the F

(F means funeral)


Seiring masuknya peti mati kayu cendana dalam satu liang lahat, langit seolah ikut dirundung nestapa. Menyuarakan gemuruhnya yang menggelegar, saling bersahutan, tak kian menghentikan suasana berkabung dalam prosesi pemakaman keluarga seningrat keluarga Hartono.

Bersamaan dengan itu, seluruh stasiun televisi, reporter surat kabar, bahkan beberapa media manca negara mengabarkan kematian pasangan yang kemarin sempat trending di Twitter. Jayson dan Renata Hartono, meninggal tragis dalam kecelakaan maut sehari setelah berita kembali rujuknya mereka mencuat di berbagai platform media. Bahkan dunia belum cukup siap melepas kepergian keduanya.

Terutama bagi Juandra Hartono—bocah lima tahun yang tak diketahui eksis sebelum pesta dimulai. Well, lebih tepatnya ia disembunyikan dengan baik oleh sang ayah.

Layaknya tersambar badai dan petir, penghujung tahun di keluarga Hartono harus ditutup dengan duka dan berbagai konspirasi.

Pemberitaan kian memanas ketika semua bukti mengarah ke satu nama, CEO terkini Hartono Group yang dinyatakan sebagai tersangka utama kasus kecelakaan ini. Theodore Hartono dengan keberadaannya yang tak dapat dikonfirmasi siapapun. Menguatkan bukti adanya pembunuhan berencana yang ia dalangi. Bersamaan dengan segala tingkah lakunya belakangan ini, jelas pria 33 tahun itu ingin menguasai Kerajaan Bisnis Hartono Group. Sendirian.

Anggota keluarga Hartono yang dapat hadir hanyalah Carlos beserta Jovanka. Juan yang berwajah malang, menatap pusara tempat peristirahatan terakhir kedua orangtuanya dengan tatapan kosong. Ia menggenggam jemari Carlos kuat, sedang tangan yang lain sibuk bergandengan dengan Kenzo. Kemarin saat di pesta, siapa yang akan menyangka jika bocah yang tersohor dalam semalam itu akan menjadi yatim piatu dikemudian hari.

Carlos tak menanggalkan kacamata hitamnya sepanjang pendeta memimpin jalannya penguburan. Ia menyembunyikan mata sendunya yang kering karena mimpi buruknya menjadi nyata. Ya, mimpi buruknya akan kehilangan abangnya. Berulang kali ia harus menyeka pipinya, mencoba kuat demi Juan yang ada di genggamannya.

Begitu pula Jovanka, ia mengatupkan bibirnya rapat-rapat, tak sedikitpun suara keluar dari sana. Tangannya mengusap puncak kepala Juan berkali-kali, memastikan bahwa anak lima tahun itu baik-baik saja tanpa kehadiran Papa-Mamanya.

Entah mereka cukup mampu atau tidak menghadapi para media, kamera dan reporter yang memburu mereka dengan berbagai pertanyaan. Tentu, setelah pemakaman usai, mereka—Carlos dan Jovanka—harus diperiksa terkait kecelakaan yang menewaskan saudara-saudarinya, dan memberikan keterangan jelas agar kasusnya dapat diusut.

Tak jauh dari acara pemakaman yang terlihat khitmad dan haru, berdiri dua orang dewasa yang bernaung di satu payung hitam lengkap dengan pakaian serba gelap mereka. Mereka layaknya anggota pemakaman yang absen diundang, hanya dapat menyaksikan pemakaman dari jarak yang teramat jauh. Lebih jauh dari para wartawan yang meliput berita eksklusif tersebut.

“Gue gak nyangka kita lakuin ini ke mereka,” ujar salah satu diantara mereka, menyeka airmata di ujung matanya dengan saputangan hitam yang senada dengan glove kulitnya.

Pria disebelahnya yang memegang gagang payung itu mengeratkan rangkulannya, ia berbisik sembari mengecup pelipis wanita di sebelahnya. “Mari kita nikmati pemakaman ini untuk terakhir kalinya.”

“First Aurora, terus mereka?” si wanita betulan menangis sesenggukkan, menanamkan wajahnya ke dada bidang si pria. “Kita jahat banget.”

“Untuk kepentingan kita berdua, kita harus jahat. Manusia sesekali harus egois, ada harga yang harus dibeli untuk sebuah kejahatan berencana.”


“Pukul 8.17, dimana tepatnya anda?”

Carlos menatap wajah detektif muda yang sedang tak berniat untuk beramah-tamah padanya. Ia duduk di kursinya, diinterogasi dan diperiksa. “Di pesta, bisa cek CCTV dan kamera media, kalo jeli bisa liat juga keberadaan Jovanka, istri saya.”

