#interface

Renata dan Winarta keluar dari ruangan dokter kandungan, bukan sebagai pasangan yang kontrol kehamilan, melainkan sebagai teman kecil yang saling menjaga bahkan ketika kereta mereka berada di jalur yang berbeda.

Awalnya ia berpikir, anak dalam kandungannya akan menjadi pelengkap yang sempurna di keluarga kecilnya. Lenyap begitu saja ketika ia sadar anaknya akan bernama belakang Hartono, tumbuh bergelimang harta namun berada di tengah-tengah keluarga yang haus akan kekuasaan. Ia bimbang, padahal menikah dengan Jay tidak pernah menjadi bahan keraguannya.

“Kayaknya percuma ya gue lari, Win,” ujar Renata menyandarkan kepalanya ke bahu lebar Winarta sembari menunggu di ruang tunggu rumah sakit, “sejauh gue pergi, lo selalu jadi tempat gue pulang. Even for now, gue udah nikah pun, lo orang pertama yang gue hubungi pas emergency kayak gini.”

Winarta menghela nafas, melirik kecil manusia kecil di sebelahnya yang menggenggam ujung kemejanya gemetaran. “Ren, I love you as a big brother, I care about you, a lot. Gue tahu lo dari kita pertama kali sarapan di panti, main kelereng bareng, rebutan sepatu karena selera kita sama. Lo ngomong gini karena lo lagi kalut, you didnt mean it. Sejauh apapun lo pergi jauh dari gue, gue anggep lo pergi bersama rumah ternyaman lo—Jay.”

Renata memejamkan kelopak matanya, genangan airmata akhirnya tercipta di sana. “Jay selingkuh, Win.”

“You sure?” tanya Winarta tidak kaget, “yakin bukan kelakuan Hartono—lagi?”

Kalau boleh jujur Renata sendiri tak yakin. “Ya gue tahu, mereka semua bikin rencana besar biar gue sama Jay pisah. Dan kayaknya mereka berhasil, they win.”

“Lo gak berfikir ninggalin Jay di keluarga yang begitu kan? Apa jadinya Jay tanpa lo, Ren, he's gonna screw up knowing you left him like this.”

Renata bangkit dari duduknya yang menyandar, “gue capek, Win, living in the middle of chaos like this.”

“Ibu Renata.”

Panggilan dari staff rumah sakit membuat Winarta bangkit dari duduk dan meninggalkan Renata di ruang tunggu. Tak lama kemudian ia kembali bersama dengan map putih besar berlogo rumah sakit dan membantu Renata untuk jalan keluar gedung karena prosedur kunjungan pertama ke dokter kandungannya telah usai.

Sepanjang perjalanan balik apartemen, keduanya diam di dalam taksi online. Renata dengan sekelumit pikirannya yang akan gila memikirkan keluarga barunya, sementara Winarta tidak tega meninggalkan adik kecilnya untuk melanjutkan studi ke London. Hubungan mereka kini jauh dari sebuah mantan kekasih, bahkan lebih mirip kakak-adik.

“Gue flight malem ini balik ke London,” kata Winarta ketika sudah sampai di gedung apartemen tempat Renata tinggal dan mereka keluar dari taksi, “pikirin baik-baik apa yang gue bilang ke lo, kalo ada apa-apa, lo selalu bisa hubungin gue.”

“Ok, Win, sorry gue kayaknya gabisa anter ke airport,” kata Renata lalu memeluk haru sahabat baiknya—melebihi Ruby, “gue janji gue bakalan samperin lo ke London kalo gue jauh dari kata chaos kayak gini.”

“Take your time,” kata Winarta mengusap punggung Renata lalu masuk ke taksi, “gue kabarin kalo gue dah sampe London.”

That's it, that's how Renata lost one of her souls—again. Melihat kepergian alat transportasi yang diisi Winarta, nyawa Renata seolah melayang terbang dibawahya. Oh, tidak secepat itu. Ia kehilangan dua nyawa begitu melihat Jay di lobby, berdiri di depan lift dan juga melihat ke arahnya. Pasti pria itu melihat ia dan Winarta berpelukan mengucapkan selamat tinggal.


Baru saja Jay memarkirkan mobilnya di basement ketika ia melihat istrinya di depan lobby, tersenyum manis pada satu pria yang kemarin membuat skandal di keluarga cukup fenomenal. Lift terlanjur terbuka untuk ia masuki, tapi ia memilih berbalik arah ketika Renata menyadari tatapan tidak sukanya.

“Don't make a scene, let's talk upside,” ujar Renata tenang, langkahnya memasuki lift, masih dengan map putih besar di tangan.

Jay mengekorinya, “kamu darimana?”

Renata diam dalam kebisuan lift. Tatapan Renata lurus ke arah pintu lift yang tertutup, samar-sama melihat pantulan buram postur suaminya dari sana. Masih jas yang sama, penampilan yang sama seperti kemarin. Teringat foto yang dikirimkan Jovanka pagi tadi membuatnya ingin menjejalkan flatshoesnya ke wajah gusar Jay. Marah tapi disisi lain, ia harus tetap tenang demi bayinya.

Sampai di apartemen mereka di lantai sepuluh—atau bisa dibilang penthouse, Jay duduk di meja makan, menenggak segelas air mineral. Satu gelas penuh, frustasi setengah mati.

“Son of a bitch!” teriaknya membanting gelas kaca yang baru saja ia gunakan untuk minum. “What the fuck is wrong with that guy, huh?”

Here we come, Mad Jay, batin Renata tidak begitu heran dengan bantingan gelas itu. Ia mengambil duduk di sofa, menjauhkan janinnya yang masih terlalu dini untuk berada di tengah-tengah permasalahan ayahnya. “Who? Winarta? Kalo kamu marah aku pergi ke obgyn bareng Winarta, you deserve it, soalnya kamu sendiri malah tidur di pavilium KITA sama wanita lain!”

Alih-alih mengeluarkan argumen seperti perdebatan-perdebatan sebelumnya, Jay terkekeh sarkastik. Cukup membuat Renata menatapnya bingung dan menganggapnya gila. “Jay, are you okay?”

“Apa aku kelihatan baik-baik aja?”

No, you scared me, batin hati kecil Renata, semakin yakin dengan keputusannya meninggalkan jejak Hartono di masa depan anaknya kelak.