Madness

Warning : Kissing, Forced Kiss Read at your own risk And please, be wise;)


Bukan suatu kebetulan ketika Sherin dan papanya, Tony, datang ke kediaman Geraldine dan rumah bak kastil itu diisi belasan mobil berjajar hingga di sepanjang jalanan luarnya. Joan Geraldine dan gengnya itu bisa disebut bukan sembarang geng.

Joan Geraldine—papanya Bianca—adalah duta besar Indonesia, anak sulung pewaris utama Geraldine Empire yang namanya seliweran di pemerintahan Indonesia sejak tahun 1980an. Ia bersama Jean-Pierre Geraldine—adiknya—melanjutkan jejak kedua orangtuanya di pemerintahan. Bedanya, Jean mengambil posisi di Bea Cukai.

Tama Bagaskara, ketua Polisi Republik Indonesia juga masuk ke dalam gengnya Joan Geraldine. Ada juga Yuda Prasetya yang merupakan Wakil Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kemudian ada Tony—papa Sherin—pengusaha properti terkenal se-Jabodetabek. Dan tak lupa, David Saputra—orangtua dari Gaviandra—yang merupakan bos besar tambang batubara.

Seperti yang baru saja dijabarkan, geng bapak-bapak itu tak bisa dikatakan sebagai geng biasa.

Malam itu pertemuan para bapak-bapak itu dibumbui dengan kehadiran Gavi, Bianca serta Sherin yang ikut bergabung pesta minum-minum di ruang keluarga Geraldine. Mereka bertiga nyaris dua puluh lima tahun, sudah cukup legal untuk diajak minum bersama orangtua mereka.

Tak bisa Sherin pungkiri, ia gagal mengatasi kegugupannya malam itu, berada di satu ruangan bersama Jean-Pierre, dan juga papanya. Sherin bersumpah, ia berada di level kegilaan tertinggi sebagai simpanan om Jean dan fakta bahwa pria itu adalah teman baik papanya.

Mengingat deadline 24 jam kian menipis, Sherin beberapa kali harus memutus kontak matanya dengan Jean yang duduk bersebrangan dengannya. Walau pria itu banyak diam dan memilih menenggak sloki demi sloki vodkanya, keeksistensiannya begitu mempengaruhi Sherin, seolah kehadirannya adalah bom waktu yang seakan-akan dapat meletus—tanpa bisa Sherin kontrol.

“Gimana bisnis?” Samar-samar Sherin mendengar om Tama melemparkan pertanyaan itu kepada papanya, yang kemudian hanya dijawab dengan guyonan kecil Tony Kurniawan.

“Gavi sama Sherin udah seberapa jauh?”

Pertanyaan itu membuat Sherin berhenti memperhatikan gerak-gerik Jean, ia tersedak bir di kaleng minumannya ketika om Yuda tiba-tiba menanyainya begitu. “Nggak gitu jauh kok, om Yuda, sejauh ini Gavi cocok banget buat jadi supirnya Sherin.”

“Gila lo ganteng begini cuma dianggep supir?” Gavi melemparinya potongan chips, dengan muka pura-pura garang.

“Gue mau sebat bentar,” ujar Jean menengahi suara penuh tawa di ruang keluarga, beranjak dengan wajah telernya dan melangkah sempoyongan ke arah taman belakang Eleanor—rumah kediaman Geraldine.

Tony melirik Joan yang menikmati bir dari botolnya, “tumben si Jean mabuk banget begitu? Segitu nervousnya buat ketemu sama Adel?”

“Tante Adel dateng?!” Bianca memotong dengan pekikan khasnya, “kapan? Ya ampun, papa! Kenapa papa nggak ngomong kalo tante Adel mau dateng?”

Sherin mengusung bisikan ke rungu Bianca, “tante Adel siapa, sih?”

“Temen baiknya bokap juga,” bisik balik Bianca. Lalu ia terkekeh kecil, “jangan kaget, ya, tante Adel itu mantannya om Jean.”

Oh, pantesan.


Adelaine Nugraha, mantan model yang pernah jalan di catwalk Paris Fashion Week di tahun 2002 itu benar-benar nyata keberadaannya. Wanita itu tak layak 100% untuk dipanggil sebagai tante oleh Bianca, lebih tepat dijuluki kakak perempuan ketimbang tante. Ia bermuka anggun, dengan rambut peraknya yang terlihat halus, hidung tingginya dan wajah minim kerutannya membuat Sherin sedikit iri.

Entah iri karena Adel tetap cantik di usianya saat ini, atau fakta bahwa wanita itu pernah menjadi masa lalu Jean, membuat ginjalnya merasa tergelitik.

Karena kandung kemihnya tak lagi cukup untuk mengantongi urinnya, Sherin undur diri ke toilet untuk mengosongkan organnya itu. Kebetulan juga kehadiran Adel membuatnya merasa asing, menjadi satu-satunya orang disitu yang tak mengenalnya secara personal.

“Nggak dingin apa?” tanyanya pada pria yang nongkrong di pinggir kolam dengan putung rokok di tangannya. Ia memutuskan untuk mengecek keadaan Jean yang mabuk, merasa ngeri jika membayangkan Jean yang teler, terjungkal masuk ke kolam renang dan tak ada yang tahu.

