ceciliannee

(baca part # 339)

Langkah ambisius Jayson membelah lautan karyawan di gedung pusat Hartono yang akan makan siang diluar kantin. Tepatnya di lantai lima ketika Theo Hartono mengadakan pers conference mengenai lepasnya Jayson dari nama besar keluarga Hartono. Ia mengundang puluhan wartawan yang siap menyebarkan berita besar dalam dunia bisnis hingga ke pelosok negri.

Tidak sampai Jayson menginterupsi pers conference dengan kehadirannya yang mengacau. Ya, Jayson Hartono si pengacau dalam keluarga Hartono. Headline yang cukup menarik, diimbangi dengan gambar Jayson mengobrak-abrik meja conference yang diisi belasan microphone. Well done, Jayson.

Terdengar terlalu dramatis, tapi Jayson memang mengacau. Ia melangkah mantab melewati para wartawan dan lari ke sepupu paling besarnya. Ia melayangkan beberapa kali pukulan di wajah hingga pria itu tersungkur lalu menindihnya dan kembali menghajarnya. Membuat satu ruangan heboh akan tindakan impulsifnya.

Sam di belakang panggung conference masuk ke dalam TKP, dan melerai Jayson yang membuat wajah Theo penuh darah segar dari pelipis hingga sudut bibirnya. Dengan bantuan Carlos yang baru datang—karena baru diberi tahu kejadian memalukan itu—akhirnya mereka berdua bisa dipisahkan. Setidaknya Jayson bisa melihat rekaman dimana ia menghajar Theo di masa depan karena semua media mengarahkan kamera ke arahnya. Vividly. Terimakasih teknologi 4K.

Alhasil pers conference itu berujung malapetaka, menyebabkan kasak-kusuk yang disebarkan dari mulut ke mulut oleh para wartawan yang menyaksikan perkelahian dua saudara sepupu secara live. Ketidakharmonisan dalam hubungan persaudaraan Hartono atau Keterkaitan hubungan saudara sepupu pemilik Hartono Group dengan kematian saudarinya beberapa tahun silam. Kurang lebihnya, mari beri tepuk tangan pada Jayson Hartono yang menyebabkan desas-desus itu tercipta.

“Pertunjukan yang bagus,” gumam Dirga sembari menyodorkan sekantung balok es ke arah Jayson untuk mengompres tangannya yang nyut-nyutan.

“Wah, gila. Media beneran panas kena berita barusan.” Carlos mendelik ke arah iPad di tangannya, bahkan memutar video adegan abangnya memukuli abangnya yang lain.

Jayson yang wajahnya telah diplester hanya menatap iPad Carlos di depannya tanpa minat. “Berarti rencana kita berhasil.”

Carlos menghela nafas panjang, “gue kok jadi takut citra bentukan Opa dari belasan tahun bergeser hanya karena berita kayak begini.”

Dirga berdeham, “citra yang dibangun pak Surya itu sangat gak masuk akal. Ok ada baiknya, Hartono terkenal keluarga terpandang yang baik-baik aja tapi apa bener kalian baik-baik aja? You're not, ini waktunya speak up. Gak capek apa bersembunyi dibalik citra baik terus?”

Carlos berdecak, “yeah, you right. Padahal ini keluarga cacat dimana-mana, tapi publik gak tahu apa-apa.”

“Udah hampir 70% rencana, tinggal sisa lo kecelakaan aja,” ujar Dirga dengan lihainya mengalihkan pembicaraan.

Jayson mengepalkan telapak tangannya dan membukanya perlahan. Sepertinya tulang belulangnya disana terlihat bergeser karena memukul rahang Theo terlalu bersemangat. “Gue mau tambahin sedikit sentuhan di rencana akhir kita.”

“And what is that?” tanya Dirga penasaran.

“A party,” kata Jayson lalu menyeringai, “party rujuknya gue sama Renata, buat pengalihan isu miring,” sambungnya sembari memencet rahangnya yang sempat terkena kepalan tangan Theo. “Dikasih ide Mahesa—lebih ke promosi karena pacarnya party planner sih, sekalian bikin alibi kuat buat kalian semua.”

“Ngerekam alibi kita semua lewat media masa?” Dirga bertanya, anggukan Jayson menjadi jawabannya. “So basically, ini rekayasa pembunuhan lo berkedok pesta?”

“Bingo.” Jayson terkekeh pelan, menahan ngilu luar biasa yang terjadi akibat tulang rahangnya bergeser.

“Sam gimana? Dia kan musuh, lo gak mungkin kan undang dia sementara lo gak bisa undang Theo,” sela Carlos mengingatkan, “kalo lo undang Theo berarti dia punya alibi dong.”

“Ntar Sam dateng aja mandiri, chit-chat ringan dan bikin kesan kalo cuma gue sama Theo yang berantem, bukan sama dia juga,” balas Jayson ringan. “Civic udah siap, Dir?”

“Aman,” balas Dirga, “seperti yang lo duga, sidik jarinya Theo masih tertinggal disana.”

Jayson mengangguk-anggukan kepala, “alright, thats it, thats our plan.”

“Tunggu-tunggu,” kata Carlos dengan wajahnya yang khawatir, “apa gak lebih baik yang bawa BMW Theo itu Sam? Postur tubuh mereka hampir sama, bisa jadi ilusi optik di kamera CCTV seolah-olah yang keluar masuk apartemen Theo adalah Theo—padahal si Sam.”

“Bener juga,” kata Dirga, “switch plan aja, kalo Sam yang kemudikan BMW, lo yang bius Theo, sanggup?”

“Bisa gue,” jawab Carlos tapi kemudian menyeringai, “kalo bang Jay kecelakaan, Sam yang nabrak, gue yang bius Theo biar blackout, nah lo.. tugas lo apaan, bang Dir?”

“Gue?” Dirga tertawa mengacungkan telunjuk ke dadanya, “gue pegang peran paling penting. Gue memastikan media cukup sibuk biar gak nyariin kalian pada, selagi kalian mengendap-ngendap keluar gedung pesta. Jagain bocah-bocah as well, intinya pesta ini bakalan aman gue handle.”

Jayson terang-terangan terkejut, melihat Dirga—pria slengean yang doyannya menyebar komedi—berubah menjadi manusia licik yang membantunya berpura-pura mati. “Dir, serius, lo udah mateng. Dah siap jadi CEO SRJ?”

“Am I?”

“Ya, get ready,” gumam Jayson tersenyum lalu mengkoreksi ucapannya sendiri, “bukan, be ready.”


(baca part # 339)

Hartono Jet, Mediterranean Sea

“Ada beberapa alasan yang mendorong aku memutuskan mau melakukan rencana bunuh diri ini.”

Helaan nafas tenang Jayson pertanda akan adanya pembicaraan serius yang mengiringi perjalanan panjang Renata dengan jet pribadi Hartono, dari London menuju Jakarta. Entah popcorn atau liqour, Renata bingung harus mempersiapkan makanan pendamping apa untuk beberapa menit obrolan mereka kedepan.

Setelah memastikan Juan terlelap di kursinya, mereka berbicara empat mata di ruangan konferensi mini bagian belakang jet, dengan gelagat Jayson yang sesekali memeriksa sekitar memastikan tak ada yang menguping pembicaraan mereka. Bisa gawat jika master plan nya Sam bocor.

“Aku baru tahu ternyata Opa bukan meninggal karena serangan jantung, melainkan dibunuh.”

Nafas Renata tertahan, “maksudnya dibunuh?”

Hartono memang bukan perusahaan multinasional paling bersih seantero jagad perbisnisan. Veteran dunia bisnis manapun tahu sejarah lengkap perusahaan besutan Surya Hartono itu. Beberapa kali terlibat dengan penggelapan dana, pencucian uang, kerjasama ilegal, itu harga kecil yang harus Surya Hartono bayar untuk kesuksesannya sebesar sekarang ini.

Tapi pembunuhan? Oh, no no no no. This is way too much. Renata tak bisa bayangkan kalau masalah keluarga old money ini telah berevolusi menjadi tindak kriminal kelas berat (baca : pembunuhan). Apalagi melibatkan seorang Surya Hartono.

Opanya Jayson dimata Renata sudah seperti ketua organisasi sekelas Yakuza yang tidak mungkin mati semudah dibunuh. Ia tak tersentuh. Literally untouchable. Ia membangun Hartono Group dari nol, sendirian. Hanya bermodal tekad dan segenggam recehan rupiah. Siapa yang berani membunuh pria dibalik harta yang takkan habis oleh tujuh turunan itu?

“Opa meninggal karena dibunuh?” tanyanya lagi, mempertanyakan perkataan Jayson barusan. “Gak mungkin Surya Hartono dibunuh, kan? Jayson? Kamu bilang dia kena gagal jantung?!”

“Yes, he was murdered,” jawab Jayson tenang, memotong pertanyaan demi pertanyaan bingung Renata dengan suara getirnya. Ia berdeham, lalu kembali berucap ke nada normal. “Killed by the same person who killed Aurora.”

“AURORA?!” Renata membelalak kaget, tanpa sengaja menutupi mulutnya dengan sebelah tangan. “Hah? Kapan? Dimana? H-how? Jay? Becanda, ya? I swear to God, if you're joking I'm gonna slap your face!”

“Apa mukaku kelihatan lagi becanda sekarang?”

Sayangnya tidak. Renata berharap prianya sedang bercanda, memberinya surprise early birthday dan bersekongkol dengan Aurora untuk menyambutnya kembali ke Indonesia. Nyatanya tidak. Jayson memilin pangkal hidungnya sambil menutup matanya, kerutan di keningnya jelas mengatakan bahwa gue pusing banget, serius.

“Ini semua diawali dari aku tanam modal di pengembangan resort Penang atasnama Jordan Hendrawan. Karena aku investor utama, aku berhak ambil bagian seenggaknya 70% design nya.”

“Inget gak, aku pernah cerita soal keinginan Opa biar Aurora juga bisa berkembang dan ikut berkecimpung di Hartono Group daripada bakat-bakatnya kebuang sia-sia? Makanya aku seret Aurora masuk ke project ini, dengan dia sebagai ketuanya. Carlos pun ambil bagian, mereka beberapa kali meeting dan deal di beberapa ide. Sampai akhirnya aku kepikiran buat bangun perusahaan sendiri, SRJ, karena melihat perencanaan Aurora sama Carlos yang cukup prospek kedepannya.”

Renata berdeham kecil, “oke?”

“Theo tahu soal identitas palsu Jordan Hendrawan dan aku rasa dia khawatir soal Aurora sama Carlos berada di naungan SRJ, bukan Hartono Group lagi. Imagine, saingan sama aku aja dia kelimbungan, apalagi tahu kita bertiga bersatu, against him.”

“Then he killed Aurora,” lanjut Jayson mengetatkan rahangnya menahan gejolak kemarahan dari dalam dirinya. “Mungkin ia merasa posisinya terancam karena aku dan Carlos yang bersatu. Ditambah Aurora yang ikut SRJ, dia gagal manipulasi Aurora buat balik ke pelukan Hartono Group, maybe that's why he killed Aurora.”

Ulu hati Renata terasa tertusuk kenyataan, “that's it? Dia dibunuh karena egonya Theo? Segampang itu cabut satu nyawa hanya karena persaingan bisnis?”

“Setelah kematian Aurora pun, aku makin gak tenang. Carlos terancam, aku kayak hidup dalam pengawasan 24 jam sehari. Satu hal yang gak pernah aku sesali sampai sekarang yaitu kirim kamu sama Juan—yang masih di perut kamu saat itu, jauh dari Theo. Maaf harus sejauh London, tapi selagi kamu aman di sana, aku fokus cari bukti-bukti.”

“And?” Renata berharap-harap cemas, semoga ujung kalimat suaminya berakhir berita positif.

Jayson mendesah, dari helaan nafasnya yang gusar, Renata tahu kabar itu jelas buruk. “Bukannya dapat bukti, ternyata yang kudapat malah berita Theo yang juga bunuh Opa.”

“Jadi kamu bawa aku ke Indonesia, memohon biar aku mau pulang, for what? Balas dendam?”

Jayson beranjak dari duduknya, berkeliling ruangan sempit itu dan sesekali menenggak gelas whiskeynya. “Pilihan kita cuma dua, Ren. Bantu aku pilih. Kamu mau kita balas dendam, atau kamu mau Juan yang kena dampaknya? Aku kenal Theo, and I can tell, dia ancaman buat kita bertiga.”

Begitu mendengar nama anaknya bersama dengan kata ancaman, ibu mana yang tidak tergerak hatinya. “Kalo ngomongin soal Juan, kamu gak perlu suruh aku milih. Pasti aku pilih yang terbaik buat masa depan anak aku.”

“Anak kita,” koreksi Jayson.

“Iya, anak kita,” kekehnya lalu memberi Jayson pelukan.

Dekapan itu bagai obat penenang bagi Jayson, heroin versi halal. Parfum manis bebungaan memudar di ujung penciumannya, dekapan jemari Renata yang menepuk punggungnya perlahan membuatnya kehilangan amarah yang sesaat mengendalikan tubuhnya.

“Udah siap ketemu kakak kamu belum?”

Renata mengeratkan pelukannya mendengar pertanyaan mudah yang harusnya bisa ia jawab tanpa berpikir. “I dont know,” jawabnya meragu.

Merasakan tangan Renata di punggungnya bergetar, Jayson balik menepuk punggung Renata. Membalikkan penenang yang Renata berikan padanya. “Kok gatau, sih? Jangan takut, Ren, aku gak mungkin berani kenalin dia ke kamu tanpa research mendalam dan make sure kalo dia kakak kamu.”

“Aku cuma takut kalo kita ketemu, ternyata aku bukan adik yang kayak dibayangan dia. Aku—”

Masih dalam pelukan erat, Jayson bisa merasakan jantung istrinya berdebar tak karuan. Alur nafasnya memburu, dan badannya gemetaran. “He's so nice, Ren, he loves you so much. Usaha dia selama lima tahun belakangan ini ya cuma buat ketemu kamu, sama Juan.”

“Really?” ujar Renata sambil terisak kecil. “Aku boleh ketemu dia pas udah sampe Jakarta?”

“Boleh, but keep it close, ya? Jangan sampe ketahuan publik, karena yang publik tahu dia partner bisnisnya Theo,” gumam Jayson masih mendekap hangat Renata.


Keberadaan Samudera Kiehls di suite room Renata membuat semuanya terasa seperti mimpi. Ia, seorang anak panti asuhan, kini memiliki sebuah keluarga. Keluarga kecilnya. Bahkan untuk menjabarkan istilahnya saja, Renata tak percaya ia kini memilikinya.

Mimpi bocah sepuluh tahun di panti asuhan St. Vincent itu terdengar klise, menciptakan keluarganya sendiri dan menyalakan api ditengah-tengahnya, agar tak ada hawa dingin dari luar yang berani membekukan hatinya. Kehangatan yang terpancar dari raut wajahnya tak bisa berbohong. It's enough for her.

Apalagi ketika pria jangkung itu merengkuhnya dalam pelukan berdurasi sekian menit, Renata merasakan intuisinya berdesir. Anak dalam dirinya seolah mengatakan, hell yeah, that handsome tall guy is your bloody brother, you have a big bro, A BIG BRO, proud of you older Renata, you got what you always wanted, kan? Congratulation.

“What do you think about Seattle?” Sam menggeser dua paspor milik Jordan dan Regina Hendrawan, beserta tiket pesawat Business Class dengan tujuan serupa. “Far enough from Indonesia, but not so far from London.”

Mata Renata menatap ada yang janggal di meja itu, “mana paspornya Juan?”

