ceciliannee

cracked

#cracked

“Selamat datang, Nona Renata.”

Paris—butler di Hartono Residence, pria paruh baya berkepala putih itu tersenyum ramah, satu-satunya manusia beradab yang sanggup menyambut Renata di rumah inti dengan kehangatan. Pria itu sudah melayani keluarga Hartono di tiga generasi, lebih lama dari umur Renata di dunia.

“Long time no see, Paris,” sapa balik Renata lalu menyerahkan coatnya, “apa semuanya udah dateng?”

“Tuan Theo dan Nona Shella masih di dokter kandungan, hanya ada Aurora, Carlos dan suami anda, Nona,” jawabnya sopan sambil menerima coat Renata, “anda mau teh? Kopi? Atau whiskey seperti suami anda?”

“Jay minum?”

“Hampir separuh botol,” jawab Paris lalu melenggang pergi membawa coat Renata untuk digantung. “Oh, let me give you some spoiler, Nona, mereka bertiga tidak sendirian di ruang keluarga.”

Renata mengerutkan kening, langkah kakinya berjalan ke arah ruang keluarga, secepat rasa keingintahuannya terpuaskan. Semua pasang mata menatapnya—Jay, Carlos dan Aurora—oh! Dan tambahan satu personil lagi. Seorang perempuan berdress hitam dan berambut brunette panjang.

“Uh-oh!” Aurora bersuara, lalu beranjak dari duduknya. “I can't watch this. Car, kalo bang Theo dateng lo imess gue ya, gue ke kamar dulu.”

Ingin sekali Carlos mengekori Aurora untuk pergi dari ruangan itu, tapi terlambat begitu Renata duduk disebelahnya dan bertanya padanya. “Carlos, ada apaan nih? Kata Paris abang lo minum whiskey kayak minum susu, banyak banget. Siapa nih? Pacar lo?”

Sementara yang sedang dibicarakan, duduk di sofa dengan tenang, satu tangan menyangga kepalanya yang mulai kabur karena alkohol, satu tangan lainnya memegang gelas whiskey. Sudah jelas wajahnya teler, minum segelas whiskey lagi pria itu akan tergeletak di lantai dan baru siuman keesokan harinya.

“Actually, gue Jovanka,” ujar cewek rambut brunet itu sambil mengulurkan tangannya yang lentik.

“Renata.”

Jovanka tersenyum girang, “I know who you are,” ujarnya sumringah, “gue sering banget ikutan PO di brand clothing Victory, design lo semuanya bagus banget!”

“Thanks,” jawab Renata mencoba sopan, tapi sungguh tak bisa menutupi rasa keponya, “Jay? Would you give me a favor, be sober and explain what happen to me?”

Jay melirik istrinya dengan tatapan yang tak terbaca, “kamu inget kita sempet putus dua bulan sebelum pernikahan?”

Renata terdiam, menunggu kalimat yang akan diucapkan suaminya selanjutnya. Semoga gak kayak yang gue pikirin.. semoga gak kayak yang gue pikirin.. please God.. No..

“I was with Jovanka that time,” ujar Jay kemudian, menampar do'a dalam batin Renata yang baru saja ia panjatkan ke Tuhan, seolah Tuhan bilang padanya bahwa doanya baru saja ditolak mentah-mentah. “And now, she's pregnant.”

Holy motherfuc—apa? Hamil?

Renata memutar kepala ke arah Jovanka yang tadinya tersenyum sumringah, kini gadis itu duduk di tempatnya menundukkan kepala dengan dua tangan menyatu di atas lututnya. Apa ia tidak salah dengar? Suaminya menghamili gadis itu ketika mereka hanya putus selama seminggu?

“Lo becanda, kan?” tanya Renata naik satu oktaf, serasa ada yang menarik tali kesabarannya dan suaminya yang bertanggungjawab atas hal itu. “Gue jemput Winarta, jalan-jalan keliling Jakarta, I know we had a history but I do not sleep with him, gitu aja lo marah ke gue, Jay? Sedangkan lo? I can't—I can't deal with this right now.”

Renata beranjak dari duduknya, menanggalkan ruang keluarga dengan perasaan nano-nano. Lebih banyak rasa marah daripada sedihnya. Jay pun mengekorinya, menarik lengannya dan memaksanya tinggal. “Let me explain, sayang.”

“You explain it enough! Don't you even dare calling me with that word!” Renata berteriak, melayangkan tinju yang tak seberapa kekuatannya karena nyawanya hampir saja melayang mendengar ada seorang gadis yang dihamili suaminya. “Lepasin gue. Gue mo ke pengadilan sekarang. Tunggu surat cerai dari gue!”

“Woah woah woah!”

Theo dan Shella yang baru tiba bingung. Mereka berjalan dengan juru bicara keluarga yang memang ditunggu kehadirannya, Pak Christian. Ya kaget dong baru sampe rumah udah disuguhin adegan Jay dan Renata yang bertengkar hebat. Setahu orang-orang, sepasang suami-istri itu tak pernah terlihat dalam perselisihan.

“Kenapa nih?!” tanya Shella panik, “and who the hell is that?” tanyanya lagi ketika melihat Jovanka tak jauh dari sejoli.

