Jean-Pierre Geraldine

Warning : kiss Mild NSFW, please be wise


Kejadian langka bagi Sherin Agatha ketika ia merasa tidak aman berada di Eleanor, rumah keresidenan bergaya abad ke-18, yang menjadi kediaman keluarga duta besar Amerika Serikat, Joan Geraldine—ayahanda temannya. Bukan perkara rumah layaknya kastil tua itu yang mengintimidasinya, tapi sebab lain yang membuat Sherin akhirnya mempersingkat kunjungannya kali ini.

“Kalo ini soal uncle Jean..,” gumam Bianca yang rebahan diatas ranjangnya, mengoceh layaknya menembus pikiran Sherin yang kebetulan memikirkan nama itu, “..gue minta maaf, Sher. Percaya deh, dia juga pasti ngira ini semua cuma jokes doang.”

Sherin tergelak, menutupi ribuan syaraf bergidik yang menjalari sepanjang bulu kuduknya begitu nama itu terucap di bibir Bianca. Gelagatnya terlihat tak acuh, tapi otaknya menyuarakan nama sialan itu berkali-kali. Seolah memberi label tiap ingatan samarnya akan kiriman airdrop pria itu, dengan tulisan warna merah darah unclenya Bianca, Jean.

Ya, he's a fucking uncle, which is 20 years something older than her. Or in this case, 15 years, because she and Bianca turn 24 this year.

Ia memasukkan semua kepunyaannya ke dalam ransel, lalu memesan ojek lewat aplikasi di telepon genggamnya. “Ini bukan soal itu kok, Bi, tapi gue beneran harus balik.”

Liar Diri Sherin yang lain duduk di sudut benaknya, melipat dua tangan di depan dada dan menatapnya nyalang. You fucking liar, ujarnya lagi, mencerca Sherin karena bibir dan isi kepalanya mengaungkan dua pendapat yang berbeda.

“Okay, deh, see you lagi besok!”

Sherin melambai, tak benar-benar mendengarkan kalimat terakhir Bianca. Skripsi? Apa itu skripsi? Ia kehilangan separuh draft skripsi yang telah ada di angan-angannya karena ingin segera enyah dari kediaman Geraldine, sebelum wajahnya berpas-pasan dengan uncle Jeannya Bianca.

Bicara tentang JPG; Jean-Pierre Geraldine—Sherin menarik ujung bibirnya karena yakin dirinya telah berbohong hebat dengan mengatakan ketidaktertarikannya pada pria itu. Terlihat dari bagaimana caranya begitu pengecut—lari dari pertanyaan-pertanyaan Bianca, atau ketika saat ini ia tengah kabur sebelum akhirnya bertemu pria itu di depan pagar utama Eleanor.

Putar balik putar balik putar balik

“Sherin!”

Fuck!

Entah doa Bianca yang begitu gencar pada Tuhan, atau memang Tuhan sendirilah yang memilih hari itu sebagai pertemuannya kembali dengan si JPG, pria yang pantas ia sebut om, tapi anehnya tak terlihat telah memiliki keponakan usia 24 tahun. Oh, Jean.. Gimana rasanya jadi God's favorite? Pasti capek ya jadi ganteng terus.

“Halo, om,” sapanya kikuk, mencoba nyengir bersikap natural dan berharap pria itu lupa dengan percakapan di iMessage yang membuatnya nampak seperti stalker kacangan dengan tindakan mengintipnya yang dinilai kurang terpuji.

Pria itu menyunggingkan senyum berkekuatan sepuluh juta volt, membius siapapun yang ada di sekitarnya termasuk Sherin yang kini membeku di tempatnya. Jean berjalan mendekatinya, dengan seputung rokok di jemari yang hampir terbakar habis dan tangan lain yang tiba-tiba mendarat di puncak kepala Sherin.

“Sudah besar kamu, ya? Sudah berani naksir om.”

What the hell in the sky and the ocean is he talking about? Anjing, yakali gue—tapi ya siapa sih yang kagak naksir elu, om?

Cengiran Sherin kian melebar seiring pengakuannya yang membenarkan kalimat pria itu. Ia bahkan mengarang cerita perihal ciuman pertamanya yang ia klaim telah diambil oleh Jean kala usianya menginjak tujuh tahun. Padahal Jean adalah pria gentle, paling sopan yang pernah Sherin temui. Mana mungkin pria itu lancang mengambil ciuman pertamanya.

