ceciliannee

no

#no longer noname

Daddy's home

Belum semenit pesan itu masuk ke ponsel Renata, bunyi langkah kaki di lantai kayu rumah terdengar jelas dari tempat Renata duduk. Ia mendesah pelan karena harus berdiri dan menyambut kontak bernama noname yang telah menghiasi ponselnya sejak ia berpisah dari mantan suaminya, Jayson Hartono.

Tanpa dibukakan pintu, pria berbadan tinggi itu masuk dan lari ke pelukan Renata, menciumi tiap inchi wajahnya, dan turun ke perutnya untuk memberi benjolan di perut Renata ciuman juga.

“Daddy's here, kiddo!” ucapnya mengusap perut Renata yang mulai membesar, “proud of you for not making any trouble to Mommy.”

“Do you wanna know the sex?” tanya Renata, ia membelalak ketika tatapan pria di depan perutnya itu tak sesuai dengan yang ia bayangkan. “I mean, the sex of the baby!”

Pria itu tergelak, “I didn't expect much but okay, you can tell me.”

“It's a boy.”

Pria itu sumringah, ya siapa yang tidak sumringah mendapat kabar baik bertubi-tubi. “Minggu ini tuh happiness banget, Jayson Hartono hengkang dari Hartono Group, and I have a son!”

Renata tak begitu excited mendengar nama mantan suaminya disebutkan di berita yang tak menyenangkan. Apalagi pria di depannya adalah orang itu, bertingkah seolah orang lain padahal Jayson Hartono adalah dirinya sendiri. Entah tawa itu betulan ekspresi kebahagiaan atau hanya sebuah tawa sarkasme yang sering dilakukannya.

“Maksudnya?”

“Jayson Hartono dipecat, he's no longer a CEO of Hartono Group,” jawab pria itu kelewat sumringah, “yeah I know its kinda sad, tapi kabar baiknya, Jordan Hendrawan meluncur mulus masuk ke Hartono Group dan punya aset di keluarga Hartono. Kabar bagus, kan?”

“Kenapa kamu ngomong seolah Jayson Hartono itu orang lain? It's you, Jay!”

Pria noname yang tak lain dan tak bukan Jayson itu duduk di sofa dan memasang tampang penuh tanya. “Mungkin kamu mau panggil pake nama lain, karena sekarang namanya Jordan Hendrawan.”

“I hate Jordan,” kata Renata mengambil duduk agak jauh dari suaminya—yang secara hukum telah ia ceraikan, “gue lebih suka nama Jayson. Dan gue mau tetep panggil Jay, entah lo ngerasa kepanggil apa kagak terserah.”

“Kita kan udah ngomongin ini, Ren,” kata Jayson menghela nafas panjang sembari menggeser duduknya mendekati istrinya yang sedang hamil, “Jayson out, Jordan in. Thats the whole plan-nya.”

Mau tak mau Renata mengangguk. Untuk kali pertama, pelukan Jayson terasa sangat asing baginya. Semua rencana yang dibeberkan Jayson diawal pelariannya ke Labuan Bajo terdengar menyenangkan—awalnya. Sampai ketika ia sadar bahwa suaminya itu tak benar-benar bisa melepaskan Hartono Group, itu terlalu mengganggunya.

Membayangkan berganti nama dan identitas, melarikan diri, bertindak seperti orang lain, tapi kemudian tetap berada di lingkaran setan keluarga Hartono. Renata pikir Jayson lupa tujuan utama mereka untuk berpura-pura bercerai.


Dalam beberapa bulan belakangan, ketika putusan Pengadilan Agama resmi mengeluarkan surat cerai atas nama dirinya dan Jayson, ia senang bisa hidup tenang jauh dari hiruk-pikuknya Ibukota, terbang melewati berbagai kota demi sampai ke Labuan Bajo hanya untuk menghindari keluarga gila berkedok perusahaan satu biliun rupiah.

Tapi perasaannya tak lagi sama. Soal Jayson, keluarganya, dan semuanya. Ia bahkan teringat kembali mengapa ia mau melakukan semua ini.

flashback read chapter 119 first to know where this flashback exactly

Sampai di apartemen mereka di lantai sepuluh—atau bisa dibilang penthouse, Jay duduk di meja makan, menenggak segelas air mineral. Satu gelas penuh, frustasi setengah mati.

“Son of a bitch!” teriaknya membanting gelas kaca yang baru saja ia gunakan untuk minum. “What the fuck is wrong with that guy, huh?”

