#the perks of missing someone
Pertama kali dalam sejarah hidup Ruby Saputri, ia mengalami anxiety. Kecemasan berlebihan hingga tangannya basah oleh keringat dingin. Padahal diantara ia dan sobatnya Renata, dirinya mengklaim bahwa Renata-lah yang sering diserang perasaan khawatir berlebihan itu. Ada goncangan sedikit dalam hidupnya, Renata langsung panik.
Berbanding terbalik, dirinya bisa dikatakan sebagai orang yang easy-going, lebih flexibel, lebih banyak masa bodoh. Tapi siang itu ia seperti buronan, menggendong seonggok daging yang baru saja lahir dalam gendongannya seolah dirinya mencuri Juan dari genggaman sang ibunda. Tuh anak pasti panik kalo bangun-bangun anaknya udah gaada di flat.
Begitu sampai di the Ritz London, hotel berbintang yang jadi tempat bernaungnya Jayson itu, barulah Ruby bisa bernafas dengan lega. Melihat bayi usia semingguan itu tidur nyenyak di pelukan Jayson, membuat Ruby menatapnya penuh haru. Ternyata mantan CEO Hartono yang katanya serem itu cukup lihai menghadapi seorang bayi, koreksi. Bayinya.
Winarta melirik Ruby yang duduk di sofa, lalu menghampirinya sembari menenggak bir kalengan. “Kucing-kucingan gini seru juga.”
“Seru lo bilang?” Ruby mendesis, “ya gue seneng Jayson bisa ketemu Juan, believe me I'm fucking happy, tapi kalo tiap kali Jayson mau ketemu Juan and I've got to lying to Renata, I cant do this forever.”
“Not forever,” gumam Winarta.
Ruby beranjak dari duduknya, menghampiri kamar tidur utamanya yang dihuni Jayson beserta Juan yang anehnya tak menangis sama sekali. Tak tega rasanya untuk hanya berkata bahwa sudah saatnya Juan pulang, karena cepat atau lambat Renata akan merasa ada yang janggal.
Juan menyandarkan kepala mungilnya ke bahu kokoh Jayson, terlelap dalam diamnya seiring telapak tangan Jayson yang besarnya sepunggung Juan itu mengusapnya lembut. Tatapan pria awal tiga puluhan itu teduh, seolah tak ada rasa lelah sedikitpun walau telah menempuh bermil-mil jauhnya tapi langsung menggendong Juan daritadi. Hampir tiga jam, dan Juan masih berada dalam dekapannya.
“Sorry, Jay,” gumam Ruby pelan, takut Juan di pelukannya bangun, “gue harus buru-buru balik soalnya tadi bilang ke Renata cuma jalan-jalan.”
Ada ekspresi kecewa dari wajah Jayson yang mengangguk-angguk mengerti. Ia menyerahkan Juan, terlihat belum puas dengan quality time nya bersama anaknya. “Mau dianter ke flat? Gue ada supir di bawah.”
Ruby tertawa kecil, “naik Rolls Royce lo? Ya penyamaran lo bakalan dengan gampang terbongkar lah! Udah gue dianter Winarta aja.”
Dusta jika Jayson tak mempertanyakan bagaimana keadaan bagian dirinya yang lain—Renata. Ia ingkar pada janjinya sendiri ketika ia berdiri di simpang jalan Harrington, berada di tengah-tengah lalu lalang berbagai ras manusia, hanya untuk menengadah memandangi flat lantai dua yang ia beli dengan nama orang lain.
Charles Keith. Irish guy yang bersedia dipinjam namanya itu sudah cukup meyakinkan di mata Renata.
Kakinya terpaksa terpaku, tak berani melanggar sumpah lebih keruh. Semua perlakuan diluar rencananya ini didasarkan oleh rindu, rindu yang anehnya begitu candu. Jika rindu adalah perlombaan, sudah ia menangkan kompetisi itu ribuan kali walau tak ada gelar penghargaan yang akan ia dapat.
Ia memaksakan kakinya melangkah pergi, kembali memberi jarak pada rasa rindunya yang membuncah. Karena ia yakin, ketika jarak ada diantara dirinya dan Renata, yang terpisah hanyalah raga.
Tunggu Ren, tunggu gue balik. Janji yang ini gak cuma sekedar janji, tapi udah jadi sumpah.