Jayson beradu pandang dengan Sam, jelas tak kaget dengan pertanyaan seorang ibu yang menanyakan perihal anaknya. “Sam?” ujarnya, menyerahkan bagian penjelasan kepada kakak iparnya.

“Juan stays in London, with his godparents, Winarta and Ruby,” jawab Sam, tanpa dosa.

“Wh—? What the fuck are you thinking, Jayson Hartono? Are you fucking kidding me?”

Sam mendelik menatap adiknya menyumpahi suaminya sendiri—yang mana adalah Jayson Hartono—dengan logat britishnya yang kental, reaksi yang berbanding dengan Jayson yang nampak sudah terbiasa. “Ren, lemme explain it to you—”

Renata terbahak sarkasme sembari melipat tangannya di depan dada, “nope, Sam, let Juan's father give a shot, let's heard what's going on with his fucking head. Gimana bisa dia kepikiran buat pisahin aku sama anaknya sendiri?!”

Tak naik pitam, Jayson menggeser kursi istrinya agar lebih mendekatinya dan mengusap kepalanya perlahan. Menenangkan kepala yang nyaris meledak itu. “Setelah Theo menghadapi kiamatnya, we have nothing to worry, Ren. Juan harus lanjutin sekolahnya di London, Ruby dan Winarta 100% prepared. You hear me? 100% prepared. Sementara itu, we have a lot of time to play hard. Just like you wanna do.”

“Tapi Juan..?”

“Ada Ruby dan Winarta, plus we can always visit them, whatever you want.”

Sulit rasanya untuk menelan salivanya sendiri ketika membayangkan hari-harinya tanpa sosok Juan. Renata memilin pelipisnya, tak kuat merasakan kehampaan yang bahkan belum terjadi pada chapter hidupnya. “Kenapa? Kenapa Juan gak ikut kita ke Seattle? I trust Ruby and Winarta tapi aku gak bisa pisah sama Juan, never.”

Sam berdeham, “he's the future CEO of Hartono Group, Ren, kalo dia ikut pura-pura meninggal, terus buat apa kita susun rencana masa depan ini, Ren?”

“He's five.” Renata menatap tajam pria yang baru resmi menjadi abangnya selama tiga jam. “At the end of the day, cuma bisnis dan bisnis yang ada di otak kalian? Warisan dan legacy, that's all bullshit, kenapa kita gak bisa hidup tenang bareng-bareng?”

“Jadi kamu ngebiarin Hartono Group runtuh? Perusahaan yang dibangun sama Opa lenyap begitu aja? Sia-sia perjuangan Opa rintis semua ini? Gitu mau kamu?” Jayson menyimpulkan, dengan gerak-gerik tenangnya—sama sekali tak ikut terpancing dalam kegelisahan yang melanda Renata. Tapi ucapannya cukup ofensif dan mencerca Renata yang terdiam merenung, cukup membuat nyali Renata yang setinggi angin menciut.

“Ya.. gak runtuh juga maksudnya,” kini intonasi Renata terdengar kembali normal, “how about Carlos? He's a Hartono, older than Juan, older enough to take a big step, kan?”

“Carlos? Really?” Sam tertawa sinis, “he's terrible at making decision, gue gak mau memperkeruh ini tapi gue ngomong sesuai fakta dan lima tahun adalah waktu yang cukup buat menyimpulkan pemikiran gue ini.”

Renata menata ruang di koridor hatinya. Sedikit demi sedikit memprioritaskan hal yang masuk nalarnya. Walau Juan sebagai CEO masa depan Hartono Group jauh diluar jangkauan imajinasinya, belum-belum pikirannya dilanda kalut. Ia menguatkan dirinya, memutuskan untuk berfikir rasional. Dan berpisah dengan darah dagingnya tak begitu buruk, apalagi ia bisa berkunjung sewaktu-waktu.

“Tapi Juan harus tahu kita gak beneran meninggal, kan?”

Sam mendesah, “dia masih lima tahun, does he really know about dying people?”

“Hey!” Renata menaikkan nada bicaranya, “he's five, not an idiot!”

“Bukan itu maksud gue,” kekeh Sam, mulai menyesuaikan dirinya dengan gaya obrolan adiknya yang agak nyeleneh. “Lo udah siapin mobil yang mau dibikin kecelakaan?

Cengiran tampil menghiasi muka Jayson. “Gampang, dah gue siapin dari lama.”

“Mantab. Jangan mau kalah sama si BMW nya Theo.”

“Kalah apa gak, ntar gue juga bakalan mati.”

Renata menatap kedua pria di meja makan dengan pandangan ngeri. Ia sedikit bersyukur melewatkan lima tahun proses pengakraban suaminya dengan abangnya, yang jelas mereka berdua cukup gila karena berani mengambil resiko sebesar itu. Bahkan mempertaruhkan hidup dan mati? For God's sake, Jayson benar-benar serius soal obrolan mereka perkara play hard, huh?

“You guys crazy,” gumam Renata, entah memuji atau mencibir.

(baca part # 365) Jakarta, ditengah-tengah perayaan private party Hartono

Udara malam itu terasa berbeda, kabut menyelimuti pinggiran kota Jakarta dengan segala keanehannya. Langitnya terselubung awan mendung, pertanda rintiknya akan segera menghujani ibukota.

Ditengah-tengah ramalan cuaca yang tak menentu, Civic hitam melaju membelah lenggangnya jalan tol, hingga mobil sedan itu mencapai batas kecepatan standar. Pengemudi sengaja menginjak pedal dalam-dalam, bermain kejar-kejaran kecil dengan BMW putih yang mengekor di belakangnya.

Renata di kursi belakang telah mengganti gaun hitam dengan hoodie kedodoran, jeans pendek dan sepatu running. Ia memeluk punggung kursi yang ditempati Jayson, tak biasa dengan segala percepatan mobil yang tengah mereka tumpangi. Tangan gemetarannya menepuk bahu Jayson yang telah menanggalkan jasnya, tersisa kemeja putih kusut yang bercampur keringat dingin. Ia waswas, kecelakaan yang dibuat-buat ini akan berujung kecelakaan betulan pada mereka jika Jayson tak kian menurunkan kecepatannya.

Alih-alih berhenti, Jayson membelokkan mobilnya ke tikungan tol yang belum terdaftar resmi oleh pemerintah. Ia menyeringai ketika terowongan yang ia rencanakan sebagai TKP pembunuhannya terlihat di radius beberapa meter.

BMW putih di belakangnya mengklakson beberapa kali, memberi jarak ketika Civic telah masuk terowongan. Sam, pengemudi dibalik setir BMW putih kesayangan Theo itu sengaja memelankan kendaraannya. Membiarkan Jayson melakukan aksinya dengan Civic, si sedan yang sporty. Ia membelokkan BMW, memarkir mobil keluarga itu jauh di belakang si Civic yang menciptakan bekas gesekan ban di aspal. Detil penting dalam sebuah kecelakaan.

Sam mengeluarkan dirinya, melangkah mendekati dua orang yang juga keluar dari si Civic. Ia membantu suami-istri itu menggeledah isi tas besar bawaan Jayson, yang memang sengaja diisi dua kantung darah—darahnya dan darah Renata, beserta jeriken berisikan bensin.

“PMI butuh banyak darah, kita malah buang-buang kayak gini,” gumam Renata di sela kegiatannya menyemprotkan isi kantung darahnya di dalam mobil dan aspal.

Sam mengguyur seluruh Civic dengan bensin, mobil yang sengaja Jayson pilih karena satu-satunya mobil di garasi yang pernah dipakai Theo selain BMW putihnya. Sidik jarinya masih tertinggal di interior mobilnya, mempermudah detektif mencari orang untuk disalahkan. Setelah cukup yakin tak ada yang tertinggal, Sam memberikan sentuhan akhir di ujung tangannya yang dilapisi sarung tangan.

“Good day to be die, brother?” kekeh Sam sembari menarik pemantik di korek zippo, menggoda Jayson. Sementara dirinya tak berani mengajak adik kandungnya becanda, karena wajahnya yang kelewat tegang. “Relax, Dek, lo gak mati beneran kok.”

“I hate you, both,” ujar Renata mengutuki nasib buruknya dan membiarkan para lelaki becanda sesukanya perihal hidup dan mati sementara ia memasuki mobil BMW.

“Do it,” kata Jayson menginteruksi. Ia perlahan mengekori istrinya masuk ke dalam BMW, duduk di belakang mobil dengan keringat mengucur deras di pelipisnya.

Sam melemparkan koreknya, memberikan dirinya sendiri waktu untuk berlarian masuk ke dalam BMW karena api kecil dari korek telah perlahan merambat ke cairan bensin yang tercecer di jalanan. Sepersekian detik dipacu detakan jantung ketiganya, Sam menginjak pedal sedalam-dalamnya. Memutar mobil keluaran Eropa itu ke arus berlawanan, berhasil keluar dari terowongan dan barulah terdengar ledakan kuat dari si Civic hitam.

Kejadian malam itu membuktikan rentetan kehebatan BMW yang biasanya hanya dijelaskan dalam brosur penjualan. Tenaga kudanya, mesin transmisinya, atau torsi maksimumnya. Berpacu dengan betapa kilatnya api ketika bertemu dengan teman lamanya—bensin, tentu bisa membuat ketiganya terkena ledakan Civic jika tak sedang mengendarai BMW yang Theo pesan khusus dari Jerman. Bahkan menurut majalah Forbes, cuma dia yang memiliki BMW seri itu di Indonesia. Ironisnya, mobil kesayangannya itu malah dipilih Jayson sebagai salah satu bukti paling kuat yang bisa memasukkan pemiliknya ke penjara.

Renata memberanikan diri untuk melihat spion kiri mobil, gambaran kepulan asap dan kobaran api mulai terlihat di kaca kecil itu. Lalu ia melirik abangnya di sebelahnya, kemudian ke rear-view mirror di atasnya, menangkap senyum tipis dari belakang.

“We're gonna be okay, Ren.” Jayson berucap sembari menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi penumpang dan nafasnya yang memburu sisa adegan nekad mereka bertiga.

Renata tak kehilangan kekhawatirannya, ia masih gusar dan membalas, “I guess, karena kita sudah mati.”

Teringat sesuatu, cengiran Sam tanggal dari wajahnya. “Funny story, Jayson,” ujarnya lalu berdeham, “kenapa Mahesa bilang lo sempet mau kirim undangan pesta ke Theo?”

Damn. Jayson menelan salivanya pahit, seketika memperhatikan ekspresi Renata begitu mendengar Sam mengatakan hal itu. Mahesa, you're going to hell, you're going.. damn it. batinnya tak tenang.

Tentu saja penghuni kursi shotgun—kursi sebelah kemudi mobil, memutar punggungnya dan memberinya tatapan horror. “Jangan bilang kamu—”

“Ya,” potong Jayson membenarkan tatapan tak percaya dari Renata, “ya, aku nyaris kasih kesempatan terakhir buat Theo. Undang dia ke pesta, dan gak jadi buat kecelakaan palsu ini. Ada bagian diriku mau berdamai aja sama Theo, memaafkan dan melupakan semuanya,” ujarnya tanpa kontrol mengeluarkan isi kepalanya. Terurai begitu saja tanpa filter, membuatnya agak menyesal melihat kemurkaan istrinya yang kian nampak.

“Unbelievable,” ujar Renata tertohok, ingin sekali menghujani segala umpatan ke suaminya di kursi belakang tapi dirinya terlalu lelah dengan segala aksi kebut-kebutan tadi. “Istilah blood is thicker than anything ternyata masih berlaku buat seorang Jayson Hartono,” sindirnya sinis.

Sam merasa canggung, diantara atmosfir gelap yang menyelimuti percakapan suami istri disebelahnya. Tapi saat itu bisa dipastikan Sam membela adiknya, bukan karena ia blood tapi karena Renata berhak marah. Berkali-kali diinjak layaknya keset bertulis welcome, hati nurani Jayson masih sempat-sempatnya memberi belas kasihan pada orang yang dengan sengaja menindasnya.

“Tapi kemudian aku tau, Theo gak akan berubah dengan perdamaian.” Jayson memejamkan matanya, “perdamaian bukan solusi tepat menghadapi Theo. Hanya ada dua akhir, menang dan kalah.”

“Tapi lo kepikiran buat maafin dia, kan?!” Renata meledak dalam suaranya yang meninggi. “Kalo misalkan gue sama Theo kecebur laut, dan cuma satu diantara kita yang bisa lo selamatin, kayaknya lo bakalan mati-matian selamatin abang lo deh. Sedangkan gue? Tenggelam ngenes karena skip pelajaran renang pas SMP!”

“But I didn't do it.”

“But you intend to do it, don't you?”

“Enggak dilakuin, Ren, buktinya—”

“Tapi kepikiran buat ngelakuinnya, kan?”

“Oh my God, shut up you two!” Sam memutuskan terlibat, ia berteriak cukup kencang hingga Renata tak lagi mengomel dan Jayson tak lagi mencari-cari pembelaan. “Gue turunin kalian berdua, mau?”

Renata membuang muka lalu mencibir, “turunin aja, biar pada tahu kalo gue gak beneran mati.”

Sam menghela nafas, berpandangan penuh arti dengan Jayson lewat kaca rear-view diatasnya. Astaga, istri lo.. batinnya bertelepati dengan adik iparnya.

Adek lo, bales Jayson dengan dua alisnya yang terangkat, menampar Sam dengan fakta bahwa wanita yang tengah meledak-ledak itu saudarinya.

Iya juga sih, Sam menghela nafas, menyadari bahwa adiknya itu persis seperti ayahnya. Ia berbesar hati dan mencari jalan tengah dengan bergumam santai. “Kurang-kurangin keras kepalanya, Ren. Intinya Jayson gak lakuin itu, okay?”

“Ya tapi kan—”

“Okay?” potong Sam, mengulang pertanyaannya, menandakan tak ada tapi-tapian lagi. “Ren? Okay?”

“Okay okay,” ucapnya pada akhirnya, “puas?”

Kembali berpandangan lewat kaca kecil, Jayson dan Sam kembali bertelepati. Saling melontarkan perasaan tak menyenangkan ketika menghadapi si keras kepala Renata.


(baca part # 339)

Hartono Jet, Mediterranean Sea

“Ada beberapa alasan yang mendorong aku memutuskan mau melakukan rencana bunuh diri ini.”

Helaan nafas tenang Jayson pertanda akan adanya pembicaraan serius yang mengiringi perjalanan panjang Renata dengan jet pribadi Hartono, dari London menuju Jakarta. Entah popcorn atau liqour, Renata bingung harus mempersiapkan makanan pendamping apa untuk beberapa menit obrolan mereka kedepan.

Setelah memastikan Juan terlelap di kursinya, mereka berbicara empat mata di ruangan konferensi mini bagian belakang jet, dengan gelagat Jayson yang sesekali memeriksa sekitar memastikan tak ada yang menguping pembicaraan mereka. Bisa gawat jika master plan nya Sam bocor.

“Aku baru tahu ternyata Opa bukan meninggal karena serangan jantung, melainkan dibunuh.”

Nafas Renata tertahan, “maksudnya dibunuh?”

Hartono memang bukan perusahaan multinasional paling bersih seantero jagad perbisnisan. Veteran dunia bisnis manapun tahu sejarah lengkap perusahaan besutan Surya Hartono itu. Beberapa kali terlibat dengan penggelapan dana, pencucian uang, kerjasama ilegal, itu harga kecil yang harus Surya Hartono bayar untuk kesuksesannya sebesar sekarang ini.

Tapi pembunuhan? Oh, no no no no. This is way too much. Renata tak bisa bayangkan kalau masalah keluarga old money ini telah berevolusi menjadi tindak kriminal kelas berat (baca : pembunuhan). Apalagi melibatkan seorang Surya Hartono.

