Hartono Group, perusahaan yang didirikan tahun 1972 oleh Surya Hartono, menjadi perusahaan bidang jasa pariwisata Nasional di tahun 2009. Mencetak sejarah 37 tahun perjuangan seorang Surya Hartono dalam berbisnis, dan sukses menghantarkannya masuk dalam daftar 10 orang paling kaya se-Indonesia.
Selain terkenal oleh kepiawaiannya dalam urusan karir, Surya Hartono pun terkenal cakap mengurusi keempat cucunya. Theodore dari anak gadis pertamanya Sarah, Jayson dan Carlos dari anak lelaki satu-satunya Zion dan Aurora dari Hera, anak bungsunya.
Pernikahan Sarah dengan Dean seorang karyawan sipil di Vancouver yang tak disetujui Surya Hartono berakhir kandas. Dean diketahui tak mampu berhubungan monogami dengan Sarah dan meninggalkan Theo tumbuh tanpa sosok ayahnya. Sementara Zion, berada dalam pernikahan tak harmonis dan bercerai tak begitu lama setelah Carlos lahir. Hera si bungsu hamil diluar nikah, tak ingin menikah dengan ayah dari bayinya dan berakhir meninggal tragis bunuh diri di usia Aurora yang masih belia.
Dari semua bayang-bayang masalah ketiga anaknya, Surya Hartono masih berdiri di kakinya dan memperluas jaringan Hartono Group, mengurusi keempat cucu-cucunya, dan memastikan tiap cucunya tak bernasib sama dengan orangtuanya.
Tapi apakah Surya Hartono menyangka bahwa nasib keempat cucunya dimasa depan akan begini?
Theo menjadi tersangka pembunuhan, Jayson mati dalam kecelakaan begitu pula Aurora yang mati di tangan saudaranya sendiri. Sementara Carlos terjebak dalam tanggung jawab yang ia sendiri belum cukup mampu mengatasinya.
Apalagi pada Rabu dini hari, Theo tertangkap oleh polisi, dan kini keadaannya tengah diperiksa, ditanyai pernyataan dan ditahan beberapa hari di sel harian untuk penyidikan kasus lanjutan. Ia ditangkap saat mengendap-endap masuk salah satu rumah mewahnya di Depok untuk mengambil surat-surat atas kekayaan yang dimilikinya. Gagal mendapat surat asetnya, ia malah dibawa ke bui terdekat agar tak bisa lari dari pemeriksaan.
Sam di ruang interogasi menemaninya hampir 12 jam lamanya, menjelaskan kemungkinan terburuk karena Theo telah dicap sebagai DPO yang mangkir dari surat panggilan polisi. Walau Theo bilang ia tengah tak sadarkan diri di malam Jayson dan istrinya mengalami kecelakaan, itu semua tak ada gunanya saat tak ada alibi yang kuat membuktikan kebenaran ucapannya.
“Gue gak ingat betul gue dimana saat itu,” Theo mengusap rambutnya, frustasi bukan main dengan banyak tekanan dari kanan-kiri-depan-belakang. “Pagi-pagi gue bangun, gue udah di apartemen gue yang ada di Tangerang. BMW gue terparkir di depan apartemen, tapi gue gak inget mengendarai mobil gue di malem sebelumnya.”
Tangan Sam membolak-balikkan kertas dalam map, menorehkan tinta dari penanya di kertas secara abstrak. Ia menggambar titik-titik, dan mencoba menyatukan titik itu sesuai cerita yang diutarakan Theo. Hasilnya negatif, satu titik dengan titik lainnya tak dapat bersinggungan. Ditambah berita mesin mobil Civic mengalami pemanasan mesin hanyalah dugaan sementara. Kini status kasus Jayson dan Renata yang semula adalah “kecelakaan” menjadi status “pembunuhan berencana”. Theo kembali menjadi tersangka utama kasus itu.
“Gue udah dapet rekaman cctv apartemen, tapi rekaman itu membuktikan lo pergi dari gedung apartemen di jam 8 malem, dan balik jam 2 pagi.” Sam menatap tajam Theo, melempar pena di tangannya ke arah Theo, “dan sekarang lo jujur aja, lo udah ke-gap cctv gedung apartemen lo sendiri, dan lo masih gak mau ngaku?”
