kryptonite

Warning the 🔞


Renata berkutat dengan fish and chip kiriman Ruby—yang terlihat seperti sogokan minta maaf, dan memasukkannya beberapa ke microwave untuk dipanaskan. Ia nyengir kecil menatap layar ponselnya, percakapannya dengan Ruby tak pernah gagal membuatnya memaafkan temannya itu.

Cengirannya luntur begitu melihat sosok Jayson keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan celana santai selutut dan tangannya menggosok-gosok handuk kecil ke rambutnya yang basah. Renata mengalihkan pandang, bagaimana bisa pipinya memanas hanya karena melihat Jayson bertelanjang dada? Maksudnya, bukankah ia juga pernah melihatnya, bahkan lebih dari bertelanjang dada?

Oh my God, Renata, you need to stop, kalo lo kejauhan mikirnya mungkin lo..

“What's wrong?” suara bariton Jayson memotong batin Renata yang meneriakkan sisi liarnya.

Even his voice is so sexy! Damn it! Get yourself together, Renata! Lo harus lawan—apapun itu namanya—lo bukan teenager lagi yang emosinya membuncah dan penasaran sama hal-hal erotis kayak gini, you've been through this, you can do this, Renata, you can..

“You good?”

Not at all. “Why wouldn't I? Mau fish and chips? Tadi Ruby beli banyak stock buat Juan karena Juan suka banget fish and chips. Lagian kalo cari makan diluar jam segini udah pada tutup, sih.”

Jayson terkekeh, mengambil duduk di kursi tinggi mini bar yang berhadapan dengan posisi Renata di sisi lain meja bar. “Ya, kita tadi ketiduran lama banget.”

Renata ikut terkekeh, “iya.. gue udah lupa rasanya tidur siang senyenyak itu.”

“Me either, I guess I'm missing you too much, Ren,” ujar Jayson dengan jemari menggenggam tangan Renata di atas meja, “lo tahu kan, I would do anything buat lo, buat Juan, buat kita. I still love you. I always will, I always do.”

Here we go physical touch, call 911, panggil pemadam kebakaran, atau apapun, Ren, hurry up! You need help, seriously! Karena pria di depan lo ini kryptonite lo. Remain yourself, kryptonite means something or someone who makes you weak. Just please, don't fall..

“I love you too,” ujar sisi lain Renata, mengalahkan sisi kewarasannya telak. You bitch! Can't help the feeling bentar aja apa? Gengsi dikit kek “You need to eat, lo pasti laper, kan?”

Jayson menurunkan handuk dari kepalanya dan usapan di tangannya di Renata berubah intens. “Gue laper, but not with the food.”

Percuma saja dua batinnya yang bersebrangan berdebat, kalau Renata dengan mudahnya bertekuk lutut begitu Jayson menggeser piring fish and chipsnya ke ruang kosong bagian lain meja dan menarik Renata mendekatinya. Tanpa persetujuan Renata, ia mengangkat tubuh Renata ke meja bar, meletakkan dua lengannya ke sisi kanan dan kiri tubuh Renata, memenjaranya.

Seolah terbius dengan tatapan Jayson yang berjarak beberapa inchi dari wajahnya, Renata terkekeh kaku menutupi kegugupannya yang tak wajar. “Yakin gamau makan fish and chip nya? Enak loh,” ujarnya terdengar konyol karena nada bicaranya yang gemetaran.

Apa-apaan, Ren? Lo kek baru pertama kali aja sama Jayson.

Ya kan it was five years ago, maklumi lah kalo gue ngerasa awkward deket sama dia.

Yaelah sok suci, gausah pasang tampang perawan, anak lo tuh dah satu, let's see kemajuan lo di dunia perselangkangan.

Renata menyudahi batinnya yang masih adu mulut dengan berdeham kecil, “cuma mau ngingetin, ada Juan di kamar sebelah,” ujarnya memundurkan kepalanya ketika Jayson hendak melayangkan ciuman.