Opanya Jayson dimata Renata sudah seperti ketua organisasi sekelas Yakuza yang tidak mungkin mati semudah dibunuh. Ia tak tersentuh. Literally untouchable. Ia membangun Hartono Group dari nol, sendirian. Hanya bermodal tekad dan segenggam recehan rupiah. Siapa yang berani membunuh pria dibalik harta yang takkan habis oleh tujuh turunan itu?

“Opa meninggal karena dibunuh?” tanyanya lagi, mempertanyakan perkataan Jayson barusan. “Gak mungkin Surya Hartono dibunuh, kan? Jayson? Kamu bilang dia kena gagal jantung?!”

“Yes, he was murdered,” jawab Jayson tenang, memotong pertanyaan demi pertanyaan bingung Renata dengan suara getirnya. Ia berdeham, lalu kembali berucap ke nada normal. “Killed by the same person who killed Aurora.”

“AURORA?!” Renata membelalak kaget, tanpa sengaja menutupi mulutnya dengan sebelah tangan. “Hah? Kapan? Dimana? H-how? Jay? Becanda, ya? I swear to God, if you're joking I'm gonna slap your face!”

“Apa mukaku kelihatan lagi becanda sekarang?”

Sayangnya tidak. Renata berharap prianya sedang bercanda, memberinya surprise early birthday dan bersekongkol dengan Aurora untuk menyambutnya kembali ke Indonesia. Nyatanya tidak. Jayson memilin pangkal hidungnya sambil menutup matanya, kerutan di keningnya jelas mengatakan bahwa gue pusing banget, serius.

“Ini semua diawali dari aku tanam modal di pengembangan resort Penang atasnama Jordan Hendrawan. Karena aku investor utama, aku berhak ambil bagian seenggaknya 70% design nya.”

“Inget gak, aku pernah cerita soal keinginan Opa biar Aurora juga bisa berkembang dan ikut berkecimpung di Hartono Group daripada bakat-bakatnya kebuang sia-sia? Makanya aku seret Aurora masuk ke project ini, dengan dia sebagai ketuanya. Carlos pun ambil bagian, mereka beberapa kali meeting dan deal di beberapa ide. Sampai akhirnya aku kepikiran buat bangun perusahaan sendiri, SRJ, karena melihat perencanaan Aurora sama Carlos yang cukup prospek kedepannya.”

Renata berdeham kecil, “oke?”

“Theo tahu soal identitas palsu Jordan Hendrawan dan aku rasa dia khawatir soal Aurora sama Carlos berada di naungan SRJ, bukan Hartono Group lagi. Imagine, saingan sama aku aja dia kelimbungan, apalagi tahu kita bertiga bersatu, against him.”

“Then he killed Aurora,” lanjut Jayson mengetatkan rahangnya menahan gejolak kemarahan dari dalam dirinya. “Mungkin ia merasa posisinya terancam karena aku dan Carlos yang bersatu. Ditambah Aurora yang ikut SRJ, dia gagal manipulasi Aurora buat balik ke pelukan Hartono Group, maybe that's why he killed Aurora.”

Ulu hati Renata terasa tertusuk kenyataan, “that's it? Dia dibunuh karena egonya Theo? Segampang itu cabut satu nyawa hanya karena persaingan bisnis?”

“Setelah kematian Aurora pun, aku makin gak tenang. Carlos terancam, aku kayak hidup dalam pengawasan 24 jam sehari. Satu hal yang gak pernah aku sesali sampai sekarang yaitu kirim kamu sama Juan—yang masih di perut kamu saat itu, jauh dari Theo. Maaf harus sejauh London, tapi selagi kamu aman di sana, aku fokus cari bukti-bukti.”

“And?” Renata berharap-harap cemas, semoga ujung kalimat suaminya berakhir berita positif.

Jayson mendesah, dari helaan nafasnya yang gusar, Renata tahu kabar itu jelas buruk. “Bukannya dapat bukti, ternyata yang kudapat malah berita Theo yang juga bunuh Opa.”

“Jadi kamu bawa aku ke Indonesia, memohon biar aku mau pulang, for what? Balas dendam?”

Jayson beranjak dari duduknya, berkeliling ruangan sempit itu dan sesekali menenggak gelas whiskeynya. “Pilihan kita cuma dua, Ren. Bantu aku pilih. Kamu mau kita balas dendam, atau kamu mau Juan yang kena dampaknya? Aku kenal Theo, and I can tell, dia ancaman buat kita bertiga.”

Begitu mendengar nama anaknya bersama dengan kata ancaman, ibu mana yang tidak tergerak hatinya. “Kalo ngomongin soal Juan, kamu gak perlu suruh aku milih. Pasti aku pilih yang terbaik buat masa depan anak aku.”

“Anak kita,” koreksi Jayson.

“Iya, anak kita,” kekehnya lalu memberi Jayson pelukan.

Dekapan itu bagai obat penenang bagi Jayson, heroin versi halal. Parfum manis bebungaan memudar di ujung penciumannya, dekapan jemari Renata yang menepuk punggungnya perlahan membuatnya kehilangan amarah yang sesaat mengendalikan tubuhnya.

“Udah siap ketemu kakak kamu belum?”

Renata mengeratkan pelukannya mendengar pertanyaan mudah yang harusnya bisa ia jawab tanpa berpikir. “I dont know,” jawabnya meragu.

Merasakan tangan Renata di punggungnya bergetar, Jayson balik menepuk punggung Renata. Membalikkan penenang yang Renata berikan padanya. “Kok gatau, sih? Jangan takut, Ren, aku gak mungkin berani kenalin dia ke kamu tanpa research mendalam dan make sure kalo dia kakak kamu.”

“Aku cuma takut kalo kita ketemu, ternyata aku bukan adik yang kayak dibayangan dia. Aku—”

Masih dalam pelukan erat, Jayson bisa merasakan jantung istrinya berdebar tak karuan. Alur nafasnya memburu, dan badannya gemetaran. “He's so nice, Ren, he loves you so much. Usaha dia selama lima tahun belakangan ini ya cuma buat ketemu kamu, sama Juan.”

“Really?” ujar Renata sambil terisak kecil. “Aku boleh ketemu dia pas udah sampe Jakarta?”

“Boleh, but keep it close, ya? Jangan sampe ketahuan publik, karena yang publik tahu dia partner bisnisnya Theo,” gumam Jayson masih mendekap hangat Renata.


Keberadaan Samudera Kiehls di suite room Renata membuat semuanya terasa seperti mimpi. Ia, seorang anak panti asuhan, kini memiliki sebuah keluarga. Keluarga kecilnya. Bahkan untuk menjabarkan istilahnya saja, Renata tak percaya ia kini memilikinya.

Mimpi bocah sepuluh tahun di panti asuhan St. Vincent itu terdengar klise, menciptakan keluarganya sendiri dan menyalakan api ditengah-tengahnya, agar tak ada hawa dingin dari luar yang berani membekukan hatinya. Kehangatan yang terpancar dari raut wajahnya tak bisa berbohong. It's enough for her.

Apalagi ketika pria jangkung itu merengkuhnya dalam pelukan berdurasi sekian menit, Renata merasakan intuisinya berdesir. Anak dalam dirinya seolah mengatakan, hell yeah, that handsome tall guy is your bloody brother, you have a big bro, A BIG BRO, proud of you older Renata, you got what you always wanted, kan? Congratulation.

“What do you think about Seattle?” Sam menggeser dua paspor milik Jordan dan Regina Hendrawan, beserta tiket pesawat Business Class dengan tujuan serupa. “Far enough from Indonesia, but not so far from London.”

Mata Renata menatap ada yang janggal di meja itu, “mana paspornya Juan?”

Jayson beradu pandang dengan Sam, jelas tak kaget dengan pertanyaan seorang ibu yang menanyakan perihal anaknya. “Sam?” ujarnya, menyerahkan bagian penjelasan kepada kakak iparnya.

“Juan stays in London, with his godparents, Winarta and Ruby,” jawab Sam, tanpa dosa.

“Wh—? What the fuck are you thinking, Jayson Hartono? Are you fucking kidding me?”

Sam mendelik menatap adiknya menyumpahi suaminya sendiri—yang mana adalah Jayson Hartono—dengan logat britishnya yang kental, reaksi yang berbanding dengan Jayson yang nampak sudah terbiasa. “Ren, lemme explain it to you—”

Renata terbahak sarkasme sembari melipat tangannya di depan dada, “nope, Sam, let Juan's father give a shot, let's heard what's going on with his fucking head. Gimana bisa dia kepikiran buat pisahin aku sama anaknya sendiri?!”

Tak naik pitam, Jayson menggeser kursi istrinya agar lebih mendekatinya dan mengusap kepalanya perlahan. Menenangkan kepala yang nyaris meledak itu. “Setelah Theo menghadapi kiamatnya, we have nothing to worry, Ren. Juan harus lanjutin sekolahnya di London, Ruby dan Winarta 100% prepared. You hear me? 100% prepared. Sementara itu, we have a lot of time to play hard. Just like you wanna do.”

“Tapi Juan..?”

“Ada Ruby dan Winarta, plus we can always visit them, whatever you want.”

Sulit rasanya untuk menelan salivanya sendiri ketika membayangkan hari-harinya tanpa sosok Juan. Renata memilin pelipisnya, tak kuat merasakan kehampaan yang bahkan belum terjadi pada chapter hidupnya. “Kenapa? Kenapa Juan gak ikut kita ke Seattle? I trust Ruby and Winarta tapi aku gak bisa pisah sama Juan, never.”

Sam berdeham, “he's the future CEO of Hartono Group, Ren, kalo dia ikut pura-pura meninggal, terus buat apa kita susun rencana masa depan ini, Ren?”

“He's five.” Renata menatap tajam pria yang baru resmi menjadi abangnya selama tiga jam. “At the end of the day, cuma bisnis dan bisnis yang ada di otak kalian? Warisan dan legacy, that's all bullshit, kenapa kita gak bisa hidup tenang bareng-bareng?”

“Jadi kamu ngebiarin Hartono Group runtuh? Perusahaan yang dibangun sama Opa lenyap begitu aja? Sia-sia perjuangan Opa rintis semua ini? Gitu mau kamu?” Jayson menyimpulkan, dengan gerak-gerik tenangnya—sama sekali tak ikut terpancing dalam kegelisahan yang melanda Renata. Tapi ucapannya cukup ofensif dan mencerca Renata yang terdiam merenung, cukup membuat nyali Renata yang setinggi angin menciut.

“Ya.. gak runtuh juga maksudnya,” kini intonasi Renata terdengar kembali normal, “how about Carlos? He's a Hartono, older than Juan, older enough to take a big step, kan?”

“Carlos? Really?” Sam tertawa sinis, “he's terrible at making decision, gue gak mau memperkeruh ini tapi gue ngomong sesuai fakta dan lima tahun adalah waktu yang cukup buat menyimpulkan pemikiran gue ini.”

Renata menata ruang di koridor hatinya. Sedikit demi sedikit memprioritaskan hal yang masuk nalarnya. Walau Juan sebagai CEO masa depan Hartono Group jauh diluar jangkauan imajinasinya, belum-belum pikirannya dilanda kalut. Ia menguatkan dirinya, memutuskan untuk berfikir rasional. Dan berpisah dengan darah dagingnya tak begitu buruk, apalagi ia bisa berkunjung sewaktu-waktu.

“Tapi Juan harus tahu kita gak beneran meninggal, kan?”

Sam mendesah, “dia masih lima tahun, does he really know about dying people?”

“Hey!” Renata menaikkan nada bicaranya, “he's five, not an idiot!”

“Bukan itu maksud gue,” kekeh Sam, mulai menyesuaikan dirinya dengan gaya obrolan adiknya yang agak nyeleneh. “Lo udah siapin mobil yang mau dibikin kecelakaan?

Cengiran tampil menghiasi muka Jayson. “Gampang, dah gue siapin dari lama.”

“Mantab. Jangan mau kalah sama si BMW nya Theo.”

“Kalah apa gak, ntar gue juga bakalan mati.”

Renata menatap kedua pria di meja makan dengan pandangan ngeri. Ia sedikit bersyukur melewatkan lima tahun proses pengakraban suaminya dengan abangnya, yang jelas mereka berdua cukup gila karena berani mengambil resiko sebesar itu. Bahkan mempertaruhkan hidup dan mati? For God's sake, Jayson benar-benar serius soal obrolan mereka perkara play hard, huh?

“You guys crazy,” gumam Renata, entah memuji atau mencibir.


like the rainbow after the rain joy will reveal itself after sorrow -rupi kaur


Pantai siang hari itu kian terik ketika matahari mulai gahar menunjukkan kekuatannya. Hampir dua jam lamanya, baik Jayson maupun Renata tak bosan-bosannya menatap bibir pantai, menangkap sebanyak-banyaknya memori bahagia, dan menghirup dalam-dalam aroma laut yang candu.

“Such a nice place to just laying in, and do nothing.”

Renata bergumam, mengukirkan senyum paling lebar sepanjang sejarah hidupnya. Matanya dipenuhi panorama pelipur laranya, penciumannya diisi aroma lelautan yang begitu adiktif. Akan sulit rasanya menanggalkan segala keindahan yang Tuhan suguhkan padanya dari ingatan. Apalagi manusia disebelahnya yang tak lelah menempel padanya sepanjang hari.

Harga apa yang harus aku bayar untuk dapat semua ini, Tuhan?

Ambil semua, Tuhan, kuserahkan padaMu semuanya. Aku ingin hidup di lingkaran ini selama-lamanya. Abaikan keegoisanku, abaikan segala keluh kesahku, abaikan semuanya.

Aku hanya mohon satu, tempatkan aku di pusat kenyamanan ini dan biarkan aku larut di dalamnya. Dan izinkan aku bawa Jayson karena dia berhak juga, walaupun dia agak menjengkelkan (sedikit) tapi iapun layak mendapatkannya. Boleh ya, Tuhan?

“What are you doing?” Jayson memotong obrolan randomnya bersama sang Pencipta. Pria itu tengah terduduk, memandanginya dengan tatapan teduh, seolah memang sepasang netra itu diciptakan untuk memandangnya begitu.

Ia meliriknya kecil, “cuma ngerasa bersyukur, amat sangat bersyukur.”

Cengiran khas dari pria itu membuat Renata ikut tersenyum kecil, “am I in it?” tanyanya, dengan pertanyaan yang kentara jelas jawabannya.

“Jay, kamu bukan hanya in it, tapi kamulah inti rasa bersyukur aku,” akui Renata, bersungguh-sungguh. Tak ada kerlingan geli ataupun candaan di tatapannya, mengutarakan kebenaran dalam suaranya.

Renata menggeser tubuhnya mendekati posisi duduk Jayson, meletakkan jemarinya diatas telapak tangan pria itu yang ukurannya lebih lebar darinya. Bersamaan dengan itu, ia serahkan segalanya pada pria itu. Dirinya, hidupnya, masa depannya, seluruhnya. Tak pernah Renata duga, ia akan bisa sepercaya itu pada makhluk fana di sebelahnya itu.

Ia tak bersuara, tapi tatapan bolamata legamnya tak bisa tinggal diam. Pandangannya menyusuri tiap sudut wajah pria yang delapan tahun terakhir menjadi penguasa di hatinya. Memegang teguh posisinya, bahkan lima tahun perpisahan mereka tak bisa melengserkan kedudukannya.

Keningnya yang mulai dihiasi guratan halus akibat stres pekerjaan, alismatanya yang lebat, manik matanya yang kecoklatan—dengan sorotnya yang tajam, menjadi daya tarik utamanya. Pangkal hidungnya yang tinggi, tulang pipinya yang kokoh, menambah aksen tegas dalam postur wajahnya. Juga bibirnya, bibir yang kemudian ia rengkuh dalam ciuman. Ciuman singkat yang dengan magisnya dapat membuatnya tiba-tiba menjadi emosional.