“Apa hubungan korban dengan Theodore Hartono sedang tidak baik-baik saja?”

What a question, Carlos membatin dengan jujur menjawab, “gak, emang lagi gak baik. Theo maksa Jayson pergi dari Hartono Group dan ahliwaris Opa, Jayson gak terima dan sebar identitas partner bisnis misteriusnya Theo, and I guess Theo marah besar.”

“Apa Theo hadir di pesta semalam?”

“Nope,” jawab Carlos dengan wajah kusut, “listen, Detektif, gue sama istri gue lagi berduka. Anak kakak gue pasti trauma liat pemberitaan dimana-mana, dan gue juga lagi gak dalam keadaan baik-baik aja. Jadi, apa kita selesai?”

“Belum.” Dengan tegas, si detektif tak lelahnya membuat Carlos geram. “Apa hubungan korban dengan Sam Kiehls?”

“Bisa tanya sendiri gak? Kasih surat panggilan ke rumahnya buat jadi saksi, atau apa kek? I mean, are we done now?”

Detektif Rudy menyipitkan dua matanya, menimbang-nimbang sesuatu dengan jeli. Ia menganggukkan kepala, membuat Carlos akhirnya undur diri dan meninggalkannya di ruangan interogasi.

Benar saja, ketika ia menanggalkan ruang, Sam Kiehls berjalan ke arahnya. Hampir saja Carlos melangkahkan kaki jenjangnya ke arah pria itu dan menghajarnya, tidak sampai Jovanka berlari lebih cepat dan menengahi mereka.

“Car, kita di kantor polisi,” gumam Jovanka menenangkan suaminya, ia menangkupkan wajah Carlos dengan dua tangannya, menatap sorot sayu dan betapa lelahnya Carlos. “Sayang, gak semua bisa selesei pake kekerasan, oke?”

Berbeda dengan Carlos, Sam pun sedang tak ingin mencari gara-gara. Rekan bisnisnya tersandung masalah yang melibatkan dirinya, beberapa investor memburunya dengan jutaan pertanyaan dan kini ia melihat Jovanka—the girl that used to be his lover—memperlakukan Carlos, yang mana harusnya ia yang membutuhkan kalimat itu sekarang. Hidup memang selucu itu, kemarin ia memiliki segalanya kini ia seperti gelandangan yang meminta-minta.

“Sam Kiehls?” Detektif Rudy memanggilnya, mempersilahkan pria jangkung itu masuk dan menyelesaikan kewajibannya sebagai orang terkait dalam kecelakaan yang menewaskan Jayson dan Renata Hartono. “Long time no see, Sam.”

Sam menempatkan pantatnya ke kursi tersangka, “biasanya gue yang duduk di kursi penyidik,” ucapnya dengan kaki terlipat arogan.

Rudy berdeham, menahan dirinya untuk perayaan kecil karena berhasil menangani kasus yang melibatkan Sam Kiehls. Biasanya pria yang lebih senior dari Rudy itulah yang menangani kasus sebesar ini.

“Jadi lo alih profesi dari pengacara ke pebisnis?” kekeh Rudy, menempatkan dirinya di depan Sam, “pertama kali berbisnis dan malah terlibat sama hal beginian? What's up with Sam K? Lo biasanya hati-hati sama hal beginian.”

“Gue cuma sial,” gerutu Sam tak terima. “Gini, gue mau mempersingkat aja. Gue orang hukum, gue tau mekanisme kerja hukum di negara ini gimana, jadi gue gak mau memperkeruh apa-apa.”

“Good,” komentar Rudy membuka paper di depannya, “karena kasus gue sekelas Hartono, I don't wanna screw this thing up. Lo di pesta saat Jayson dan Renata Hartono kecelakaan?”

Sam mengangguk, “walaupun gue gak diundang, tapi gue dateng.”

“Gue denger lo partner bisnis Jayson sebelum kerjasama bareng Theo, kenapa lo gak diundang?”

“Mungkin karena gue pihak oposisi.”

Rudy terkekeh, “apa Theo yang nyuruh lo dateng?”

“Gak, gue dateng karena keinginan gue sendiri.”

“Aneh, lo pasti dateng cuma biar punya alibi dan gak jadi tersangka utama, kan?”

“Lo mau Theo, kan? Gue tahu, tapi pastiin lo bersihin nama gue karena gue gak terlibat.”

Suara Sam yang stabil itu menggema di ruangan interogasi, menyuarakan kebenaran dalam kalimatnya. Pria itu mungkin menjadi tersangka—atau bisa dibilang saksi—untuk situasi saat ini, tapi air mukanya yang tenang terkesan dingin itu jelas membuktikan bahwa ia bukan orang baru di ranah hukum.

“Really?”

Sam menyeringai, “do we have a deal?”