Rainbow after Rain
like the rainbow after the rain joy will reveal itself after sorrow -rupi kaur
Pantai siang hari itu kian terik ketika matahari mulai gahar menunjukkan kekuatannya. Hampir dua jam lamanya, baik Jayson maupun Renata tak bosan-bosannya menatap bibir pantai, menangkap sebanyak-banyaknya memori bahagia, dan menghirup dalam-dalam aroma laut yang candu.
“Such a nice place to just laying in, and do nothing.”
Renata bergumam, mengukirkan senyum paling lebar sepanjang sejarah hidupnya. Matanya dipenuhi panorama pelipur laranya, penciumannya diisi aroma lelautan yang begitu adiktif. Akan sulit rasanya menanggalkan segala keindahan yang Tuhan suguhkan padanya dari ingatan. Apalagi manusia disebelahnya yang tak lelah menempel padanya sepanjang hari.
Harga apa yang harus aku bayar untuk dapat semua ini, Tuhan?
Ambil semua, Tuhan, kuserahkan padaMu semuanya. Aku ingin hidup di lingkaran ini selama-lamanya. Abaikan keegoisanku, abaikan segala keluh kesahku, abaikan semuanya.
Aku hanya mohon satu, tempatkan aku di pusat kenyamanan ini dan biarkan aku larut di dalamnya. Dan izinkan aku bawa Jayson karena dia berhak juga, walaupun dia agak menjengkelkan (sedikit) tapi iapun layak mendapatkannya. Boleh ya, Tuhan?
“What are you doing?” Jayson memotong obrolan randomnya bersama sang Pencipta. Pria itu tengah terduduk, memandanginya dengan tatapan teduh, seolah memang sepasang netra itu diciptakan untuk memandangnya begitu.
Ia meliriknya kecil, “cuma ngerasa bersyukur, amat sangat bersyukur.”
Cengiran khas dari pria itu membuat Renata ikut tersenyum kecil, “am I in it?” tanyanya, dengan pertanyaan yang kentara jelas jawabannya.
“Jay, kamu bukan hanya in it, tapi kamulah inti rasa bersyukur aku,” akui Renata, bersungguh-sungguh. Tak ada kerlingan geli ataupun candaan di tatapannya, mengutarakan kebenaran dalam suaranya.
Renata menggeser tubuhnya mendekati posisi duduk Jayson, meletakkan jemarinya diatas telapak tangan pria itu yang ukurannya lebih lebar darinya. Bersamaan dengan itu, ia serahkan segalanya pada pria itu. Dirinya, hidupnya, masa depannya, seluruhnya. Tak pernah Renata duga, ia akan bisa sepercaya itu pada makhluk fana di sebelahnya itu.
Ia tak bersuara, tapi tatapan bolamata legamnya tak bisa tinggal diam. Pandangannya menyusuri tiap sudut wajah pria yang delapan tahun terakhir menjadi penguasa di hatinya. Memegang teguh posisinya, bahkan lima tahun perpisahan mereka tak bisa melengserkan kedudukannya.
Keningnya yang mulai dihiasi guratan halus akibat stres pekerjaan, alismatanya yang lebat, manik matanya yang kecoklatan—dengan sorotnya yang tajam, menjadi daya tarik utamanya. Pangkal hidungnya yang tinggi, tulang pipinya yang kokoh, menambah aksen tegas dalam postur wajahnya. Juga bibirnya, bibir yang kemudian ia rengkuh dalam ciuman. Ciuman singkat yang dengan magisnya dapat membuatnya tiba-tiba menjadi emosional.
Di sisi lain, Jayson menerima ciuman dadakan yang dilayangkan Renata dengan segala kekagetannya. Pertemuan bibirnya dengan sang Nyonya terasa manis. Aroma strawberry bercampur wine sisa tadi pagi membuatnya ingin berlama-lama memadu bibir itu, meraup habis tanpa sisa.
Pikirannya melayang pada ciuman pertama mereka, canggung tapi kemudian juga menyenangkan. Senyum diantara ciuman itu mengembang, lenyap begitu merasakan sesuatu lain yang ikut bergabung dalam ciuman dalam mereka. Sebuah airmata.
