#tragedy

Semilir angin malam hari di kota Jakarta menyapu anak rambut Jayson, samar-samar menyelinap ke balik remang-remang bulu kuduknya dan membuatnya bergidik kecil. Belum pernah ia merasakan kota kelahirannya itu sesejuk malam itu.

Kehadirannya di Hartono Residence malam itu bukan sebagai seorang anggota keluarga Hartono yang pulang kampung ke keluarganya, melainkan hendak mengakhiri perang yang beranggotakan dirinya dengan saudara paling besarnya, Theo. Hampir saja ia kehilangan kendali atas dirinya dan menyeret kakaknya itu keluar dari ruang CEO yang baru setahun Theo tempati. Namun tidak, Jayson Hartono memilih berdamai dengan pertempuran yang adil tanpa melibatkan pertumpahan darah.

Classic Jayson Hartono. Bersikap tenang layaknya air, tapi bersiaplah tenggelam jika berani bermain-main dengannya.

Setelah semuanya selesai, ia bersumpah bahwa itu akan menjadi malam terakhir Theo sebagai tirani dalam rantai pergerakan Hartono Group. Mengetahui fakta kematian Opanya jatuh di tangan abangnya itu, belah kasihnya seolah lenyap, termakan api kemarahan yang bengis. May you Rest in Peace, Opa, tolong doakan saja cucu tertuamu itu karena malam ini aku membawa lembah keruntuhan untuknya.

Tapi takdir seolah berkata lain malam itu. Tak seperti biasanya, ada yang terlewat dari agendanya. Theo tak pulang ke rumah inti seperti biasanya. Dan Aurora.. adiknya yang lebih muda lima tahun darinya itu pun belum memberinya kabar perihal pertemuannya dengan Theo.

Merasa ganjil, ia buru-buru memasukkan dirinya ke sembarang mobil di garasi, mengemudikannya ke suatu tempat yang ia yakini sebagai lokasi terakhir Theo. Yamatsu Resto, tempat bertemunya Theo dengan Aurora.

Sepanjang perjalanan, Jayson mencoba menghubungi Aurora. Perasaannya tak karuan, berharap-harap cemas.

“Angkat, Ra..,” gumamnya gelisah, matanya memperhatikan jalanan yang anehnya ramai di pukul sepuluh malam.

Tidak aneh lagi ketika mobil ambulance nampak di depan Japanese Restaurant yang terkenal udonnya itu. Massa mengerubungi pintu depannya, memblokade pandangan Jayson yang mengintip dari kaca depan mobil. Ia keluar dari Tesla silver, koleksi resmi di bawah nama Hartono Group dan membelah lautan manusia yang menyaksikan sebuah tragedi ngeri.

Seorang wanita dua puluhan, tergeletak tak bernyawa di ruang VIP seorang diri tanpa bekas lebam apapun disekujur tubuhnya. Petugas medis memberikan pertolongan pertama, tapi naasnya tak terselamatkan karena nyawanya telah melayang jauh sebelum mobil ambulance datang. Dugaan awal kematian: serangan jantung fatal. Dugaan kedua: food poisoning, alias keracunan makanan.

Dan wanita itu adalah Aurora Hartono.


Berhari-hari menyalami para kolega bisnis Hartono yang jumlahnya tak terkira, para anggota keluarga Hartono yang tersisa yakni: Theo, Jayson, Carlos beserta istrinya Jovanka, berdiri mengelilingi peti mati Aurora. Wajah mereka sendu, hanya satu wajah yang menampakkan senyum, wajah Aurora yang ada dalam peti—menutup mata untuk selama-lamanya. Acara rumah duka Hartono siang itu diakhiri dengan penutupan peti anggota termuda keluarga Hartono, sekaligus acara final sebelum Aurora benar-benar dimakamkan di makan keluarga.

Peti mati ukiran kayu cendana yang menaungi Aurora beraroma khas, kokoh dan nampak berat. Begitu kontras dengan penampilan mayat Aurora yang anggun dalam balutan dress putih favoritnya. Tersenyum di wajah kematian yang tak pernah semua orang duga. Lagipula siapa yang bisa menduga kematian seseorang?

Jayson melirik sepupu tertuanya, Theodore. Tidak sopan rasanya meninju wajah saudaranya di depan mayat Aurora yang bahkan belum dimakamkan. Sunglasses hitamnya mungkin menutupi sorot kejamnya dari orang-orang, tapi Jayson tahu, pria itulah dalang dari pembunuhan Aurora.

Ketika kotak peti itu ditanamkan ke dalam liang lahat perlahan-lahan, Jovanka memeluk Carlos, tak kuat menahan isak tangisnya yang banjir. Carlos memeluknya dengan sebelah tangan, tangan lainnya sibuk mengusap kecil airmata yang terus menetes dari sudut matanya. Jayson menatap nanar pemandangan yang tak pernah masuk ke rencana akhirnya, dan berakhir berjalan mendekati Theo yang terdiam tak banyak cakap.

“Congratulation, you kill one of us,” gumam Jayson lirih, menaikkan kacamata hitamnya yang melorot di pangkal hidungnya.

Theo meliriknya, tak bisa berekspresi berlebihan karena dalam radius beberapa meter, media memberitakan pemakaman Aurora Hartono dari kejauhan. “You made me do this, you happy now?”

This change everything,” kata Jayson mendeklarasikan gencatan senjata, “just wait, I'm gonna bring the hell to you after this.”

“I'll be here. Waiting.”