“Kamar Juan udah dikunci,” Jayson tersenyum miring, satu tangannya naik ke leher belakang Renata dan membuat gadis di depannya tak bisa menghindarinya. “That's why we gotta keep it quite, biar Juan gak denger,” bisik Jay sebelum menghujani kecupan panas di bibir Renata. Cukup panas hingga membuat Renata tak punya alasan lagi untuk mengelak, karena secara alami tubuhnya pun bereaksi.

Renata menatapnya, mengusap rambut Jayson yang sengaja dipanjangkan, lalu bibirnya sedikit terbuka untuk menyambut ciuman Jayson. Untuk beberapa detik, ciumannya terasa lembut, penuh cinta dan cukup bisa Renata balas. Tapi kemudian ritme ciuman Jayson berubah cepat, mengulum, menghisap bibir Renata bergantian bibir atas dan bawahnya, bahkan melibatkan pergulatan lidah. Entah Renata cukup mampu mengimbanginya atau tidak, yang jelas keduanya sudah sama-sama turn on.

Disela-sela persilatan lidahnya, Jayson menarik dua kaki Renata mendekat, membuatnya kian mendekat ke tubuh Jayson yang berdiri diantara dua kakinya. Lenguhan muncul begitu saja dari bibir Renata ketika merasakan betapa kerasnya milik lawan mainnya dibalik celana santainya, menggesek sensual milik Renata di bawah sana.

Tangan agresif Jayson melucuti daster rumahan Renata, menyisakan gadisnya dengan sepasang pakaian dalam sederhana Renata yang entah kenapa begitu seksi di matanya. Satu alisnya terangkat naik, pandangannya memperhatikan Renata dari atas hingga bawah, seolah menilai pemandangan indah di depannya.

“Shit,” gumam pria itu serak, kentara sekali sudah diujung nafsunya yang membara, “I'm gonna fuck you. Hard.”

“Let me help you,” ujar Renata dengan dua tangan di belakang punggungnya dan melepaskan kaitan branya sendiri, membebaskan dua buah dadanya yang mengeras—memohon untuk dipuaskan. Tangannya menarik telapak Jayson di pahanya, membawanya agar menelangkupkan ke satu payudaranya.

Jayson meremasnya perlahan, bersamaan dengan ciumannya di leher Renata. “Naughty,” komentarnya mendengar desahan demi desahan akibat aksinya di dada Renata.

Bibirnya turun dari leher ke dada, menggantikan tugas jemarinya yang menghangatkan puting Renata. Tak cukup puas, Jayson melepaskan satu-satunya yang tersisa dari tubuh Renata—celana dalamnya—lalu menempatkan wajahnya diantara pangkal paha Renata yang setengah berbaring diatas meja pantry.

“Jangan disitu,” ucap Renata disela-sela nafasnya yang memburu dan menarik dua pahanya dari bahu Jayson.

“What did you say?” Jayson kembali menarik dua kaki Renata ke pundaknya, memposisikan dirinya menghadap ke pusat intimnya. “Yum,” celotehnya sebelum mendengar Renata menjerit karena lidah pria itu menyapu klitorisnya ganas. Hangat basah lidahnya menyentuh titik paling intim di tubuhnya, berhasil membuat pemilik tubuh polos itu kehilangan akal sehatnya.

“Jangan disini maksudnya?”

“Oh my—AH!”

“You like it, huh?”

Sebuah bisikan terdengar sensual, diiringi dengan kehangatan telapak tangan Jayson di pahanya. Lalu bibirnya kembali mencecap putingnya, membuat Renata tak melakukan apapun selain mendesah dan menggeliat karena nikmat. Ketika lidahnya bermain, telapak tangannya menyusuri pangkal paha Renata lagi, seolah tak ingin salah satu titik sensitivitas Renata menganggur.

“Jay..,” gumamnya pasrah, “please..”

