#die hard
Setelah Mahesa mampir ke kantornya untuk memberikan laporan akhir dari kegiatan bulanan Hartono Resort, Carlos masih terduduk di mejanya. Jam sudah lewat pukul tujuh malam, tak pernah dalam sejarah hidupnya ia bertahan di kantornya sampai malam hari. It creeps him out. Takut dirinya menjadi sosok yang workaholic lebih tepatnya.
Entah sudah berapa kali ia mencocokkan berbagai kejadian beberapa bulan belakangan ini yang ia lalui. Mulai dari abangnya Jay yang ingin memecatnya dari posisi Direktur Operasional yang kemudian membuatnya beralih kepercayaan ke abangnya Theo. Lalu perceraian kontroversial Jay yang baru beberapa bulan menikah, disusul dengan hengkangnya abangnya itu dari kursi CEO yang kemudian diambil alih Theo dan kemudian dirinya yang menggabungkan semua kejadian itu dengan laporan Mahesa yang bilang Jay masih berhubungan baik dengan sang mantan istri. Tak luput juga, kenapa tiba-tiba abangnya peduli dengan kandungan Jovanka dan mendadak ingin test DNA padahal selama ini Jovanka ada di rumah inti saja ia tak acuh.
Kalau jeli, ia bisa mencium aroma gosong dari kepalanya karena having too much on his plate.
Tapi kemudian ia mengintip berkas kecacatan dalam laporan Precast di pulau Kalimantan tahun 2018 yang terkesan dibuat-buat. Lalu beralih ke laporan Mahesa perkara penyelidikkan kecilnya tentang penerbangan yang ditumpangi Jayson Handoyo setiap bulan di tahun 2021. Kemudian loncat ke pesan chatting yang dikirimkan Jovanka, terlalu aneh jika semua ini tidak ada kaitannya.
Holyshit
“Bentar-bentar,” Carlos terkejut dengan ide aneh dalam otaknya, “apa bang Jay tahu ya? Holyshit.”
Di lorong yang sunyi itu, terdengar derap langkah dari sepasang sepatu fantofel mahal milik Carlos. Langkahnya agresif, menapakkan kaki jenjangnya menuju ruangan di sudut lorong, sudut paling eksklusif di gedung Hartono Group. Ruangan sang CEO sekaligus Presiden Direktur yang menjabat sejak kepergian sang perintis, Surya Hartono.
Ruangan kakaknya, Jayson Hartono, tidak pernah seredup itu di mata Carlos. Ia mengintip dari luar ruangan, sangat jelas karena dinding ruangan itu hampir seluruhnya terbuat dari kaca yang transparan. Kerongkongannya dengan kasar menelan salivanya sendiri begitu wajah pemilik ruangan menyadari kehadiran Carlos, seolah menunggu untuk dikunjungi sang adik.
“Bang, I can explain,” ucapnya begitu membuka pintu kaca, walau si penghuni kursi kebesaran kakeknya itu tak mengucapkan sepatah katapun. “Gue—” kata-katanya berhenti, termakan oleh kegugupannya sendiri.
Shit! Carlos gemetaran hanya karena tatapan dingin kakaknya seolah mengintainya. Bibirnya mengatup rapat, rahangnya mengetat dan matanya—Carlos bisa saja terintimidasi begitu saja hanya dengan tatapan mata itu. Pesona abangnya sebagai pemegang posisi tertinggi di Dinasti Perusahaan keluarga memang tak perlu dipertanyakan.
“Maaf, bang.”
Jay menarik satu ujung bibirnya, “what did you say? Maaf?”
“Gue gak punya pilihan lain, bang, pas lo tiba-tiba mau ganti posisi Direktur Operasional yang gue pegang—”
“Hold on, Car, apa?” Jay terbahak, ia menutup layar macBook di depannya dan mengernyit konyol di depan adiknya, “oh, Carlos, lo tahu kan diantara kita berempat—lo, gue, Theo dan Aurora—cuma lo yang gue percaya?”
Carlos mengedipkan matanya secepat yang ia bisa, selagi otaknya bekerja semaksimal mungkin memproses kalimat abangnya. “Bentar, jadi—?”
“Ya, lo dipermainin sama Theo,” potong Jay menertawakan kelinglungan Carlos, “lo tahu kan Chief HRO—Johnny Pratama—disini itu kakaknya Shella, naif banget lo kegocek bualannya Theo?”
“Motherfucker!” Carlos mengumpat, memundurkan langkahnya karena merasa alat pemompa darahnya merosot ke perutnya, “bajingan—jadi selama ini gue ditipu? Bang, sorry, bang, jadi selama ini lo tahu?”
Tangan Jay melipat di depan dada, “ya gue tahu, to be honest, gue tahu semuanya.”
Carlos mengacak rambutnya yang klimis, “fuck! Like everything—semuanya?”
Kepala Jay mengangguk tenang, “gue juga tahu kalo yang dikandung Jovanka bukan darah daging gue.”
“Bang, sumpah gue mau kasih tahu lo, Jovanka juga ngedesak gue tapi guenya aja yang bego,” kata Carlos membela diri, “dan soal kak Renata—”
“Don't you dare talking about my wife,” sela Jay cepat tak berempati, “untungnya Renata tahu rencana lo-lo pada, jadi sakit hatinya gak seberapa.”
