#the report
“Studio lo gak banyak berubah ya, kak.”
Renata terkekeh santai, menahan dirinya untuk tidak lari mencakar wajah Aurora dan berteriak liar. You and your whole family is a hell of mess! Tapi tidak, Renata, kau terlibat dalam urusan Hartono, kau harus bermain halus. Lalu ketika tiba saatnya, barulah kau menancapkan belati ke punggungnya.
Ya, tipikal rencana Hartono banget.
“Bulan ini lo bikin dress-dress ya kak?” tanya Aurora lagi, dengan tangan memilah-milah sample dress yang digantung. Biasanya baju-baju itu perlu perbaikan satu atau dua sampai dalam tahap final dan dilakukan pemotretan. “Mau gue promosiin, nggak? Followers IG gue lumayan loh.”
No thanks please gue gak mau hutang budi sama lo “Haha, boleh kok, Ra, tapi apa lo mau? Dress bikinan gue gak sekelas LV, YSL atau Dior.”
Aurora terbahak, “apaan sih, kak? Ya enggaklah, gue harus support small business kakak gue!”
Gue kakak lo? Adek gak harusnya kudeta kakaknya sendiri cuma karena pingin menguasai perusahaan, batin Renata meringis, tertawa dalam ironi. Ia mengambil gelas starbucks berisi Pumpkin Spice Latte punya Aurora yang ia belikan barusan, lalu menyodorkannya ke cewek itu.
“Nih, gue tadi beliin ini, suka kan?” tanya Renata, tapi kemudian merasa ada yang mendesak perutnya untuk keluar, “By! Ruby!” teriaknya spontan.
Aurora ikutan panik melihat wajah Renata yang berubah panik, “loh! Kenapa, kak? Lo gapapa?”
“Bentar, Ra,” kata Renata lalu berlari ke kamar mandi, memuntahkan semua isi perutnya yang tadi mendesaknya untuk dikeluarkan. Oh, jangan tambah masalah baru dengan sakit, dong!
Masih lemas, ia keluar dari kamar mandi dan dihadang oleh Ruby. “Duduk aja dulu,” ujar temannya itu lalu membopongnya ke belakang studio, ranjang di sebuah kamar yang kadang dipakainya tidur siang kalau lagi buntu ide.
Aurora mengekori mereka, lalu duduk di tepi ranjang, “lo muntah? Hamil, ya?”
Renata terkekeh, “gue udah tes kemarin, negatif kok. Kayaknya masuk angin deh, cuacanya emang lagi ekstrim banget.”
“Lo mau pulang aja? Ntar detil design dress nya kirim email aja,” tawar Ruby dengan wajah khawatir. Disaat badannya lemas tak berdaya, wajah khawatir temannya itu lumayan menghibur Renata.
“Iya kak, balik bareng gue aja gimana?” Aurora ikut mengompori Ruby, “sebagai ucapan makasih buat Pumpkin Lattenya.”
Mini cooper merah muda milik Aurora berhenti di depan gedung apartemen tinggi yang ditinggali Jay dengan Renata.
“Lo yakin gak mau gue anter sampe penthouse lo?”
Renata melepas seatbeltnya dan menenteng tas tangannya, “gak usah, gue udah cukup merepotkan lo, Ra, makasih ya.”
“Ngerepotin apa sih, kak, enggak kok!” jawab Aurora tersenyum tulus, hampir saja membuat Renata yang lemas terpukau akan actingnya. Bagus juga pura-puranya setan kecil ini.
Ketika Renata melambai dan masuk ke dalam lobby apartemen, Aurora mengemudikan mini coopernya perlahan-lahan kembali ke jalan raya. Tangannya dengan aktif mengetikkan sesuatu di ponselnya, seolah baru dapat inspirasi untuk mengetik informasi di majalah fashion.