Di sisi lain, Jayson menerima ciuman dadakan yang dilayangkan Renata dengan segala kekagetannya. Pertemuan bibirnya dengan sang Nyonya terasa manis. Aroma strawberry bercampur wine sisa tadi pagi membuatnya ingin berlama-lama memadu bibir itu, meraup habis tanpa sisa.

Pikirannya melayang pada ciuman pertama mereka, canggung tapi kemudian juga menyenangkan. Senyum diantara ciuman itu mengembang, lenyap begitu merasakan sesuatu lain yang ikut bergabung dalam ciuman dalam mereka. Sebuah airmata.

“Why? What? What's wrong?” tanyanya bertubi-tubi, mendapati wanitanya dengan mata sembabnya.

Ia memeluknya, berharap pelukannya bisa meredakan tangisan itu. Naasnya, airmata itu kian banjir. Bahkan sesenggukan terdengar, dadanya naik turun, tangisannya bahkan lebih parah ketika Juan sedang dalam masa tantrumnya.

Jayson tak melepaskannya, ia mendengar tiap suara aneh yang keluar dari tangisan Renata. Ia bingung, tapi posisinya tetap sama—walau kaus tipisnya setengah basah oleh kucuran airmata.

“Oke,” gumam Renata dengan suara sengak, airmata menggenangi pita suaranya, “I'm gonna stop crying now.”

Tanpa menuntut penjelasan apa-apa, Jayson mengusap bekas airmata yang tertinggal di pelupuk matanya. “Udah lega?”

“Belum,” jawabnya dengan gelengan kecil.

“Kenapa? Kangen Juan, ya?”

Mata sisa genangan airmata itu berhenti menangis, meneguhkan dirinya untuk bisa mengatakan isi benaknya. “Jay, aku belum pernah—secara langsung—bilang terimakasih ke kamu.”

“Ren—”

“Tolong jangan dipotong dulu,” selanya cepat, menenggak salivanya dengan berat hati. “Pertama-tama, terimakasih, Jay, kamu adalah orang yang mau beri aku kesempatan buat ngerasain apa yang orang lain sebut dengan keluarga. Aku gak mungkin punya Juan, atau kakak aku Sam, aku gak mungkin punya mereka—kalau bukan karena kamu. Terimakasih.”

“Kedua, terimakasih untuk semuanya, Jay, segala effort, bentuk tanggung jawab kamu, dan literally semuanya. Rencana-rencana kamu.. aku minta maaf, aku sempat meragukannya. Tapi gilanya, berhasil. Kamu tepatin janji-janji kamu, buat play hard berdua, it means a lot to me, Jay, terimakasih.”

Renata mengusap sebelah matanya, menahan sesenggukan yang kembali menghujani suaranya. Ia tersenyum kikuk, membuang pandangannya ke arah lain karena jika sekali lagi ia beradu tatapan dengan pria di depannya, ia akan kembali menangis tanpa menyelesaikan kalimatnya.

“Last but not least,” ia menghela nafas panjang, memberanikan diri menatap sorot teduh di depannya. “terimakasih karena telah jadi orang itu, Jayson. Orang yang gak cuma ada, tapi kontribusinya sangat terlibat di hidup aku.”

“Dari mulai aku buka mata, sampai aku kembali tidur, kamu selalu jadi orang itu, Jay, no matter how much I tried to erase you, you still there, hanging around in the corner.” Renata kalah, ia kembali meneteskan airmatanya. Tapi ia memaksa dirinya untuk melanjutkan ucapannya, “aku gak bisa bayangin kalau bukan kamu orang itu, emang siapa lagi? Gak ada. Gak ada yang bisa gantiin kamu, sampai kapanpun.”

Macam ada yang mengambil alih fungsi kerja lidahnya, Jayson kehilangan kata-katanya. Ia bimbang, ia terenyuh dengan rentetan paragraf yang dilontarkan istrinya, tapi di sisi lain juga ingin menertawakan betapa lucunya ketika wanita itu mengungkap isi hatinya. Renata bisa jadi wanita dingin yang siapapun takkan bisa menyentuh titik bekunya, tapi setelah mencair, wanita itu bintang paling panas yang energinya tak habis-habis.

“Iya, sama-sama,” ujarnya memberi dekapannya lagi, “udah ya nangisnya, nanti kalau Juan lihat gimana? Kalau Sam liat? Ntar aku dikira kdrt-in kamu. Lupa apa? Abang kamu orang hukum, aku bisa-bisa satu sel sama Theo.”

Berhasil, Jayson berhasil membuat tangisan itu usai. Bonusnya, tawa kecil tercipta disana, menandakan hujan di bolamatanya lenyap, digantikan pelangi indah yang terbentuk di garis matanya ketika ia tersenyum lebar.

“I love you, Renata, always have, always will.”

“I love you, Jayson, in the meaning of eternity.”


fin


Hartono Group, perusahaan yang didirikan tahun 1972 oleh Surya Hartono, menjadi perusahaan bidang jasa pariwisata Nasional di tahun 2009. Mencetak sejarah 37 tahun perjuangan seorang Surya Hartono dalam berbisnis, dan sukses menghantarkannya masuk dalam daftar 10 orang paling kaya se-Indonesia.

Selain terkenal oleh kepiawaiannya dalam urusan karir, Surya Hartono pun terkenal cakap mengurusi keempat cucunya. Theodore dari anak gadis pertamanya Sarah, Jayson dan Carlos dari anak lelaki satu-satunya Zion dan Aurora dari Hera, anak bungsunya.

Pernikahan Sarah dengan Dean seorang karyawan sipil di Vancouver yang tak disetujui Surya Hartono berakhir kandas. Dean diketahui tak mampu berhubungan monogami dengan Sarah dan meninggalkan Theo tumbuh tanpa sosok ayahnya. Sementara Zion, berada dalam pernikahan tak harmonis dan bercerai tak begitu lama setelah Carlos lahir. Hera si bungsu hamil diluar nikah, tak ingin menikah dengan ayah dari bayinya dan berakhir meninggal tragis bunuh diri di usia Aurora yang masih belia.

Dari semua bayang-bayang masalah ketiga anaknya, Surya Hartono masih berdiri di kakinya dan memperluas jaringan Hartono Group, mengurusi keempat cucu-cucunya, dan memastikan tiap cucunya tak bernasib sama dengan orangtuanya.

Tapi apakah Surya Hartono menyangka bahwa nasib keempat cucunya dimasa depan akan begini?

Theo menjadi tersangka pembunuhan, Jayson mati dalam kecelakaan begitu pula Aurora yang mati di tangan saudaranya sendiri. Sementara Carlos terjebak dalam tanggung jawab yang ia sendiri belum cukup mampu mengatasinya.

Apalagi pada Rabu dini hari, Theo tertangkap oleh polisi, dan kini keadaannya tengah diperiksa, ditanyai pernyataan dan ditahan beberapa hari di sel harian untuk penyidikan kasus lanjutan. Ia ditangkap saat mengendap-endap masuk salah satu rumah mewahnya di Depok untuk mengambil surat-surat atas kekayaan yang dimilikinya. Gagal mendapat surat asetnya, ia malah dibawa ke bui terdekat agar tak bisa lari dari pemeriksaan.

Sam di ruang interogasi menemaninya hampir 12 jam lamanya, menjelaskan kemungkinan terburuk karena Theo telah dicap sebagai DPO yang mangkir dari surat panggilan polisi. Walau Theo bilang ia tengah tak sadarkan diri di malam Jayson dan istrinya mengalami kecelakaan, itu semua tak ada gunanya saat tak ada alibi yang kuat membuktikan kebenaran ucapannya.

“Gue gak ingat betul gue dimana saat itu,” Theo mengusap rambutnya, frustasi bukan main dengan banyak tekanan dari kanan-kiri-depan-belakang. “Pagi-pagi gue bangun, gue udah di apartemen gue yang ada di Tangerang. BMW gue terparkir di depan apartemen, tapi gue gak inget mengendarai mobil gue di malem sebelumnya.”

Tangan Sam membolak-balikkan kertas dalam map, menorehkan tinta dari penanya di kertas secara abstrak. Ia menggambar titik-titik, dan mencoba menyatukan titik itu sesuai cerita yang diutarakan Theo. Hasilnya negatif, satu titik dengan titik lainnya tak dapat bersinggungan. Ditambah berita mesin mobil Civic mengalami pemanasan mesin hanyalah dugaan sementara. Kini status kasus Jayson dan Renata yang semula adalah “kecelakaan” menjadi status “pembunuhan berencana”. Theo kembali menjadi tersangka utama kasus itu.

“Gue udah dapet rekaman cctv apartemen, tapi rekaman itu membuktikan lo pergi dari gedung apartemen di jam 8 malem, dan balik jam 2 pagi.” Sam menatap tajam Theo, melempar pena di tangannya ke arah Theo, “dan sekarang lo jujur aja, lo udah ke-gap cctv gedung apartemen lo sendiri, dan lo masih gak mau ngaku?”

Theo menangkap pena itu dan membantingnya ke sembarang tempat, “God damn it, I told you the truth, Sam! Kalo gue mau bunuh Jayson—which is I AM NOT, gue pasti bilang ke lo dan bikin perencanaan matang. Ini terlalu dangerous dan lo tahu sendiri gue gak mungkin ngelakuin sesuatu yang high-risk kayak gini.”

“Lo mungkin mabuk dan nabrak Civicnya Jayson tanpa sadar.”

“Gue kalo mabuk, I really get wasted, literally wasted. Gue gak mungkin bisa sober dan lakuin hal gila such as killing my own brother!”

Sam membenarkan hal itu, sekali Theo menenggak liqour, pria itu baru bangun keesokan paginya dan blackout semalaman. “Ok, tapi rekaman cctv berkata lain. Lo pergi jam 8 dan baru balik jam 2. Apalagi korek lo, sidik jari lo.. sialan, Theo! Ini terlalu fucked up, ngerti gak lo?”

Theo menggebrak meja, “gue dijebak, Sam, lo tahu gue gak mungkin kayak gini tanpa perencanaan yang jelas.”

Ingin sekali Sam percaya ucapan client nya kali ini, tapi untuk melakukan pembelaan atas kasus yang sudah jelas bukti-buktinya, Sam angkat tangan. Untuk kali pertamanya ia mengibarkan bendera putih sebagai tanda kekalahannya mengatasi kasus clientnya. Seperti yang ia bilang, ini terlalu fucked up.

“Jadi lo mau gue ngapain?”

Theo menghela nafas kasarnya, “panggil Carlos.”


Selain pengacara yang menangani kasus, orang lain yang datang di penjara datang sebagai pengunjung tahanan. Biarpun Theo belum diketok palu sebagai pelaku, tapi ia telah dihantui pasal-pasal yang Sam jabarkan, mulai dari pembunuhan berencana, mengendarai mobil dalam keadaan mabuk, kabur dan mengabaikan surat panggilan polisi. Itu semua akan terjadi jika ia tak kunjung punya kesaksian kuat jika bukan dirinyalah dalang dibalik kecelekaan Jayson beserta istrinya.

Dan langkah pertamanya untuk mencari solusi adalah memanggil Carlos, satu-satunya saudaranya yang masih bernyawa.

“Lo harus bantu gue, Car, I'm out of option here, brother.”

Oh, now he called me brother, huh? Butuh berapa lama? Dua dekade lebih buat mulut lo sebut gue sebagai saudara? Kemana aja lo selama ini, big bro?

Carlos mengetatkan rahang, melipat tangannya dan duduk menyandar ke kursi. Pandangannya menatap lurus ke balik kaca transparan bulletproof yang dilubangi kecil-kecil sebagai media penghantar suara diantara dirinya dan abangnya, Theo.

“Lo tahu gak siapa yang biasanya panggil gue begitu? Jayson.” Carlos menanggapi tak berselera, jujur muak dengan beberapa topeng yang dimiliki Theo. “Well, dia gak bisa panggil gue gitu lagi karena.. you know, he's dead.”

“Come on, Car, gue selalu panggil lo begitu,” kekehan kaku Theo terdengar merendahkan dirinya sendiri agar bala bantuan Carlos terulur untuknya. “Dan jujur, gue gak bunuh Jayson. That's the fact.”

Wajah Carlos tak membaik, ia menonjok kaca yang tebalnya tak dapat ditembus peluru timah sekalipun di depannya. “How am I supposed to know the fact? Lo bunuh Aurora, terus lo bunuh Jayson, itu faktanya!”

“What?” Suara Theo mencelos, “let's be honest, Car, gue tahu lo juga diuntungkan dengan kematian Aurora, kan?”

“Pardon?”

Theo berdeham, membasahi bibir keringnya dan matanya berlarian kesana-kemari—bingung setengah mati. “Jangan munafik, kedatangan Aurora join perusahaannya Jayson pasti ada maksudnya. Lo kira diantara lo sama Aurora, siapa yang bakalan diprioritasin sama Jayson?”

“Kita bertiga team bisnis yang baik, gue gak sedikitpun merasa tersaingi atau merasa tersingkirkan oleh kedatangan Aurora!” Carlos menaikkan nadanya, sedikit tersinggung dengan pembelaan kecil Theo. “Stop cari-cari celah, bang, lo salah, akuin itu!”

“Gue bukan cari-cari celah, Car! Coba lo pikirin, gue gandeng Sam di pihak gue, Aurora gak ada, siapa lagi yang dihandalkan Jayson kalo bukan lo? Itu kan yang lo mau? Jadi satu team sama abang kesayangan lo?”

Mendengar itu, Carlos kehabisan kata. Ia memproses perkataan abang sulungnya berkali-kali, tak menyangka jika Theo tak menunjukkan sedikitpun penyesalan dalam perkataannya. Tipuannya untuk menjadi CEO mungkin masih termaafkan, tapi membunuh saudarinya sendiri? Dan menganggap sebuah kematian sebagai jalan singkat menuju kemenangan. Carlos kehilangan batas kesabarannya.

“Lo sadar gak sih apa yang lo bilang barusan? Lo pernah dengerin omongan lo sendiri gak sih?”

Theo memejamkan matanya, menghela nafas cukup sembari memberikan sel-sel otaknya istirahat sejenak karena tak tidur sejak ia dipaksa masuk penjara. “Ok, gue minta maaf, buat semuanya yang terjadi. Aurora ngancem gue dan gue hilang kendali, sorry.”

“Ngancem apa lebih tepatnya?”

“Dia mau laporin gue karena udah bunuh Opa.”

Carlos tahu semua itu dari mendiang Jayson, bodohnya ia menganggap abangnya sedang berhalusinasi atau terlalu terpukul karena kepergian Aurora. Tapi begitu diucapkan oleh pembunuhnya langsung, Carlos benar-benar hilang respect.

“Lo keterlaluan, bang,” ujarnya, sembari satu telunjuknya mengarah ke kaca, tepatnya ke depan muka Theo langsung.

Theo menaikkan nada ucapannya ketika Carlos bergegas menanggalkan kursinya. “Ya! Gue tahu gue keterlaluan! Sorry! Car, gue butuh bantuan lo sekarang. Gue emang bunuh Aurora dan Opa, tapi sumpah demi Tuhan gue gak bunuh Jayson sama Renata!”

Ucapan itu membuat Carlos gagal pergi, ia kembali duduk di kursinya dan wajahnya berbalik sumringah. “Gue tahu kok, bang.”

Melihat perubahan ekspresi Carlos yang berlebihan, membuat Theo heran. “Lo tahu?”

“Yap.”

