True-th
Nyaris dua jam berlalu, Sherin membaringkan dirinya di atas ranjang ruangan terlarang di rumahnya—kamar pribadi mamanya. Ia mengabaikan debu-debu yang menjadi penghuni tetap ruangan itu, membiarkan dirinya dikerubungi oleh bayang-bayang samar kenangan terakhir kalinya ia bisa bebas berkeliaran di ruangan itu dengan mamanya.
Ia menarik satu sudut bibirnya, membayangkan Sherin kecil ikut mengabur bersama bayangan itu. Terjebak dalam pusaran masa lalu yang palsu, tanpa tahu jika waktunya dengan sang mama akan lenyap begitu ketok palu Pengadilan Agama ada di penghujung hubungan pernikahan Tony dengan Clarisa. Pernikahan yang kata orang-orang adalah sebuah happily ever after, tapi lucunya berujung perpisahan.
“Kamu ngapain di sini?”
Sebuah suara membuyarkan ruang fantasi Sherin, papanya berdiri di ambang pintu masuk—dengan kemeja garis-garisnya, lengkap dengan kacamata kerjanya yang bening. Tampaknya pria empat puluhan tahunan itu baru saja pulang dari jadwal kerjanya yang tak beraturan.
Sherin beranjak dari tidurnya, diiringi perasaan amarah yang terpupuk belasan tahun begitu menatap papanya—penyebab dirinya tak lagi bisa menemui mamanya. Ia bisa menipu perasaannya sendiri selama lebih dari seabad, tapi hari itu adalah puncak kekecewaannya. Melarangnya bertukar kabar dengan orang yang melahirkannya, seolah itu adalah dosa besar yang layak Sherin tebus bertahun-tahun.
“Kenapa? Nggak boleh juga?” tanyanya ketus, sambil meremas sprei kusut di ranjang, berharap ia bisa menahan emosinya yang meledak.
Tony membuang nafas panjang, kemudian melangkah masuk. Ia mengedarkan pandangan ke seisi ruangan nuansa putih gading tersebut, “di sini kotor, kamu kan ada alergi sama debu.”
“Well, it doesn't matter, cuma ini yang kesisa dari Mama. Kenapa, Pa? Mau ambil yang ini juga?”
Bohong jika Tony tak acuh pada nada sarkasme yang anak gadisnya lontarkan. Tapi ia memilih melenggang pergi dengan bergumam kecil, “lebih baik kamu lupakan saja mamamu itu.”
Hah, gimana? “Maksud Papa?”
“Lupakan saja dia, lagipula kamu sudah lama nggak ketemu dengan dia, akan lebih mudah buat lupa, kan?”
Sherin tak percaya kalimat itu baru saja masuk ke gendang telinganya, mengalir kasar ke ulu hatinya dan sontak membuat dadanya sesak. Bagaimana bisa papanya menyuruhnya melupakan kenangan yang tak seberapa jumlahnya bersama mamanya?
“Pa, Mama lukain Papa sesakit apa sih, sampe Papa bersikap kayak gini?”
Tersentak akan pertanyaan anaknya, Tony tiba-tiba merasa canggung dan melangkah keluar ruangan. “Mana ada dia lukai Papa? Namanya saja orang bercerai, jelas sudah nggak berhak berhubungan.”
Sherin diujung batas kesabarannya, enough is enough. Sudah cukup jauh papanya lari dari kenyataan, ini saatnya Sherin tahu kebenaran dibalik sandiwara yang telah dilakoni papanya bertahun-tahun. Ia mengekori papanya keluar ruangan dan menembaknya dengan pernyataan, “Papa nggak mungkin bersikap kayak gini kalo kalian pisah baik-baik!”
“Kita bercerai, apa fakta itu kurang cukup untuk kamu pahami?”
