuk memberi tatapan sensual pada pria di sebelahnya yang baru saja menolaknya mentah-mentah.

Then don't.” Sherin berkata lugas, tidak pernah ia bicara seserius itu pada pria di hadapannya yang terpaut 15 tahun darinya. “Kalau emang om nggak bisa kontrol, ya jangan dikontrol.”

Lekukan di satu alis Jean yang terangkat tanpa sadar mengakui betapa terkejutnya ia dengan jawaban berani gadis belia di sebelahnya. Gadis belia sialan itu, yang berhasil mengacak-acak hidupnya belakangan ini baru saja menantangnya untuk melepaskan kontrol yang semata-mata ia lakukan demi menjaga martabatnya sebagai pria terhormat. How dare you, Sherin Agatha..

Bahu Sherin menegang, ia yakin suatu kesalahan besar memancing amarah monster di dasar gairah Jean yang terpendam secara misterius dibalik mata teduhnya. Kini sepasang netra kelam itu menatapnya tanpa ekspresi, seolah melepas jeruji besi tahanan satu per satu karena ucapannya mengizinkan sosok itu bebas. Ia menenggak salivanya sendiri, terkesan berat dan getir, mendadak menyesali umpan yang ia katakan tanpa pemikiran panjang.

Ketegangan keduanya berakhir saat Jean dengan tidak senonohnya mengangkat pinggang ringkih Sherin ke atas pangkuannya sendiri. Masih sama, sorot tajamnya membuat Sherin bergidik karena ketakutan setengah mati.

“Om—”

Ibu jari Jean menyapu lembut bibir Sherin yang kemerahan, seakan-akan menyalurkan gairah dari ujung jemarinya ke benda kenyal itu. “Rule number one, Sher, the louder you scream, the harder you get, understood?”

Belum sempat Sherin menganggukkan kepala, bibirnya disambar oleh pria sama yang telah acap kali melabuhkan paduannya di sana. Jean meraih tengkuk Sherin dengan telapak tangan lebarnya, memimpin percumbuan tanpa memberikan sedikit ruang jeda bagi Sherin barang untuk meraup helaan nafas. Karena sekali monster itu dilepaskan, tak ada jalan putar balik bagi pemancingnya.

Merasa tak cukup dengan pergulatan bibir mereka, jemari Jean mengedarkan penjajahannya akan permukaan punggung Sherin dibalik crewneck polos berwarna peach pudar. Menjelajahi tiap jengkal kulit sehalus sutra itu dengan sentuhannya, sementara tangan yang lain dengan gesitnya menyikap skirt tartan dan membuka aksesnya pada pusat gairah gadis itu.

Tak begitu sulit bagi Jean menemukan titik terlemah setiap wanita dibalik celana dalam mereka. Ia menarik diri dari pergumulan bibir mereka, semata-mata untuk mengamati perubahan ekspresi Sherin. Bisa Jean lihat kegelisahan melanda di raut wajah gadisnya, diiringi percepatan nafas Sherin, reaksi yang amat wajar ketika jemari Jean dengan kurang ajarnya bermain di pangkal pahanya.

Who took your virginity, Sher?” tanyanya parau, menyadari dengan mudahnya satu jemari menyusup masuk ke lubang kewanitaannya. Ia berbisik menuntut di lekung leher Sherin, “siapa, hmm?”

Bukannya menjawab, Sherin malah mendongakkan kepalanya ke langit-langit apartemen dan mendesah kencang tatkala mengalami pelepasannya hingga kedua kakinya bergetar hebat. Satu-satunya yang menjadi tumpuannya hanya dua tangannya di bahu Jean, meremas ujung kausnya kuat-kuat—tanda pelepasan itu berhasil hanya dengan gerakan ahli jemari Jean.

Jean menikmati pemandangan tubuh Sherin yang meliuk-liuk diatasnya. Tapi tunggu sebentar, permainannya belum selesai hanya karena Sherin telah mencapai orgasme dan membasahi celana jeans Jean dengan cairan pelepasannya.

Tangannya menarik leher Sherin mendekat, sengaja membenturkan keningnya dengan kening gadis yang lemas di pangkuannya. “Saya tanya siapa yang ambil keperawanan kamu, Sherin?” tanyanya disela-sela ciumannya pada ranum Sherin yang candu.

Does it matter, Om?

Call me by my name,” interuksi Jean tegas, seiring tak tanggalnya tangannya dari leher Sherin, menggelitik dasar perut Sherin yang dipenuhi kupu-kupu.

“Jean.”

Goodgirl.