Carlos tersenyum, berbanding terbalik 180 derajat dengan tingkahnya beberapa menit lalu. Ia mengeluarkan pena yang ia kantongi di saku jasnya, menekan ujungnya hingga berbunyi klik dan kembali menyunggingkan senyum. Bahkan Theo bisa mendengarnya terkekeh.

“Gue tahu, bang, gue tahu semuanya,” kata Carlos lagi, menjawab kebingungan di muka Theo, “gue tahu lo bunuh Aurora, Opa, gue juga tahu bukan lo yang bunuh bang Jayson.”

Masih bingung, Theo mengerutkan keningnya. “Oke?”

“Man! I love technology,” ucap Carlos terbahak menatap pena di atas meja yang bukan sembarang pena. “Makasih, bang, lo udah mau ngakuin semuanya, that helps a lot.”

“Car, lo—”

“Ya, gue rekam pengakuan lo barusan, using this fucking pen,” kata Carlos mengayunkan pena tipis ke depan wajah Theo yang terhalang kaca, “selamat mendekam di penjara for a really long time, brother.”

“Bajingan.”

“Kalo gue bajingan, lo apa?” Carlos terbahak di atas kemenangan mutlaknya. “Sampah?”

“Lo gak bisa penjarain gue cuma karena rekaman palsu yang lo barusan buat itu!”

Pintu mendadak terbuka, menampilkan sosok Sam yang kemudian duduk di sebelah Carlos. “Yes, we can, Theo, plus kecelakaan yang lo rencain buat Jayson-Renata? Bet you're gonna enjoy the prison so much.”

“Lo?!” Theo mendobrak kaca bening di depannya, ingin sekali menghajar kedua orang di sisi lain ruangan pengunjung yang mengejeknya. “Lo berdua sekongkol jebak gue? BANGSAT! Lo berdua kan gak akur?”

Sam yang selalu menjaga wibawanya, kali ini harus tertawa terpingkal-pingkal bersama Carlos. “Lo goblok sih, itu semua cuma ilusi.”

Masih dengan wajah bingungnya, Theo mendesis geram, “lo mantannya Jovanka, Jovanka istrinya Carlos. For a years lo saingan sama Carlos, buat jadi siapa yang paling dapat pengakuan dari Jayson—son of a bitch! Gue gak sangka lo berdua milih kerjasama dan jebak gue sama Jayson?! Padahal Jayson percaya banget sama lo, Car?”

Carlos makin terbahak di tempatnya, ia berhigh five ria dengan Sam dan makin menggoda sisi lain ruangan yang diisi Theo memanas. “Wait, lo kira kita jebak dan bunuh Jayson? Terus nyalahin semua ini ke lo?”

Kembali terbuka, pintu masuk ruang pengunjung menampakkan sosok pria tinggi dengan pakaian kasual—kaos dan jogger pants—lengkap dengan topi baseball, masker hitam dan sunglassesnya. Pria misterius itu membuka maskernya, melepas topi dan menampakkan wujud aslinya.

Seolah kembali dari liang kuburnya, Jayson berdiri disana, di ambang pintu tanpa sedikitpun luka atau goresan layaknya zombie yang baru hidup kembali. Pria itu terlihat baik-baik saja, tak seperti pemberitaan yang mengatakan dirinya terbakar bersama istrinya di Civic yang meledak.

“Miss me?”

“Motherfucker.”

Dari sekian banyak skenario hidup, kenapa Theo harus dihadapkan bahwa ketiga kombinasi manusia di balik kaca depannya itu bisa bersatu menjegal kakinya dan menjatuhkannya ke lembah jurang tak berdasar? Ia bahkan tak tahu ketiganya menjadi akrab hingga bisa membuatnya tak lagi dapat menghirup udara bebas.

“Lo bertiga bajingan.”

Jayson menaikkan sudut bibirnya, “no hard feeling, brother, ini semua cuma bisnis,” ujarnya mengutip perkataan yang selalu Theo ucapkan ketika menang atas Jayson.

“Bang, kalo aja lo gak bunuh Aurora—KALO AJA—semua ini gak bakalan terjadi.” Carlos memperkeruh suasana, menekankan kalimat kalo aja, “bang Jayson udah memilih mundur dari Hartono Group, lo bisa sesuka hati duduk di takhta yang Opa bangun. You messed with the wrong sibling.”

Theo mendesis, “dua dari kalian itu sibling gue! Have you ever have a mercy?”

“We have a mercy! Lo aja yang kelewat batas, bang! Enough is enough!”

Jayson menepuk-nepuk bahu Carlos yang terlalu berapi-api dan berucap tenang. “Lets get out of here, biarin si sinting ini mendekam di penjara sebelum dia bener-bener bunuh diantara kita lagi.”

“JAY!” Theo berseru, menghentikan ketiganya yang hendak pesta pora merayakan kesuksesan rencana mereka. “Lo ngelakuin ini cuma memperjuangkan satu cewek, Jay? Really? Jay, we were just fine before you get married with that ungrateful bitch Renata!”

“This ungrateful bitch?”

Satu nama terakhir yang terlintas di pikiran Theo pun muncul, tak kuasa menahan gatal di telinganya karena dirinya disebut oleh sang kakak ipar. Penampilannya tak jauh berbeda dari suaminya, rambutnya yang panjang bergelombang terurai dibalik topi menutupi hampir sekian jengkal punggungnya. Ia di ambang pintu keluar, menunjuk dirinya sendiri dan memasang tampang mengejek.

“Ngapain lo disini, hah?”

“Yo!” panggil Jayson, berhasil membuat perhatian Theo beralih dari Renata, “be nice, atau gue bikin masa tahanan lo diperpanjang.”

Sam menambahkan, “ya, be nice, panggil dia bitch lagi, gue kirim orang buat hajar lo di penjara, mau?”

Dilanda bingung, kening Theo mengernyit penuh tanda tanya. “Apa peduli lo? Apa hubungan lo sama si Renata?!”

“Dia adik gue, bangsat!” Sam merangkul Renata—wanita yang sedang tersenyum miring, “lo urusan sama dia, lo ga hanya urusan sama suami dia, tapi lo urusan sama gue. You really messed with the wrong sibling, Theo.”

“Jay, lo pernah bilang ke gue, kalo lo gak mau nikah, lo gak mau bangun sesuatu yang dilandasi sama cinta, lo janji ke gue! Inget gak lo?!”

Seolah tak membiarkan keempat penjebaknya pergi, Theo berteriak. Kekalutan akan sendirian di balik kaca, tanpa bantuan saudaranya, dengan pengacara pilihan pengadilan yang tak berkompeten, dan bayang-bayang di penjara untuk waktu yang tak singkat merendahkan egonya. Membocorkan alasan sebenarnya, kenapa ia getol memusuhi Jayson—teman masa kecil, saudara seumurannya.

“Out of nowhere, you wanna married your college sweetheart, and declare a war! You knew, sejak pertama kali lo berani ingkar janji—lo tahu! Lo tahu kalo semua ini akan terjadi! Ini semua terjadi karena lo ingkari janji lo ke gue, bajingan! Coba aja lo gak married sama dia, kita bisa pimpin Hartono Group bareng-bareng dan Aurora masih bisa hidup.”

“Aurora mati karena keegoisan lo, bukan karena Renata,” Carlos berucap malas, karena orang dibalik kaca pembatas itu tak kian paham akan dosa-dosanya.

Jayson terkekeh, “lo bandingin diri lo sama istri gue, bang?”

Ah, panggilan itu. Theo hampir lupa kalau dirinya adalah abang dalam hubungannya bersama Jayson. Hampir tiga dekade lamanya panggilan itu tak pernah Jayson cuitkan untuknya. Setelah diingat-ingat, rupanya karena dirinyalah yang merasa geli jika harus dipanggil abang oleh Jayson yang usianya tak begitu berjarak.

Theo terdiam. Menatap adik yang tumbuh besar bersamanya kini bukan lagi bocah lima tahun yang mudah dimanipulasi. Kilas balik memori menerjang Theo, menghantarnya ke kenangan berpuluh tahun lalu ketika skala persaingan mereka sebesar tugas sekolah dan boardgame. Adiknya Jayson kala itu masih lugu. Berkata “iya”, “oke” dan “siap” pada apapun perkataannya. Seolah dirinya adalah pion, dan Theo adalah raja yang berkuasa.


10 or 11 years ago, Barcelona, Theo&Shella's wedding night

“Kok lo bisa sih married sama Shella?” tanya Jayson, lengkap dengan tuxedonya yang licin dan nampak tak bercela. Tugasnya sebagai best man hari itu membuatnya ikut terjun dan terlibat dalam prosesi pernikahan.

Dan sekedar informasi, Jayson bukan jenis manusia yang membuang waktunya hanya sekedar menggelar pesta pernikahan dan berhaha-hihi seharian penuh dengan tamu undangan. Untuk hadir dan berkontribusi dalam satu pernikahan, nyaris menjadi sesuatu yang mustahil bagi Jayson lakukan. Karena biasanya pernikahan yang diawali dengan pesta besar-besaran begini yang akan berujung ke meja hijau perceraian.

“Bisa lah, Shella cantik begitu,” jawab Theo asal, masih cengengesan dengan si adik. “Besok kalo lo nemu cewek yang cocok, lo juga pasti punya impian bangun keluarga sama cewek itu.”

Wajah risih Jayson menggambarkan perasaannya akan pernikahan, “kayaknya gue pass deh.”

“Maksud lo?”

“Gue gak mau married, I don't wanna ending up like my parents,” jawabnya menatap tak selera ke seluruh dekorasi gedung yang berlebihan. “Gue mau stay single, bantu lo sama Opa bangun Hartono Group.”

“Yakin? Bukannya lo lagi deket sama Renata, anak design di kampus yang pernah lo ceritain?”

“Mau gue putusin, terlalu baik buat gue.”

Theo menonjok bahu Jayson yang berlagak siap memutuskan hubungan dengan cewek yang ia kejar berbulan-bulan. “Emang bisa lo?!”

Jayson meringis, “lagian gue udah janji kan ke lo kalo gue gak akan married, selamanya.”

“Lo mau mengabdi sama gue? Selamanya?” tawa Theo, merecoki adiknya.

Waktu menampar kenangannya, ternyata puluhan tahun mampu mengubah adik lugunya menjadi senjata perang yang melumpuhkannya. Sekarang ia hanya dapat melihat seringaian samar dari Renata, mengejeknya karena berhasil merebut adik naif dari buaiannya.

“Kalo lo udah tenang, kita ngomong berdua ya, bang,” ujar Jayson tersenyum tulus, lalu menyusul yang lain keluar dari bilik kunjungan penjara. “Lo gausah khawatir, Shella sama Liliana gue pastikan aman.”


Sidang akhir kasus kecelakaan Jayson dengan Renata diadakan pada Jumat siang, dua hari setelah berita penangkapan Theodore Hartono sebagai tersangka. Sam, Carlos dan Jovanka duduk di kursi barisan paling depan pengadilan. Menyaksikan langsung peristiwa penjatuhan hukuman empat puluh tahun penjara yang dilontarkan Yang Mulia Hakim pada Theo, tanpa bebas bersyarat.

Ketiganya masih terduduk disana, walau sidang telah usai dan wartawan sibuk mengerubungi Theo yang hari ini langsung dipindah ke penjara lanjutan.

“Makasih, kalian berdua nyaris mengecoh gue lagi dan lagi,” gumam Jovanka, melepas kacamata hitamnya.

“Nyaris?” Sam tergelak, “lo emang terkecoh, Jov. What the hell with 'gue gak terima hak asuh Juan jatuh ke tangan Ruby', hah?”

“Harusnya lo berdua bisikin gue dulu, biar gue gak marah-marah kayak kemarin. Kan jadinya gue sia-sia ngotot begini mah. Untung kemarin pas nganterin Juan ke Ruby, cewek itu ceritain semuanya.”

Carlos mencibir, “lagian, makanya lo yang nurut kalo dibilangin suami. Jangan bandel.”

“Iye-iye,” jawab Jovanka pasrah. “So what's now?”

Sam menyahut, “lo jadi Nyonya Hartono lah, apalagi?”

“Gue? Kok gue, sih?” Jovanka mengigiti buku jarinya, “gue rasa gue gak cukup mampu menyandang gelar itu.”

“Mau gak mau,” kekeh Sam lalu menepuk bahu Carlos, “karena suami lo, CEO resmi Hartono sekarang.”

“Juan?”

Carlos mendesah, saling berpandangan ngeri dengan Sam. “Jangan coba-coba sentuh Juan, pawangnya agak sinting.”

“Hey! Gitu-gitu adek gue, woi!” Sam tak terima, “dia bersikukuh gak mau Juan, ataupun Jayson terlibat bisnis—baik Hartono maupun Kiehls Tech.”

Kekehan Jovanka terdengar, “pasti kalian berdua keteteran ya, karena gak ada Jayson. Omong-omong, Jayson sama Renata lagi dimana ya sekarang?”

“Someplace nice,” gumam Carlos menjawab, senyum tipisnya tiba-tiba saja tercipta. “Kasian juga kalo diinget-inget, ternyata mereka dari awal nikah belum sempet honeymoon.”

“Well, walaupun terlambat, akhirnya mereka bisa nikmati waktu mereka berdua,” ujar Sam, lalu beranjak dari kursinya. “Balik anjir, ntar kita dikira akrab beneran kalo lama-lama duduk bertiga disini.”

“Dih, yakali akrab sama lo.”


Someplace nice, around 3AM

Kapan terakhir kalinya lo bisa honeymoon berkedok liburan panjang di tempat aman, nyaman, tanpa rasa khawatir dihantui oleh segala kemungkinan buruk, dan di dekat pantai? Kapan?

Kapan lagi lo bisa bangun, dan sadar ternyata suami lo tidur di sisi lo, gak kemana-mana, literally di sebelah lo? Kapan? Gak pernah, kan?

“Iya juga ya,” bisik Renata menanggapi suara di benaknya sendiri. “Ini mimpi kali, ya?”

Ia menatap gelombang kecil yang menabrak kaki resort yang berada diatas laut. Meninggalkan ranjang nyamannya dan lebih memilih duduk setengah berbaring diatas hammock yang mengarah langsung ke hamparan lautan yang ia sendiri tak tahu dimana ujungnya.

Gelap, tentu saja. Tapi Renata menemukan ketenangannya disana, mengisi rongga dadanya dengan aroma khas laut dan menikmati udara malam yang katanya buruk bagi kesehatan. Ia memejamkan netra, menahan suara demi suara di otaknya yang haus akan jawaban.

Anak lo gimana? Kok bisa lo enak-enak liburan, sedangkan keadaan anak lo aja gak tau! Call yourself a mother.

Shella sama anaknya apakabar? Lo dan suami lo penjarain kepala keluarga mereka, lo HARUSNYA mikirin dampak yang mereka dapat atas tindakan lo.

Baru pertama kali punya abang dan lo memutuskan gak contact lagi sama dia? Classic Renata, lo jauhin yang buruk, sedangkan dekati marabahaya. Sadar gak, sih?

“Ngapain?”

Sebuah suara menginterupsi diantara banyaknya pertanyaan di benaknya, diikuti tubuh pria dewasa yang menginvansi hammocknya. Jayson memberinya kecupan kecil di puncak kepala, sembari menempatkan dirinya ikut berbaring diatas hammock. “Insomnia?”

“You know how I feel soal tempat baru,” gumam Renata lirih, “gimana bisa aku tidur setelah kejadian kemarin?”

Kepala Jayson mengangguk-angguk pelan, dalam diamnya mengiyakan perkataan istrinya. “Ren, he deserved it.”