“Pertanyaannya: kenapa, Pa? Dua orang yang disatukan Tuhan nggak mungkin dong tiba-tiba memutuskan buat bercerai gitu aja? Dan lagi, aku kena imbasnya, Pa! Aku nggak bisa ketemu Mama lagi, and sure I'm old enough to know what happened a dozen years ago.“
Wajah Tony tanpa ekspresi membuat Sherin gagal membaca apa yang sebenarnya papanya itu pikirkan saat ini. Apakah ia sedang sedih, kecewa, dan marah? Atau ia sedang mati-matian menjaga airmukanya tetap datar, agar Sherin menyerah dan melupakan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini ia coba hindari?
Tiba-tiba senyum kecil di wajah lelah papanya membuat Sherin kian bingung. Apakah itu senyuman kekalahan? Senyum kebahagiaan? Senyum yang kemudian membuat Sherin tahu, itu adalah sebuah senyuman kerelaan. Rela menanggung beban secara individual tanpa mau mempertaruhkan potret 'bunda' di masa kecil anaknya.
“Mama kamu selingkuh dari Papa,” akhirnya bibir itu mengucap, membeberkan luka busuk yang gagal disembuhkannya oleh sepotong band-aid. “Dia secara sukarela menukar keluarga kecilnya dengan hubungan nggak lazimnya sama model yang seumuran sama anaknya.”
Bisu. Sherin merasakan déja vu kuat yang menohok sisi lain hatinya.
“Itu kenapa hak asuh kamu jatuh ke tangan Papa,” ujarnya lagi, “dan sepertinya Papa masih belum sudi melihat kamu berhubungan sama orang yang buat sebuah keluarga hancur kayak gini.”
Sherin buka suara, “kalau aku berhubungan sama Mama, bukan berarti aku juga ninggalin Papa kok. Aku kangen dia, Pa, apapun yang terjadi diantara kalian, dia Mama aku, I need her around.”
“Tahu apa kamu soal perasaan pihak yang diselingkuhi, Sherin?”
Tahu apa, katanya? Pa, anakmu ini juga lagi diselingkuhin, Pa! Aku tahu rasanya emang sakit, Pa!
“Orang menikah sama orang yang berpacaran itu beda, Sherin. Orang yang sudah menikah itu nggak main-main komitmennya, begitu dikhianati oleh orang sama yang paling kita percaya, di situlah awal dari kehancuran pernikahan.”
“Papa nggak mau belajar memaafkan Mama?” Sherin dengan lancang bertanya, mengkorelasikan perasaan terluka papanya dengan yang ia rasakan saat ini—sebagai dua korban perselingkuhan.
Tony melangkah mendekati anak gadisnya, melayangkan usapan kecil di puncak kepala Sherin seraya menjawab, “kamu masih lugu, Nak, semoga kamu nggak merasakan apa yang Papa rasakan, karena rasanya sakit bukan main.”
Betul, rasanya sakit bukan main. Begitu Sherin mendengar itu, ia berlari ke pelukan papanya, menumpahkan derai airmata yang ditahannya selama beberapa menit. “Maafin aku, Pa, aku nggak tahu kalau selama ini Mama yang jahat bisa bikin Papa matirasa kayak gini.” Dan sekarang aku juga ngerasain apa yang Papa rasain, Pa. Jean selingkuhin aku, Pa, dia selingkuh, tambahnya dalam hati, menambah kuat arus pertumpahan airmatanya.
“Maaf ya, Papa baru ngomong sekarang,” kata Tony disela usapan punggung di anak gadisnya, “Papa nggak tahu harus ngomong darimana, Sherin, di sisi lain Papa juga belum siap lihat kamu dekat dengan orang yang buat keluarga kecil kita nggak utuh, Nak.”
Sherin melepas pelukannya dengan nafas sesenggukkan, “nggak, Pa, aku nggak perlu lagi berhubungan sama dia, Pa. Papa aja udah cukup buat aku.”
Tony mengangguk-anggukkan kepalanya, “ya, lebih baik begitu. Karena tahu nggak? Nggak bisa ketemu kamu dan dekat sama kamu adalah hukuman paling pantas buat dia.”
Sherin menyeka mukanya yang basah, kini ia mendapat jawabannya. Ia tahu jelas apa yang kemudian harus ia lakukan di hubungannya bersama Jean.