sinned
Dalam sekejap, Hartono Center Hall disulap menjadi private party bertema classic black. Gedung megah kepunyaan Hartono yang biasanya dipakai acara formal kenegaraan, berubah menjadi ladang fashion show bagi kalangan atas yang menerima undangan malam itu. Para wartawan datang meramaikan suasana dan meliput tiap inchi pestanya dari luar, dan juga dalam.
Dekorasinya dibuat sederhana, kain tule warna putih menutupi langit-langit Hall, bercampur dengan bebungaan warna hitam yang mendominasi. Lampu gantung warna gold yang menjadi pusat ruangan luas itu seolah menjadi aksen pemanis. Selain itu, seluruh ornamennya dibuat legam, semuanya sesuai briefing yang dijabarkan Jayson. Dan selera pria itu tak pernah berubah, Renata tak pernah meragukannya.
Para tamu undangan datang tepat waktu, mengudap katering malam itu yang disajikan langsung oleh chef bintang lima dari dapur hotel Hartono. Sampanye bertebaran dimana-mana, tepatnya di tiap nampan penyaji yang berkeliling. Booth foto yang aesthetic pun disediakan untuk kenyamanan sesi dokumentasi para tamu dan tak lupa musik yang mengudara.
“Nice touch,” komentar Renata pada Sofie, si Event Origanizer yang menyiapkan semuanya—mulai dari detil kecilnya dan pemilihan ornamen yang menambah kesan elegan ke pestanya. “That chandelier, gimme some flashback to my engagement party—”
“Actually,” potong Sofie, gadis tinggi nan ramping dengan rambut dikuncir tinggi yang kebetulan mengenakan dress hitam panjang sederhana, “ini termasuk idenya pak Jayson, I saw the picture of the engagement party, and I was like—woah, simple, gak banyak hiasannya cuma.. kayak..”
“Esensial?”
“Ya! Esensial parah,” sahut Sofie kelewat excited, ia bahkan melepaskan pegangan tangannya di lengan Mahesa—kekasihnya, hanya untuk menjabarkan tiap sudut ruangan dengan dua tangannya. Tak butuh waktu lama untuknya melepas canggung dengan top #1 client-nya sepanjang ia merintis bisnis per-EO-an.
Jayson tak melepaskan tangannya dari pinggang istrinya dan berbisik sembari mendekatkan bibirnya. “Ada tamu yang masih harus kita temui.”
Kode itu, Renata langsung mengangguk patuh. Buru-buru ia menyudahi bincang-bincangnya dengan Sofie, dan kembali berjalan beriringan dengan Jayson untuk menyalami tamu berikutnya. Kalau boleh jujur, Renata merasa party ini tak diadakan atas dasar berita rujuknya dengan Jayson. Terlihat betapa getolnya pria itu memamerkannya ke sepanjang tamu yang kemudian berujung pembicaraan bisnis.
Ya, technically Jayson bukan sedang berparty ria. Tapi ia sedang bekerja.
“Ren, I want you to meet Mr. and Mrs. Sanchaka,” ujar suara bariton Jayson dengan senyum merekah ketika mengenalkannya pada pasangan paruh baya berdarah India. “They're my partner in Penang, Malaysia.”
See? This isn't party, this is a business meeting yang dikemas layaknya pesta tapi ternyata ada niat terselubung.
Renata tersenyum—terpaksa dan berbasa-basi dengan menanyakan perkembangan project Jayson di Malaysia. Ia tak begitu paham, segala pelebaran akses project hingga ke Kuala Lumpur dan Brunei, atau tanda tangan lanjutan dengan Perdana Menteri Singapore, Renata hanya menganggukkan kepala—tak ingin terlihat buta akan bisnis dan berpura-pura paham.
“Lo ngapain sih, Jay? What are you doing?” Renata menarik suaminya ke sisi lain Hall, lebih tepatnya ke bagian pantry—tempat peristirahatan sementara berbagai macam makanan yang hendak dihidangkan ke para tamu. “Sadar gak sih? Sebagai tuan rumah sebuah party, you're not having fun enough, do you know that?”
Jayson mengedikkan bahunya seolah itu memang bakatnya secara alami. Dan ia terlihat bangga dengan hal itu. “What did you expect for me, Ren?”
“Well well well,” sebuah suara di pintu mengagetkan keduanya. Hampir saja pesta itu menjadi sempurna, nyaris. Sebelum tamu tak undang tiba-tiba menampakkan batang hidungnya. Berdiri tampan di pintu masuk pantry dengan kemeja hitam panjang tanpa balutan jas. “Gue kira partynya diluar, ternyata disini rupanya.”
