ceciliannee

Warning the 🔞


Renata berkutat dengan fish and chip kiriman Ruby—yang terlihat seperti sogokan minta maaf, dan memasukkannya beberapa ke microwave untuk dipanaskan. Ia nyengir kecil menatap layar ponselnya, percakapannya dengan Ruby tak pernah gagal membuatnya memaafkan temannya itu.

Cengirannya luntur begitu melihat sosok Jayson keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan celana santai selutut dan tangannya menggosok-gosok handuk kecil ke rambutnya yang basah. Renata mengalihkan pandang, bagaimana bisa pipinya memanas hanya karena melihat Jayson bertelanjang dada? Maksudnya, bukankah ia juga pernah melihatnya, bahkan lebih dari bertelanjang dada?

Oh my God, Renata, you need to stop, kalo lo kejauhan mikirnya mungkin lo..

“What's wrong?” suara bariton Jayson memotong batin Renata yang meneriakkan sisi liarnya.

Even his voice is so sexy! Damn it! Get yourself together, Renata! Lo harus lawan—apapun itu namanya—lo bukan teenager lagi yang emosinya membuncah dan penasaran sama hal-hal erotis kayak gini, you've been through this, you can do this, Renata, you can..

“You good?”

Not at all. “Why wouldn't I? Mau fish and chips? Tadi Ruby beli banyak stock buat Juan karena Juan suka banget fish and chips. Lagian kalo cari makan diluar jam segini udah pada tutup, sih.”

Jayson terkekeh, mengambil duduk di kursi tinggi mini bar yang berhadapan dengan posisi Renata di sisi lain meja bar. “Ya, kita tadi ketiduran lama banget.”

Renata ikut terkekeh, “iya.. gue udah lupa rasanya tidur siang senyenyak itu.”

“Me either, I guess I'm missing you too much, Ren,” ujar Jayson dengan jemari menggenggam tangan Renata di atas meja, “lo tahu kan, I would do anything buat lo, buat Juan, buat kita. I still love you. I always will, I always do.”

Here we go physical touch, call 911, panggil pemadam kebakaran, atau apapun, Ren, hurry up! You need help, seriously! Karena pria di depan lo ini kryptonite lo. Remain yourself, kryptonite means something or someone who makes you weak. Just please, don't fall..

“I love you too,” ujar sisi lain Renata, mengalahkan sisi kewarasannya telak. You bitch! Can't help the feeling bentar aja apa? Gengsi dikit kek “You need to eat, lo pasti laper, kan?”

Jayson menurunkan handuk dari kepalanya dan usapan di tangannya di Renata berubah intens. “Gue laper, but not with the food.”

Percuma saja dua batinnya yang bersebrangan berdebat, kalau Renata dengan mudahnya bertekuk lutut begitu Jayson menggeser piring fish and chipsnya ke ruang kosong bagian lain meja dan menarik Renata mendekatinya. Tanpa persetujuan Renata, ia mengangkat tubuh Renata ke meja bar, meletakkan dua lengannya ke sisi kanan dan kiri tubuh Renata, memenjaranya.

Seolah terbius dengan tatapan Jayson yang berjarak beberapa inchi dari wajahnya, Renata terkekeh kaku menutupi kegugupannya yang tak wajar. “Yakin gamau makan fish and chip nya? Enak loh,” ujarnya terdengar konyol karena nada bicaranya yang gemetaran.

Apa-apaan, Ren? Lo kek baru pertama kali aja sama Jayson.

Ya kan it was five years ago, maklumi lah kalo gue ngerasa awkward deket sama dia.

Yaelah sok suci, gausah pasang tampang perawan, anak lo tuh dah satu, let's see kemajuan lo di dunia perselangkangan.

Renata menyudahi batinnya yang masih adu mulut dengan berdeham kecil, “cuma mau ngingetin, ada Juan di kamar sebelah,” ujarnya memundurkan kepalanya ketika Jayson hendak melayangkan ciuman.

“Kamar Juan udah dikunci,” Jayson tersenyum miring, satu tangannya naik ke leher belakang Renata dan membuat gadis di depannya tak bisa menghindarinya. “That's why we gotta keep it quite, biar Juan gak denger,” bisik Jay sebelum menghujani kecupan panas di bibir Renata. Cukup panas hingga membuat Renata tak punya alasan lagi untuk mengelak, karena secara alami tubuhnya pun bereaksi.

Renata menatapnya, mengusap rambut Jayson yang sengaja dipanjangkan, lalu bibirnya sedikit terbuka untuk menyambut ciuman Jayson. Untuk beberapa detik, ciumannya terasa lembut, penuh cinta dan cukup bisa Renata balas. Tapi kemudian ritme ciuman Jayson berubah cepat, mengulum, menghisap bibir Renata bergantian bibir atas dan bawahnya, bahkan melibatkan pergulatan lidah. Entah Renata cukup mampu mengimbanginya atau tidak, yang jelas keduanya sudah sama-sama turn on.

Disela-sela persilatan lidahnya, Jayson menarik dua kaki Renata mendekat, membuatnya kian mendekat ke tubuh Jayson yang berdiri diantara dua kakinya. Lenguhan muncul begitu saja dari bibir Renata ketika merasakan betapa kerasnya milik lawan mainnya dibalik celana santainya, menggesek sensual milik Renata di bawah sana.

Tangan agresif Jayson melucuti daster rumahan Renata, menyisakan gadisnya dengan sepasang pakaian dalam sederhana Renata yang entah kenapa begitu seksi di matanya. Satu alisnya terangkat naik, pandangannya memperhatikan Renata dari atas hingga bawah, seolah menilai pemandangan indah di depannya.

“Shit,” gumam pria itu serak, kentara sekali sudah diujung nafsunya yang membara, “I'm gonna fuck you. Hard.”

“Let me help you,” ujar Renata dengan dua tangan di belakang punggungnya dan melepaskan kaitan branya sendiri, membebaskan dua buah dadanya yang mengeras—memohon untuk dipuaskan. Tangannya menarik telapak Jayson di pahanya, membawanya agar menelangkupkan ke satu payudaranya.

Jayson meremasnya perlahan, bersamaan dengan ciumannya di leher Renata. “Naughty,” komentarnya mendengar desahan demi desahan akibat aksinya di dada Renata.

Bibirnya turun dari leher ke dada, menggantikan tugas jemarinya yang menghangatkan puting Renata. Tak cukup puas, Jayson melepaskan satu-satunya yang tersisa dari tubuh Renata—celana dalamnya—lalu menempatkan wajahnya diantara pangkal paha Renata yang setengah berbaring diatas meja pantry.

“Jangan disitu,” ucap Renata disela-sela nafasnya yang memburu dan menarik dua pahanya dari bahu Jayson.

