#mistake

“Lo positif gila apa gimana?”

Renata akui, dirinya agak kelewat batas dengan meng-iya-kan permintaan Shella Hartono—wanita yang menyerangnya secara psikis dan mental—untuk datang berkunjung ke Labuan Bajo. Ya, Labuan Bajo tempat Renata mengistirahatkan sejenak ketegangan diantara dirinya dan keluarga Hartono.

Ruby menggerakkan telunjuknya ke layar ponsel Renata, membaca berkali-kali direct message sederhananya bersama Shella kemarin. “Lo yakin dia bisa dipercaya?”

“Gue gak tau,” jawab polos Renata, “tapi kemungkinan apa yang bakalan terjadi? Gue resmi cerai sama Jay secara hukum, dia juga mau cerai, jadi gue pikir dia ngerasa gue bakalan ngerti perasaan dia.”

“Hello?” Ruby mengernyitkan keningnya heran, “we're talking about Shella, the woman version of snakes, lo lupa? Jangan karena dia melahirkan dia bakalan berubah, no fucking way, snake is snake.”

Renata membuang muka, “kalo sampe dia ngerencanain sesuatu, Jayson pasti tahu.”

Kekehan Ruby yang terdengar dibuat-buat itu sangat sarkastik. “Maybe Jayson knew, tapi dia gak kasih tahu lo karena dia juga bagian dari rencana ini. Wake up, Princess, you're no longer the Crown Queen of Hartono.”

“We'll see,” jawab Renata agak tersinggung kalimat Ruby yang terlampai sinis, “hari ini dia flight dan kita lihat dia udah berubah apa belum.”

“Oh, you wanna bet?”


Shella Hartono tak datang sendirian. Seorang wanita lain ikut bersamanya, mengenakan seragam suster merah muda-putih untuk menjaga bayinya yang baru lahir. Dan satu bodyguard berbadan gempal yang berwajah sengak.

Wow, begitulah kehidupan istri CEO Hartono Group. Well, soon to be mantan, kalau ceritanya yang sempat menghebohkan batin Renata itu benar.

Setelah berbasa-basi, mengobrol santai dan membiarkan wanita itu menginap semalam, Ruby menyelipkan lembaran seratus dollar ke balik tangannya. Tanda kekalahannya pada pertaruhan kecil-kecilan mereka karena Shella teridentifikasi datang sebagai kawan, bukan lawan.

Entah itu anugerah atau apa, Tuhan sepertinya menurunkan sifat belah kasih dan cinta bersamaan dengan lahirnya makluk kecil nan mungil dari rahimnya. Shella sendiri menyadari bahwa dirinya bukanlah versi terbaik dirinya sebelum ini, tapi semenjak melahirkan Liliana, hasrat dirinya untuk menjadi lebih baik muncul. Ia ingin menjadi contoh yang baik untuk Lily, sesederhana itu.

“I don't know how to say sorry for everything that I've done to your bestfriend,” gumam Shella, menenggak segelas sampanye ringan alkohol sambil duduk santai di pinggiran kolam renang, bercengkarama di sisa sore itu bersama Ruby sementara Renata dan bayinya berenang di dalam kubangan kolam renang private itu. “I mean, gue gak sadar selama ini bisa sejahat itu, how could I do that? Am I terrible mother to my child?”

Ruby yang telah mengubah perspektifnya dan mengusap telapak tangan Shella, “lo beruntung sih, Renata orangnya agak pelupa jadi dia kayaknya dah lupa kenapa kalian gak begitu akrab.”

Mau tak mau Shella tertawa, melambai kecil ke arah Renata yang bermain bersama Liliana di atas pelampung mungilnya. “Gue gak mau sok tahu atau apa tapi pengaruh Hartono kuat banget ke gue. Theo push me over, Carlos yang dingin kayak kutub utara, dan Aurora yang benci gue gatau kenapa. Harusnya gue bisa ya deket sama Renata, ya secara kita sama-sama menantu, harusnya bersatu gitu tapi entah kenapa gue—”

“Udah,” potong Ruby tersenyum kecil, “Renata aja udah maafin lo, you should have mercy to yourself, healing itu gak cuma menyembuhkan diri tapi juga belajar memaafkan diri sendiri.”

“Thanks, gue seneng Renata punya sahabat kayak lo,” gumam Shella memejamkan matanya, seperti hendak membeberkan aibnya di ruang pengakuan dosa. “Dan, gue mau jujur sesuatu ke lo, sebelum ngaku ke Renata.”

Dari yang senyum-senyum, wajah Ruby berubah curiga. “What? Tolong jangan hancurin kepercayaan Renata, karena kita berdua udah percaya banget sama lo dan—”

“Ren!” seru Shella, melambaikan tangan sembari memanggil sosok yang menemani anaknya belajar berenang.