Jayson berjalan mendekati si tamu tak diundang, secara sadar menghalangi kontak mata langsung antara pria di pintu dengan Renata. “Can't believe there's a Kiehls in my party,” ujar Jayson tak terdengar sumringah, tapi wajahnya tetap harus dijaga karena kamera menyorot ke sudut manapun Center Hall itu.
“Hi, Renata, we finally meet, ya?”
Mengabaikan Jayson yang berdiri diantara dirinya dan wanita di pantry, Sam malah menengok ke sosok di belakang Jayson dan melambaikan tangan. Ia mengedarkan senyuman dan melangkah mendekat, “hallo, Jayson Hartono, long time no business, huh?” ucapnya tanpa dosa mengulurkan tangan ke arah Jayson.
Jayson sebagai tuan rumah party malam itu bersikap profesional. Ia menjabat tangan itu selagi tangannya yang lain diletakkannya kembali ke pinggang Renata. “This is Renata, istri gue.”
“Hai, Renata,” ujar Sam, menjabat tangan mungil Renata, “you look fantastic tonight.”
“Sam, will you excuse us? Ada banyak tamu yang belum kita salami,” kata Jayson menyudahi fokus Sam ke Renata yang terlalu obvious, dan membawa lari Renata menjauh dari Sam. “Car?” ujarnya pada speed dial nomer 5 yaitu adiknya, Carlos, “he's here. Yeah.. I don't know. Gue udah siap, lo handle sementara gue out? Ok.”
“Out? Out kemana?” Renata yang menguping pembicaraan sambungan telepon Jayson, memburunya dengan pertanyaan. Apalagi tangan Jayson berbalik menggandeng tangannya dan menariknya keluar dari Center Hall lewat pintu belakang yang orang-orang tak tahu letaknya. “Jayson? Kita gak bisa main cabut begini! Juan masih ada di dalem, kalo dia cariin kita gimana?”
Jayson membisu, ia fokus menggeret tangan istrinya untuk menyusuri lorong demi lorong sepi, menuruni tangga darurat dan sampai ke bagian belakang gedung Center Hall yang biasa dipakai sebagai parkir sembarangan. Renata ngos-ngosan, memperlambat laju larinya karena high hells sepuluh senti yang bisa mematahkan mata kakinya sewaktu-waktu.
“Jay! Sakit..”
Pria itu membungkuk, melepas high heels pemanis penampilannya malam itu dan membungkuk memunggungi Renata. Seakan siap untuk menggendongnya di belakang punggung. “Naik sini, mobilnya agak jauh soalnya.”
“You sure?” tanya Renata meragu, “jelasin dulu, Jay, kenapa kita harus lari-larian begini?! Juan di dalem sendirian, aku gakmau kemana-mana sebelum bawa Juan bareng kita!”
Helaan nafas lelah muncul, Jayson meletakkan dua telapak tangannya ke bahu Renata dan menatapnya lurus. “Aku jelasin di mobil ya, kita lari dulu, disini gak aman,” ujarnya sembari berusaha menetralkan nafasnya yang tak teratur karena mendadak lari.
“Tapi Juan—”
“Juan udah sama Carlos, ada Mahesa, ada Dirga, ada semua orang.”
“Terus kita ngapain kayak gini? Kita dikejar apa sih?”
“Gak ada waktu buat jelasin, sekarang kita lari dulu, oke?” ujar Jayson kembali memunggunginya, “sini naik dulu.”
Renata kembali pasrah, mau tak mau mengangkat sedikit gaun satinnya dan bersiap menaiki punggung suaminya. Selagi Jayson berjalan setengah berlarian, ia mengeratkan pelukan ke leher Jayson dan menutup matanya ketakutan. What's going on? Kenapa Jayson bingung kayak gini? Apa ada yang lagi ngejar dia? Siapa? Kenapa? Juan ntar gimana? Aku takut, Jay, aku takut..
“Ren?” suara Jayson terdengar, membuat Renata membuka matanya dan menyadari bahwa suaminya itu tak lagi berlari. “Kamu masuk di mobil yang belakang, disitu ada sepatu sama jaket. Kamu pake dua-duanya, ya? Jakarta lagi dingin.”
Sesuai intruksi Jayson, ia menuruni punggung Jayson dan memasuki mobil sedan Civic warna hitam yang tak pernah ia tahu keeksistensiannya. Sementara dirinya mengenakan sepatu kets putih dan jaket jeans kedodoran, Jayson melepas jas tuxedonya lalu membuka bagasi belakang. Tak lama kemudian ia memasuki bagian depan mobil, lebih tepatnya di kursi pengemudi dan membanting tas jumbo ke kursi sebelahnya.