Theo menangkap pena itu dan membantingnya ke sembarang tempat, “God damn it, I told you the truth, Sam! Kalo gue mau bunuh Jayson—which is I AM NOT, gue pasti bilang ke lo dan bikin perencanaan matang. Ini terlalu dangerous dan lo tahu sendiri gue gak mungkin ngelakuin sesuatu yang high-risk kayak gini.”
“Lo mungkin mabuk dan nabrak Civicnya Jayson tanpa sadar.”
“Gue kalo mabuk, I really get wasted, literally wasted. Gue gak mungkin bisa sober dan lakuin hal gila such as killing my own brother!”
Sam membenarkan hal itu, sekali Theo menenggak liqour, pria itu baru bangun keesokan paginya dan blackout semalaman. “Ok, tapi rekaman cctv berkata lain. Lo pergi jam 8 dan baru balik jam 2. Apalagi korek lo, sidik jari lo.. sialan, Theo! Ini terlalu fucked up, ngerti gak lo?”
Theo menggebrak meja, “gue dijebak, Sam, lo tahu gue gak mungkin kayak gini tanpa perencanaan yang jelas.”
Ingin sekali Sam percaya ucapan client nya kali ini, tapi untuk melakukan pembelaan atas kasus yang sudah jelas bukti-buktinya, Sam angkat tangan. Untuk kali pertamanya ia mengibarkan bendera putih sebagai tanda kekalahannya mengatasi kasus clientnya. Seperti yang ia bilang, ini terlalu fucked up.
“Jadi lo mau gue ngapain?”
Theo menghela nafas kasarnya, “panggil Carlos.”
Selain pengacara yang menangani kasus, orang lain yang datang di penjara datang sebagai pengunjung tahanan. Biarpun Theo belum diketok palu sebagai pelaku, tapi ia telah dihantui pasal-pasal yang Sam jabarkan, mulai dari pembunuhan berencana, mengendarai mobil dalam keadaan mabuk, kabur dan mengabaikan surat panggilan polisi. Itu semua akan terjadi jika ia tak kunjung punya kesaksian kuat jika bukan dirinyalah dalang dibalik kecelekaan Jayson beserta istrinya.
Dan langkah pertamanya untuk mencari solusi adalah memanggil Carlos, satu-satunya saudaranya yang masih bernyawa.
“Lo harus bantu gue, Car, I'm out of option here, brother.”
Oh, now he called me brother, huh? Butuh berapa lama? Dua dekade lebih buat mulut lo sebut gue sebagai saudara? Kemana aja lo selama ini, big bro?
Carlos mengetatkan rahang, melipat tangannya dan duduk menyandar ke kursi. Pandangannya menatap lurus ke balik kaca transparan bulletproof yang dilubangi kecil-kecil sebagai media penghantar suara diantara dirinya dan abangnya, Theo.
“Lo tahu gak siapa yang biasanya panggil gue begitu? Jayson.” Carlos menanggapi tak berselera, jujur muak dengan beberapa topeng yang dimiliki Theo. “Well, dia gak bisa panggil gue gitu lagi karena.. you know, he's dead.”
“Come on, Car, gue selalu panggil lo begitu,” kekehan kaku Theo terdengar merendahkan dirinya sendiri agar bala bantuan Carlos terulur untuknya. “Dan jujur, gue gak bunuh Jayson. That's the fact.”
Wajah Carlos tak membaik, ia menonjok kaca yang tebalnya tak dapat ditembus peluru timah sekalipun di depannya. “How am I supposed to know the fact? Lo bunuh Aurora, terus lo bunuh Jayson, itu faktanya!”
“What?” Suara Theo mencelos, “let's be honest, Car, gue tahu lo juga diuntungkan dengan kematian Aurora, kan?”
“Pardon?”
Theo berdeham, membasahi bibir keringnya dan matanya berlarian kesana-kemari—bingung setengah mati. “Jangan munafik, kedatangan Aurora join perusahaannya Jayson pasti ada maksudnya. Lo kira diantara lo sama Aurora, siapa yang bakalan diprioritasin sama Jayson?”
“Kita bertiga team bisnis yang baik, gue gak sedikitpun merasa tersaingi atau merasa tersingkirkan oleh kedatangan Aurora!” Carlos menaikkan nadanya, sedikit tersinggung dengan pembelaan kecil Theo. “Stop cari-cari celah, bang, lo salah, akuin itu!”
“Gue bukan cari-cari celah, Car! Coba lo pikirin, gue gandeng Sam di pihak gue, Aurora gak ada, siapa lagi yang dihandalkan Jayson kalo bukan lo? Itu kan yang lo mau? Jadi satu team sama abang kesayangan lo?”