“Apa 40 tahun di penjara gak keterlaluan buat Theo?” Renata berdeham membetulkan nadanya yang nampak iba, “I mean, dia emang bunuh Opa dan Aurora tapi dia kan gak beneran bunuh kita berdua.”

Jayson mengeratkan pelukannya, “aku cuma kasih dia waktu lebih di penjara untuk merenung.”

“And did he?”

“He will.”

“Yakin banget? Kayak kamu yakin gak mau nikah lalu tiba-tiba nikahin aku? Segampang itu kah buat kamu mengubah keyakinan, Jay?” Renata tertawa sarkasme, lalu beranjak dari rebahannya, “don't you dare babbling about love because I know you, deep down, bukan itu alasan utama kamu ingkari janji dan nikahin aku.”

I know this is all about what Theo said the other day, Jayson menggaruk tengkuknya kikuk, menyadari obrolan semacam ini pasti terjadi setelah kejadian Theo meracau tentang perjanjian kecil mereka. Perjanjian yang Jayson sesali di kemudian hari.

“Inget dua bulan sebelum kita married? Kita bertengkar hebat? And then we kinda breaking up?”

“How could I forget? Itu pas kamu ketemu Jovanka, kan? Kamu nyaris jadi bokapnya Kenzo,” desis Renata, teringat betapa murkanya dia ketika tahu, suaminya menghamili gadis di bar ketika ia mabuk. Walaupun akhirnya ia tahu bahwa yang menghamili Jovanka adalah Carlos tapi tetap saja, perasaan marah itu masih membekas.

Jayson mengorek-orek memori otaknya, masih bersikap tenang walau lawan bicaranya bertingkah sebaliknya, “inget juga gak setelah itu kita balikan dan aku ajak kamu ke Universal Studio Singapore?”

“Inget. Kamu sewa satu USS buat sehari, biar kita kalo main gak pake antri.” Airmuka Renata berubah konyol, lalu tertawa sembari berkata, “malahan, gak ada angin gak ada ujan petir badai, kamu malah lamar aku di sana, pake cincin hasil arcade game dua dollar. Jayson Hartono si penerus Hartono Group, siapa sangka dia malah lamar ceweknya pake cincin gratisan main arcade?”

“Ya, we had a very fun day hari itu, kan? Okay, aku tahu, rada aneh emang lamar anak orang disaksikan sama patung dinosaurus, dan sama sekali gak modal perkara cincin tunangan.”

“Yes, we were, tapi apa hubungannya sama pertanyaan aku, Jay?” tanya Renata, tak membiarkan Jayson menyeretnya ke pembicaraan yang lain.

“Ren, hari itu bisa jadi bukan hari aku melamar kamu,” Jayson menatap lurus manik Renata dan dengan berat hati mengatakan kelanjutan ceritanya, “karena aku berencana gak mau ajak kamu balikan, sama sekali.”

“Excuse me?” Buruan bilang maksudnya apa sebelum gue gampar muka lo, tambahnya dalam batin.

Jayson mengangguk, memvalidasi pelototan mata Renata yang ditujukan padanya. “Ya, gila kan? Aku gak mau lanjutin hubungan kita, karena aku tahu kamu mau pernikahan, kamu mau keluarga, sedangkan aku gak mau itu semua. It's like you and me, walking on different ways of life.”

“Jangan salah, Ren, aku udah siapin semua. Kabur keluar negri, ngilang disana beberapa bulan. Balik indo kalo kamu udah move on. Udah nemu juga cewek mana yang mau aku pacarin setelah putus dari kamu, I know some tricks, cause you know, it's me.”

Hampir saja kepala Jayson itu menjadi sasaran empuk tangannya, tapi Renata memilih mencengkeram erat-erat emosinya. Ia bergumam kecil, “terus kenapa milih lanjut?”

“Akupun gak tahu, padahal jelas-jelas kita udah beda prinsip,” Jayson bangkit dari acara menyandarnya dan kini mereka berdua sama-sama duduk diatas hammock, menautkan pandangannya ke satu objek—netra wanitanya—dan berucap tanpa berkedip, “tapi masalahnya, aku jadi gak waras setelah seminggu putus dari kamu.”

“Bukannya move on, aku malah stalkerin kamu ke kos, ke kosnya Ruby, ke studio, dan liat kamu baik-baik aja setelah putus dari aku. Sementara aku? It felt empty, knowing you outhere, aint my girl anymore. It haunted me, day and night.”

Jayson terkekeh, jemarinya mengusap pelan surai kecoklatan Renata dan memandanginya tanpa jeda. “Aku mabuk, mabuk, dan mabuk. Aku gak bisa tidur, lebih seringnya black out karena kebanyakan alkohol. Gak make sense aja gitu, aku yang mau hubungan ini selesai, aku juga yang nyesel. Kan aneh.”

“Katanya gampang cari cewek baru? Yakali Jayson Hartono gak ada yang mau,” goda Renata dengan sindiran halusnya. Ia terkekeh, lupa akan amarahnya yang hampir meletup-letup.

Sindiran itu mengenai Jayson, ia nyengir. “Aku cuma kepikiran satu hal.”

Renata mengerutkan keningnya, “apa?”

“Aku gak bisa bayangin kalo one day, you'll getting married, walking down the aisle, with magnificent white dress and the veil cover your whole beauty face, dan bukan aku yang lagi berdiri di altar bareng kamu, bukan aku yang genggam tangan kamu, bukan aku yang ucap janji suci itu, dan bukan aku yang cium kamu. Membayangkan aja bikin aku ngilu, aku gak bisa, it has to be me, Ren. It has to be me.”

Pelupuk mata Renata tergenang air, belum jatuh dari sarangnya karena ingin sekali menyelesaikan percakapan itu. “Kenapa?” tanyanya dengan suara bergetar, menahan tangisnya.

Kalo mau nangis, nangis aja, batin Jayson menertawakan ekspresi Renata yang mempertahankan egonya agar tak menangis sesenggukan. “I love you, Renata Victoria, let's embark this adventure together. I can think of no two people better prepared for this journey, kecuali kamu dan aku.”

“Ooh, damn it!” Renata mengusap matanya yang basah, “makasih udah dibikin nangis.”

Jayson terkekeh, merengkuhnya dalam pelukan hangat. “Then stop asking something that you already know the answer is, okay?”

“Okay,” bisiknya ditengah-tengah genangan airmata yang kian deras, sembari ditemani rengkuhan hangat dari suaminya.

“Segala drama keluarga Hartono itu skenario terbaik dari Tuhan, agar aku tahu ternyata Dia udah siapkan satu wanita tangguh yang mau jalan bareng sama aku selama 8 tahun belakangan, through up and down, dan gak sedikitpun mengeluh walau keadaan memaksa dia buat menyerah. Terimakasih delapan tahunnya, happy anniversary.”

Keduanya melebur dalam ciuman haru. Di tengah-tengah lautan lepas, bergantung dalam satu hammock yang sama, diselubungi angin malam yang berusaha menerobos kehangatan mereka namun gagal.

Lima tahun—ditambah tiga tahun—bukan waktu yang singkat, layak dijadikan landasan yang cukup kuat untuk hubungan mereka. Butuh tiga tahun untuk Renata membangun tembok kepercayaan, mengisi kosongnya halaman 'pernikahan' di kamus pribadi Jayson. Ketika si bujangan telah taken contract seumur hidup dengannya, maka tak adalagi jalan kembali, hanya ada jalan lurus, dan entah bagaimana jalan itu harus dilalui berdua. Berjalan, berlari, terseok-seok atau tersandung. Segala rintangannya patut ditaklukan, asam pahitnya harus ditelan mentah-mentah.

Mereka beradu tatap, berbagi senyum, saling menyalurkan kehangatan. Untuk kesekian kalinya, mereka sadar bahwa pernikahan bukanlah sesuatu yang Tuhan beri secara cuma-cuma. Semua orang mungkin bisa mengucapkan kata I do dalam mimbar altar, tapi tak semuanya bisa menapaki satu demi satu anak tangga pernikahan. Mereka harus mengupayakannya, menyisingkan lengan dan bekerja keras. Literally work on it.

Ya, mereka. Karena petualangan mereka baru saja dimulai.

(F means funeral)


Seiring masuknya peti mati kayu cendana dalam satu liang lahat, langit seolah ikut dirundung nestapa. Menyuarakan gemuruhnya yang menggelegar, saling bersahutan, tak kian menghentikan suasana berkabung dalam prosesi pemakaman keluarga seningrat keluarga Hartono.

Bersamaan dengan itu, seluruh stasiun televisi, reporter surat kabar, bahkan beberapa media manca negara mengabarkan kematian pasangan yang kemarin sempat trending di Twitter. Jayson dan Renata Hartono, meninggal tragis dalam kecelakaan maut sehari setelah berita kembali rujuknya mereka mencuat di berbagai platform media. Bahkan dunia belum cukup siap melepas kepergian keduanya.

Terutama bagi Juandra Hartono—bocah lima tahun yang tak diketahui eksis sebelum pesta dimulai. Well, lebih tepatnya ia disembunyikan dengan baik oleh sang ayah.

Layaknya tersambar badai dan petir, penghujung tahun di keluarga Hartono harus ditutup dengan duka dan berbagai konspirasi.

Pemberitaan kian memanas ketika semua bukti mengarah ke satu nama, CEO terkini Hartono Group yang dinyatakan sebagai tersangka utama kasus kecelakaan ini. Theodore Hartono dengan keberadaannya yang tak dapat dikonfirmasi siapapun. Menguatkan bukti adanya pembunuhan berencana yang ia dalangi. Bersamaan dengan segala tingkah lakunya belakangan ini, jelas pria 33 tahun itu ingin menguasai Kerajaan Bisnis Hartono Group. Sendirian.

Anggota keluarga Hartono yang dapat hadir hanyalah Carlos beserta Jovanka. Juan yang berwajah malang, menatap pusara tempat peristirahatan terakhir kedua orangtuanya dengan tatapan kosong. Ia menggenggam jemari Carlos kuat, sedang tangan yang lain sibuk bergandengan dengan Kenzo. Kemarin saat di pesta, siapa yang akan menyangka jika bocah yang tersohor dalam semalam itu akan menjadi yatim piatu dikemudian hari.

Carlos tak menanggalkan kacamata hitamnya sepanjang pendeta memimpin jalannya penguburan. Ia menyembunyikan mata sendunya yang kering karena mimpi buruknya menjadi nyata. Ya, mimpi buruknya akan kehilangan abangnya. Berulang kali ia harus menyeka pipinya, mencoba kuat demi Juan yang ada di genggamannya.

Begitu pula Jovanka, ia mengatupkan bibirnya rapat-rapat, tak sedikitpun suara keluar dari sana. Tangannya mengusap puncak kepala Juan berkali-kali, memastikan bahwa anak lima tahun itu baik-baik saja tanpa kehadiran Papa-Mamanya.

Entah mereka cukup mampu atau tidak menghadapi para media, kamera dan reporter yang memburu mereka dengan berbagai pertanyaan. Tentu, setelah pemakaman usai, mereka—Carlos dan Jovanka—harus diperiksa terkait kecelakaan yang menewaskan saudara-saudarinya, dan memberikan keterangan jelas agar kasusnya dapat diusut.

Tak jauh dari acara pemakaman yang terlihat khitmad dan haru, berdiri dua orang dewasa yang bernaung di satu payung hitam lengkap dengan pakaian serba gelap mereka. Mereka layaknya anggota pemakaman yang absen diundang, hanya dapat menyaksikan pemakaman dari jarak yang teramat jauh. Lebih jauh dari para wartawan yang meliput berita eksklusif tersebut.

“Gue gak nyangka kita lakuin ini ke mereka,” ujar salah satu diantara mereka, menyeka airmata di ujung matanya dengan saputangan hitam yang senada dengan glove kulitnya.

Pria disebelahnya yang memegang gagang payung itu mengeratkan rangkulannya, ia berbisik sembari mengecup pelipis wanita di sebelahnya. “Mari kita nikmati pemakaman ini untuk terakhir kalinya.”

“First Aurora, terus mereka?” si wanita betulan menangis sesenggukkan, menanamkan wajahnya ke dada bidang si pria. “Kita jahat banget.”

“Untuk kepentingan kita berdua, kita harus jahat. Manusia sesekali harus egois, ada harga yang harus dibeli untuk sebuah kejahatan berencana.”


“Pukul 8.17, dimana tepatnya anda?”

Carlos menatap wajah detektif muda yang sedang tak berniat untuk beramah-tamah padanya. Ia duduk di kursinya, diinterogasi dan diperiksa. “Di pesta, bisa cek CCTV dan kamera media, kalo jeli bisa liat juga keberadaan Jovanka, istri saya.”

“Apa hubungan korban dengan Theodore Hartono sedang tidak baik-baik saja?”

What a question, Carlos membatin dengan jujur menjawab, “gak, emang lagi gak baik. Theo maksa Jayson pergi dari Hartono Group dan ahliwaris Opa, Jayson gak terima dan sebar identitas partner bisnis misteriusnya Theo, and I guess Theo marah besar.”

“Apa Theo hadir di pesta semalam?”

“Nope,” jawab Carlos dengan wajah kusut, “listen, Detektif, gue sama istri gue lagi berduka. Anak kakak gue pasti trauma liat pemberitaan dimana-mana, dan gue juga lagi gak dalam keadaan baik-baik aja. Jadi, apa kita selesai?”

“Belum.” Dengan tegas, si detektif tak lelahnya membuat Carlos geram. “Apa hubungan korban dengan Sam Kiehls?”

“Bisa tanya sendiri gak? Kasih surat panggilan ke rumahnya buat jadi saksi, atau apa kek? I mean, are we done now?”

Detektif Rudy menyipitkan dua matanya, menimbang-nimbang sesuatu dengan jeli. Ia menganggukkan kepala, membuat Carlos akhirnya undur diri dan meninggalkannya di ruangan interogasi.

Benar saja, ketika ia menanggalkan ruang, Sam Kiehls berjalan ke arahnya. Hampir saja Carlos melangkahkan kaki jenjangnya ke arah pria itu dan menghajarnya, tidak sampai Jovanka berlari lebih cepat dan menengahi mereka.

“Car, kita di kantor polisi,” gumam Jovanka menenangkan suaminya, ia menangkupkan wajah Carlos dengan dua tangannya, menatap sorot sayu dan betapa lelahnya Carlos. “Sayang, gak semua bisa selesei pake kekerasan, oke?”

Berbeda dengan Carlos, Sam pun sedang tak ingin mencari gara-gara. Rekan bisnisnya tersandung masalah yang melibatkan dirinya, beberapa investor memburunya dengan jutaan pertanyaan dan kini ia melihat Jovanka—the girl that used to be his lover—memperlakukan Carlos, yang mana harusnya ia yang membutuhkan kalimat itu sekarang. Hidup memang selucu itu, kemarin ia memiliki segalanya kini ia seperti gelandangan yang meminta-minta.

“Sam Kiehls?” Detektif Rudy memanggilnya, mempersilahkan pria jangkung itu masuk dan menyelesaikan kewajibannya sebagai orang terkait dalam kecelakaan yang menewaskan Jayson dan Renata Hartono. “Long time no see, Sam.”

Sam menempatkan pantatnya ke kursi tersangka, “biasanya gue yang duduk di kursi penyidik,” ucapnya dengan kaki terlipat arogan.

Rudy berdeham, menahan dirinya untuk perayaan kecil karena berhasil menangani kasus yang melibatkan Sam Kiehls. Biasanya pria yang lebih senior dari Rudy itulah yang menangani kasus sebesar ini.

“Jadi lo alih profesi dari pengacara ke pebisnis?” kekeh Rudy, menempatkan dirinya di depan Sam, “pertama kali berbisnis dan malah terlibat sama hal beginian? What's up with Sam K? Lo biasanya hati-hati sama hal beginian.”