Here we come, Mad Jay, batin Renata tidak begitu heran dengan bantingan gelas itu. Ia mengambil duduk di sofa, menjauhkan janinnya yang masih terlalu dini untuk berada di tengah-tengah permasalahan ayahnya. “Who? Winarta? Kalo kamu marah aku pergi ke obgyn bareng Winarta, you deserve it, soalnya kamu sendiri malah tidur di pavilium KITA sama wanita lain!”

Alih-alih mengeluarkan argumen seperti perdebatan-perdebatan sebelumnya, Jay terkekeh sarkastik. Cukup membuat Renata menatapnya bingung dan menganggapnya gila. “Jay, are you okay?”

“Apa aku kelihatan baik-baik aja?”

No, you scared me, batin hati kecil Renata, semakin yakin dengan keputusannya meninggalkan jejak Hartono di masa depan anaknya kelak.

Tawa Jay yang mengisi kekosongan penthouse perlahan menjadi backsound film horror, menggelitik bulu kuduk Renata yang gampang berdiri. Ia melirik lagi ke suaminya yang duduk di atas bar, dengan kepala menunduk dan dua telapak tangannya di wajah. Bisu, hanya pria berantakan yang tiba-tiba menjadi bungkam tanpa sebab.

“Jay?” Renata bersuara lagi, kini lebih keras karena khawatir dengan suaminya. Langkahnya mendekat ke mini bar sembari menghindari pecahan gelas yang tersebar di sepanjang lantai dapur. “JAY? Sayang? Kamu kenapa?”

Tangan Jay melepaskan wajahnya, menampakkan wajah yang tak pernah Renata lihat sebelumnya. Acak-acakan. Matanya memerah dan rahangnya yang mengetat, lebih seperti orang yang memegang kuat-kuat amarahnya agar tak lepas kendali.

“Bajingan semua mereka, Ren,” ucapnya dengan tangan perlahan memeluk Renata di depannya. “Dan tega-teganya mereka jadiin kamu sasaran mereka! Berulang-ulang, what the fuck?!”

Sepertinya Renata tahu alur pembicaraan suaminya. “Kita ngomong baik-baik, ya? Kamu tenang dulu, oke sayang?”

Nafas Jayson dipelukan Renata berangsur tenang, tinggal pelukan pria itu yang masih mendekap Renata seperti takut tidak bisa memeluk dirinya lagi. Sepanjang menjalin kisah kasih dengan pria itu, belum pernah ia melihat Jayson Hartono dalam versi yang begini. Hancur, rapuh, tersesat.

Di mata Renata, Jayson selalu menjadi sosok yang kuat, berintelek tinggi, berpandangan luas, sometimes terkesan arogan. Entah itu pandangan Renata, atau memang Jayson ingin Renata melihatnya begitu. Mengingat puluhan trauma masa lalu yang Paris beberkan, mulai dari perceraian dini kedua orangtuanya, kakeknya yang mendidiknya begitu keras, hingga dirinya yang mau tak mau dipaksa memimpin dinasti keluarga Hartono. Dan sekarang, saudaranya sendiri mencoba menyingkirkannya dengan menghalalkan segala cara. Segala cara means menghancurkan pernikahannya, memfitnah, mengadu domba, nyaris saja membuat Renata gila.

“Theo—that motherfucker—berhasil ajak Carlos dan Aurora berpihak ke dia,” gumamnya, masih di pelukan Renata. “Mereka bahkan fitnah kita berdua, trying to separate us with Jovanka's situation. Ren, I would never sleep with another woman, kamu percaya kan sama aku?”

This is it, its time to spill what you know, Ren, come on, don't be shy.

“Actually,” Renata menarik nafas panjang, melepaskan pelukan Jay dan menyingkirkan anak rambut di wajah suaminya, “aku udah tahu semuanya, Jay, I overheard Theo and Shella's fights. Jangan salahin aku, mereka keras banget kalo adu argumen.”

“Kamu tahu?”

Renata menampar kecil wajah di depannya, “ya menurutmu kenapa aku gak marah liat kamu tidur bareng Jovanka di pavilium selatan, pavilium kita? Dah gila apa mereka, ya? Misahin kita pake cara yang fair dong, pake cara kayak gini tuh disgusting tahu nggak?”

Tak terduga, kekehan muncul dari wajah di depannya. Ya, Jay ngekek menunjukkan barisan gigi depannya, padahal menit sebelumnya wajah itu menunjukkan tanda-tanda depresi berat.

“Ketawa lu liat istri lu dikerjain sodara-sodara lu?”

Jay memeluknya lagi, “maaf, maaf, bukannya aku diem aja tapi aku lagi nyusun rencana, sayang.”

“Tell me, Jay, let me help you,” kata Renata menggenggam telapak tangan Jay, menatapnya tepat di manik tanpa berkedip berharap keseriusannya dapat terlihat. “Aku tahu kamu bisa, tapi this time I wanna involve myself. Mereka gak sakitin aku aja, mereka sakitin anak aku juga loh!”