“Why? What? What's wrong?” tanyanya bertubi-tubi, mendapati wanitanya dengan mata sembabnya.
Ia memeluknya, berharap pelukannya bisa meredakan tangisan itu. Naasnya, airmata itu kian banjir. Bahkan sesenggukan terdengar, dadanya naik turun, tangisannya bahkan lebih parah ketika Juan sedang dalam masa tantrumnya.
Jayson tak melepaskannya, ia mendengar tiap suara aneh yang keluar dari tangisan Renata. Ia bingung, tapi posisinya tetap sama—walau kaus tipisnya setengah basah oleh kucuran airmata.
“Oke,” gumam Renata dengan suara sengak, airmata menggenangi pita suaranya, “I'm gonna stop crying now.”
Tanpa menuntut penjelasan apa-apa, Jayson mengusap bekas airmata yang tertinggal di pelupuk matanya. “Udah lega?”
“Belum,” jawabnya dengan gelengan kecil.
“Kenapa? Kangen Juan, ya?”
Mata sisa genangan airmata itu berhenti menangis, meneguhkan dirinya untuk bisa mengatakan isi benaknya. “Jay, aku belum pernah—secara langsung—bilang terimakasih ke kamu.”
“Ren—”
“Tolong jangan dipotong dulu,” selanya cepat, menenggak salivanya dengan berat hati. “Pertama-tama, terimakasih, Jay, kamu adalah orang yang mau beri aku kesempatan buat ngerasain apa yang orang lain sebut dengan keluarga. Aku gak mungkin punya Juan, atau kakak aku Sam, aku gak mungkin punya mereka—kalau bukan karena kamu. Terimakasih.”
“Kedua, terimakasih untuk semuanya, Jay, segala effort, bentuk tanggung jawab kamu, dan literally semuanya. Rencana-rencana kamu.. aku minta maaf, aku sempat meragukannya. Tapi gilanya, berhasil. Kamu tepatin janji-janji kamu, buat play hard berdua, it means a lot to me, Jay, terimakasih.”
Renata mengusap sebelah matanya, menahan sesenggukan yang kembali menghujani suaranya. Ia tersenyum kikuk, membuang pandangannya ke arah lain karena jika sekali lagi ia beradu tatapan dengan pria di depannya, ia akan kembali menangis tanpa menyelesaikan kalimatnya.
“Last but not least,” ia menghela nafas panjang, memberanikan diri menatap sorot teduh di depannya. “terimakasih karena telah jadi orang itu, Jayson. Orang yang gak cuma ada, tapi kontribusinya sangat terlibat di hidup aku.”
“Dari mulai aku buka mata, sampai aku kembali tidur, kamu selalu jadi orang itu, Jay, no matter how much I tried to erase you, you still there, hanging around in the corner.” Renata kalah, ia kembali meneteskan airmatanya. Tapi ia memaksa dirinya untuk melanjutkan ucapannya, “aku gak bisa bayangin kalau bukan kamu orang itu, emang siapa lagi? Gak ada. Gak ada yang bisa gantiin kamu, sampai kapanpun.”
Macam ada yang mengambil alih fungsi kerja lidahnya, Jayson kehilangan kata-katanya. Ia bimbang, ia terenyuh dengan rentetan paragraf yang dilontarkan istrinya, tapi di sisi lain juga ingin menertawakan betapa lucunya ketika wanita itu mengungkap isi hatinya. Renata bisa jadi wanita dingin yang siapapun takkan bisa menyentuh titik bekunya, tapi setelah mencair, wanita itu bintang paling panas yang energinya tak habis-habis.
“Iya, sama-sama,” ujarnya memberi dekapannya lagi, “udah ya nangisnya, nanti kalau Juan lihat gimana? Kalau Sam liat? Ntar aku dikira kdrt-in kamu. Lupa apa? Abang kamu orang hukum, aku bisa-bisa satu sel sama Theo.”
Berhasil, Jayson berhasil membuat tangisan itu usai. Bonusnya, tawa kecil tercipta disana, menandakan hujan di bolamatanya lenyap, digantikan pelangi indah yang terbentuk di garis matanya ketika ia tersenyum lebar.
“I love you, Renata, always have, always will.”
“I love you, Jayson, in the meaning of eternity.”
fin