spontaneous

“Mama, where are we going?”

Suara cempreng Juan di atas kursinya terdengar, membelah situasi tegang antara Renata dan Jayson yang tak saling bicara sejak keduanya duduk di kursi masing-masing. Jayson melirik Renata kecil dan berdeham, senyumannya melayang untuk anak cowoknya yang mulai bermetamorfosa menjadi tokoh kartun Curious George yang selalu curious.

“We're going to Indonesia,” jawab Jayson dan berlutut kecil di depan anaknya. Ia membetulkan tali sepatu Juan di kakinya yang menggantung karena belum cukup sampai di lantai pesawat. “Ke hometown nya Mama sama Papa, are you excited?”

Juan menekuk wajahnya, “no, I'm not, I want to go to the beach again!”

Renata menghela nafas, menghampiri anak semata wayangnya dan memangkunya sembari menidurkannya. Hingga Juan cukup terlelap, barulah ia membuka suara dengan Jayson yang terlihat resah. “Wajar Juan ngerengek, ini pertama kalinya dia naik pesawat terbang. Would you just relax? Anak kamu baik-baik aja.”

“Sayang, aku khawatir sama kamu—I mean aku khawatir ke Juan, tapi gak sebanyak khawatir ke kamu.”

“Kalo emang harus begini caranya to end this shit, let's do this,” gumam Renata dengan tangan mengusap puncak kepala Juan di pangkuannya. “Sebelum Juan ngerasain imbas gak enak dari semua ini.”

“Kamu yakin?”

Renata menaikkan nada bicaranya, “kamu jangan bikin aku gak yakin! Aku ini cuma pura-pura berani, tapi kalo kamu nanya terus, nyali aku ikut menciut.”

Tangan Jayson jatuh ke telapak tangan Renata di pegangan kursi, “sorry sorry, harusnya aku ngomong dari awal ya?”

“Baru nyadar? That you fucked up by not telling me all of this? You could've use me to manage one of your problem, I will fight for you too, Jayson, gue gak mau jadi pihak yang selalu diperjuangin sama lo terus. Maybe I'm not the brightest at business, tapi gue gak bego-bego banget lah.”

Jayson meringis, mendengar kalimat I will fight for you too keluar dari bibir istrinya. Ia terbiasa berkubang dengan masalahnya sendiri, melindungi apa yang pantas dilindungi dan memperjuangkannya sendirian. Tak ia sangka akan ada yang melakukan itu untuknya, dan jujur membuat Jayson tertampar. Renata tidak selemah yang ia kira, bahkan wanita itu sudah menjadi pelumas di tuas semangatnya. Ternyata menjadi kuat bukan berarti harus terlihat tegar, tapi harus melalui rintangan apapun itu—step by step—for something you wished for.

“You cried?” Renata terkejut, “kenapa? Aku salah ngomong, ya? Sorry kalo aku lancang, Jay.”

Who's crying? Jayson menyentuh garis senyumnya yang basah, tanpa sadar meneteskan airmata melihat ibu dari anaknya mengatakan satu hal yang ingin ia dengar dari dulu. Salute to his Grandpa, Jayson tumbuh menjadi pribadi yang kokoh dan tangguh—secara fisik, tapi inner childnya berkata lain. Ada bagian dari dirinya yang ingin merasa dibentengi, dilindungi dan.. dicintai. Loved enough to be worth fighting for. Sialan, makin deres air mata gue, batinnya menyeka kasar sudut matanya yang berair.

“I love you.”

Tiba-tiba banget? “I love you too,” jawab Renata mengulurkan tangannya dan menarik kemeja Jayson agar mendekat lalu melayangkan ciuman singkat. Ada Juan dalam pangkuannya yang membuatnya tak bisa leluasa berdiri dan bergerak.


Asing, Renata merinding begitu melihat kota tempat ia dibesarkan terasa begitu berbeda dari kenangan terakhirnya di sini. Lima tahun di London, beberapa bulan di Labuan Bajo, bisa dikatakan ia tak berada di Ibukota nyaris enam tahun. Six god-damn years—ia bahkan lupa tata letak Jakarta karena terlalu hafal dengan konstruksi London.

“Mama, when we're going home?” suara Juan tengiang di sepanjang perjalanan dari Airport ke hotel Hartono, entah sudah berapa ratus kali bocah ingusan itu menanyai ibunya begitu. Entah karena ia bosan atau ia terkena jetlag parah. Suaranya begitu nyaring, terkadang sangat annoying untuk ukuran anak lima tahun.

“Mama, are we moving here? I don't wanna move here, Mama, I wanna go to school, I wanna meet my friends. When we're going home, Mama? I wanna go home.”

Renata yang baru mengeluarkan beberapa isian koper mendesah. “Juan, honey—Mama tahu kamu bingung, so do I, sayang. Habis ini kita makan dulu, ya? Mama tahu kamu pasti laper, ya kan?”

“Yeah, I'm hungry,” balasnya tak mengubah raut mukanya yang cemberut.

“Inget sate yang dijual di St. Harrington yang dijual Uncle Yanto?” Renata mencoba mengalihkan perhatian Juan, “you like it, right? Sate di sini lebih enak, seribu kali lipat dari punya Uncle Yanto! You wanna try it now?”