Sherin tersenyum kecil, menyugar anak rambut Jean yang jatuh mengenai kening berkerutnya, “does it matter, Jean?” ulangnya sama sekali tak terganggu dengan lehernya yang dikungkung oleh tangan Jean. “He didn't make me cum the way you just did,” tambahnya mengakhiri kalimatnya dengan senyuman euphoria bekas orgasmenya yang terasa begitu luar biasa.

If you like it that much, you're gonna love the second one,” bisik Jean di ceruk leher Sherin, menggigit kulitnya dan meninggalkan tanda disana. “You ready?

Who wouldn't?


Bagi Sherin Agatha, rollercoaster adalah sarana pemompa jantung terdahsyat yang pernah dialaminya. Sensasi tubuhnya dinaik-turunkan di udara, hanya bergantung pada sabuk pengaman ringkih dan besi-besi berkarat yang berdecit. Ia akui, walau jantungnya serasa lenyap dari tempatnya, ia menyukai adrenalinnya.

Tidak sampai hari ini, di kediaman sang JPG, sosok itu menggantikan posisi rollercoaster di hidupnya. Ya, pria yang sedang ditungganginya saat ini.

Kewarasan sepenuhnya tanggal dari ruang pikiran keduanya yang terisi penuh akan gairah. Ketika dua orang dengan ketertarikan biologis dipertemukan dengan percikan sensual yang sama-sama kuat, pergumulan seks adalah hal yang lazim terjadi. Apalagi dengan keadaan sehelai kainpun yang sama sekali tak membungkus permukaan kulit mereka.

Sherin bukanlah gadis lugu yang tak pernah disentuh pria, tapi perlakuan Jean padanya jelas tak ditunjukkan pria manapun yang pernah menjamahnya. Dan Jean, keahliannya yang begitu lihai tentu saja membuat cap eligible bachelor begitu khas untuknya. Siapapun wanita yang pernai bersanding dengannya di ranjang akan menganggukkan kepala mereka tanda setuju.

Lihatlah Sherin sekarang. Ia bahkan rela melucuti pakaiannya sendiri, memposisikan dirinya di pangkuan Jean tanpa paksaan, bahkan mengendalikan ritme penyatuan mereka dengan gerakan naik turunnya. Suatu kehormatan bagi Sherin tatkala Jean membiarkannya memimpin kegiatan panas mereka.

“Jean..,” gumamnya mengabur dengan sensasi hangat sapuan bibir Jean di puncak payudaranya, ia kewalahan dengan aktivitas yang menggetarkan pangkal pahanya sementara lidah tak bertulang Jean meraup habis gundukannya. “I think I'm gonna cum.

Jean terkekeh sarkasme di depan benjolan lembut dada Sherin, “no, not yet,” desisnya mengomando, mencengkeram dua sisi pinggang Sherin, mengisyaratkan agar pergerakannya diperlambat.

Cecapnya meninggalkan gelenyar aneh di dada Sherin, hangatnya tak lagi menyelimuti kedua gundukan itu mengingat Jean menarik wajahnya dari sana hanya untuk menunjukkan seringaiannya. Kembali ke wajah gadis itu, Jean tak membiarkan bibir itu menganggur di hadapannya. Ciumannya kembali berlabuh, bergairah dan menuntut.

“Sherin-ku,” gumamnya di sela-sela ciumannya, “kamu punyaku, Sher.”

“HUh?” tanya Sherin, entah mengeluh karena area kewanitaannya yang mulai berkedut keenakan, atau mencoba menanggapi kalimat posesif Jean. “I'm yours, Jean.

Itu seks terbaik di hidup Sherin, no doubt. Pria itu—Jean-Pierre—membuatnya bergumul dengan dirinya di posisi atas. Ya, dia, mengangkangi pria lebih tua itu dengan sukarela, secara adil tanpa paksaan.

Saking hebatnya, Sherin serasa hanyut dalam aliran air tenang ciptaan Jean. Pria itu sekilas terlihat seperti genangan danau yang dangkal, takkan ada yang bisa tenggelam disana. Bahkan niat awalnya hanya akan membasahi ujung kakinya, tapi di detik berikutnya tanpa sadar ia mendapati seonggok dirinya yang menggenang di dasarnya, terperangkap dalam pusaran permainan pria itu.

Karena kini ia telah terjerembab cukup jauh di dasar diri Jean, saatnya bagi Sherin menyesuaikan diri di sana. Atau, ia bisa memilih berenang ke permukaan dan kembali bermain-main dengan percikannya.

“Sherin Agatha, who could've thought I'd get you?