“What did you say?” Jayson kembali menarik dua kaki Renata ke pundaknya, memposisikan dirinya menghadap ke pusat intimnya. “Yum,” celotehnya sebelum mendengar Renata menjerit karena lidah pria itu menyapu klitorisnya ganas. Hangat basah lidahnya menyentuh titik paling intim di tubuhnya, berhasil membuat pemilik tubuh polos itu kehilangan akal sehatnya.

“Jangan disini maksudnya?”

“Oh my—AH!”

“You like it, huh?”

Sebuah bisikan terdengar sensual, diiringi dengan kehangatan telapak tangan Jayson di pahanya. Lalu bibirnya kembali mencecap putingnya, membuat Renata tak melakukan apapun selain mendesah dan menggeliat karena nikmat. Ketika lidahnya bermain, telapak tangannya menyusuri pangkal paha Renata lagi, seolah tak ingin salah satu titik sensitivitas Renata menganggur.

“Jay..,” gumamnya pasrah, “please..”

Jayson menyeringai, puas bukan main ketika gadisnya memohon, bahkan menghentikan perlawanannya. Tubuhnya meliuk-liuk karena nikmat di putingnya tak langsung pudar. Apalagi sekarang dua jarinya masuk tanpa permisi ke lubang Renata, mengoyak inti tubuhnya yang basah. Keluar, masuk, keluar lagi, masuk lagi.

Lalu di akhir, ia mengeluarkan jarinya ketika Renata merasakan ada cairan keluar dari intinya. Dan disaat itulah desahannya mengeras diiringi tubuhnya yang bergerak-gerak keenakan dan wajahnya yang memerah. Tubuhnya seketika menghangat, panas dari dalam dirinya menyebar bersamaan dengan pelepasan nikmat yang Jayson sebabkan.

Jayson yang masih utuh mengenakan celana santainya duduk di kursi bar—di depan posisi tubuh Renata, memperhatikan tubuhnya yang lemas di atas meja pantry. “Well?”

Dengan sekuat tenaga Renata bangkit dan berusaha berbaring dengan kaki yang lemas akibat pelepasannya sendiri, “lo gila.”

“Trust me, gue bisa lebih gila lagi,” kekeh Jayson lalu mengernyit melihat Renata susah payah memungut branya di sisi lain meja, “woah woah! What are you doing? Gue belum selesai sama lo.”

“What?!” Renata melotot, ia sudah merasa diacak-acak dan terlihat bagai pelacur yang disewa permalamnya. “Udah dong, please.”

Bukan Jayson jika menuruti perkataan istrinya yang telanjang bulat di depannya. Ia membungkuk, mengangkat tubuh polos Renata di bahunya dan sesekali menampar bokongnya yang menggoda. “Ini baru permulaan, berani-beraninya minta udahan,” kekehnya membawa Renata macam karung goni ke kamar utama dan menguncinya.

“Lo berisik juga, kita lanjut di kamar biar Juan gak kebangun.”


Setelah dibanting ke ranjang empuk buatan Skotlandia dan berusaha beberapa kali memberontak, akhirnya Renata diam tak berkutik. Lebih tepatnya terpaksa diam karena dua tangannya diikat di belakang punggung dengan sehelai kain—yang entah didapat Jayson darimana, sementara pemain utama malam itu hanya berdiri di depannya—menatapnya dari atas ke bawah, lalu ke atas lagi dengan tatapan menimbang-nimbang.

“Lo kalo gak lepasin gue—”

“Apa? Lo mau apa?” potong pria itu dengan wajah menyeringai, “teriak? Go on, teriak aja. Flat ini kedap suara kok.”

Sialan Renata, dalam ikatan pergelangan tangannya kembali membisu di tempatnya. Ia lupa dirinya tengah berhadapan dengan siapa. When it comes to masalah ranjang, you can't be “just playing around” with Jayson Hartono. Or you're gonna be the one to be played with.

“I'm a lil bit tired now.. I mean, can we speed it up? Juan ada latihan resital besok pagi loh.”

Jayson terkekeh, mengubah suasana bisu kamar dengan suara mencekamnya yang berat dan lantang. “Acara resitalnya Juan kan udah minggu lalu, don't you dare to distract me.”

“Distract you from what?!” Renata mencoba melepaskan dari ikatan di dua pergelangan tangannya, “lepasin nggak?! JAY!!”

“Enak aja, belum diapa-apain kok udah minta dilepasin,” gumamnya perlahan merangkak ke atas ranjang, menghampiri tubuh telanjang Renata yang akses pada tangannya terbatas dengan gerakan mengintai, macam singa lapar yang membidik mangsanya.

Renata menarik nafas panjang saat Jayson telah menempatkan dirinya diantara dua kakinya. Dua tangannya kembali ke dua sisi tubuh Renata, begitu mendominasi. Tatapannya tajam ke arah manik Renata, tak membiarkan Renata sedikitpun mengalihkan pandangan darinya.

Gawat, Ren, nih orang gawat banget. Terlambat sudah, kini Renata hanya bisa terdiam menunggu apa yang akan dilakukan pria di depannya. “Langsung aja, gausah main-main,” bisiknya ketika Jayson hanya menatapnya tanpa mengatakan sepatah katapun.

Satu tangan Jayson melayang ke buah dadanya, ibu jari nakal itu bermain-main dengan ujungnya. Renata menutup bibirnya rapat-rapat, tak mau membiarkan desahan tercipta. “Ini gak adil,” ujarnya sekuat tenaga tak menambahi akhirnya kalimatnya dengan desahan, cukur tricky tapi masih bisa diatasinya.

Masih dengan tatapan tak terbacanya, ia memajukan wajahnya ke buah dada yang lain. Menggodanya dengan hembusan nafas hangatnya, lalu melumatnya dan memainkannya dengan lidahnya. “Apa? Lo ngomong apa?” tanyanya dengan lirikan ke atas wajah Renata, memperhatikan ekspresi wanitanya yang sudah pasrah. “Gue gak denger.”

Renata mendongakkan kepala, hanya cumbuan di putingnya saja bisa membuatnya mendesah. “Mak-sudku.. bukan—maksud gue.. Ah! Ini gak adil.”

Jayson mendengarnya dengan jelas walau perkataan itu berada diantara desahan yang ia tunggu daritadi. Jayson mendorong bahu Renata hingga punggungnya menyentuh permukaan ranjang dan menuruni tubuh bagian bawahnya. “Apanya yang gak adil?” tanyanya berlagak polos.

“Fuck!” Renata menjerit ketika ada yang menyusup tanpa permisi ke inti tubuhnya, hangat gelenyar lidah Jayson memasuki lubangnya. Tanpa sadar membuatnya kembali basah oleh cairan alami tubuhnya. “Jay..” gumamnya melemas. Sekali lagi merasakan desiran orgasme yang nikmat bahkan sebelum mereka menyatukan tubuh dalam pergulatan seks.