Ruby panik, “lo ngapain panggil Renata? Just remember, dia itu hamil, jangan dibikin mental breakdown!”

Renata yang merasa terpanggilpun naik ke pinggiran kolam perlahan-lahan dan mengenakan bath robe putih. “Kenapa, Shel? Liliana udah waktunya bobo, ya?”

“Duduk sini, gue mau ngomong jujur ke lo,” kata Shella sambil menepuk space kosong di sebelahnya dengan senyuman kecut, “ngomong jujur means ngaku dosa.”

Pandangan Renata kebingungan, menatap Ruby bergantian dengan si pendatang baru Shella. “Ada apa, nih? Jangan bilang kalian berdua mau ngerjain gue, ya?”

“Theo tahu rencana lo sama Jayson.” Shella memberi kode kepada suster yang merawat anaknya untuk menidurkan Liliana sebelum melanjutkan ucapannya. “Makanya dia suruh gue dateng, mau cek semuanya dan laporin ke dia. Awalnya gue kesini juga dengan alasan itu tapi ngelihat lo—lo baik banget sama gue dan anak gue, Ren, lo sambut gue dengan tangan terbuka after what I did before this. Gila sih lo, Ren, kok bisa sih lo gak benci sama gue—”

“—maafin gue, ini gue beneran minta maaf dan gue beberin semua ke lo. Abang gue ngelacak Jordan Hendrawan dan ternyata dia tahu itu cuma nama, cuma identitas tanpa orang.”

Renata kaget, ia rasa ada yang bergejolak dalam kandungannya. Oh, anaknya itu seperti ikut mendengar ucapan Shella barusan dan ikut terkejut. “Jadi, lo mau laporin apa ke Theo?”

Shella mengernyit bingung, “terserah lo, Ren, gue dukung lo seratus persen. Dengan minta maafnya gue ini gue gak mau lagi bersebrangan sama lo, Ren, gue mau kita temenan. Jadi, terserah lo ini gue ngikut aja.”

“Lo yakin? Terus nasib lo sama Liliana?”

“Mungkin gue mau ikutin jejak lo, kabur dari Hartono kali, ya? Lagian Lily juga bukan anaknya Theo.”

Ruby terkekeh kaku menatap Renata, “maksud lo kabur?”

“Please,” gumam Shella sambil tertawa, “gue lihat tiket fisik lo di meja makan. London? Nice choice!”

“Lo bakalan ngabarin ini ke Theo, ya?” tanya Renata memastikan.

Shella menambah intensitas tawanya, ia menuang lagi gelas kosongnya dengan sampanye dan menyesapnya perlahan. “Lo baru aja jadi menantu di keluarga Hartono, Ren, you have no idea lo berurusan sama siapa.”

“Maksud lo?” Ruby bertanya, ikut penasaran.

“Gue gak akan bilang, gue bakalan rencanain pelarian gue sendiri sama Lily soon, tapi lo yakin rencana lo ini gak risky?” Shella mencondongkan badannya ke arah Renata dan bergumam pelan, “gue gak bermaksud jelek tapi mending deh lo omongin sama Jayson. Lagian kalian juga udah sejauh ini, apa gak sayang kalau tiba-tiba lari gitu aja?”

Renata berdeham, menahan emosi Ruby yang akan meledak-ledak. “Gini, Shel, bukan gue gegabah atau gimana tapi rencana Jayson gak ada kemajuan sejak kepilihnya Theo jadi CEO. Harusnya dia udah bisa bebas dong dari tanggung jawab Hartono, tapi kayaknya emang Jayson aja yang gak mau ninggalin nama keluarga dia.”

“Can't agree more,” komentar Shella lirih, “sekeras apapun lo berusaha, Jayson gak akan bisa tinggalin Hartono segampang itu. Apalagi ada Carlos dan Aurora. Gue gak tahu hubungan lo sama Jayson kayak gimana tapi gue tahu hubungan Jayson sama dua adik-adiknya. He such a good big brother, selalu ada buat Carlos dan Aurora.”

Ruby memicingkan matanya, “lo gak ngomong gini cuma biar Renata pergi dan bikin Jayson terpuruk, kan?”

Shella tak tersinggung, ia malah terkekeh karena tuduhan tak beralasan dari Ruby itu seperti tombak tumpul tak kena sasaran. “Terserah kalian mau percaya apa enggak, tapi I've been there, Ren, gue udah jadi menantu Hartono lebih lama dari lo dan cukup lama tinggal di rumah inti buat tahu kelakuan satu per satu keluarga gila ini.”

“Gue gak mau tinggalin Jayson di circle keluarganya yang kayak gini, Shell.”

“Tapi apa dia mau lo ajak pergi? Enggak, kan? It's your choice, Renata, whether you choose stay and stay like this forever OR you can leave, before its too late.”