“Gue cuma sial,” gerutu Sam tak terima. “Gini, gue mau mempersingkat aja. Gue orang hukum, gue tau mekanisme kerja hukum di negara ini gimana, jadi gue gak mau memperkeruh apa-apa.”

“Good,” komentar Rudy membuka paper di depannya, “karena kasus gue sekelas Hartono, I don't wanna screw this thing up. Lo di pesta saat Jayson dan Renata Hartono kecelakaan?”

Sam mengangguk, “walaupun gue gak diundang, tapi gue dateng.”

“Gue denger lo partner bisnis Jayson sebelum kerjasama bareng Theo, kenapa lo gak diundang?”

“Mungkin karena gue pihak oposisi.”

Rudy terkekeh, “apa Theo yang nyuruh lo dateng?”

“Gak, gue dateng karena keinginan gue sendiri.”

“Aneh, lo pasti dateng cuma biar punya alibi dan gak jadi tersangka utama, kan?”

“Lo mau Theo, kan? Gue tahu, tapi pastiin lo bersihin nama gue karena gue gak terlibat.”

Suara Sam yang stabil itu menggema di ruangan interogasi, menyuarakan kebenaran dalam kalimatnya. Pria itu mungkin menjadi tersangka—atau bisa dibilang saksi—untuk situasi saat ini, tapi air mukanya yang tenang terkesan dingin itu jelas membuktikan bahwa ia bukan orang baru di ranah hukum.

“Really?”

Sam menyeringai, “do we have a deal?”

Dalam sekejap, Hartono Center Hall disulap menjadi private party bertema classic black. Gedung megah kepunyaan Hartono yang biasanya dipakai acara formal kenegaraan, berubah menjadi ladang fashion show bagi kalangan atas yang menerima undangan malam itu. Para wartawan datang meramaikan suasana dan meliput tiap inchi pestanya dari luar, dan juga dalam.

Dekorasinya dibuat sederhana, kain tule warna putih menutupi langit-langit Hall, bercampur dengan bebungaan warna hitam yang mendominasi. Lampu gantung warna gold yang menjadi pusat ruangan luas itu seolah menjadi aksen pemanis. Selain itu, seluruh ornamennya dibuat legam, semuanya sesuai briefing yang dijabarkan Jayson. Dan selera pria itu tak pernah berubah, Renata tak pernah meragukannya.

Para tamu undangan datang tepat waktu, mengudap katering malam itu yang disajikan langsung oleh chef bintang lima dari dapur hotel Hartono. Sampanye bertebaran dimana-mana, tepatnya di tiap nampan penyaji yang berkeliling. Booth foto yang aesthetic pun disediakan untuk kenyamanan sesi dokumentasi para tamu dan tak lupa musik yang mengudara.

“Nice touch,” komentar Renata pada Sofie, si Event Origanizer yang menyiapkan semuanya—mulai dari detil kecilnya dan pemilihan ornamen yang menambah kesan elegan ke pestanya. “That chandelier, gimme some flashback to my engagement party—”

“Actually,” potong Sofie, gadis tinggi nan ramping dengan rambut dikuncir tinggi yang kebetulan mengenakan dress hitam panjang sederhana, “ini termasuk idenya pak Jayson, I saw the picture of the engagement party, and I was like—woah, simple, gak banyak hiasannya cuma.. kayak..”

“Esensial?”

“Ya! Esensial parah,” sahut Sofie kelewat excited, ia bahkan melepaskan pegangan tangannya di lengan Mahesa—kekasihnya, hanya untuk menjabarkan tiap sudut ruangan dengan dua tangannya. Tak butuh waktu lama untuknya melepas canggung dengan top #1 client-nya sepanjang ia merintis bisnis per-EO-an.

Jayson tak melepaskan tangannya dari pinggang istrinya dan berbisik sembari mendekatkan bibirnya. “Ada tamu yang masih harus kita temui.”

Kode itu, Renata langsung mengangguk patuh. Buru-buru ia menyudahi bincang-bincangnya dengan Sofie, dan kembali berjalan beriringan dengan Jayson untuk menyalami tamu berikutnya. Kalau boleh jujur, Renata merasa party ini tak diadakan atas dasar berita rujuknya dengan Jayson. Terlihat betapa getolnya pria itu memamerkannya ke sepanjang tamu yang kemudian berujung pembicaraan bisnis.

Ya, technically Jayson bukan sedang berparty ria. Tapi ia sedang bekerja.

“Ren, I want you to meet Mr. and Mrs. Sanchaka,” ujar suara bariton Jayson dengan senyum merekah ketika mengenalkannya pada pasangan paruh baya berdarah India. “They're my partner in Penang, Malaysia.”

See? This isn't party, this is a business meeting yang dikemas layaknya pesta tapi ternyata ada niat terselubung.

Renata tersenyum—terpaksa dan berbasa-basi dengan menanyakan perkembangan project Jayson di Malaysia. Ia tak begitu paham, segala pelebaran akses project hingga ke Kuala Lumpur dan Brunei, atau tanda tangan lanjutan dengan Perdana Menteri Singapore, Renata hanya menganggukkan kepala—tak ingin terlihat buta akan bisnis dan berpura-pura paham.

“Lo ngapain sih, Jay? What are you doing?” Renata menarik suaminya ke sisi lain Hall, lebih tepatnya ke bagian pantry—tempat peristirahatan sementara berbagai macam makanan yang hendak dihidangkan ke para tamu. “Sadar gak sih? Sebagai tuan rumah sebuah party, you're not having fun enough, do you know that?”

Jayson mengedikkan bahunya seolah itu memang bakatnya secara alami. Dan ia terlihat bangga dengan hal itu. “What did you expect for me, Ren?”

“Well well well,” sebuah suara di pintu mengagetkan keduanya. Hampir saja pesta itu menjadi sempurna, nyaris. Sebelum tamu tak undang tiba-tiba menampakkan batang hidungnya. Berdiri tampan di pintu masuk pantry dengan kemeja hitam panjang tanpa balutan jas. “Gue kira partynya diluar, ternyata disini rupanya.”

Jayson berjalan mendekati si tamu tak diundang, secara sadar menghalangi kontak mata langsung antara pria di pintu dengan Renata. “Can't believe there's a Kiehls in my party,” ujar Jayson tak terdengar sumringah, tapi wajahnya tetap harus dijaga karena kamera menyorot ke sudut manapun Center Hall itu.

“Hi, Renata, we finally meet, ya?”

Mengabaikan Jayson yang berdiri diantara dirinya dan wanita di pantry, Sam malah menengok ke sosok di belakang Jayson dan melambaikan tangan. Ia mengedarkan senyuman dan melangkah mendekat, “hallo, Jayson Hartono, long time no business, huh?” ucapnya tanpa dosa mengulurkan tangan ke arah Jayson.

Jayson sebagai tuan rumah party malam itu bersikap profesional. Ia menjabat tangan itu selagi tangannya yang lain diletakkannya kembali ke pinggang Renata. “This is Renata, istri gue.”

“Hai, Renata,” ujar Sam, menjabat tangan mungil Renata, “you look fantastic tonight.”

“Sam, will you excuse us? Ada banyak tamu yang belum kita salami,” kata Jayson menyudahi fokus Sam ke Renata yang terlalu obvious, dan membawa lari Renata menjauh dari Sam. “Car?” ujarnya pada speed dial nomer 5 yaitu adiknya, Carlos, “he's here. Yeah.. I don't know. Gue udah siap, lo handle sementara gue out? Ok.”

“Out? Out kemana?” Renata yang menguping pembicaraan sambungan telepon Jayson, memburunya dengan pertanyaan. Apalagi tangan Jayson berbalik menggandeng tangannya dan menariknya keluar dari Center Hall lewat pintu belakang yang orang-orang tak tahu letaknya. “Jayson? Kita gak bisa main cabut begini! Juan masih ada di dalem, kalo dia cariin kita gimana?”

Jayson membisu, ia fokus menggeret tangan istrinya untuk menyusuri lorong demi lorong sepi, menuruni tangga darurat dan sampai ke bagian belakang gedung Center Hall yang biasa dipakai sebagai parkir sembarangan. Renata ngos-ngosan, memperlambat laju larinya karena high hells sepuluh senti yang bisa mematahkan mata kakinya sewaktu-waktu.

“Jay! Sakit..”

Pria itu membungkuk, melepas high heels pemanis penampilannya malam itu dan membungkuk memunggungi Renata. Seakan siap untuk menggendongnya di belakang punggung. “Naik sini, mobilnya agak jauh soalnya.”

“You sure?” tanya Renata meragu, “jelasin dulu, Jay, kenapa kita harus lari-larian begini?! Juan di dalem sendirian, aku gakmau kemana-mana sebelum bawa Juan bareng kita!”

Helaan nafas lelah muncul, Jayson meletakkan dua telapak tangannya ke bahu Renata dan menatapnya lurus. “Aku jelasin di mobil ya, kita lari dulu, disini gak aman,” ujarnya sembari berusaha menetralkan nafasnya yang tak teratur karena mendadak lari.

“Tapi Juan—”

“Juan udah sama Carlos, ada Mahesa, ada Dirga, ada semua orang.”

“Terus kita ngapain kayak gini? Kita dikejar apa sih?”

“Gak ada waktu buat jelasin, sekarang kita lari dulu, oke?” ujar Jayson kembali memunggunginya, “sini naik dulu.”

Renata kembali pasrah, mau tak mau mengangkat sedikit gaun satinnya dan bersiap menaiki punggung suaminya. Selagi Jayson berjalan setengah berlarian, ia mengeratkan pelukan ke leher Jayson dan menutup matanya ketakutan. What's going on? Kenapa Jayson bingung kayak gini? Apa ada yang lagi ngejar dia? Siapa? Kenapa? Juan ntar gimana? Aku takut, Jay, aku takut..

“Ren?” suara Jayson terdengar, membuat Renata membuka matanya dan menyadari bahwa suaminya itu tak lagi berlari. “Kamu masuk di mobil yang belakang, disitu ada sepatu sama jaket. Kamu pake dua-duanya, ya? Jakarta lagi dingin.”

Sesuai intruksi Jayson, ia menuruni punggung Jayson dan memasuki mobil sedan Civic warna hitam yang tak pernah ia tahu keeksistensiannya. Sementara dirinya mengenakan sepatu kets putih dan jaket jeans kedodoran, Jayson melepas jas tuxedonya lalu membuka bagasi belakang. Tak lama kemudian ia memasuki bagian depan mobil, lebih tepatnya di kursi pengemudi dan membanting tas jumbo ke kursi sebelahnya.

“Aku mau kamu percaya sama aku, Ren, completely,” ucapnya sambil menyalakan mesin mobil dan membetulkan rear-vision mirror agar ia bisa melihat lawan bicaranya di kursi penumpang belakang. “Bisa?”

Renata melirik kaca yang menampakkan sorot mata Jayson yang tajam dan menaikkan bahunya, “aku gak tahu,” jawabnya bingung, kemudian membuang muka ke arah lain.

Mesin mobil sedan itu melaju keluar area Center Hall. Di lampu merah pertama, Jayson masih terdiam dan sibuk mengeluarkan beberapa barang dari tas besarnya di kursi sebelahnya. Tapi begitu masuk area jalan tol yang lenggang, laju mobilnya kian dipercepat. Renata di tempat duduknya berkomat-kamit dalam hati, tangannya menggenggam seat-belt gemetaran. Apalagi raut muka Jayson seperti sedang dikejar-kejar hantu, Renata makin resah.

Tangan lincah Jayson bekerjasama dengan matanya yang melirik spion luar mobil, dari kanan ke kiri, lalu ke kanan lagi. Jika ada kesempatan, ia membalap beberapa mobil keluarga yang juga melintas di jalur tol yang sama. Melihat betapa tegang dan fokusnya Jayson ke jalanan, sepertinya ada yang sedang membuntuti mereka.

Renata memutar kepala ke belakang kursinya, mencoba melihat siapa yang membuat Jayson seperti dikejar hutang.

“JANGAN!” teriak Jayson membuat Renata gagal melihat ke balik kursinya. “Jangan liat ke belakang.”

Pegangan Renata di sabuk pengaman makin menguat, “kita mau kemana, Jay, aku takut..”

“I know, tunggu keluar Jakarta dulu baru kita aman.”

Aman dari apa lebih tepatnya? Jantung Renata berolahraga, berdetak dua kali lebih banyak tiap detiknya. Matanya kembali memejam, membayangkan kemungkinan terburuk dari laju mobil Jayson yang diatas rata-rata pengguna jalan tol.


500 meter sebelum masuk terowongan, BMW putih berhasil mengejar ketertinggalannya dari si Civic. Pengemudinya menambah kecepatan, hingga tak ada lagi mobil yang menghalangi diantara mereka. Masuk ke dalam terowongan yang sepi, BMW menginjak gas lebih dalam, menyalip Civic gelap yang diisi satu pengemudi dan satu penumpang di bagian belakang.

Senyuman miring pengemudi BMW muncul ketika ia berhasil membalap Civic. Ia mendadak mengerem BMW yang dikendarainya, membelokkan mobilnya tepat di depan muka Civic yang menyebabkan mobil itu menabrak sisi kiri BMW dan terpelanting ke bagian atas BMW. Civic berguling ke aspal tol dengan jarak yang cukup jauh dari tempat berhentinya BMW karena laju mobil itu yang teramat cepat.

Civic mendarat tak begitu mulus, dengan kepala mobil di permukaan aspal sementara rodanya diatas. Asap keluar dari badan mobil, begitu pula darah penumpangnya, mengalir hingga mengotori jalanan. Pengemudi BMW keluar dari singgasananya, berjalan santai ke arah Civic yang tragis dengan seputung rokok di sudut bibirnya. Tangannya memainkan korek api model zippo, membuka tutup kepalanya, memperhatikan dua insan yang tak sadarkan diri di dalam Civic.

“Good day to be die, brother?” gumamnya, berjongkok di dekat pintu pengemudi, mengintip Jayson Hartono bermuka penuh darah lalu tersenyum.

Ia memperhatikan jalanan tol yang tak dilewati satupun pengendara. Terowongan itu memang jarang dilalui mobil karena proyeknya yang baru saja masuk ke tahap finishing dan belum diresmikan oleh pemerintah. Hal itu menguntungkannya, membuat Jayson beserta istrinya akan lama ditemukan selagi dirinya kabur dalam tragedi tabrak lari ini.

Langkahnya menjauhi Civic, tangannya yang memainkan tutup korek api berhenti. Ia menyalakan pemantiknya, membuat api kecil tercipta di kepala korek apinya. Dengan gerakan mengayun, ia melempar api kecil itu ke arah Civic yang berasap, membuat kobaran api perlahan kian membesar.

Pemilik pemantik zippo berlogo TH menjauhi Civic yang mulai diselimuti api, memasuki BMWnya dan mengemudi berbalik arah. Tak lama ketika ia mengemudi, ledakan terdengar di belakangnya. Bibirnya kembali mengukir senyum menatap kaca spion di sisi kanan dirinya yang menampakkan adegan film action favorite nya saat kecil.

warning : a piece of 🔞 please be wise


Konsep ruangan suite room 601 yang ditempati Renata belakangan itu sedikit berbeda dari kamar hotel premium biasanya. Namanya kamar hotel, tapi begitu masuk ke dalamnya, suasananya lebih cocok disebut apartemen. Apalagi ada dua kamar terpisah, kamar utama dan kamar anak-anak.

Sepertinya suite room itu memang sengaja disediakan Jayson untuk kepulangan Renata dan Juan ke Indonesia. Entah mengapa pria itu memilih meletakkan istrinya disana daripada di landed house yang ia punya.