Jayson membuka celana pendeknya, menurunkan resletingnya dengan gerakan yang kalem dan menarik dua kaki Renata ke bahunya. “This guy has been missing you so much,” ucapnya sembari memasukkan miliknya yang mengeras sedari tadi.

Renata tak lagi bisa melenguh, bibirnya menjeritkan huruf A berkali-kali seakan lupa ada 25 abjad lainnya yang bisa ia ucapkan. “Ah.. Oh-God! Oh MY GOD!! AH!!”

Pergerakan Jayson memelan, telapak tangannya mengusap anak rambut Renata yang menutupi separuh wajah di bawahnya. “That's right,” gumamnya tanpa menghentikan pergerakannya, “I'm your God, baby.”

Selagi mengisi kekosongan dalam inti tubuh Renata, ditambah dengan udara yang kian menipis diantara mereka, Jayson melepas ikatan di pergelangan tangan Renata. Membebaskan dua alat geraknya selagi bagian bawah dirinya dihajar tanpa belas kasihan.

Satu tamparan melayang ke sisi kepala Jayson, lebih seperti gamparan yang cukup keras datang dari tangan Renata. Jayson terkekeh, tak sedikitpun menghentikan gerakannya—ia bahkan menambah intensitas persatuan diri mereka. “Oh, mau main kasar? Ngomong dong daritadi.”

Posisi itu tidak menguntungkan Renata—sama sekali. Ia dihimpit ke ranjang dengan tangan ditali ke belakang punggung, sementara dua kakinya di bahu orang yang menghimpitnya. Setelah aktivitas panas ini usai, entah ia lebih butuh cairan pelega tenggorokan karena terlalu banyak menjerit dan mendesah, atau ia lebih butuh obat untuk kakinya agar dapat berjalan keesokan harinya.

Atau mungkin keduanya.

#all of the years

warning : lil bit NSFW


Ketika mendengar ketukan pintu, harusnya Renata tidak membukanya. Harusnya ia tetap bermain lego bersama Juan, menumpuk ratusan warna-warni mainan itu hingga berbentuk benteng sebesar manusia dewasa. Harusnya ia melihat dulu siapa yang ada dibalik pintu depan apartemen sebelum membukanya.

Itu suaminya, Jayson Hartono menampakkan batang hidungnya setelah lima tahun lenyap dari agenda hariannya.

Dengan gerakan kilat, ia menutup daun pintu yang dua kali lebih besar daripada tubuhnya. Sayang sekali, lengan pria di depannya jauh lebih kuat dan menahan pintu untuk tetap terbuka.

“Fuck off,” ujar Renata tak sungguh-sungguh, karena jujur saja, ia ingin melemparkan dirinya ke pelukan pria itu. Tapi egonya mengalahkan segalanya, menguatkan Renata untuk kokoh pada pendiriannya yang bilang tidak mau berurusan dengan Hartono lagi lima tahun lalu.

“Ren, tolong,” gumamnya perlahan, semudah menahan bulu bila dibandingkan pegangan tangan Renata di handle pintu.

Ia menyerah, jelas tak mungkin menang bila beradu kekuatan dengan pria di depannya. Langkahnya perlahan bergerak mundur, menjaga jarak aman untuk jantungnya. “What do you want?”

Jayson memasukkan diri ke flat yang masuk ke dalam jajaran assetnya, tapi tak pernah ia kunjungi barang sekalipun. Ia menutup daun pintu dan berdiri berhadapan dengan si penghuni utama flat itu yang tak lain dan tak bukan masih berstatus istri sahnya.

“Gak mau mempersilahkan duduk atau apa gitu?”

Renata melipat tangan di depan dada, “no, what do you want?” tanyanya sedingin embun freezer di kulkas yang menggunung.

Tanpa aba-aba, Jayson memotong jarak diantara mereka, menarik wajah di depannya dalam ciuman sepihak. Renata meronta, memukul dada Jayson untuk menghentikan gerakan agresif darinya, tapi gagal. Pria itu tetap menciumnya, kasar dan terkesan menuntut. Hingga membuat Renata akhirnya luluh, dan jatuh dalam dosa bersama dengan bibir yang absen mencumbunya bertahun-tahun.

Hmm, gak dosa dong kan technically dia masih suami sah gue.

“Mama, Mama dimana?”

Panggilan halus dari arah kamar bermain Juan membuat mereka berdua berhenti dari kegiatan panas mereka. Lebih tepatnya Renata yang memaksa pergulatan bibir mereka dihentikan. Renata mencoba melepaskan diri dari Jayson yang memenjara hampir seluruh alat geraknya. “Jay..,” gumamnya memohon kecil.

“Aku boleh ketemu Juan?” tanya Jayson perlahan, dengan ibu jadi menyapu permukaan bibir Renata yang basah akan ciuman sensual mereka.

Renata mendorong bahu di depannya sekuat tenaga dan berhasil melepaskan diri. “Lo disini aja, awas sampe masuk-masuk!” ancamnya, mengacungkan telunjuk tepat di depan wajah Jayson dengan ekspresi garang.

Sebelum Renata sampai ke sumber suara, anak laki-laki usia lima tahun dengan kaus dan celana kasual keluar dari sebuah kamar. Renata pun kaget, belum saatnya mengenalkan sosok Jayson pada Juan yang knowless perihal ayah biologisnya. Setahu bocah itu, Winarta adalah ayah satu-satunya dihidupnya. Walaupun hanya sebatas orangtua baptis.

“PAPA!”

Renata melotot melihat Juan—bocah yang keluar dari rahimnya lima tahun lalu, memanggil Jayson—pria yang tak pernah ia temui sama sekali—dengan sebutan.. apa tadi? Papa? Dan yang tak terduga, anak kecil itu berlarian ke arah Jayson, memeluk pria yang sedang berjongkok seperti ia memeluk Winarta. Aduh, Juan, Mama tau itu papa kamu, tapi kamu gak kenal dia, nak. Main peluk-peluk aje lu, tong.

“Papa kok lama sih datengnya,” ujar suara mungil itu, membuat Renata double terkejut. “I miss you so bad, Papa.”

“Papa harus kerja, ya kan, Ma?” Jayson menggendong Juan di depan dadanya dengan sebelah tangan, ia melirik Renata yang tak jauh darinya dan mengerling seolah memberi kode udah iya-in aja biar Juan seneng.

Renata yang masih kagok menjawab dengan terbata, “i-iya, Juan, Papa kan-kan harus kerja.” Ia mungkin menjawab dengan lembut tapi tatapan matanya yang melebar itu seolah mengancam, kok Juan bisa panggil lo Papa?


Sudah satu jam lebih Renata gelisah sembari menatap satu pintu dengan banyak sticker dinosaurus dan empat huruf yang tersusun membentuk nama Juan. Itu kamar anaknya, dan fakta bahwa ada Jayson di dalam kamar anaknya, berdua saja dengan Juan yang membuatnya kebingungan bercampur khawatir.

