Sour

What the fuck?!

Reaksi tidak wajar itu dipertontonkan Jean—dewa mabuk malam ini, ketika Tony lengkap bersama David mengumumkan penyatuan keluarga kecil mereka dengan perjodohan kedua anak mereka. Sherin dan Gavi.

Pria itu di menelengkan kepalanya, whiskey neat di gelasnya bergoyang menandakan ketidakstabilan tangannya. Ia terkekeh sarkasme, tak mengacuhkan tiap pasang mata yang menatapnya aneh. Ada apa dengan si mabuk yang tertawa terpingkal-pingkal ketika ada pengumuman penting dari kerabat dekatnya?

“Lo kalo ada masalah, ngomong aja, Jean,” sinis Tony, memasang tampang kurang ramah, “gue lihat-lihat lo dari sore kayak orang nggak niat kumpul bareng kita semua, tahu nggak?”

“Lo yang ada masalah apa, hah?!” Suara Jean menginterupsi, ia bahkan beranjak dari duduknya dan mengacungkan telunjuknya ke arah Tony. “Harus banget lo umumin perjodohan anak lo di depan gue?”

Joan sebagai saksi dibalik ketidaksadaran adiknya itu hanya bisa menghela nafas kasarnya. “Enough, Jean, lo udah mabuk berat,” ucapnya menarik tangan Jean dan hendak menggeretnya pergi dari belasan orang di ruang keluarga.

Tangan Jean menampik Joan, ia menolak menyudahi konfrontasi yang ia sebabkan. “Bisa diem dulu, Jo? Gue belum denger pendapat calon pengantin perempuannya!”

Oh-oh!

Baik Bianca, Gavi, bahkan Sherin sendiri saling tatap ketika Jean berkata demikian. Apalagi ketika seisi penghuni ruangan keluarga itu menjatuhkan pandangan pada Sherin. Siapapun tolong beri Sherin kekuatan untuk lenyap dari tempatnya, saat itu juga.

Adel, yang keberadaannya baru Sherin ketahui malam ini, membaca situasi canggung dengan cepat. Dengan kode singkat—eye-contact—dari Joan, wanita bertubuh tinggi semampai itu mencairkan suasana dengan kekehan kecilnya.

“Hadeh, nih anak masih sama aja kalo lagi mabuk, ya?” Adel tertawa, ikut merangkul sebelah lengan Jean sesuai instruksi Joan agar pria teler itu absen dari perkumpulan mereka.

Jean yang melemah karena terlalu banyak menenggak cairan beralkohol, limbung dalam pelukan Adel. Alhasil keduanya membopong pemabuk itu secara perlahan-lahan, menaiki tangga dan berbelok ke kanan, ke kamar pria itu.

Sherin benci melihat aksi heroik Adel—seolah wanita itu begitu ingat kebiasaan Jean dengan rinci. Ia pun benci, mengapa bukan dirinya yang merangkul Jean? Mengapa hubungan Jean-Adel lebih masuk akal dan diterima masyarakat luas, sedangkan namanya dengan Jean tak layak bersanding berdua? Mengapa, mengapa, dan mengapa?


Sepanjang perjalanan pulang dari Eleanor menjadi rekor perjalanan terpanjang yang pernah Sherin tempuh. Padahal jarak rumah megah itu dengan komplek perumahannya hanya berkisar di angka tiga kilometer. Sisa rasa canggung di Eleanor masih membekas, terbukti dengan heningnya mobil yang ditumpangi Sherin dan papanya terlihat tak ingin memulai percakapan dengannya.

Tony berdeham, sebelum akhirnya membuka obrolan. “Maksudnya om Jean tadi apa, Sher? Kenapa dia begitu ofensif mendengar perjodohan kamu sama Gavi?”

Tuhan, apakah ini saatnya aku mati? Sherin membuang nafas pasrah, bibirnya berakhir mengatakan, “aku nggak tahu, pa.” Sebuah portal pelariannya, berharap papanya tidak mengulik lebih dalam.

Bisu kembali menyelimuti situasi di sekeliling keduanya. Sherin dan papanya yang tak tersentuh, sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Menambah panjang durasi perjalanan yang Sherin harap segera usai.

Apa yang Sherin harapkan dari papanya yang kaku itu? Jika saja bongkahan es dalam wujud papanya itu leleh beberapa cc, mamanya takkan pernah angkat kaki dari rumah mereka. Mamanya pasti bisa bertahan sedikit lebih lama hanya untuk memperhatikan kembang tumbuh anak gadisnya. Mungkin gadis usia lima tahun itu bisa mendapatkan kasih sayang utuh dari sebuah keluarga lengkap. Dan label anak 'broken home' mungkin takkan pernah tersematkan dalam jati diri Sherin.

Perpisahan kedua orangtua yang tak jelas apa penyebabnya itu sedikit banyak mempengaruhi separuh hidup Sherin. Hak asuh yang jatuh pada pihak papanya membuat Sherin jarang bertemu sang ibunda. Terakhir kali mamanya menampakkan batang hidungnya adalah ketika Sherin lulus SMP, itupun untuk mengumumkan bahwa ia hendak tinggal di Hongkong. Sebuah perpisahan singkat yang bahkan tak Sherin ingat.

“Papa sama mama cerai karena apa sih?” Pertanyaan itu tiba-tiba saja tercipta dari mulutnya, menyuarakan suara batinnya yang menggema meminta jawaban.

“Kamu kangen mama?” tanya Tony, sama sekali tak menjawab pertanyaan anak perempuannya.

“Nggak juga.”

Sherin menjawab seadanya, mengaku muak dengan dinding tinggi pertahanan papanya yang tak runtuh bahkan jika perang dunia ketiga terjadi. Seakan-akan Sherin perlu menyebrangi samudera luas, mengarungi berhektar gurun gersang, hanya sekedar sampai pada pintu gerbang hati kecil papanya. Apa dan kenapa yang membuat papanya begitu tak tersentuh, Sherin pun kehabisan petunjuk.