“Well?”
“Apanya?”
Keiko mengernyit, “kan gue tadi minta tolong lo buat chat Lana, tanyain keadaan Jericho!”
Kimmy mengalihkan pandangannya, “Jericho didn't make it.”
“What?” Keiko mendelik, ketika ngeh dengan ucapan kakaknya ia terdiam. “Maksudnya—meninggal?”
Jericho enggak meninggal tapi mending lo mikir dia meninggal daripada lo kepikiran dia terus, batin Kimmy menguatkan dirinya melihat wajah adiknya memanas. “I'm sorry.”
Keiko limbung, duduk di kasur apartemen yang dipilihkan Kimmy. Nafasnya tersenggal, seolah ada yang membawa lari oksigen dari paru-parunya. Perlahan airmata terurai dari kelopak matanya, satu tetes, lalu dua tetes, berakhir dengan tangisan tak terelakkan yang jarang Kimmy lihat.
Keiko bukan sosok gadis yang gampang menangis. Beberapa kali menyaksikan kematian kerabat dekat, Keiko hanya berbelasungkawa secukupnya. Bahkan kematian Milo, kucing Persia teman masa kecilnya pun Keiko hanya mengurung diri, tak setetespun airmatanya lari ke pipi mendengar kepergiaan hewan yang begitu dekat dengannya.
Tapi kepergian satu cowok mematahkan persepsi Kimmy tentang adiknya yang tak pernah menangis. Jericho Xavier, seberapa besar pengaruh cowok itu untuk adiknya hingga adiknya itu menangis terisak? Kimmy merengkuhnya dalam pelukan, membisikkan mantera penenang, berharap agar adiknya berhenti menangis. Tapi nihil, Keiko makin tersedu-sedu.
Harusnya gue gak pergi ke Jepang
Harusnya gue bilang sayang ke Jericho
Harusnya kita ga cuma temenan, we're more than just a friends
Harusnya gue pergi olimpiade
“H-how—?” Keiko bertanya dibalik ingusnya yang mengalir dari hidung, “then how about Lana?”
Kimmy terpaksa berbohong lagi. “They hate you, Kei, Lana and Arka. They thought you're the black sheep of Jericho's death.”
“What?!” Keiko mendelik, “gue gamau Jericho sama Arka tahu gue ke Jepang setelah Ujian Sekolah, I can't even say goodbye to him, Kim.”
“Yeah I know,” jawab Kimmy masih memeluk adik kecilnya yang terpukul, “it must be hard, parting from someone we cared so much.”
“I should tell Jericho that I love him—gue cinta dia, Kim, gue sayang sama Jericho. Lo tahu kan gue gak pernah suka sama cowok? Tapi sama Jericho—he's different, Kim!”
Andai keadaan lebih mudah bagi Kimmy agar ia tak perlu berbohong pada adik kecilnya. “Lebih baik jangan dulu, Kei, they need some healing.”
“Tapi—”
“Trust me, Kei, the last thing they wanna hear its your voice.”
Kimmy ada benarnya, Keiko tak bisa seenaknya menelepon Lana dan Arka, meyakinkan keduanya dari jarak bermil-mil jauhnya. Itu sama sekali tak membantu.
Kata orang, cinta pertama itu tak pernah berhasil, tapi Keiko tak menyangka akan jadi begini cinta pertamanya terjadi. Tragic. Her heart shattered by a guy she never dated. And now he died, thats even worse scenario.
“Kita beli handphone dulu yang baru, ya? Terus harus urus ke pihak college, gue temenin.”
Keiko mengangguk perlahan, mengusap banjiran airmata di wajahnya dengan tisu. Jika ia mengira didewasakan oleh keadaan itu akan menyenangkan, ia salah besar. Setidaknya dari dulu ia terbiasa sendiri, jadi kehilangan seseorang yang berharga adalah hal yang sering terjadi.
Mamanya, yang meninggal karena melahirkannya. Papanya, yang membencinya karena membunuh ibunya. Dua kakak kembarnya, karena mereka harus bersekolah di Jepang. Dan kini, ia harus kehilangan bagian terpenting masa remajanya. Jericho. Her J.