Gak mungkin lah Juan diapa-apain sama Jayson, itu kan anak dia juga. Udah lo tunggu aja sampe Jayson keluar, baru ngobrol berdua.

Eh, tapi kalo Jayson dendam sama lo karena lo kabur lima tahun lalu dan sakitin Juan gimana?

Ketika pikiran-pikiran buruk mulai menghantuinya, tanpa pikir panjang ia bergegas ke arah pintu itu dan membukanya perlahan. Jayson dan Juan berbaring di satu ranjang kecil, si kecil yang setengah teler—karena sudah jam tidur siangnya—melambai kecil ke arah Renata di pintu. Sementara Jayson perlahan bangkit dari ranjang dan ikut melambaikan tangan ke arah Juan.

“Juan tidur dulu, ya?” Jayson bergumam kecil, yang kemudian dibalas anggukan malas dari Juan lalu bocah itu tertidur pulas di tempatnya.

Kini tersisa Jayson dengan Renata, berdiri canggung di ruang keluarga yang senyap.

“Juan udah, tinggal ibunya.”

Renata mengernyit, “maksud lo? Lo mau nidurin gue kek lo nidurin Juan?”

“Kasih penjelasan,” koreksi Jayson sambil terkekeh karena melihat pipi Renata bersemu kemerahan. “Gue udah jelasin ke Juan, kenapa lama banget buat gue dateng nemuin dia. Utang gue udah lunas ke Juan, sekarang waktunya klarifikasi ke lo.”

“Ooh,” sahut Renata menutupi urat malunya dengan muka sinis.

“Kalo lo maunya ditidurin aja ya gue gak papa juga, sih.”

Renata meledak dalam kekehan marahnya, “enak aja!” ujarnya sambil memukul bahu Jayson, berharap pria itu kesakitan dengan pukulannya.

Alih-alih mengaduh, Jayson meraih kepalan tangan yang memukul bahunya dan membawanya dalam pelukan hangat. “Kangen banget gue sama lo.”

Renata di pelukan Jayson bergumam sambil mengerucutkam bibirnya, “kangen gue apa kangen anak lo?”

“Kangen lo lah,” ujarnya lalu mengecup singkat puncak kepala Renata, “butuh banyak effort buat gue gak kesini datengin lo. Kalo Juan mah, gue udah beberapa kali ketemu.”

“Heh? Kok bisa?” Renata melepas pelukannya lalu mengerutkan keningnya bingung, “jelasin gak? Kalo gak jelasin gue bakalan marah—literally marah beneran!”

Jayson menariknya kembali dalam pelukannya lagi dan terkekeh, “iya ini mau jelasin. The day after Juan's birthday, tiap tahun, menurut lo Juan kemana?”

“Sama Ruby dan Winar—son of a bitch!” Renata memukuli dada Jayson, baru tersadarkan oleh sesuatu. “Lo lo pada bohongin gue! Anjing banget! KEK KENAPA SIH HARUS BO'ONG?!”

Dengan lapang dada, ia terima segala pukulan di tubuhnya. He deserved it anyway, for a years. “Udah mukulnya?” tanyanya ketika Renata berhenti memukulinya dan duduk di sofa dengan tatapan yang tidak bersahabat.

“Sakit,” komentarnya dengan tangan memijat tangan yang lain. Ya, tangannya jelas kalah saing dibanding dada bidang Jayson yang entah ia latih berapa set tiap harinya.

Jayson menghampirinya, berjongkok di depan Renata sambil menahan senyumnya. “Sorry-sorry, masih sakit?”

“Masih,” jawabnya polos, tiba-tiba garis bibirnya melengkung ke bawah, diiringi tetesan air di matanya yang mendadak membanjiri pipinya. “Lo segitu gamaunya ketemu gue ya, Jay? Segala pake ngusir gue buat ketemu Juan. Palingan lo kesini juga mau ketemu Juan kan? Gak mau ketemu gue, kan? Iya, kan?”

“Bukan gitu,” gumam Jay pelan dengan ibujari menghapus bulir di wajah istrinya, “gue malu ketemu lo, masalah belum kelar tapi berani-beraninya muncul.”

“Kalo sekarang gimana? Udah kelar?”

“Udah.”

“That's why you're here?”

“That's why I'm here.”

Renata menarik nafas panjang, mengisi rongga dadanya yang kekurangan oksigen. “Start explaining,” ujarnya melepas pelukan Jayson dan mengesampingkan keinginannya untuk berlama-lama berpelukan, karena ia butuh jawaban.

Jayson ikut duduk disamping Renata, memutar otaknya—jujur, iapun bingung harus menjelaskan semuanya darimana. “Kamu jangan marah, ya?”

Renata menaikkan satu alisnya, ada apa nih tiba-tiba aku-kamuan? batinnya bertanya pada keadaan, saking lamanya mereka tidak semesra barang memanggil satu sama lain dengan sebutan aku dan kamu.

“Aku minta tolong ke Winarta sama Ruby, buat bujuk kamu pergi dari Indonesia.”

“What are you talking about, Jay?”

Jayson mengusap anak rambut Renata yang berwarna kecoklatan, tersenyum memohon agar Renata tak emosi ketika tahu kebenarannya. “Aku takut kamu kenapa-napa jadi aku jauhin kamu dari Theo, selagi aku ngurusin ini itu sama Carlos, sama satu orang lain juga.”

“Labuan Bajo gak cukup jauhin aku dari mereka?”

Reaksi yang sangat normal dan Jayson memaklumi itu semua. Dengan tetap memasang tampang tenangnya, Jay bergumam, “aku takut kamu kenapa-napa, Renata. I'm sorry kalau caranya harus kayak gini, tapi aku lega kamu aman.”

“Secara fisik, iya. Mentally? No, you god damn! Gue kangen lo! Banget! Every god damn night gue sembayang, berharap lo dateng, just to see me, and thinking about is he okay or not ya, Tuhan?, cuma itu.”

Dua lengan Jayson merengkuhnya lembut, “I miss you too, tapi sekarang udah selesai, Ren, kita akhirnya, beneran, literally, defenitely, bisa sama-sama lagi. Sama Juan juga.”

“Beneran?”

Jayson berbisik kecil, “beneran. Aku mau tebus semua lima tahun waktu yang terbuang, karena habis ini kita gak bakalan pisah lagi. Okay?”

#tragedy

Semilir angin malam hari di kota Jakarta menyapu anak rambut Jayson, samar-samar menyelinap ke balik remang-remang bulu kuduknya dan membuatnya bergidik kecil. Belum pernah ia merasakan kota kelahirannya itu sesejuk malam itu.