“Kak Renata juga tahu?! Shit.” Carlos terkejut dua kali, nafasnya engap padahal di ruangan ber-AC. “Bang, gue minta maaf, gue bener-bener gak tahu soal Theo yang rekayasa keputusan lo dan Jovanka suruh gue buat ngomong jujur ke lo karena dia mau gue tanggung jawab.”
“Ya, gue tahu lo juga korban dari kelakuan Theo.”
Carlos menghembuskan nafas lega, “thank God, lo ngertiin posisi gue—”
“Oh! Itu gak membenarkan kelakuan lo sama Aurora memojokkan Renata dan buat dia depresi,” sela Jay lagi, berhasil membuat Carlos kembali deg-deg an. “Lo semua tahu dia hamil and she did nothing wrong, tega banget kalian sama dia.”
“Ya, gue tahu gue salah, tapi lo kenal Theo,” Carlos mengeluarkan alibi akhirnya, berharap-harap cemas agar setidaknya 100% kesalahan tak berada di pundaknya. “Dia ngancem gue. Dan soal penggantian Direktur Operasional itu—sumpah gue gak tahu.”
Jay beranjak dari duduknya, tangannya menepuk pundak Carlos. Seberapa ia bencinya adiknya itu, ia pastinya lebih benci Theo. “Jadi gimana?”
Carlos bingung, “maksud lo, bang?”
“Lo kira gue selama ini diem aja buat apa?” Jay tertawa lalu menampar kecil pipi Carlos, “biar lo dan Aurora paham, you put your trust on the wrong hand.”
Carlos melengos, akhirnya jantungnya kembali ke tempatnya semula begitu melihat senyuman tulus tercetak di wajah Jay. Ia memeluk abangnya kecil, “thanks, bang, and sorry buat semuanya. Tapi gausah khawatir, bang, gue bisa bujuk Aurora buat gak lagi percaya ke Theo.”
Langkah Jay berjalan ke arah bar, menuang whiskey di dua gelas sloki yang sama. “Lo gak usah khawatirin itu, Car, gue udah ada rencana sendiri buat Aurora.”
“Apa rencana lo? You better hurry up, soalnya Theo lagi cari-cari kesalahan lo biar lo bener-bener gak ada jabatan di Hartono, inget gak precast di Kalimantan?”
Jay menyodorkan gelas whiskey dengan wajah tenang, “oh little dirty secret is not secret anymore.”
“Wait, lo tahu?” Carlos melotot, menenggak whiskey dalam sekali teguk. “Damn, Bang! Apa yang lo gak tau sih?”
“Itu semua udah gue rencanain, Carlos,” gumam Jay sambil mengunyah es di gelas whiskeynya lalu menyeringai, “gue emang sengaja salah kasih laporan ke dewan soal proyek precast di Kalimantan sejak gue nikah, gue rasa dia bakalan ajak lo sama Aurora against me, dan ternyata bener. Dia kumpulin semua dewan, yakinin mereka kalo gue gak lagi becus sebagai CEO, dan bam! Dia mengajukan dirinya sendiri sebagai brand new CEO of Hartono.”
“Kita bertiga kelar sih kalo Hartono dipegang dia,” desis Carlos ngeri membayangkan kursi CEO diisi oleh Theodore, menyesal kenapa ia memvoting kakaknya yang paling besar itu.
“Gak lama kok, biarin Theo nikmati kemenangan dia sementara. Setelah itu gue—atau kita, kalo lo mau jadi bagian tim gue lagi—bakalan jadiin lo CEO yang baru setelah Theo.”
Carlos tersedak sisa whiskey di lidahnya, “gue? Kok gue? No offense to myself, tapi gue ini gak cocok jadi CEO, bang, serius.”
Jay mengangkat bahunya, “can't believe I'm gonna say this tapi lo kandidat paling potensial sejauh ini, Car.”
“Bentar,” Carlos membelalakkan mata ketika menyadari sesuatu, “lo pasti punya alesan buat ngelakuin ini semua, apa motif lo, bang? Kalo tujuan lo bukan jadi CEO masa depan Hartono, then what?”
“Jujur? Gue mau memupus harapan orangtua Theo buat kuasain Hartono. Kita semua tahu, tante Sarah itu anak pertama Opa, ambisi dia untuk kuasain Hartono besar. Karena dia cewek, Opa jadi kasih kekuasaan ke bokap gue. Dan sekarang ke gue.”
“Mamanya Theo gak bisa dapetin Hartono, jadi dia desak Theo buat jadi future CEO, no matter what it cost. Kita maklumi aja kenapa Theo kayak gitu,” kekeh Jay lalu duduk ke kursinya lagi, menyilangkan kaki bersamaan wibawanya yang nampak. “Lagian gue punya anak, Car, lo tahu kan kalo gue punya anak—”
“Lo mau keluar dari Hartono?”
“Secara terhormat,” tambah Jay lalu nyengir, “Renata sama anak gue much more worthy than this kinda shit.”
Hampir saja Carlos bertepuk tangan karena takjub. Orang-orang bilang, semakin tinggi jabatan pria, maka satu wanita saja takkan cukup untuknya. Tapi abangnya mematahkan omongan itu, ia menyerahkan the whole dynasty buat dunia kecil bernama keluarga. Ia, istrinya dan dirinya versi mini. Ini sih gak klise lagi namanya.
Carlos tertawa, “shit, I really am put my trust on the wrong hand.”
“Just remember, Carlos, if you want to be trusted, be honest.”