Mendengar itu, Carlos kehabisan kata. Ia memproses perkataan abang sulungnya berkali-kali, tak menyangka jika Theo tak menunjukkan sedikitpun penyesalan dalam perkataannya. Tipuannya untuk menjadi CEO mungkin masih termaafkan, tapi membunuh saudarinya sendiri? Dan menganggap sebuah kematian sebagai jalan singkat menuju kemenangan. Carlos kehilangan batas kesabarannya.
“Lo sadar gak sih apa yang lo bilang barusan? Lo pernah dengerin omongan lo sendiri gak sih?”
Theo memejamkan matanya, menghela nafas cukup sembari memberikan sel-sel otaknya istirahat sejenak karena tak tidur sejak ia dipaksa masuk penjara. “Ok, gue minta maaf, buat semuanya yang terjadi. Aurora ngancem gue dan gue hilang kendali, sorry.”
“Ngancem apa lebih tepatnya?”
“Dia mau laporin gue karena udah bunuh Opa.”
Carlos tahu semua itu dari mendiang Jayson, bodohnya ia menganggap abangnya sedang berhalusinasi atau terlalu terpukul karena kepergian Aurora. Tapi begitu diucapkan oleh pembunuhnya langsung, Carlos benar-benar hilang respect.
“Lo keterlaluan, bang,” ujarnya, sembari satu telunjuknya mengarah ke kaca, tepatnya ke depan muka Theo langsung.
Theo menaikkan nada ucapannya ketika Carlos bergegas menanggalkan kursinya. “Ya! Gue tahu gue keterlaluan! Sorry! Car, gue butuh bantuan lo sekarang. Gue emang bunuh Aurora dan Opa, tapi sumpah demi Tuhan gue gak bunuh Jayson sama Renata!”
Ucapan itu membuat Carlos gagal pergi, ia kembali duduk di kursinya dan wajahnya berbalik sumringah. “Gue tahu kok, bang.”
Melihat perubahan ekspresi Carlos yang berlebihan, membuat Theo heran. “Lo tahu?”
“Yap.”
Carlos tersenyum, berbanding terbalik 180 derajat dengan tingkahnya beberapa menit lalu. Ia mengeluarkan pena yang ia kantongi di saku jasnya, menekan ujungnya hingga berbunyi klik dan kembali menyunggingkan senyum. Bahkan Theo bisa mendengarnya terkekeh.
“Gue tahu, bang, gue tahu semuanya,” kata Carlos lagi, menjawab kebingungan di muka Theo, “gue tahu lo bunuh Aurora, Opa, gue juga tahu bukan lo yang bunuh bang Jayson.”
Masih bingung, Theo mengerutkan keningnya. “Oke?”
“Man! I love technology,” ucap Carlos terbahak menatap pena di atas meja yang bukan sembarang pena. “Makasih, bang, lo udah mau ngakuin semuanya, that helps a lot.”
“Car, lo—”
“Ya, gue rekam pengakuan lo barusan, using this fucking pen,” kata Carlos mengayunkan pena tipis ke depan wajah Theo yang terhalang kaca, “selamat mendekam di penjara for a really long time, brother.”
“Bajingan.”
“Kalo gue bajingan, lo apa?” Carlos terbahak di atas kemenangan mutlaknya. “Sampah?”
“Lo gak bisa penjarain gue cuma karena rekaman palsu yang lo barusan buat itu!”
Pintu mendadak terbuka, menampilkan sosok Sam yang kemudian duduk di sebelah Carlos. “Yes, we can, Theo, plus kecelakaan yang lo rencain buat Jayson-Renata? Bet you're gonna enjoy the prison so much.”
“Lo?!” Theo mendobrak kaca bening di depannya, ingin sekali menghajar kedua orang di sisi lain ruangan pengunjung yang mengejeknya. “Lo berdua sekongkol jebak gue? BANGSAT! Lo berdua kan gak akur?”
Sam yang selalu menjaga wibawanya, kali ini harus tertawa terpingkal-pingkal bersama Carlos. “Lo goblok sih, itu semua cuma ilusi.”
Masih dengan wajah bingungnya, Theo mendesis geram, “lo mantannya Jovanka, Jovanka istrinya Carlos. For a years lo saingan sama Carlos, buat jadi siapa yang paling dapat pengakuan dari Jayson—son of a bitch! Gue gak sangka lo berdua milih kerjasama dan jebak gue sama Jayson?! Padahal Jayson percaya banget sama lo, Car?”