Kehadirannya di Hartono Residence malam itu bukan sebagai seorang anggota keluarga Hartono yang pulang kampung ke keluarganya, melainkan hendak mengakhiri perang yang beranggotakan dirinya dengan saudara paling besarnya, Theo. Hampir saja ia kehilangan kendali atas dirinya dan menyeret kakaknya itu keluar dari ruang CEO yang baru setahun Theo tempati. Namun tidak, Jayson Hartono memilih berdamai dengan pertempuran yang adil tanpa melibatkan pertumpahan darah.

Classic Jayson Hartono. Bersikap tenang layaknya air, tapi bersiaplah tenggelam jika berani bermain-main dengannya.

Setelah semuanya selesai, ia bersumpah bahwa itu akan menjadi malam terakhir Theo sebagai tirani dalam rantai pergerakan Hartono Group. Mengetahui fakta kematian Opanya jatuh di tangan abangnya itu, belah kasihnya seolah lenyap, termakan api kemarahan yang bengis. May you Rest in Peace, Opa, tolong doakan saja cucu tertuamu itu karena malam ini aku membawa lembah keruntuhan untuknya.

Tapi takdir seolah berkata lain malam itu. Tak seperti biasanya, ada yang terlewat dari agendanya. Theo tak pulang ke rumah inti seperti biasanya. Dan Aurora.. adiknya yang lebih muda lima tahun darinya itu pun belum memberinya kabar perihal pertemuannya dengan Theo.

Merasa ganjil, ia buru-buru memasukkan dirinya ke sembarang mobil di garasi, mengemudikannya ke suatu tempat yang ia yakini sebagai lokasi terakhir Theo. Yamatsu Resto, tempat bertemunya Theo dengan Aurora.

Sepanjang perjalanan, Jayson mencoba menghubungi Aurora. Perasaannya tak karuan, berharap-harap cemas.

“Angkat, Ra..,” gumamnya gelisah, matanya memperhatikan jalanan yang anehnya ramai di pukul sepuluh malam.

Tidak aneh lagi ketika mobil ambulance nampak di depan Japanese Restaurant yang terkenal udonnya itu. Massa mengerubungi pintu depannya, memblokade pandangan Jayson yang mengintip dari kaca depan mobil. Ia keluar dari Tesla silver, koleksi resmi di bawah nama Hartono Group dan membelah lautan manusia yang menyaksikan sebuah tragedi ngeri.

Seorang wanita dua puluhan, tergeletak tak bernyawa di ruang VIP seorang diri tanpa bekas lebam apapun disekujur tubuhnya. Petugas medis memberikan pertolongan pertama, tapi naasnya tak terselamatkan karena nyawanya telah melayang jauh sebelum mobil ambulance datang. Dugaan awal kematian: serangan jantung fatal. Dugaan kedua: food poisoning, alias keracunan makanan.

Dan wanita itu adalah Aurora Hartono.


Berhari-hari menyalami para kolega bisnis Hartono yang jumlahnya tak terkira, para anggota keluarga Hartono yang tersisa yakni: Theo, Jayson, Carlos beserta istrinya Jovanka, berdiri mengelilingi peti mati Aurora. Wajah mereka sendu, hanya satu wajah yang menampakkan senyum, wajah Aurora yang ada dalam peti—menutup mata untuk selama-lamanya. Acara rumah duka Hartono siang itu diakhiri dengan penutupan peti anggota termuda keluarga Hartono, sekaligus acara final sebelum Aurora benar-benar dimakamkan di makan keluarga.

Peti mati ukiran kayu cendana yang menaungi Aurora beraroma khas, kokoh dan nampak berat. Begitu kontras dengan penampilan mayat Aurora yang anggun dalam balutan dress putih favoritnya. Tersenyum di wajah kematian yang tak pernah semua orang duga. Lagipula siapa yang bisa menduga kematian seseorang?

Jayson melirik sepupu tertuanya, Theodore. Tidak sopan rasanya meninju wajah saudaranya di depan mayat Aurora yang bahkan belum dimakamkan. Sunglasses hitamnya mungkin menutupi sorot kejamnya dari orang-orang, tapi Jayson tahu, pria itulah dalang dari pembunuhan Aurora.

Ketika kotak peti itu ditanamkan ke dalam liang lahat perlahan-lahan, Jovanka memeluk Carlos, tak kuat menahan isak tangisnya yang banjir. Carlos memeluknya dengan sebelah tangan, tangan lainnya sibuk mengusap kecil airmata yang terus menetes dari sudut matanya. Jayson menatap nanar pemandangan yang tak pernah masuk ke rencana akhirnya, dan berakhir berjalan mendekati Theo yang terdiam tak banyak cakap.

“Congratulation, you kill one of us,” gumam Jayson lirih, menaikkan kacamata hitamnya yang melorot di pangkal hidungnya.

Theo meliriknya, tak bisa berekspresi berlebihan karena dalam radius beberapa meter, media memberitakan pemakaman Aurora Hartono dari kejauhan. “You made me do this, you happy now?”

“This change everything,” kata Jayson mendeklarasikan gencatan senjata, “just wait, I'm gonna bring the hell to you after this.”

“I'll be here. Waiting.”

#the perks of missing someone

Pertama kali dalam sejarah hidup Ruby Saputri, ia mengalami anxiety. Kecemasan berlebihan hingga tangannya basah oleh keringat dingin. Padahal diantara ia dan sobatnya Renata, dirinya mengklaim bahwa Renata-lah yang sering diserang perasaan khawatir berlebihan itu. Ada goncangan sedikit dalam hidupnya, Renata langsung panik.

Berbanding terbalik, dirinya bisa dikatakan sebagai orang yang easy-going, lebih flexibel, lebih banyak masa bodoh. Tapi siang itu ia seperti buronan, menggendong seonggok daging yang baru saja lahir dalam gendongannya seolah dirinya mencuri Juan dari genggaman sang ibunda. Tuh anak pasti panik kalo bangun-bangun anaknya udah gaada di flat.

Begitu sampai di the Ritz London, hotel berbintang yang jadi tempat bernaungnya Jayson itu, barulah Ruby bisa bernafas dengan lega. Melihat bayi usia semingguan itu tidur nyenyak di pelukan Jayson, membuat Ruby menatapnya penuh haru. Ternyata mantan CEO Hartono yang katanya serem itu cukup lihai menghadapi seorang bayi, koreksi. Bayinya.

Winarta melirik Ruby yang duduk di sofa, lalu menghampirinya sembari menenggak bir kalengan. “Kucing-kucingan gini seru juga.”

“Seru lo bilang?” Ruby mendesis, “ya gue seneng Jayson bisa ketemu Juan, believe me I'm fucking happy, tapi kalo tiap kali Jayson mau ketemu Juan and I've got to lying to Renata, I cant do this forever.”

“Not forever,” gumam Winarta.