Jean menyesap putung rokoknya dalam-dalam lalu membuang sisa bakarannya ke batu taman. “Dimana om cium kamu? Di sini?” Lalu mendaratkan kecupan kecil di puncak kepala Sherin yang mematung, “sudah om balikin ciuman pertamanya, impas ya?”

Hampir saja jantung Sherin lepas dari sekatnya begitu pria itu tersenyum dan berjalan melaluinya begitu saja setelah mengecup keningnya. “Om,” panggilnya kilat, sebelum pria itu melangkah lebih masuk ke dalam Eleanor.

“Ya, Sher?”

“Bukan di situ,” ujar Sherin lalu menelan salivanya kuat-kuat, ia mengarahkan telunjuk ke bibirnya, “tapi di sini, om.”

Wah, nyali lo.. gede juga ya, Sher?

Kekehan ringan tercipta dari bibir yang sama yang mendaratkan ciuman kilas di kening Sherin, lalu satu alisnya terangkat naik. “Kamu yakin?”

Sherin ikut tertawa, mencoba peruntungannya untuk dicium oleh Jean-Pierre fucking Geraldine. “I'm pretty sure.”

Masih dengan kekehan ringannya, Jean kembali menyuarakan keraguannya. “Kamu yakin? Karena kalau saya udah cium kamu, I don't think I could ever stop.

Ritme kerja jantungnya kian membuncah, Sherin mendengar peringatan itu sebagai sebuah tantangan. Tantangan yang entah kenapa harus ia lalui setidaknya sekali dalam seumur hidup. Well, kapan lagi akan datang kesempatan seperti ini di hidupnya?

Well, nevermind,” Sherin terkekeh, bayangan kegelian muncul ketika membayangkan Jean betulan memberinya ciuman, “lupain apa yang gue omongin, om Jean.”

Senyuman lenyap dari wajah ramah Jean-Pierre, menyisakan tampang tanpa ekspresi beserta tatapan tajam yang membelah bolamata Sherin dalam kilatan sekali tatap. Perlahan langkahnya memotong jarak diantara dirinya dan Sherin, satu telapak tangannya lari ke sisi wajah gadis seusia keponakannya lalu iris legamnya menyusup ke netra kecokelatan Sherin, seolah menimbang-nimbang sesuatu.

“Sejak kapan Sherin polos yang om kenal berubah nakal begini, hmm?”

Suara Sherin tertahan di tenggorokannya, tatkala Jean membawa tampang rupawannya memangkas ruang kosong diantara mereka dan sengaja memberi jarak seminim mungkin, hingga aroma mint memenuhi indra penciuman Sherin. Tercium bau asap rokok Malboro dari rongga cecap Jean ketika pria itu terkekeh kecil di depan wajah Sherin, maju sesenti lagi, bibir itu akan bertemu ranumnya Sherin.

Sherin berdiri kaku di sana, kentara sekali wajahnya yang terkejut dikarenakan betapa jelasnya wajah Jean di depannya. Mereka bahkan berbagi udara, bersahut-sahutan menghirup pasokan oksigen yang menipis karena sempitnya jarak diantara mereka.

Ia mengaku kesulitan bernafas leluasa, dengan ujung hidungnya yang bertemu dengan hidung Jean. Sherin tak menghindar, ia hanya berpijak di tempatnya, mematung dan menunggu aksi Jean berikutnya. Dalam posisinya saat ini, Sherin menggila dalam kebisuannya.

“Kenapa?” Suara serak Jean menginterupsi keheningan diantara mereka, “nunggu dicium, ya?”

Iya, jawab Sherin dalam bentuk teriakan di kepalanya. Ia mengunci pandangannya pada satu wajah—wajah Jean—menangkap seringaian tipis yang pria itu ukir dalam senyuman miringnya.

Debaran di rongga dada Sherin membuncah, merasakan puing-puing adrenalin akibat tampang Jean yang tampannya diluar nalar, menyentuhkan keningnya ke kening Sherin. Kapan lagi kesempatan seperti ini datang lagi di hidupnya? batinnya beberapa menit lalu, namun sekarang ia tak begitu yakin dengan dirinya sendiri. Ciuman belum dilayangkan, tapi jantungnya telah meledak-ledak. Perasaan yang ia sendiri tak tahu akan tercipta barang hanya bertatapan dengan pemilik netra sekelam langit malam tanpa sinar rembulan itu, membahayakan segala hormon di tubuhnya.