Carlos makin terbahak di tempatnya, ia berhigh five ria dengan Sam dan makin menggoda sisi lain ruangan yang diisi Theo memanas. “Wait, lo kira kita jebak dan bunuh Jayson? Terus nyalahin semua ini ke lo?”
Kembali terbuka, pintu masuk ruang pengunjung menampakkan sosok pria tinggi dengan pakaian kasual—kaos dan jogger pants—lengkap dengan topi baseball, masker hitam dan sunglassesnya. Pria misterius itu membuka maskernya, melepas topi dan menampakkan wujud aslinya.
Seolah kembali dari liang kuburnya, Jayson berdiri disana, di ambang pintu tanpa sedikitpun luka atau goresan layaknya zombie yang baru hidup kembali. Pria itu terlihat baik-baik saja, tak seperti pemberitaan yang mengatakan dirinya terbakar bersama istrinya di Civic yang meledak.
“Miss me?”
“Motherfucker.”
Dari sekian banyak skenario hidup, kenapa Theo harus dihadapkan bahwa ketiga kombinasi manusia di balik kaca depannya itu bisa bersatu menjegal kakinya dan menjatuhkannya ke lembah jurang tak berdasar? Ia bahkan tak tahu ketiganya menjadi akrab hingga bisa membuatnya tak lagi dapat menghirup udara bebas.
“Lo bertiga bajingan.”
Jayson menaikkan sudut bibirnya, “no hard feeling, brother, ini semua cuma bisnis,” ujarnya mengutip perkataan yang selalu Theo ucapkan ketika menang atas Jayson.
“Bang, kalo aja lo gak bunuh Aurora—KALO AJA—semua ini gak bakalan terjadi.” Carlos memperkeruh suasana, menekankan kalimat kalo aja, “bang Jayson udah memilih mundur dari Hartono Group, lo bisa sesuka hati duduk di takhta yang Opa bangun. You messed with the wrong sibling.”
Theo mendesis, “dua dari kalian itu sibling gue! Have you ever have a mercy?”
“We have a mercy! Lo aja yang kelewat batas, bang! Enough is enough!”
Jayson menepuk-nepuk bahu Carlos yang terlalu berapi-api dan berucap tenang. “Lets get out of here, biarin si sinting ini mendekam di penjara sebelum dia bener-bener bunuh diantara kita lagi.”
“JAY!” Theo berseru, menghentikan ketiganya yang hendak pesta pora merayakan kesuksesan rencana mereka. “Lo ngelakuin ini cuma memperjuangkan satu cewek, Jay? Really? Jay, we were just fine before you get married with that ungrateful bitch Renata!”
“This ungrateful bitch?”
Satu nama terakhir yang terlintas di pikiran Theo pun muncul, tak kuasa menahan gatal di telinganya karena dirinya disebut oleh sang kakak ipar. Penampilannya tak jauh berbeda dari suaminya, rambutnya yang panjang bergelombang terurai dibalik topi menutupi hampir sekian jengkal punggungnya. Ia di ambang pintu keluar, menunjuk dirinya sendiri dan memasang tampang mengejek.
“Ngapain lo disini, hah?”
“Yo!” panggil Jayson, berhasil membuat perhatian Theo beralih dari Renata, “be nice, atau gue bikin masa tahanan lo diperpanjang.”
Sam menambahkan, “ya, be nice, panggil dia bitch lagi, gue kirim orang buat hajar lo di penjara, mau?”
Dilanda bingung, kening Theo mengernyit penuh tanda tanya. “Apa peduli lo? Apa hubungan lo sama si Renata?!”
“Dia adik gue, bangsat!” Sam merangkul Renata—wanita yang sedang tersenyum miring, “lo urusan sama dia, lo ga hanya urusan sama suami dia, tapi lo urusan sama gue. You really messed with the wrong sibling, Theo.”
“Jay, lo pernah bilang ke gue, kalo lo gak mau nikah, lo gak mau bangun sesuatu yang dilandasi sama cinta, lo janji ke gue! Inget gak lo?!”
Seolah tak membiarkan keempat penjebaknya pergi, Theo berteriak. Kekalutan akan sendirian di balik kaca, tanpa bantuan saudaranya, dengan pengacara pilihan pengadilan yang tak berkompeten, dan bayang-bayang di penjara untuk waktu yang tak singkat merendahkan egonya. Membocorkan alasan sebenarnya, kenapa ia getol memusuhi Jayson—teman masa kecil, saudara seumurannya.