Ruby beranjak dari duduknya, menghampiri kamar tidur utamanya yang dihuni Jayson beserta Juan yang anehnya tak menangis sama sekali. Tak tega rasanya untuk hanya berkata bahwa sudah saatnya Juan pulang, karena cepat atau lambat Renata akan merasa ada yang janggal.

Juan menyandarkan kepala mungilnya ke bahu kokoh Jayson, terlelap dalam diamnya seiring telapak tangan Jayson yang besarnya sepunggung Juan itu mengusapnya lembut. Tatapan pria awal tiga puluhan itu teduh, seolah tak ada rasa lelah sedikitpun walau telah menempuh bermil-mil jauhnya tapi langsung menggendong Juan daritadi. Hampir tiga jam, dan Juan masih berada dalam dekapannya.

“Sorry, Jay,” gumam Ruby pelan, takut Juan di pelukannya bangun, “gue harus buru-buru balik soalnya tadi bilang ke Renata cuma jalan-jalan.”

Ada ekspresi kecewa dari wajah Jayson yang mengangguk-angguk mengerti. Ia menyerahkan Juan, terlihat belum puas dengan quality time nya bersama anaknya. “Mau dianter ke flat? Gue ada supir di bawah.”

Ruby tertawa kecil, “naik Rolls Royce lo? Ya penyamaran lo bakalan dengan gampang terbongkar lah! Udah gue dianter Winarta aja.”


Dusta jika Jayson tak mempertanyakan bagaimana keadaan bagian dirinya yang lain—Renata. Ia ingkar pada janjinya sendiri ketika ia berdiri di simpang jalan Harrington, berada di tengah-tengah lalu lalang berbagai ras manusia, hanya untuk menengadah memandangi flat lantai dua yang ia beli dengan nama orang lain.

Charles Keith. Irish guy yang bersedia dipinjam namanya itu sudah cukup meyakinkan di mata Renata.

Kakinya terpaksa terpaku, tak berani melanggar sumpah lebih keruh. Semua perlakuan diluar rencananya ini didasarkan oleh rindu, rindu yang anehnya begitu candu. Jika rindu adalah perlombaan, sudah ia menangkan kompetisi itu ribuan kali walau tak ada gelar penghargaan yang akan ia dapat.

Ia memaksakan kakinya melangkah pergi, kembali memberi jarak pada rasa rindunya yang membuncah. Karena ia yakin, ketika jarak ada diantara dirinya dan Renata, yang terpisah hanyalah raga.

Tunggu Ren, tunggu gue balik. Janji yang ini gak cuma sekedar janji, tapi udah jadi sumpah.

#mistake

“Lo positif gila apa gimana?”

Renata akui, dirinya agak kelewat batas dengan meng-iya-kan permintaan Shella Hartono—wanita yang menyerangnya secara psikis dan mental—untuk datang berkunjung ke Labuan Bajo. Ya, Labuan Bajo tempat Renata mengistirahatkan sejenak ketegangan diantara dirinya dan keluarga Hartono.

Ruby menggerakkan telunjuknya ke layar ponsel Renata, membaca berkali-kali direct message sederhananya bersama Shella kemarin. “Lo yakin dia bisa dipercaya?”

“Gue gak tau,” jawab polos Renata, “tapi kemungkinan apa yang bakalan terjadi? Gue resmi cerai sama Jay secara hukum, dia juga mau cerai, jadi gue pikir dia ngerasa gue bakalan ngerti perasaan dia.”

“Hello?” Ruby mengernyitkan keningnya heran, “we're talking about Shella, the woman version of snakes, lo lupa? Jangan karena dia melahirkan dia bakalan berubah, no fucking way, snake is snake.”

Renata membuang muka, “kalo sampe dia ngerencanain sesuatu, Jayson pasti tahu.”

Kekehan Ruby yang terdengar dibuat-buat itu sangat sarkastik. “Maybe Jayson knew, tapi dia gak kasih tahu lo karena dia juga bagian dari rencana ini. Wake up, Princess, you're no longer the Crown Queen of Hartono.”

“We'll see,” jawab Renata agak tersinggung kalimat Ruby yang terlampai sinis, “hari ini dia flight dan kita lihat dia udah berubah apa belum.”

“Oh, you wanna bet?”


Shella Hartono tak datang sendirian. Seorang wanita lain ikut bersamanya, mengenakan seragam suster merah muda-putih untuk menjaga bayinya yang baru lahir. Dan satu bodyguard berbadan gempal yang berwajah sengak.

Wow, begitulah kehidupan istri CEO Hartono Group. Well, soon to be mantan, kalau ceritanya yang sempat menghebohkan batin Renata itu benar.

Setelah berbasa-basi, mengobrol santai dan membiarkan wanita itu menginap semalam, Ruby menyelipkan lembaran seratus dollar ke balik tangannya. Tanda kekalahannya pada pertaruhan kecil-kecilan mereka karena Shella teridentifikasi datang sebagai kawan, bukan lawan.

Entah itu anugerah atau apa, Tuhan sepertinya menurunkan sifat belah kasih dan cinta bersamaan dengan lahirnya makluk kecil nan mungil dari rahimnya. Shella sendiri menyadari bahwa dirinya bukanlah versi terbaik dirinya sebelum ini, tapi semenjak melahirkan Liliana, hasrat dirinya untuk menjadi lebih baik muncul. Ia ingin menjadi contoh yang baik untuk Lily, sesederhana itu.

“I don't know how to say sorry for everything that I've done to your bestfriend,” gumam Shella, menenggak segelas sampanye ringan alkohol sambil duduk santai di pinggiran kolam renang, bercengkarama di sisa sore itu bersama Ruby sementara Renata dan bayinya berenang di dalam kubangan kolam renang private itu. “I mean, gue gak sadar selama ini bisa sejahat itu, how could I do that? Am I terrible mother to my child?”

Ruby yang telah mengubah perspektifnya dan mengusap telapak tangan Shella, “lo beruntung sih, Renata orangnya agak pelupa jadi dia kayaknya dah lupa kenapa kalian gak begitu akrab.”

Mau tak mau Shella tertawa, melambai kecil ke arah Renata yang bermain bersama Liliana di atas pelampung mungilnya. “Gue gak mau sok tahu atau apa tapi pengaruh Hartono kuat banget ke gue. Theo push me over, Carlos yang dingin kayak kutub utara, dan Aurora yang benci gue gatau kenapa. Harusnya gue bisa ya deket sama Renata, ya secara kita sama-sama menantu, harusnya bersatu gitu tapi entah kenapa gue—”

“Udah,” potong Ruby tersenyum kecil, “Renata aja udah maafin lo, you should have mercy to yourself, healing itu gak cuma menyembuhkan diri tapi juga belajar memaafkan diri sendiri.”

