ceciliannee

friends

#friends

Ujian Sekolah anak kelas 12 finally kelar. Event tahunan wajib yang bikin ketar-ketir itu usai, membuat wajah demi wajah orang yang keluar dari kelas masing-masing bersemi cerah. Well, hello there calon-calon alumni SMA Neo, it must be great passing the last high school's thing, but dont forget that all of you are gonna be a Maba. Soon. And probably new journey is little bit harder than it looks.

Sesuai chat, Jericho menghampiri kelas Keiko yang lumayan jauh dari kelasnya. Karena Jericho anak IPA sedangkan Keiko si bocah IPS. Ia merangkul Keiko layaknya kawan lama, lalu senyam-senyum sumringah karena satu beban ujian telah lenyap dari pundaknya.

“Ready to go to the starbucks? Gue yang traktir as always!”

Muka Keiko kusut, tak seperti kebanyakan siswa-siswi yang siap pesta karena telah menyelesaikan ujian akhir sebelum naik tingkat ke Universitas. “Kayaknya kita gausah ke Starbucks deh.”

“Why? Are you not feeling good?” tanya Jericho, baru sadar kalau wajah Keiko isn't happy as she used to be. Biasanya mendengar kata Starbucks, wajahnya secerah matahari Teletubbies, badannya jingkrak-jingkrak dan pastinya mengoceh mau minum ini itu banyak maunya.

Keiko meringis, confused as fuck where to start to explaining the whole bad scenario. “Gue ada bilang there is something I wanna talk to you, kan? Lets talk here aja, Je.”

Jericho berhenti merangkulnya dan memilih duduk di kursi yang berjejer depan lab Kimia. “You made me nervous, whats going on?” tanyanya jujur, mukanya pun menegang.

Bukan lo aja yang nervous, gue juga anjir, batin Keiko makin tak karuan. “Ok, before I tell you something, I want to apologize to you. For everything I've done, Je, literally everything. Gara-gara gue lo masuk BK for the first time, ngajak lo sebat padahal you're not a smoker, also sorry buat lo harus berantem sama Nathan terus—”

“Hold on,” sela Jericho seperti tahu arah pembicaraan Keiko yang notabene berdiri di depannya sekarang, “ada apa sih, Kei? Are you okay?”

“Sorry tapi gue gabisa ikut olimpiade besok,” ujar Keiko akhirnya, gemetaran hampir seluruh badan. “Tenang aja, posisi gue udah diganti Alexa, gue udah konfirmasi ke pak Surya dan semua data diri gue udah diganti ke—”

“Bentar bentar,” lagi-lagi Jericho menyela, “what did you say? Hah? Gabisa ikut olimpiade?”

“Je, gue mau olimpiade, sumpah, but there is something—I cant tell you, but I want too, but I cant so..,” ujarnya menggantung, sama sekali tak membantu situasi yang kian memanas diantara mereka.

Jericho pasang tampang tak terbaca. Kecewa, marah, tak habis pikir, campur aduk menjadi satu. “You can't be serious, kan?”

“What? I'm serious right now, it's just one olimpiade, you're gonna just be fine without me. Lagian kita juga gaada apa-apa, kan?”

“Ga ada apa-apa, lo bilang?” ucap Jericho berdiri dari duduknya dan menaikkan nada bicaranya. He's never been this angry before. “Jadi itu pikiran lo selama ini, Kei? After all of the things we've been through, lo bilang ga ada apa-apa?”

Keiko membuang muka, mencari ketenangan lain dibanding melihat wajah penuh luka dari cowok di depannya. “Lo sendiri yang bilang kalo kita cuma temen!”

“Orang goblok mana yang bilang kita cuma temenan?” Jericho murka, suaranya kian meninggi, “friends don't kiss the way we kissed at your party night, Kei.”

“We kissed?”