“Out of nowhere, you wanna married your college sweetheart, and declare a war! You knew, sejak pertama kali lo berani ingkar janji—lo tahu! Lo tahu kalo semua ini akan terjadi! Ini semua terjadi karena lo ingkari janji lo ke gue, bajingan! Coba aja lo gak married sama dia, kita bisa pimpin Hartono Group bareng-bareng dan Aurora masih bisa hidup.”
“Aurora mati karena keegoisan lo, bukan karena Renata,” Carlos berucap malas, karena orang dibalik kaca pembatas itu tak kian paham akan dosa-dosanya.
Jayson terkekeh, “lo bandingin diri lo sama istri gue, bang?”
Ah, panggilan itu. Theo hampir lupa kalau dirinya adalah abang dalam hubungannya bersama Jayson. Hampir tiga dekade lamanya panggilan itu tak pernah Jayson cuitkan untuknya. Setelah diingat-ingat, rupanya karena dirinyalah yang merasa geli jika harus dipanggil abang oleh Jayson yang usianya tak begitu berjarak.
Theo terdiam. Menatap adik yang tumbuh besar bersamanya kini bukan lagi bocah lima tahun yang mudah dimanipulasi. Kilas balik memori menerjang Theo, menghantarnya ke kenangan berpuluh tahun lalu ketika skala persaingan mereka sebesar tugas sekolah dan boardgame. Adiknya Jayson kala itu masih lugu. Berkata “iya”, “oke” dan “siap” pada apapun perkataannya. Seolah dirinya adalah pion, dan Theo adalah raja yang berkuasa.
10 or 11 years ago,
Barcelona, Theo&Shella's wedding night
“Kok lo bisa sih married sama Shella?” tanya Jayson, lengkap dengan tuxedonya yang licin dan nampak tak bercela. Tugasnya sebagai best man hari itu membuatnya ikut terjun dan terlibat dalam prosesi pernikahan.
Dan sekedar informasi, Jayson bukan jenis manusia yang membuang waktunya hanya sekedar menggelar pesta pernikahan dan berhaha-hihi seharian penuh dengan tamu undangan. Untuk hadir dan berkontribusi dalam satu pernikahan, nyaris menjadi sesuatu yang mustahil bagi Jayson lakukan. Karena biasanya pernikahan yang diawali dengan pesta besar-besaran begini yang akan berujung ke meja hijau perceraian.
“Bisa lah, Shella cantik begitu,” jawab Theo asal, masih cengengesan dengan si adik. “Besok kalo lo nemu cewek yang cocok, lo juga pasti punya impian bangun keluarga sama cewek itu.”
Wajah risih Jayson menggambarkan perasaannya akan pernikahan, “kayaknya gue pass deh.”
“Maksud lo?”
“Gue gak mau married, I don't wanna ending up like my parents,” jawabnya menatap tak selera ke seluruh dekorasi gedung yang berlebihan. “Gue mau stay single, bantu lo sama Opa bangun Hartono Group.”
“Yakin? Bukannya lo lagi deket sama Renata, anak design di kampus yang pernah lo ceritain?”
“Mau gue putusin, terlalu baik buat gue.”
Theo menonjok bahu Jayson yang berlagak siap memutuskan hubungan dengan cewek yang ia kejar berbulan-bulan. “Emang bisa lo?!”
Jayson meringis, “lagian gue udah janji kan ke lo kalo gue gak akan married, selamanya.”
“Lo mau mengabdi sama gue? Selamanya?” tawa Theo, merecoki adiknya.
Waktu menampar kenangannya, ternyata puluhan tahun mampu mengubah adik lugunya menjadi senjata perang yang melumpuhkannya. Sekarang ia hanya dapat melihat seringaian samar dari Renata, mengejeknya karena berhasil merebut adik naif dari buaiannya.
“Kalo lo udah tenang, kita ngomong berdua ya, bang,” ujar Jayson tersenyum tulus, lalu menyusul yang lain keluar dari bilik kunjungan penjara. “Lo gausah khawatir, Shella sama Liliana gue pastikan aman.”