Jayson menyeringai, puas bukan main ketika gadisnya memohon, bahkan menghentikan perlawanannya. Tubuhnya meliuk-liuk karena nikmat di putingnya tak langsung pudar. Apalagi sekarang dua jarinya masuk tanpa permisi ke lubang Renata, mengoyak inti tubuhnya yang basah. Keluar, masuk, keluar lagi, masuk lagi.

Lalu di akhir, ia mengeluarkan jarinya ketika Renata merasakan ada cairan keluar dari intinya. Dan disaat itulah desahannya mengeras diiringi tubuhnya yang bergerak-gerak keenakan dan wajahnya yang memerah. Tubuhnya seketika menghangat, panas dari dalam dirinya menyebar bersamaan dengan pelepasan nikmat yang Jayson sebabkan.

Jayson yang masih utuh mengenakan celana santainya duduk di kursi bar—di depan posisi tubuh Renata, memperhatikan tubuhnya yang lemas di atas meja pantry. “Well?”

Dengan sekuat tenaga Renata bangkit dan berusaha berbaring dengan kaki yang lemas akibat pelepasannya sendiri, “lo gila.”

“Trust me, gue bisa lebih gila lagi,” kekeh Jayson lalu mengernyit melihat Renata susah payah memungut branya di sisi lain meja, “woah woah! What are you doing? Gue belum selesai sama lo.”

“What?!” Renata melotot, ia sudah merasa diacak-acak dan terlihat bagai pelacur yang disewa permalamnya. “Udah dong, please.”

Bukan Jayson jika menuruti perkataan istrinya yang telanjang bulat di depannya. Ia membungkuk, mengangkat tubuh polos Renata di bahunya dan sesekali menampar bokongnya yang menggoda. “Ini baru permulaan, berani-beraninya minta udahan,” kekehnya membawa Renata macam karung goni ke kamar utama dan menguncinya.

“Lo berisik juga, kita lanjut di kamar biar Juan gak kebangun.”


Setelah dibanting ke ranjang empuk buatan Skotlandia dan berusaha beberapa kali memberontak, akhirnya Renata diam tak berkutik. Lebih tepatnya terpaksa diam karena dua tangannya diikat di belakang punggung dengan sehelai kain—yang entah didapat Jayson darimana, sementara pemain utama malam itu hanya berdiri di depannya—menatapnya dari atas ke bawah, lalu ke atas lagi dengan tatapan menimbang-nimbang.

“Lo kalo gak lepasin gue—”

“Apa? Lo mau apa?” potong pria itu dengan wajah menyeringai, “teriak? Go on, teriak aja. Flat ini kedap suara kok.”

Sialan Renata, dalam ikatan pergelangan tangannya kembali membisu di tempatnya. Ia lupa dirinya tengah berhadapan dengan siapa. When it comes to masalah ranjang, you can't be “just playing around” with Jayson Hartono. Or you're gonna be the one to be played with.

“I'm a lil bit tired now.. I mean, can we speed it up? Juan ada latihan resital besok pagi loh.”

Jayson terkekeh, mengubah suasana bisu kamar dengan suara mencekamnya yang berat dan lantang. “Acara resitalnya Juan kan udah minggu lalu, don't you dare to distract me.”

“Distract you from what?!” Renata mencoba melepaskan dari ikatan di dua pergelangan tangannya, “lepasin nggak?! JAY!!”

“Enak aja, belum diapa-apain kok udah minta dilepasin,” gumamnya perlahan merangkak ke atas ranjang, menghampiri tubuh telanjang Renata yang akses pada tangannya terbatas dengan gerakan mengintai, macam singa lapar yang membidik mangsanya.

Renata menarik nafas panjang saat Jayson telah menempatkan dirinya diantara dua kakinya. Dua tangannya kembali ke dua sisi tubuh Renata, begitu mendominasi. Tatapannya tajam ke arah manik Renata, tak membiarkan Renata sedikitpun mengalihkan pandangan darinya.