“Apapun masalah kalian, save it. Pak Christian udah dateng dan kita bahas aja skandal itu,” kata Theo menatap tajam baik Jay maupun Renata.

Dengan berat hati, Renata menarik lengannya dari genggaman Jay dan kembali ke ruang keluarga dengan perasaan tak karuan. Marah? Tentu saja. Sedih? Sedikit. Kecewa, lebih tepatnya. Mereka hanya putus beberapa hari lalu tiba-tiba Jay punya anak dari wanita lain, what a fucking asshole.

“Jadi.. apa perselingkuhan itu bener, Nona Renata?”

Pak Christian memulai pertemuan keluarga Hartono, bersamaan dengan datangnya Aurora dan duduk di sebelah Renata. Apa itu? Apa Renata tidak salah? Tangan Aurora mengenggam tangannya, seperti memberi dukungan moral. Cewek itu kemarin memakinya sebagai jalang di group keluarga, sekarang cewek itu memberinya uluran tangan kehangatan?

“Oh it was true,” kata Renata tersenyum getir, mengasumsikan bahwa Aurora tahu kehamilan Jovanka dari genggaman tangannya dan sepertinya cewek itu berbalik mendukungnya. “Tapi bukan gue. Jay sama cewek itu lebih tepatnya.”

“Hah?” Theo menganga, “Jay? Beneran?”

“Ya,” Renata yang menjawab lalu menatap suaminya yang duduk agak jauh darinya, “malahan, cewek itu sekarang lagi hamil anaknya Jay. Coba tebak siapa yang bajingan? Sodara kalian sendiri nih, bukan gue.”

“Nona Renata, meeting ini belum selesei, tolong kembali duduk ke tempat semula,” kata Pak Christian dengan tegas menginteruksi Renata yang mau kabur dari pertemuan keluarga Hartono yang dramatis. “Mungkin ini terlihat palsu, tapi saya sarankan semua Hartono, baik menantu maupun para sepupu, harus tinggal di Hartono Residence untuk beberapa hari untuk menghindari penurunan citra baik keluarga Hartono yang dibangun susah payah oleh kakek kalian, Surya Hartono.”

“Gue gak bisa serumah sama suami gue sama selingkuhannya! Nggak! Nggak bisa! Gue bisa gila lama-lama!”

“Yang, please, kejadian aku sama Jovanka udah dua bulan yang lalu, lagian itu pas kita putus. Aku mabuk—coba tanya Carlos, aku gak kerja di Hartono selama seminggu karena putus cinta—”

“Dan lo lari ke pelukan cewek ini?” potong Renata tak kuat menahan kebakaran yang ada dalam dadanya, “bayangin kalo gue sekarang hamil anak Winarta, lo pasti ngamuk kayak yang gue lakuin sekarang!”

“Cukup.” Theo menengahi, “bener kata pak Christian, lagian ada banyak wartawan diluar gerbang, mau gak mau lo harus disini beberapa waktu dulu. Sampai waktunya udah tenang dan masalah ini kelar, baru kalian rundingan mau lanjut apa cerai.”

“Gue gakmau cerai.”

“Excuse me?” Renata naik pitam, “lo ngehamilin anak orang lain, lo harus tanggung jawab. Gue yang gak hamil ini harus ngalah, dan itu tandanya kita harus cerai.”

“Car, kenapa lo diem aja? Lo ada disana kan? Di bar pas gue mabuk? Semabuk-mabuknya gue, gue gak pernah tidur sama cewek manapun. Iya kan, Car? Carlos? Jawab!” Jay membanting gelas whiskey yang daritadi ditentengnya, membuat semuanya terkejut, bahkan Shella menjerit kecil karena mengalami shock ringan. “Gue mau test DNA dulu, gue mau buktiin nih anak bener anak gue apa nggak.”

Jovanka yang diam saja daritadi bersuara, “lo perkosa gue dan lo nuduh gue bohong? Yakali gue gaktau bapaknya anak gue?”

“Udah, kak, lo tidur aja disini sementara ya? Lo gakbisa menghadapi wartawan diluar sana,” kata Aurora, meraih lengan Renata mencoba menenangkannya. “Gue minta maaf kemarin jahat sama lo, ternyata lo gak bener-bener selingkuh dari cowok itu.”

“Kok tahu?” Theo penasaran.

Aurora melemparkan ponsel ke arah abangnya, menampilkan video rekaman cctv lobby hotel Hartono yang merekam footage Winarta. Mulai dari check in hingga masuk ke kamar hotelnya, cowok itu berjalan sendiri sambil menggeret kopernya. Sendiri. Berarti ia dan Renata tidak menginap dalam satu kamar di malam itu. Cukup membuktikan bahwa kabar burung itu tidak benar.

“Oke, tapi tetep aja, lo mau konferensi pers di depan wartawan segitu banyak di depan gerbang? Silahkan.”

Renata tidak menyangka ia menghela nafas dan setuju dengan omongan Theo barusan. Ia menatap tajam ke arah Jay yang menatapnya penuh rasa bersalah. “Fine,” ucapnya melirik Paris yang berdiri tak jauh dari semua orang, “tapi Paris, gue mau kamar terpisah.”