Sidang akhir kasus kecelakaan Jayson dengan Renata diadakan pada Jumat siang, dua hari setelah berita penangkapan Theodore Hartono sebagai tersangka. Sam, Carlos dan Jovanka duduk di kursi barisan paling depan pengadilan. Menyaksikan langsung peristiwa penjatuhan hukuman empat puluh tahun penjara yang dilontarkan Yang Mulia Hakim pada Theo, tanpa bebas bersyarat.
Ketiganya masih terduduk disana, walau sidang telah usai dan wartawan sibuk mengerubungi Theo yang hari ini langsung dipindah ke penjara lanjutan.
“Makasih, kalian berdua nyaris mengecoh gue lagi dan lagi,” gumam Jovanka, melepas kacamata hitamnya.
“Nyaris?” Sam tergelak, “lo emang terkecoh, Jov. What the hell with 'gue gak terima hak asuh Juan jatuh ke tangan Ruby', hah?”
“Harusnya lo berdua bisikin gue dulu, biar gue gak marah-marah kayak kemarin. Kan jadinya gue sia-sia ngotot begini mah. Untung kemarin pas nganterin Juan ke Ruby, cewek itu ceritain semuanya.”
Carlos mencibir, “lagian, makanya lo yang nurut kalo dibilangin suami. Jangan bandel.”
“Iye-iye,” jawab Jovanka pasrah. “So what's now?”
Sam menyahut, “lo jadi Nyonya Hartono lah, apalagi?”
“Gue? Kok gue, sih?” Jovanka mengigiti buku jarinya, “gue rasa gue gak cukup mampu menyandang gelar itu.”
“Mau gak mau,” kekeh Sam lalu menepuk bahu Carlos, “karena suami lo, CEO resmi Hartono sekarang.”
“Juan?”
Carlos mendesah, saling berpandangan ngeri dengan Sam. “Jangan coba-coba sentuh Juan, pawangnya agak sinting.”
“Hey! Gitu-gitu adek gue, woi!” Sam tak terima, “dia bersikukuh gak mau Juan, ataupun Jayson terlibat bisnis—baik Hartono maupun Kiehls Tech.”
Kekehan Jovanka terdengar, “pasti kalian berdua keteteran ya, karena gak ada Jayson. Omong-omong, Jayson sama Renata lagi dimana ya sekarang?”
“Someplace nice,” gumam Carlos menjawab, senyum tipisnya tiba-tiba saja tercipta. “Kasian juga kalo diinget-inget, ternyata mereka dari awal nikah belum sempet honeymoon.”
“Well, walaupun terlambat, akhirnya mereka bisa nikmati waktu mereka berdua,” ujar Sam, lalu beranjak dari kursinya. “Balik anjir, ntar kita dikira akrab beneran kalo lama-lama duduk bertiga disini.”
“Dih, yakali akrab sama lo.”
Someplace nice,
around 3AM
Kapan terakhir kalinya lo bisa honeymoon berkedok liburan panjang di tempat aman, nyaman, tanpa rasa khawatir dihantui oleh segala kemungkinan buruk, dan di dekat pantai? Kapan?
Kapan lagi lo bisa bangun, dan sadar ternyata suami lo tidur di sisi lo, gak kemana-mana, literally di sebelah lo? Kapan? Gak pernah, kan?
“Iya juga ya,” bisik Renata menanggapi suara di benaknya sendiri. “Ini mimpi kali, ya?”
Ia menatap gelombang kecil yang menabrak kaki resort yang berada diatas laut. Meninggalkan ranjang nyamannya dan lebih memilih duduk setengah berbaring diatas hammock yang mengarah langsung ke hamparan lautan yang ia sendiri tak tahu dimana ujungnya.
Gelap, tentu saja. Tapi Renata menemukan ketenangannya disana, mengisi rongga dadanya dengan aroma khas laut dan menikmati udara malam yang katanya buruk bagi kesehatan. Ia memejamkan netra, menahan suara demi suara di otaknya yang haus akan jawaban.
Anak lo gimana? Kok bisa lo enak-enak liburan, sedangkan keadaan anak lo aja gak tau! Call yourself a mother.
Shella sama anaknya apakabar? Lo dan suami lo penjarain kepala keluarga mereka, lo HARUSNYA mikirin dampak yang mereka dapat atas tindakan lo.
Baru pertama kali punya abang dan lo memutuskan gak contact lagi sama dia? Classic Renata, lo jauhin yang buruk, sedangkan dekati marabahaya. Sadar gak, sih?
“Ngapain?”