“Yeah! Bet you forget about it too, huh?” tanya Jericho, akhirnya menyuarakan pertanyaan yang selama ini begitu menghantuinya. “Gue tahu lo ga pernah dating someone, tapi gue gatau kalo lo sepengecut ini sampe gamau mengakui that you and I, there is something between us yang gabisa dibilang nothing.”

Keiko tersulut amarah, “you don't know anything about me, Je. Shut the fuck up.”

“Exactly, I don't know anything about you,” oceh Jericho, “you didn't even let me go through your deepest shell. If you let me in, you'll be mine since long time ago.”

Benar, Keiko tersudutkan. Bahkan hanya dengan beberapa baris ucapan Jericho, dia merasa seperti ia adalah makhluk paling berdosa di muka bumi. But then she chuckles, trying so hard to look at Jericho's eyes and speak to them, wishes for some mercy and forgiveness.

“I don't wanna be yours,” ujarnya pada akhirnya, berbohong dan berbohong untuk kesekian kalinya. Usahanya menutup celah tameng tinggi yang hendak roboh bernama ego itu cukup menghabiskan banyak tenaganya.

“Goodbye, Jericho Xavier.” Dengan berat hati, Keiko mencoba melangkah meninggalkan Jericho dengan sisa kemampuannya. Even though she didn't mean it, she has to. It makes her stronger then yesterday.

It doesn't hurt Jericho, it fucking injured his mind, his soul, and his fucking heart. “Fuck you, Keiko Adrienne!” teriaknya, meluncur lurus diantara heningnya lorong kelas yang kosong. Hanya ada mereka dan yang pasti, Keiko mendengar umpatannya.

Keiko berbalik kecil, lalu tersenyum tipis menahan setengah mati tetesan airmatanya yang hendak luruh. “I deserve it.”

She looked at him as a friend, until she realized that she loved him. Loving him so much till it consumes her.


Keiko cried, an ugly cry. She felt like a selfish bitch who didn't care about Jericho's feeling. Apalagi mengetahui kenyataan mereka pernah berciuman di malam pesta yang diadakan Keiko, itu membuatnya makin galau.

She blames her dad, this whole Japan things hurt her. Inside out and pretty sure hard for someone else, Lana contohnya. Tangisannya ketika ia melihat Keiko sesenggukan sama sekali tak membantu keadaan Keiko. Ia menangis lebih keras, lebih dramatis, bahkan terkesan dirinya lah yang terbang ke Jepang.

Parting is hard, so fucking hard. Bahkan untuk Keiko.

“Stop crying, you're not the one who have miserable life!” Keiko berteriak pada Lana yang duduk dibalik kemudi mobil Yaris silver kesayangannya, sementara ia duduk di sebelahnya.

Mobil itu berhenti di depan Neo, sama sekali tak bergerak sejak Keiko keluar dari gerbang dan menceritakan patah hati yang bahkan belum sampai ke hubungan sepasang kekasihnya.

“So you told him the truth?”

Not even close, “yeah,” jawabnya membual. Jericho was right, Keiko terlalu pengecut hingga tak mau mengakui kebenaran.

“Dia gamau ya LDR-an?” tanya Lana dengan polosnya, mengambil berlembar-lembar tisu untuk mengusap ingusnya yang sama sekali tak keren.

“I guess? Soalnya dia marah sih, karena gue batalin sepihak olimpiadenya.”

Lana bergumam dengan sisa isakan yang tertinggal di area pernafasannya. “Ya lo juga sih ngomong ke dia mepet banget. Gue kalo jadi kak Jericho juga marah besar sih.”

“Well, moving on,” gumam Keiko berbesar hati, mencoba menjadi kuat atau bisa dibilang menguatkan diri. “Kita cuma punya beberapa jam, let's spending it as fun as it should be, okay?”

“Yeah, baby!” Lana memeluk Keiko, lebih baik menggunakan waktu yang kian menipis dengan sebaik mungkin sebelum mereka benar-benar menyesal. “I'll make today as A Day to Remember for you!!”