Juan melonjak-lonjak antusias, “huwaaah, a thousand times? Really? Really? Can we go now? Mama, can we go now?”

Berhasil. Renata terkekeh melihat Juan bersikap seperti anak anjing manis yang moodnya kembali baik. “We can go now, tapi mandi dulu, yuk! Kamu bisa pake sabun bubble kesukaan kamu.”

“Yeayyy!” Juan berlarian ke arah tas ransel kecil yang ia bawa karena ia sendiri yang meminta untuk membawanya. “Can I play bubble bath with Papa, Ma?”

“Maaf, sayang, Papa ada urusan jadi sama Mama aja, ya?”

“That's alright!” pekik Juan berlarian ke kamar mandi, menuangkan bath bombs yang lebih besar dari kepalan tangannya dan duduk di lantai sambil memperhatikan benda itu melebur bersama air di bath up yang hangat. “Waaaahhhhhh,” gumamnnya lalu terkekeh sendiri, ia julurkan telunjuknya untuk bermain dengan permukaannya yang meletup-letup. That's why he called it bubble bath.


Langkah ambisius Jayson membelah lautan karyawan di gedung pusat Hartono yang akan makan siang diluar kantin. Tepatnya di lantai lima ketika Theo Hartono mengadakan pers conference mengenai lepasnya Jayson dari nama besar keluarga Hartono. Ia mengundang puluhan wartawan yang siap menyebarkan berita besar dalam dunia bisnis hingga ke pelosok negri.

Tidak sampai Jayson menginterupsi pers conference dengan kehadirannya yang mengacau. Ya, Jayson Hartono si pengacau dalam keluarga Hartono. Headline yang cukup menarik, diimbangi dengan gambar Jayson mengobrak-abrik meja conference yang diisi belasan microphone. Well done, Jayson.

Tak begitu dramatis, tapi Jayson memang mengacau. Ia melangkah mantab melewati para wartawan dan lari ke sepupu paling besarnya. Ia melayangkan beberapa kali pukulan di wajah hingga pria itu tersungkur lalu menindihnya dan kembali menghajarnya. Membuat satu ruangan heboh akan tindakan impulsifnya.

Sam di belakang panggung conference masuk ke dalam TKP, dan melerai Jayson yang membuat wajah Theo penuh darah segar dari pelipis hingga sudut bibirnya. Dengan bantuan Carlos yang baru datang—karena baru diberi tahu kejadian memalukan itu—akhirnya mereka berdua bisa dipisahkan. Setidaknya Jayson bisa melihat rekaman dimana ia menghajar Theo di masa depan karena semua media mengarahkan kamera ke arahnya. Vividly. Terimakasih teknologi 4K.

Alhasil pers conference itu berujung malapetaka, menyebabkan kasak-kusuk yang disebarkan dari mulut ke mulut oleh para wartawan yang menyaksikan perkelahian dua saudara sepupu secara live. Ketidakharmonisan dalam hubungan persaudaraan Hartono atau Keterkaitan hubungan saudara sepupu pemilik Hartono Group dengan kematian saudarinya beberapa tahun silam. Kurang lebihnya, mari beri tepuk tangan pada Jayson Hartono yang menyebabkan desas-desus itu tercipta.

“Lo mikir apa sih, Bang?”

Jayson yang wajahnya telah diplester hanya menatap Carlos di kursinya tanpa minat. “Coba lo di posisi gue. Kenapa dia gak bisa biarin gue happy sama Renata, tanpa mengusik tabungan masa depannya Juan? Gue mati-matian kerja buat siapa? Bukan buat gue sendiri tapi buat anak gue, Car!”

“Iya gue tahu, tapi apa harus kayak gini?” Carlos menghela nafas panjang, “gue cuma takut lo kenapa-napa.”

“Maksud lo kenapa-napa?”

Carlos berdecak, “lo tahu Theo. Look what he's done with Aurora. Gue cuma punya lo—satu-satunya saudara gue yang waras—gue gamau kehilangan lo juga kayak gue kehilangan Aurora.”

Jayson mengepalkan telapak tangannya dan membukanya perlahan. Sepertinya tulang belulangnya disana terlihat bergeser karena memukul rahang Theo terlalu bersemangat. “Just in case kalo gue mati, gue titip Renata sama Juan. Take care of them, sayangi mereka kalo lo emang adek gue.”

“Jangan ngomong gitu,” sela Carlos mengingatkan, “kalo kata orang dulu, ucapan adalah doa!”

“Jaga-jaga aja,” balas Jayson ringan, “lo tahu kan gue gak bakalan meninggal dengan tenang kalo sampe liat bini gue sama anak gue kenapa-napa.”

“Iya gue tahu, bang, gue gak bakalan biarin hal itu terjadi,” kata Carlos lalu mengalihkan pembicaraan, “lagian lo udah gue bilangin, ati-ati sama Sam, lo main percaya aja ama tuh orang.”

Jayson membuang nafas kesal, “gue gak bisa salahin Sam, dia pasti terima tawaran menggiurkan dari Theo. Dia cuma suruhan. Biang keladinya tetep aja Theo.”

“Ya you right.”

“Tapi gue bisa hancurin reputasi Sam.”

Carlos menaikkan satu alisnya, tertarik dengan kalimat abangnya yang terdengar menggiurkan. “How?”

“You're gonna love this.”