Sebuah suara menginterupsi diantara banyaknya pertanyaan di benaknya, diikuti tubuh pria dewasa yang menginvansi hammocknya. Jayson memberinya kecupan kecil di puncak kepala, sembari menempatkan dirinya ikut berbaring diatas hammock. “Insomnia?”
“You know how I feel soal tempat baru,” gumam Renata lirih, “gimana bisa aku tidur setelah kejadian kemarin?”
Kepala Jayson mengangguk-angguk pelan, dalam diamnya mengiyakan perkataan istrinya. “Ren, he deserved it.”
“Apa 40 tahun di penjara gak keterlaluan buat Theo?” Renata berdeham membetulkan nadanya yang nampak iba, “I mean, dia emang bunuh Opa dan Aurora tapi dia kan gak beneran bunuh kita berdua.”
Jayson mengeratkan pelukannya, “aku cuma kasih dia waktu lebih di penjara untuk merenung.”
“And did he?”
“He will.”
“Yakin banget? Kayak kamu yakin gak mau nikah lalu tiba-tiba nikahin aku? Segampang itu kah buat kamu mengubah keyakinan, Jay?” Renata tertawa sarkasme, lalu beranjak dari rebahannya, “don't you dare babbling about love because I know you, deep down, bukan itu alasan utama kamu ingkari janji dan nikahin aku.”
I know this is all about what Theo said the other day, Jayson menggaruk tengkuknya kikuk, menyadari obrolan semacam ini pasti terjadi setelah kejadian Theo meracau tentang perjanjian kecil mereka. Perjanjian yang Jayson sesali di kemudian hari.
“Inget dua bulan sebelum kita married? Kita bertengkar hebat? And then we kinda breaking up?”
“How could I forget? Itu pas kamu ketemu Jovanka, kan? Kamu nyaris jadi bokapnya Kenzo,” desis Renata, teringat betapa murkanya dia ketika tahu, suaminya menghamili gadis di bar ketika ia mabuk. Walaupun akhirnya ia tahu bahwa yang menghamili Jovanka adalah Carlos tapi tetap saja, perasaan marah itu masih membekas.
Jayson mengorek-orek memori otaknya, masih bersikap tenang walau lawan bicaranya bertingkah sebaliknya, “inget juga gak setelah itu kita balikan dan aku ajak kamu ke Universal Studio Singapore?”
“Inget. Kamu sewa satu USS buat sehari, biar kita kalo main gak pake antri.” Airmuka Renata berubah konyol, lalu tertawa sembari berkata, “malahan, gak ada angin gak ada ujan petir badai, kamu malah lamar aku di sana, pake cincin hasil arcade game dua dollar. Jayson Hartono si penerus Hartono Group, siapa sangka dia malah lamar ceweknya pake cincin gratisan main arcade?”
“Ya, we had a very fun day hari itu, kan? Okay, aku tahu, rada aneh emang lamar anak orang disaksikan sama patung dinosaurus, dan sama sekali gak modal perkara cincin tunangan.”
“Yes, we were, tapi apa hubungannya sama pertanyaan aku, Jay?” tanya Renata, tak membiarkan Jayson menyeretnya ke pembicaraan yang lain.
“Ren, hari itu bisa jadi bukan hari aku melamar kamu,” Jayson menatap lurus manik Renata dan dengan berat hati mengatakan kelanjutan ceritanya, “karena aku berencana gak mau ajak kamu balikan, sama sekali.”
“Excuse me?” Buruan bilang maksudnya apa sebelum gue gampar muka lo, tambahnya dalam batin.
Jayson mengangguk, memvalidasi pelototan mata Renata yang ditujukan padanya. “Ya, gila kan? Aku gak mau lanjutin hubungan kita, karena aku tahu kamu mau pernikahan, kamu mau keluarga, sedangkan aku gak mau itu semua. It's like you and me, walking on different ways of life.”
“Jangan salah, Ren, aku udah siapin semua. Kabur keluar negri, ngilang disana beberapa bulan. Balik indo kalo kamu udah move on. Udah nemu juga cewek mana yang mau aku pacarin setelah putus dari kamu, I know some tricks, cause you know, it's me.”
Hampir saja kepala Jayson itu menjadi sasaran empuk tangannya, tapi Renata memilih mencengkeram erat-erat emosinya. Ia bergumam kecil, “terus kenapa milih lanjut?”