“Thanks, gue seneng Renata punya sahabat kayak lo,” gumam Shella memejamkan matanya, seperti hendak membeberkan aibnya di ruang pengakuan dosa. “Dan, gue mau jujur sesuatu ke lo, sebelum ngaku ke Renata.”

Dari yang senyum-senyum, wajah Ruby berubah curiga. “What? Tolong jangan hancurin kepercayaan Renata, karena kita berdua udah percaya banget sama lo dan—”

“Ren!” seru Shella, melambaikan tangan sembari memanggil sosok yang menemani anaknya belajar berenang.

Ruby panik, “lo ngapain panggil Renata? Just remember, dia itu hamil, jangan dibikin mental breakdown!”

Renata yang merasa terpanggilpun naik ke pinggiran kolam perlahan-lahan dan mengenakan bath robe putih. “Kenapa, Shel? Liliana udah waktunya bobo, ya?”

“Duduk sini, gue mau ngomong jujur ke lo,” kata Shella sambil menepuk space kosong di sebelahnya dengan senyuman kecut, “ngomong jujur means ngaku dosa.”

Pandangan Renata kebingungan, menatap Ruby bergantian dengan si pendatang baru Shella. “Ada apa, nih? Jangan bilang kalian berdua mau ngerjain gue, ya?”

“Theo tahu rencana lo sama Jayson.” Shella memberi kode kepada suster yang merawat anaknya untuk menidurkan Liliana sebelum melanjutkan ucapannya. “Makanya dia suruh gue dateng, mau cek semuanya dan laporin ke dia. Awalnya gue kesini juga dengan alasan itu tapi ngelihat lo—lo baik banget sama gue dan anak gue, Ren, lo sambut gue dengan tangan terbuka after what I did before this. Gila sih lo, Ren, kok bisa sih lo gak benci sama gue—”

“—maafin gue, ini gue beneran minta maaf dan gue beberin semua ke lo. Abang gue ngelacak Jordan Hendrawan dan ternyata dia tahu itu cuma nama, cuma identitas tanpa orang.”

Renata kaget, ia rasa ada yang bergejolak dalam kandungannya. Oh, anaknya itu seperti ikut mendengar ucapan Shella barusan dan ikut terkejut. “Jadi, lo mau laporin apa ke Theo?”

Shella mengernyit bingung, “terserah lo, Ren, gue dukung lo seratus persen. Dengan minta maafnya gue ini gue gak mau lagi bersebrangan sama lo, Ren, gue mau kita temenan. Jadi, terserah lo ini gue ngikut aja.”

“Lo yakin? Terus nasib lo sama Liliana?”

“Mungkin gue mau ikutin jejak lo, kabur dari Hartono kali, ya? Lagian Lily juga bukan anaknya Theo.”

Ruby terkekeh kaku menatap Renata, “maksud lo kabur?”

“Please,” gumam Shella sambil tertawa, “gue lihat tiket fisik lo di meja makan. London? Nice choice!”

“Lo bakalan ngabarin ini ke Theo, ya?” tanya Renata memastikan.

Shella menambah intensitas tawanya, ia menuang lagi gelas kosongnya dengan sampanye dan menyesapnya perlahan. “Lo baru aja jadi menantu di keluarga Hartono, Ren, you have no idea lo berurusan sama siapa.”

“Maksud lo?” Ruby bertanya, ikut penasaran.

“Gue gak akan bilang, gue bakalan rencanain pelarian gue sendiri sama Lily soon, tapi lo yakin rencana lo ini gak risky?” Shella mencondongkan badannya ke arah Renata dan bergumam pelan, “gue gak bermaksud jelek tapi mending deh lo omongin sama Jayson. Lagian kalian juga udah sejauh ini, apa gak sayang kalau tiba-tiba lari gitu aja?”

Renata berdeham, menahan emosi Ruby yang akan meledak-ledak. “Gini, Shel, bukan gue gegabah atau gimana tapi rencana Jayson gak ada kemajuan sejak kepilihnya Theo jadi CEO. Harusnya dia udah bisa bebas dong dari tanggung jawab Hartono, tapi kayaknya emang Jayson aja yang gak mau ninggalin nama keluarga dia.”

“Can't agree more,” komentar Shella lirih, “sekeras apapun lo berusaha, Jayson gak akan bisa tinggalin Hartono segampang itu. Apalagi ada Carlos dan Aurora. Gue gak tahu hubungan lo sama Jayson kayak gimana tapi gue tahu hubungan Jayson sama dua adik-adiknya. He such a good big brother, selalu ada buat Carlos dan Aurora.”

Ruby memicingkan matanya, “lo gak ngomong gini cuma biar Renata pergi dan bikin Jayson terpuruk, kan?”

Shella tak tersinggung, ia malah terkekeh karena tuduhan tak beralasan dari Ruby itu seperti tombak tumpul tak kena sasaran. “Terserah kalian mau percaya apa enggak, tapi I've been there, Ren, gue udah jadi menantu Hartono lebih lama dari lo dan cukup lama tinggal di rumah inti buat tahu kelakuan satu per satu keluarga gila ini.”

“Gue gak mau tinggalin Jayson di circle keluarganya yang kayak gini, Shell.”

“Tapi apa dia mau lo ajak pergi? Enggak, kan? It's your choice, Renata, whether you choose stay and stay like this forever OR you can leave, before its too late.”

#doubt

Kedatangan Ruby dalam diamnya bagai pucuk anak panah yang siap melesat ke batok kepala Renata. Tatapannya tajam, gesturnya terlihat penuh dengan kemarahan, dan kebisuannya membuat Renata gila. Tidak pernah ia melihat cewek itu sinis begitu terhadapnya.

“Ruby, gue mau jelasin semuanya, mau dengerin?” tanyanya melawan rasa anxiety disekujur dadanya sembari mengelus-elus permukaan perutnya yang kian membesar.

Ruby menjatuhkan kantung belanjaan besar, sengaja membanting bahan-bahan dapur tak bersalah itu ke meja, lalu ia berdiri berkacak pinggang di samping kulkas. “Jadi lo selama ini bohongin gue? Iya, Ren? Lo bilang udah gak ada hubungannya sama Hartono-Hartono sialan itu, then here we are, we live in Hartono's Beach House berbulan-bulan for God's sake!”

“Listen,” kata Renata menarik nafas dalam-dalam, “ini beach house atasnama gue dan semuanya emang udah direncanain sama Jay.”

“Jadi lo gak beneran cerai sama Jay?”

“Legally? Yes.” Renata mendekati sahabatnya itu dan menenangkannya lewat sentuhan. “Emang mana ada sih, By, cerai di hadapan Tuhan?”

Ruby mengangguk-anggukan kepala, mulai tenang. “Tapi kenapa lo gak cerita ke gue? Gue kira lu udah gak ada sangkut-pautnya sama Hartono lagi. Gak capek apa, Ren? Gue orang luar aja capek liat lo begini terus.”