Tuntas bermain dengan Juan dan menidurkannya, kini Jayson menatap pintu kamar utama dengan wajah berbunga-bunga. Ia bahkan mengangkat tangannya atas-atas untuk mencium ketiaknya, takut-takut aroma kantor ikut terbawa pulang dan membuat Renata tak nyaman dengannya.

Karena.. you know.. kemungkinan terjadinya hal itu 80% lebih banyak karena pesan terakhir Renata yang mengajaknya bermain kuda-kudaan.

Begitu masuk, ia melihat Renata duduk menyandar ke kepala ranjang dengan buku dan iPad di tangan. Dengan gesit ia melepaskan kemeja bekas kantornya, melucuti kancing demi kancingnya tergesa-gesa. Ketika ia membanting kemejanya yang terlepas dari dirinya ke lantai, barulah Renata membagi perhatiannya pada Jayson.

“Eeehhhhh?” Renata memekik, membuat pergerakan tangan Jayson yang hendak menanggalkan celananya berhenti. “Mau ngapain?”

Jayson cengengesan, “main kuda-kudaan kan katanya?”

“So?” Renata menatapnya bingung, kuda kudaan kan gak perlu buka baju?

“Kamu mau main kuda-kudaan beneran?” tanya Jayson baru sadar, “serius? Kuda-kudaan beneran?”

“Ya-huh,” jawab Renata menepuk sisi lain ranjang di sebelahnya, “nungging sini! Aku mau naik kuda Jayson!”

Kecewa, tapi tetap meloncat ke area ranjang dalam keadaan bertelanjang dada sesuai instruksi sang istri. Ia memposisikan dirinya seperti kuda yang siap ditunggangi, “kuda sudah siap,” ujarnya sambil terkekeh.

Renata menaiki punggungnya, tidak dalam kondisi duduk, tapi malah tidur diatasnya. Melingkarkan baik dua kaki dan dua tangannya ke tubuh Jayson, menyandarkan kepalanya ke permukaan punggungnya yang tak terlapis satu kain pun. “Heran, gak mandi aja wanginya kayak gini, gimana ya kalo dah mandi pasti kayak toko parfum.”

“Ya aku kira mandinya habis nganu aja.”

“Idih ngarep bener lu? Anak istri ditinggal kerja, pulang cuma numpang tidur doang, dateng-dateng minta jatah,” oceh Renata tak melepas sedikitpun wajahnya dari punggung polos Jayson, mengendusinya dan menciumi aroma khas dari tubuh itu.

Jayson tergelak, “ini gimana ceritanya kok malah kayak koala?”

“Lah iya, ya?” Renata pun ikut tertawa, “tau gak sih aku kangen banget? Aku sama Juan udah di Indo tapi rasanya masih kayak di London, jauh dari kamu.”

“Kan aku udah janji, habis ini gak cuma work hard aja, bakalan play hard juga.”

“Ya tapi kapan?”

“Kelar party, ya? Janji semuanya kelar habis party.”

Renata berdecak malas, melepaskan punggung lebar itu dan kembali ke sisi ranjangnya semula. “Ck, janji-janji palsu lagi.”

“Ya udah, sini sayang dulu,” ujar Jayson memangkas jarak diantara mereka dan menindih Renata, “sekalian lah, nanggung ini mah.”

Anggukan di kepala Renata menjadi pintu gerbang kemenangan bagi Jayson, kayak menang tender proyek jutaan dollar. Baru akan mencanangkan aksinya, ketukan di pintu kembali menggagalkan tindakan Jayson.

“Shi—” umpatannya tertelan karena suara ketukan pintu itu diiringi suara cempreng Juan yang mencari mamanya. “Gue kira dah tidur tuh bocil,” gumamnya sedikit kesal tapi tetap berjalan ke pintu dan membukanya. “Buddy, I thought you're sleeping?” ucapannya berubah halus di depan Juan yang berdiri dengan wajah berantakan sambil membawa mobil ber-remote control.

Renata yang bebas dari keganasan Jayson terkekeh melihat Juan yang berwajah sleepy. “Sayang, tidur lagi, ya? Masih malem ini, sayang.”

“I wanna sleep with Mama,” ujarnya memasukkan dirinya ke kamar sambil mengucek-ucek matanya, ia berjalan kecil menghampiri Renata dan memeluknya. Ia bahkan melepaskan mainannya hanya untuk memeluknya mamanya. “I miss you, Mama.”

“Awwww,” gumam Renata memeluk tubuh mungil di depannya dan menggendongnya naik ke ranjang, “wanna sleep here?”

Jayson yang menutup pintu mendelik mendengar tawaran Renata untuk anaknya. Tangannya menyilang di depan dada, mengisyaratkan untuk jangan membiasakan Juan tak tidur di kamarnya. Tapi gagal begitu Renata mendekap anaknya dan bersiap tidur.

Sudah tahu hal yang ia inginkan takkan terjadi, Jayson mengalah. “Alright,” ujarnya pasrah lalu ikut tidur di sebelah anaknya sambil memberi tatapan maut ke arah Renata seperti berkara, thanks to Juan, lo bisa lolos, gak tau kalo besok. Tunggu pembalasan gue, jangan cengir-cengir dulu lo.

Tatapan geli Renata pun seolah membalas ancaman itu, dikira gua peduli? Yang penting anak gue masih nyariin gue, weekkkk, lalu menjulurkan lidahnya mengejek.

“Mama, where are we going?”

Suara cempreng Juan di atas kursinya terdengar, membelah situasi tegang antara Renata dan Jayson yang tak saling bicara sejak keduanya duduk di kursi masing-masing. Jayson melirik Renata kecil dan berdeham, senyumannya melayang untuk anak cowoknya yang mulai bermetamorfosa menjadi tokoh kartun Curious George yang selalu curious.

“We're going to Indonesia,” jawab Jayson dan berlutut kecil di depan anaknya. Ia membetulkan tali sepatu Juan di kakinya yang menggantung karena belum cukup sampai di lantai pesawat. “Ke hometown nya Mama sama Papa, are you excited?”

Juan menekuk wajahnya, “no, I'm not, I want to go to the beach again!”

Renata menghela nafas, menghampiri anak semata wayangnya dan memangkunya sembari menidurkannya. Hingga Juan cukup terlelap, barulah ia membuka suara dengan Jayson yang terlihat resah. “Wajar Juan ngerengek, ini pertama kalinya dia naik pesawat terbang. Would you just relax? Anak kamu baik-baik aja.”

“Sayang, aku khawatir sama kamu—I mean aku khawatir ke Juan, tapi gak sebanyak khawatir ke kamu.”

“Kalo emang harus begini caranya to end this shit, let's do this,” gumam Renata dengan tangan mengusap puncak kepala Juan di pangkuannya. “Sebelum Juan ngerasain imbas gak enak dari semua ini.”

“Kamu yakin?”

Renata menaikkan nada bicaranya, “kamu jangan bikin aku gak yakin! Aku ini cuma pura-pura berani, tapi kalo kamu nanya terus, nyali aku ikut menciut.”

Tangan Jayson jatuh ke telapak tangan Renata di pegangan kursi, “sorry sorry, harusnya aku ngomong dari awal ya?”

“Baru nyadar? That you fucked up by not telling me all of this? You could've use me to manage one of your problem, I will fight for you too, Jayson, gue gak mau jadi pihak yang selalu diperjuangin sama lo terus. Maybe I'm not the brightest at business, tapi gue gak bego-bego banget lah.”

Jayson meringis, mendengar kalimat I will fight for you too keluar dari bibir istrinya. Ia terbiasa berkubang dengan masalahnya sendiri, melindungi apa yang pantas dilindungi dan memperjuangkannya sendirian. Tak ia sangka akan ada yang melakukan itu untuknya, dan jujur membuat Jayson tertampar. Renata tidak selemah yang ia kira, bahkan wanita itu sudah menjadi pelumas di tuas semangatnya. Ternyata menjadi kuat bukan berarti harus terlihat tegar, tapi harus melalui rintangan apapun itu—step by step—for something you wished for.

“You cried?” Renata terkejut, “kenapa? Aku salah ngomong, ya? Sorry kalo aku lancang, Jay.”

Who's crying? Jayson menyentuh garis senyumnya yang basah, tanpa sadar meneteskan airmata melihat ibu dari anaknya mengatakan satu hal yang ingin ia dengar dari dulu. Salute to his Grandpa, Jayson tumbuh menjadi pribadi yang kokoh dan tangguh—secara fisik, tapi inner childnya berkata lain. Ada bagian dari dirinya yang ingin merasa dibentengi, dilindungi dan.. dicintai. Loved enough to be worth fighting for. Sialan, makin deres air mata gue, batinnya menyeka kasar sudut matanya yang berair.

“I love you.”

Tiba-tiba banget? “I love you too,” jawab Renata mengulurkan tangannya dan menarik kemeja Jayson agar mendekat lalu melayangkan ciuman singkat. Ada Juan dalam pangkuannya yang membuatnya tak bisa leluasa berdiri dan bergerak.


Asing, Renata merinding begitu melihat kota tempat ia dibesarkan terasa begitu berbeda dari kenangan terakhirnya di sini. Lima tahun di London, beberapa bulan di Labuan Bajo, bisa dikatakan ia tak berada di Ibukota nyaris enam tahun. Six god-damn years—ia bahkan lupa tata letak Jakarta karena terlalu hafal dengan konstruksi London.

“Mama, when we're going home?” suara Juan tengiang di sepanjang perjalanan dari Airport ke hotel Hartono, entah sudah berapa ratus kali bocah ingusan itu menanyai ibunya begitu. Entah karena ia bosan atau ia terkena jetlag parah. Suaranya begitu nyaring, terkadang sangat annoying untuk ukuran anak lima tahun.

“Mama, are we moving here? I don't wanna move here, Mama, I wanna go to school, I wanna meet my friends. When we're going home, Mama? I wanna go home.”

Renata yang baru mengeluarkan beberapa isian koper mendesah. “Juan, honey—Mama tahu kamu bingung, so do I, sayang. Habis ini kita makan dulu, ya? Mama tahu kamu pasti laper, ya kan?”

“Yeah, I'm hungry,” balasnya tak mengubah raut mukanya yang cemberut.

“Inget sate yang dijual di St. Harrington yang dijual Uncle Yanto?” Renata mencoba mengalihkan perhatian Juan, “you like it, right? Sate di sini lebih enak, seribu kali lipat dari punya Uncle Yanto! You wanna try it now?”

Juan melonjak-lonjak antusias, “huwaaah, a thousand times? Really? Really? Can we go now? Mama, can we go now?”

Berhasil. Renata terkekeh melihat Juan bersikap seperti anak anjing manis yang moodnya kembali baik. “We can go now, tapi mandi dulu, yuk! Kamu bisa pake sabun bubble kesukaan kamu.”

“Yeayyy!” Juan berlarian ke arah tas ransel kecil yang ia bawa karena ia sendiri yang meminta untuk membawanya. “Can I play bubble bath with Papa, Ma?”

“Maaf, sayang, Papa ada urusan jadi sama Mama aja, ya?”

“That's alright!” pekik Juan berlarian ke kamar mandi, menuangkan bath bombs yang lebih besar dari kepalan tangannya dan duduk di lantai sambil memperhatikan benda itu melebur bersama air di bath up yang hangat. “Waaaahhhhhh,” gumamnnya lalu terkekeh sendiri, ia julurkan telunjuknya untuk bermain dengan permukaannya yang meletup-letup. That's why he called it bubble bath.


Langkah ambisius Jayson membelah lautan karyawan di gedung pusat Hartono yang akan makan siang diluar kantin. Tepatnya di lantai lima ketika Theo Hartono mengadakan pers conference mengenai lepasnya Jayson dari nama besar keluarga Hartono. Ia mengundang puluhan wartawan yang siap menyebarkan berita besar dalam dunia bisnis hingga ke pelosok negri.

Tidak sampai Jayson menginterupsi pers conference dengan kehadirannya yang mengacau. Ya, Jayson Hartono si pengacau dalam keluarga Hartono. Headline yang cukup menarik, diimbangi dengan gambar Jayson mengobrak-abrik meja conference yang diisi belasan microphone. Well done, Jayson.

Tak begitu dramatis, tapi Jayson memang mengacau. Ia melangkah mantab melewati para wartawan dan lari ke sepupu paling besarnya. Ia melayangkan beberapa kali pukulan di wajah hingga pria itu tersungkur lalu menindihnya dan kembali menghajarnya. Membuat satu ruangan heboh akan tindakan impulsifnya.

Sam di belakang panggung conference masuk ke dalam TKP, dan melerai Jayson yang membuat wajah Theo penuh darah segar dari pelipis hingga sudut bibirnya. Dengan bantuan Carlos yang baru datang—karena baru diberi tahu kejadian memalukan itu—akhirnya mereka berdua bisa dipisahkan. Setidaknya Jayson bisa melihat rekaman dimana ia menghajar Theo di masa depan karena semua media mengarahkan kamera ke arahnya. Vividly. Terimakasih teknologi 4K.

Alhasil pers conference itu berujung malapetaka, menyebabkan kasak-kusuk yang disebarkan dari mulut ke mulut oleh para wartawan yang menyaksikan perkelahian dua saudara sepupu secara live. Ketidakharmonisan dalam hubungan persaudaraan Hartono atau Keterkaitan hubungan saudara sepupu pemilik Hartono Group dengan kematian saudarinya beberapa tahun silam. Kurang lebihnya, mari beri tepuk tangan pada Jayson Hartono yang menyebabkan desas-desus itu tercipta.

“Lo mikir apa sih, Bang?”

Jayson yang wajahnya telah diplester hanya menatap Carlos di kursinya tanpa minat. “Coba lo di posisi gue. Kenapa dia gak bisa biarin gue happy sama Renata, tanpa mengusik tabungan masa depannya Juan? Gue mati-matian kerja buat siapa? Bukan buat gue sendiri tapi buat anak gue, Car!”

“Iya gue tahu, tapi apa harus kayak gini?” Carlos menghela nafas panjang, “gue cuma takut lo kenapa-napa.”

“Maksud lo kenapa-napa?”

Carlos berdecak, “lo tahu Theo. Look what he's done with Aurora. Gue cuma punya lo—satu-satunya saudara gue yang waras—gue gamau kehilangan lo juga kayak gue kehilangan Aurora.”

Jayson mengepalkan telapak tangannya dan membukanya perlahan. Sepertinya tulang belulangnya disana terlihat bergeser karena memukul rahang Theo terlalu bersemangat. “Just in case kalo gue mati, gue titip Renata sama Juan. Take care of them, sayangi mereka kalo lo emang adek gue.”

“Jangan ngomong gitu,” sela Carlos mengingatkan, “kalo kata orang dulu, ucapan adalah doa!”

“Jaga-jaga aja,” balas Jayson ringan, “lo tahu kan gue gak bakalan meninggal dengan tenang kalo sampe liat bini gue sama anak gue kenapa-napa.”

“Iya gue tahu, bang, gue gak bakalan biarin hal itu terjadi,” kata Carlos lalu mengalihkan pembicaraan, “lagian lo udah gue bilangin, ati-ati sama Sam, lo main percaya aja ama tuh orang.”

Jayson membuang nafas kesal, “gue gak bisa salahin Sam, dia pasti terima tawaran menggiurkan dari Theo. Dia cuma suruhan. Biang keladinya tetep aja Theo.”

“Ya you right.”

“Tapi gue bisa hancurin reputasi Sam.”

Carlos menaikkan satu alisnya, tertarik dengan kalimat abangnya yang terdengar menggiurkan. “How?”

“You're gonna love this.”