“Akupun gak tahu, padahal jelas-jelas kita udah beda prinsip,” Jayson bangkit dari acara menyandarnya dan kini mereka berdua sama-sama duduk diatas hammock, menautkan pandangannya ke satu objek—netra wanitanya—dan berucap tanpa berkedip, “tapi masalahnya, aku jadi gak waras setelah seminggu putus dari kamu.”
“Bukannya move on, aku malah stalkerin kamu ke kos, ke kosnya Ruby, ke studio, dan liat kamu baik-baik aja setelah putus dari aku. Sementara aku? It felt empty, knowing you outhere, aint my girl anymore. It haunted me, day and night.”
Jayson terkekeh, jemarinya mengusap pelan surai kecoklatan Renata dan memandanginya tanpa jeda. “Aku mabuk, mabuk, dan mabuk. Aku gak bisa tidur, lebih seringnya black out karena kebanyakan alkohol. Gak make sense aja gitu, aku yang mau hubungan ini selesai, aku juga yang nyesel. Kan aneh.”
“Katanya gampang cari cewek baru? Yakali Jayson Hartono gak ada yang mau,” goda Renata dengan sindiran halusnya. Ia terkekeh, lupa akan amarahnya yang hampir meletup-letup.
Sindiran itu mengenai Jayson, ia nyengir. “Aku cuma kepikiran satu hal.”
Renata mengerutkan keningnya, “apa?”
“Aku gak bisa bayangin kalo one day, you'll getting married, walking down the aisle, with magnificent white dress and the veil cover your whole beauty face, dan bukan aku yang lagi berdiri di altar bareng kamu, bukan aku yang genggam tangan kamu, bukan aku yang ucap janji suci itu, dan bukan aku yang cium kamu. Membayangkan aja bikin aku ngilu, aku gak bisa, it has to be me, Ren. It has to be me.”
Pelupuk mata Renata tergenang air, belum jatuh dari sarangnya karena ingin sekali menyelesaikan percakapan itu. “Kenapa?” tanyanya dengan suara bergetar, menahan tangisnya.
Kalo mau nangis, nangis aja, batin Jayson menertawakan ekspresi Renata yang mempertahankan egonya agar tak menangis sesenggukan. “I love you, Renata Victoria, let's embark this adventure together. I can think of no two people better prepared for this journey, kecuali kamu dan aku.”
“Ooh, damn it!” Renata mengusap matanya yang basah, “makasih udah dibikin nangis.”
Jayson terkekeh, merengkuhnya dalam pelukan hangat. “Then stop asking something that you already know the answer is, okay?”
“Okay,” bisiknya ditengah-tengah genangan airmata yang kian deras, sembari ditemani rengkuhan hangat dari suaminya.
“Segala drama keluarga Hartono itu skenario terbaik dari Tuhan, agar aku tahu ternyata Dia udah siapkan satu wanita tangguh yang mau jalan bareng sama aku selama 8 tahun belakangan, through up and down, dan gak sedikitpun mengeluh walau keadaan memaksa dia buat menyerah. Terimakasih delapan tahunnya, happy anniversary.”
Keduanya melebur dalam ciuman haru. Di tengah-tengah lautan lepas, bergantung dalam satu hammock yang sama, diselubungi angin malam yang berusaha menerobos kehangatan mereka namun gagal.
Lima tahun—ditambah tiga tahun—bukan waktu yang singkat, layak dijadikan landasan yang cukup kuat untuk hubungan mereka. Butuh tiga tahun untuk Renata membangun tembok kepercayaan, mengisi kosongnya halaman 'pernikahan' di kamus pribadi Jayson. Ketika si bujangan telah taken contract seumur hidup dengannya, maka tak adalagi jalan kembali, hanya ada jalan lurus, dan entah bagaimana jalan itu harus dilalui berdua. Berjalan, berlari, terseok-seok atau tersandung. Segala rintangannya patut ditaklukan, asam pahitnya harus ditelan mentah-mentah.
Mereka beradu tatap, berbagi senyum, saling menyalurkan kehangatan. Untuk kesekian kalinya, mereka sadar bahwa pernikahan bukanlah sesuatu yang Tuhan beri secara cuma-cuma. Semua orang mungkin bisa mengucapkan kata I do dalam mimbar altar, tapi tak semuanya bisa menapaki satu demi satu anak tangga pernikahan. Mereka harus mengupayakannya, menyisingkan lengan dan bekerja keras. Literally work on it.
Ya, mereka. Karena petualangan mereka baru saja dimulai.