“Aku mau kamu percaya sama aku, Ren, completely,” ucapnya sambil menyalakan mesin mobil dan membetulkan rear-vision mirror agar ia bisa melihat lawan bicaranya di kursi penumpang belakang. “Bisa?”
Renata melirik kaca yang menampakkan sorot mata Jayson yang tajam dan menaikkan bahunya, “aku gak tahu,” jawabnya bingung, kemudian membuang muka ke arah lain.
Mesin mobil sedan itu melaju keluar area Center Hall. Di lampu merah pertama, Jayson masih terdiam dan sibuk mengeluarkan beberapa barang dari tas besarnya di kursi sebelahnya. Tapi begitu masuk area jalan tol yang lenggang, laju mobilnya kian dipercepat. Renata di tempat duduknya berkomat-kamit dalam hati, tangannya menggenggam seat-belt gemetaran. Apalagi raut muka Jayson seperti sedang dikejar-kejar hantu, Renata makin resah.
Tangan lincah Jayson bekerjasama dengan matanya yang melirik spion luar mobil, dari kanan ke kiri, lalu ke kanan lagi. Jika ada kesempatan, ia membalap beberapa mobil keluarga yang juga melintas di jalur tol yang sama. Melihat betapa tegang dan fokusnya Jayson ke jalanan, sepertinya ada yang sedang membuntuti mereka.
Renata memutar kepala ke belakang kursinya, mencoba melihat siapa yang membuat Jayson seperti dikejar hutang.
“JANGAN!” teriak Jayson membuat Renata gagal melihat ke balik kursinya. “Jangan liat ke belakang.”
Pegangan Renata di sabuk pengaman makin menguat, “kita mau kemana, Jay, aku takut..”
“I know, tunggu keluar Jakarta dulu baru kita aman.”
Aman dari apa lebih tepatnya? Jantung Renata berolahraga, berdetak dua kali lebih banyak tiap detiknya. Matanya kembali memejam, membayangkan kemungkinan terburuk dari laju mobil Jayson yang diatas rata-rata pengguna jalan tol.
500 meter sebelum masuk terowongan, BMW putih berhasil mengejar ketertinggalannya dari si Civic. Pengemudinya menambah kecepatan, hingga tak ada lagi mobil yang menghalangi diantara mereka. Masuk ke dalam terowongan yang sepi, BMW menginjak gas lebih dalam, menyalip Civic gelap yang diisi satu pengemudi dan satu penumpang di bagian belakang.
Senyuman miring pengemudi BMW muncul ketika ia berhasil membalap Civic. Ia mendadak mengerem BMW yang dikendarainya, membelokkan mobilnya tepat di depan muka Civic yang menyebabkan mobil itu menabrak sisi kiri BMW dan terpelanting ke bagian atas BMW. Civic berguling ke aspal tol dengan jarak yang cukup jauh dari tempat berhentinya BMW karena laju mobil itu yang teramat cepat.
Civic mendarat tak begitu mulus, dengan kepala mobil di permukaan aspal sementara rodanya diatas. Asap keluar dari badan mobil, begitu pula darah penumpangnya, mengalir hingga mengotori jalanan. Pengemudi BMW keluar dari singgasananya, berjalan santai ke arah Civic yang tragis dengan seputung rokok di sudut bibirnya. Tangannya memainkan korek api model zippo, membuka tutup kepalanya, memperhatikan dua insan yang tak sadarkan diri di dalam Civic.
“Good day to be die, brother?” gumamnya, berjongkok di dekat pintu pengemudi, mengintip Jayson Hartono bermuka penuh darah lalu tersenyum.
Ia memperhatikan jalanan tol yang tak dilewati satupun pengendara. Terowongan itu memang jarang dilalui mobil karena proyeknya yang baru saja masuk ke tahap finishing dan belum diresmikan oleh pemerintah. Hal itu menguntungkannya, membuat Jayson beserta istrinya akan lama ditemukan selagi dirinya kabur dalam tragedi tabrak lari ini.
Langkahnya menjauhi Civic, tangannya yang memainkan tutup korek api berhenti. Ia menyalakan pemantiknya, membuat api kecil tercipta di kepala korek apinya. Dengan gerakan mengayun, ia melempar api kecil itu ke arah Civic yang berasap, membuat kobaran api perlahan kian membesar.
Pemilik pemantik zippo berlogo TH menjauhi Civic yang mulai diselimuti api, memasuki BMWnya dan mengemudi berbalik arah. Tak lama ketika ia mengemudi, ledakan terdengar di belakangnya. Bibirnya kembali mengukir senyum menatap kaca spion di sisi kanan dirinya yang menampakkan adegan film action favorite nya saat kecil.