“Anak kita,” koreksi Jay kilat, “ciee hamil.”

Renata menampar lagi muka Jay, menyadarkan pria itu bahwa itu bukan waktunya ia untuk cengengesan. “Jay, serius, apa rencana kamu?”

“Bikin Theo jadi CEO.”

“Habis mecahin gelas kayaknya otak kamu ikut pecah kececeran di lantai?”

Jay nyengir, “Theo itu banyak cacatnya—I mean di bisnis—gak lama dewan komisaris juga bakalan tahu, Carlos dan Aurora bakalan sadar kalau mereka cuma diperbudak sama Theo jadi mereka juga bakalan sadar—hopefully.”

“Terus?”

“Terus, selagi Theo jadi CEO, aku urus kepergian aku dari Hartono Group, sesuai janji aku kalo kita punya anak,” kata Jay sambil curi-curi ciuman, “aku gak bisa pergi gitu aja ninggalin warisan aku, Renata, this isn't about money lagi, this is about legacy. Sampai aku temukan CEO masa depan Hartono, aku gak bisa lari dari tanggung jawab aku. Jadi.. mau gak kamu sabar sebentar?”

Renata melebarkan tangan untuk kembali memeluk manusia di depannya yang memang tidak sempurna, tapi setidaknya ia mencoba untuk menutupi ketidaksempurnaannya dengan menepati janjinya. “Jadi kamu mau aku bantu apa?”

“Pura-pura cerai sama aku.”

“Do you ever listen to yourself?”

Jay terkekeh, “beneran, kita harus cerai. Buat seolah posisi aku di perusahaan emang layak buat digantiin. Tapi kita gak beneran cerai lah, dah gila apa cerai sama istriku yang paling cantik sejagad raya ini.”

“Oke, and then?”

“Kalau aku dah nemu pengganti CEO yang paling oke dan bisa dihandalkan, kita bisa balik lagi.”

Renata menghembuskan nafas kasar, “ada plan B nggak?”

Gelengan di kepala Jay jadi pertanda negatif, seolah hanya itu jalan satu-satunya jalan membuat dirinya bebas dari Hartono Group. “Gak ada cara lain, sayang, walaupun Theo jadi CEO pun, kita gak bakalan bisa hidup tenang bersama.”

Wajah Renata cemberut, “kalo aku kangen kamu gimana?”

“Aku beli ponsel baru, nomer baru. Kamu chatting aku pake nomer yang itu ya, karena bisa aja hape aku yang ini disadap, we'll never know jaga-jaga aja, dan—”

Jayson menuruni duduknya, berjalan ke arah suitcase nya yang ia lempar di depan pintu lift dan membawanya ke meja bar. “Say hello to the new us.”

Ketika Renata disodori dua paspor warna merah—yang mana tidak mungkin merupakan paspor buatan Indonesia—ia menatap ngeri suaminya. Ia membuka alat identitas internasional itu dengan jantung berdebar, its just a pasport, why are you acting like this?.

“What is it, Jay?” tanya Renata begitu melihat isinya. Itu jelas foto mereka di dua paspor itu tapi namanya bukanlah nama mereka. “Jordan Hendrawan? Regina Hendrawan? Lo mau kita berubah identitas? Lo dah gila?”

“Ren, mereka main kotor sama gue, Ren, sama kita berdua. Gue gak bisa biarin seluruh hidup kita direcoki sama mereka!”

Renata terkekeh sarkasme, “and what is the plan, again?”

“Seluruh saham kita berdua akan dibeli pasangan muda Warga Negara Malaysia, Jordan dan Regina. Kita emang keluar dari Hartono tapi anak kita masih berhak saham kepemilikan di Hartono, saham ini punya anak kita, Ren.”

“Terus Jayson Hartono sama Renata Hartono kemana entar?”

Terkekeh lagi, Jayson memeluk istrinya yang duduk di kursi bar sementara dirinya berdiri. “Mereka masih ada, sayang, tapi mereka bukan lagi fokusnya Theo. Jadi mereka aman selagi Jordan dan Regina ada, oke?”

“Gue suka nama Jordan, feels like I'm dating Michael B. Jordan.”

“You wish!”

flashback off

Renata melirik Jayson yang tidur di sisi ranjang sebelahnya, ingin sekali memutar waktu sebelum terlibat semuanya. Terlambat, kini pilihannya cuma dua. Tetap di sisi Jayson sampai semuanya selesai, atau mengeluarkan diri membawa janin di kandungannya sebelum anaknya benar-benar terlibat.

Know your limit, Renata, choose now or never.