Jean mendongak dengan mata setengah tertutup, “I guess you didn't tell your father yet, didn't you?

“Rencananya sih nanti malem, pulang dari sini,” jawab Sherin lalu menambahkan, “ada tante Adel tuh, lo nggak mau ketemu apa?”

What?” Jean mengernyit, menyesap ujung rokoknya dalam-dalam dan mengeluarkan asapnya yang mengepup dari lubang hidungnya.

“Karena ini kan lo mabuk kayak gini?” tuduh Sherin, tanpa basa-basi, “yaa.. jelas sih lo nggak bisa move on dari tante Adel, orang tante Adel secakep dan secantik itu.”

Jean membuang putung rokoknya ke rerumputan taman, lalu berjalan mendekati Sherin di ambang pintu masuk rumah. “Ngomong apa kamu, Sher?”

“Kalau udah move on tuh berani hadapi, jangan kayak pengecut gini—mabuk dan menghindar!”

Dengan dahinya yang berkerut, Jean terkekeh, “apa? Kamu bilang saya apa?”

“Pengecut.” Sherin melipat tangan di dada, “lo pengecut,” ulangnya dengan telunjuk melayang ke arah Jean.

Jika saja alkohol tak sedang menguasai akal sehatnya, Jean mungkin hanya menghela nafas dan membuktikan bahwa ucapan Sherin tak benar. Namun sayang, Jean yang waras telah hilang. Termakan sebotol vodka berkadar 70% alkohol dan lenyap bersama kecemburuannya.

Ia menangkap telunjuk Sherin dan menariknya mendekat, terlalu dekat. “Kamu kira saya kayak gini karena apa? Karena kamu sama Gavi—bocah sialan itu.”

“Om—,” Sherin mencoba menarik jemarinya yang ada digenggaman Jean, selagi mengawasi area di sekitar mereka. Merasa kesulitan, ia berkata dengan pelan berharap ekspresi Jean di depannya melunak. “Om, jangan kayak gini. Ada papa, ada om-om semuanya, nanti kalau mereka lihat gimana?”

“Emang kenapa kalau mereka lihat kita?” desisnya dengan satu tangan di dagu Sherin dan posisi wajahnya yang tinggal sejengkal jaraknya. “Dari awal kamu memang nggak ada niat buat ngomong ke papa kamu, kan?”

“Ng-nggak gitu,” jawab Sherin dengan nada terbata, ia ketakutan setengah mati melihat Jean yang seperti kerasukan setan. “Om, sakit.. Lepasin..”

Alih-alih melepaskan sesuai permintaan Sherin, Jean menarik dagu Sherin mendekat dan menciumnya sepihak. Sebelah tangannya seolah tak ingin melepaskan pergelangan tangan Sherin yang memberontak. Tak hanya aroma alkohol yang Sherin dapat di bibirnya, tapi juga bekas rokok dan juga perlakuan kasar pria itu terhadapnya.

Belum berhenti sampai di situ, Sherin kembali dikejutkan oleh tangan Jean yang berpindah ke dadanya. Sherin dengan seluruh kekuatannya gagal membentengi dirinya sendiri dari Jean yang mabuk. Mata yang biasanya ia gunakan untuk menatap Jean dengan segala kesempurnaannya, kini dialiri buliran airmata—yang tragisnya disebabkan oleh Jean sendiri.

Nyaris saja pria itu mengoyak kemeja tartan Sherin, ketika tiba-tiba tubuh Jean tak lagi membelenggunya. Gavi di sana, dengan posisi menengahi antara Sherin dan Jean.

“Lo nggak papa?”

Pertanyaan itu begitu sederhana, tapi mengapa Sherin tak bisa berbohong dan mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Tubuhnya bergetar, merasa ada teror horor menghujam sekujur badannya.

“Sher?” Gavi kembali bersuara, jemarinya menangkup tangan Sherin yang gemetaran—mencoba meredakan syoknya. “Lo nggak papa, Sher, tenang ya.”

“Lo nggak usah ikut campur,” gumam Jean dengan radius tiga meter di depan Gavi, masih belum tersadar akan tingkah impulsifnya.

“Lo nyakitin Sherin, Bajingan!” Suara Gavi meninggi, mendorong bahu Jean menjauh dengan satu tangannya.

Di tempatnya, Jean memandang Sherin dengan kepalanya yang miring ke kiri, “Sherin, kamu tahu, kan? Saya akan jadi orang terakhir yang nyakitin kamu.”

“Bullshit, bangsat!”

Hampir saja Gavi membawa kepalan tangannya menonjok wajah Jean, tapi Sherin menahannya. “Gav,” panggilnya lirih, masih dengan ketremoran tangannya. “Kita masuk aja yuk.”

Tatapan Gavi mengiba, ia merangkul Sherin, mengusap punggung Sherin dan mencoba tersenyum menenangkan. “Alright,” gumamnya. “Dan lo.. sadar, dude! Be sober!

Sherin mengusap bekas tangisan di sudut matanya. Ia berusaha melangkah menjauhi Jean—suatu aksi yang tak pernah terbesit di kepalanya. Apalagi berada dalam genggaman jemari Gavi, orang yang tak terduga bisa memberinya suatu perlindungan, yang mana sangat Sherin butuhkan saat ini.