Jean menarik dirinya, memberi ruang dengan bibir ranum merah muda milik Sherin yang bisa membuatnya kalap. Ia berhasil mengontrol dirinya untuk tidak melewati batasnya siang itu, hingga dehamannya terasa begitu kaku membasahi betapa kering kerongkongannya. Ya, dirinya, Jean Geraldine, sejenak merasakan canggung bersama dengan gadis belia yang sedari kecil ia jaga keberadaannya.

“Om antar pulang,” gumamnya membalikkan badan, tak mampu menatap sosok Sherin lebih lama lagi.

Sebuah garis merah terbentang membelah antara dirinya dengan gadis itu. Jean—sebagai sosok yang lebih dewasa, tak selayaknya berpura-pura buta dengan jauhnya perbedaan usia mereka, lengkap dengan memori masa kecil Sherin yang sudah ia anggap sebagai keponakannya sendiri.

Sherin emosi bukan kepalang, merasa dipermainkan oleh pria 39 tahun yang terang-terangan menarik ulur perasaannya. Awalnya om-om itu menggodanya, lalu ia terpancing, nyaris berciuman, tapi ternyata gagal berciuman. What do you want exactly sih, om Jean?

“Gue udah pesen ojol,” ketusnya berjalan bersebrangan dengan arah langkah Jean. Pijakan kakinya di batu kali yang menghiasi pekarangan Eleanor menjelaskan dengan detil betapa kesalnya Sherin siang itu.

“Tadi sudah saya bayar orangnya, saya suruh pulang,” jawab Jean dengan helaan nafas panjng, “ayo, Sherin.”

Sherin berbalik, bukan untuk mengalah dan menuruti perkataan Jean, tapi untuk melangkahkan kaki lebar-lebar dan melakukan apa yang harusnya mereka lakukan daritadi. Berciuman.

Ciuman sekilas itu manis, aroma jus strawberry yang tertinggal di ujung bibir Sherin menguar menjadi satu dengan Malboro Jean. Strawberry dan rokok, sejak kapan dua kombinasi itu berubah menjadi perpaduan yang sempurna?

Kini giliran Jean yang terkejut. Gadis di depannya begitu frontal, menutupi raut kemerahan di garis frecklesnya dengan wajahnya yang ingin mengajak perang. Persetan perbedaan usia, she wants it, I want it.

Begitu Jean merengkuh tengkuk Sherin agar kembali menyatu dengan bibirnya dalam pergulatan ciuman, ia melakukan persis dengan yang ia katakan. Karena kalau saya udah cium kamu, I don't think I could ever stop. Kedua tulang lunak terbuka, berbagi saliva dan mengabaikan fakta bahwa mereka tak sedang berada di ruangan tertutup yang aman digunakan sebagai tempat berciuman.

Sherin menarik diri ketika dadanya kekurangan pasokan oksigen, menikmati helaan nafas hangat Jean yang menyapu permukaan wajahnya. Sherin tersenyum simpul, tanpa ia sadari, efek ciuman dengan crush lamanya bisa jadi euphoria yang ia sendiri tak tahu akan tercipta dalam dirinya.

Kelopak netra Jean terpejam, berbanding terbalik dengan bibirnya yang menganga kecil—memburu udara segar. Tak bisa dipungkiri, ciuman itu mempengaruhinya sebegitu dahsyatnya. Seolah ada yang memberi nyala api dalam titik bekunya, seolah bibir itulah tempatnya berlabuh, dan seolah kalau bukan dengan bibir itu, Jean takkan dapat percikan magisnya.

“Wow,” gumam Sherin secara tak langsung memuji sosok di depannya, “pantes aja disebut The Most Eligible Bachelor.”

Wajah Jean meledak dalam tawa, “come on, i'll let you drive,” ujarnya merogok sakunya dan melemparkan kunci ke arah Sherin.

Sherin mendelik, hampir saja membuat bolamatanya tercongkel keluar. “Eh, serius?! Gue boleh nyetir Audi lo, om?”

“Udah ada SIM A, kan?”

“Belum sih.”

“Yasudah, om saja yang nyetir.”

“YAAAHHH, kok gitu sih..”