Gawat, Ren, nih orang gawat banget. Terlambat sudah, kini Renata hanya bisa terdiam menunggu apa yang akan dilakukan pria di depannya. “Langsung aja, gausah main-main,” bisiknya ketika Jayson hanya menatapnya tanpa mengatakan sepatah katapun.

Satu tangan Jayson melayang ke buah dadanya, ibu jari nakal itu bermain-main dengan ujungnya. Renata menutup bibirnya rapat-rapat, tak mau membiarkan desahan tercipta. “Ini gak adil,” ujarnya sekuat tenaga tak menambahi akhirnya kalimatnya dengan desahan, cukur tricky tapi masih bisa diatasinya.

Masih dengan tatapan tak terbacanya, ia memajukan wajahnya ke buah dada yang lain. Menggodanya dengan hembusan nafas hangatnya, lalu melumatnya dan memainkannya dengan lidahnya. “Apa? Lo ngomong apa?” tanyanya dengan lirikan ke atas wajah Renata, memperhatikan ekspresi wanitanya yang sudah pasrah. “Gue gak denger.”

Renata mendongakkan kepala, hanya cumbuan di putingnya saja bisa membuatnya mendesah. “Mak-sudku.. bukan—maksud gue.. Ah! Ini gak adil.”

Jayson mendengarnya dengan jelas walau perkataan itu berada diantara desahan yang ia tunggu daritadi. Jayson mendorong bahu Renata hingga punggungnya menyentuh permukaan ranjang dan menuruni tubuh bagian bawahnya. “Apanya yang gak adil?” tanyanya berlagak polos.

“Fuck!” Renata menjerit ketika ada yang menyusup tanpa permisi ke inti tubuhnya, hangat gelenyar lidah Jayson memasuki lubangnya. Tanpa sadar membuatnya kembali basah oleh cairan alami tubuhnya. “Jay..” gumamnya melemas. Sekali lagi merasakan desiran orgasme yang nikmat bahkan sebelum mereka menyatukan tubuh dalam pergulatan seks.

Jayson membuka celana pendeknya, menurunkan resletingnya dengan gerakan yang kalem dan menarik dua kaki Renata ke bahunya. “This guy has been missing you so much,” ucapnya sembari memasukkan miliknya yang mengeras sedari tadi.

Renata tak lagi bisa melenguh, bibirnya menjeritkan huruf A berkali-kali seakan lupa ada 25 abjad lainnya yang bisa ia ucapkan. “Ah.. Oh-God! Oh MY GOD!! AH!!”

Pergerakan Jayson memelan, telapak tangannya mengusap anak rambut Renata yang menutupi separuh wajah di bawahnya. “That's right,” gumamnya tanpa menghentikan pergerakannya, “I'm your God, baby.”

Selagi mengisi kekosongan dalam inti tubuh Renata, ditambah dengan udara yang kian menipis diantara mereka, Jayson melepas ikatan di pergelangan tangan Renata. Membebaskan dua alat geraknya selagi bagian bawah dirinya dihajar tanpa belas kasihan.

Satu tamparan melayang ke sisi kepala Jayson, lebih seperti gamparan yang cukup keras datang dari tangan Renata. Jayson terkekeh, tak sedikitpun menghentikan gerakannya—ia bahkan menambah intensitas persatuan diri mereka. “Oh, mau main kasar? Ngomong dong daritadi.”

Posisi itu tidak menguntungkan Renata—sama sekali. Ia dihimpit ke ranjang dengan tangan ditali ke belakang punggung, sementara dua kakinya di bahu orang yang menghimpitnya. Setelah aktivitas panas ini usai, entah ia lebih butuh cairan pelega tenggorokan karena terlalu banyak menjerit dan mendesah, atau ia lebih butuh obat untuk kakinya agar dapat berjalan keesokan harinya.

Atau mungkin keduanya.