“Capek, By, capek lahir batin gue. Tapi Jay lagi ngusahain semuanya, dia lagi cari jalan biar bisa keluar dari lingkaran setan keluarganya. Buat gue, buat anak kita.”

“Ya right.”

“Beneran.” Renata menarik Ruby untuk duduk di meja makan dekat dapur, “semua aset dia dialih nama ke nama samaran, Jordan sama Regina Hendrawan.”

“So you guys make a clone? Nice.”

Renata terkekeh, “percaya deh, By, gue gak bisa tinggalin dia bareng si Hartono lain yang gila harta. Gue gak bisa mengulang sejarah trauma masa kecil Jayson lagi, Ruby.”

“Gue gak tau apa yang Jay bilang lo. Oke. Gue gak tega liat anak lo gapunya bokap, tapi here's the thing, Ren.”

“Theodore Hartono udah jadi CEO, Aurora mau masuk ke jajaran dewan, Carlos? Dia tetep di posisi Direksi Operasional. Jayson? Dia udah keluar dari Hartono. Dari mana gue tahu? It's all over the news, dumbass! Lo dibohongin mantan suami lo AGAIN!”

“Enggak, By, gue tahu—”

“No no no, you don't understand, Renata!” Ruby menaikkan nada ucapannya karena lawan bicaranya terlalu lugu, “dengerin gue. Kalo emang rencana Jayson buat ninggalin Hartono dan dia mau bersama sama lo, sama anak lo, then where's him now? Dia tinggalin lo disini, apa itu yang lo bilang ninggalin Hartono dan mau hidup bareng lo? I guess no.”

Ruby begitu jelas memaparkan realita, sudah cukup tamparan yang ia layangkan padanya hingga Renata tak lagi bisa mengelak. Tapi di sisi lain, kepercayaannya yang begitu besar untuk Jayson juga tak bisa dianggap sepele. Ia sudah sejauh ini mengarungi rencana pria itu, sayang sekali harus gugur di tengah jalan akibat perkataan Ruby yang begitu meyakinkan dan terdengar realistis ketimbang happily ever after yang direncakan Jayson.

Lah iya bener juga, lo bego juga ya Ren?

“Lo mau saran dari gue?”

Renata menatap manik Ruby, bergantian yang kanan dan yang kiri, lalu mengangguk perlahan karena ternyata dirinya sehopeless itu pada jalan takdirnya.

“Mumpung ponakan gue ini masih enam bulan, ayo kita pergi, Ren, kita gedein bareng. Gini-gini gue dulu pernah ngurusin bayi di panti asuhan.”

“Are you sure?” Nyali Renata menciut, untuk kabur sejauh ini—sampai ke Labuan Bajo—dengan rencana matang dari Jayson saja ia ragu, apalagi tanpa rencana begini.

“Lo masih ada duit?”

Renata meringis dengan pertanyaan Ruby, “ikut gue ke kamar gue sini.”

“Dih apaan lo? Gila karena Jayson lo ngajak gue lesbian?”

“Lo mau tau gue ada duit apa kagak?” jawab Renata emosi dengan toyoran di kepala Ruby yang lumayan sakit.

Ruby mengusap kepalanya pelan sembari mengikuti si ibu hamil masuk ke dalam kamarnya. Ia manatap Renata penuh pertanyaan ketika wanita itu menarik sesuatu dari bawah ranjang, tas camping besar warna gelap.

“HOLY MOLLY—,” spontan Ruby membelalakkan matanya melihat isi tas camping itu yang penuh dengan uang pecahan 100 US Dollar, “darimana lo dapet duit Dollar segini banyak, woi?! Lo jual diri?”

Renata mengambil satu bandle uang dan menimpuk mulut Ruby yang kurang ajar. “Jayson bilang kalo gue bawa duit Rupiah bakalan kelacak sama Hartono, jadi tiap minggu gue ke bank tuker beberapa duit biar jadi Rupiah.”

“Anjir,” komentar Ruby dengan mulut melongo, tak pernah ia lihat begitu banyak wajah Benjamin Franklin terpampang di dalam tumpukan uang kertas itu. “Duit segini sih bisa dijadiin modal bisnis, lo masukan deposito, bunganya bs bikin lo idup bertahun-tahun.”

“I was thinking about deposito juga, tapi duit sebanyak ini bakalan kelacak sama Bank Indonesia,” kata Renata duduk di pinggiran ranjang, “kalo kelacak Bank Indonesia, jelas kelacak sama keuangannya Hartono. Kelacak Hartono, ya ntar Theo tahu. Theo tahu, Jayson tahu, dahlah males mikir gue capek.”

“Book flight ke London, sekarang.”

Renata mendesah, “By, gue gak yakin mau terbang disaat gue hamil gede begini.”

“Lo cuma enam bulan jangan manja!” Ruby berkacak pinggang lagi, “lo mau disaat perut lo sembilan bulan terus tiba-tiba duit ini diambil alih Hartono dan lo lahiran tanpa uang sepeserpun? Udah buruan kita kabur, gue yakin gak lama buat Jayson bisa khianati keluarganya cuma buat lo. Remember, lo orang lain, sedangkan mereka saudaranya.”

“Tapi—”

“Lo kira diantara kalian siapa yang Jayson pilih? He choose blood, blood is thicker than anything in this world, Renata, would you please ikutin aja rencana gue?”

“Tapi anak di kandungan gue juga—”

“Blood?” Ruby memotong ucapan wanita di depannya sambil terkekeh sarkastik, “sekarang gue tanya ke lo. Jayson Hartono ninggalin nama besar keluarganya, living a simple live with you and your baby. Is it cliché or he just dumb? Gak mungkin buat orang kayak Jayson ninggalin dinasti keluarganya. Periodt.”

#die hard

Setelah Mahesa mampir ke kantornya untuk memberikan laporan akhir dari kegiatan bulanan Hartono Resort, Carlos masih terduduk di mejanya. Jam sudah lewat pukul tujuh malam, tak pernah dalam sejarah hidupnya ia bertahan di kantornya sampai malam hari. It creeps him out. Takut dirinya menjadi sosok yang workaholic lebih tepatnya.

Entah sudah berapa kali ia mencocokkan berbagai kejadian beberapa bulan belakangan ini yang ia lalui. Mulai dari abangnya Jay yang ingin memecatnya dari posisi Direktur Operasional yang kemudian membuatnya beralih kepercayaan ke abangnya Theo. Lalu perceraian kontroversial Jay yang baru beberapa bulan menikah, disusul dengan hengkangnya abangnya itu dari kursi CEO yang kemudian diambil alih Theo dan kemudian dirinya yang menggabungkan semua kejadian itu dengan laporan Mahesa yang bilang Jay masih berhubungan baik dengan sang mantan istri. Tak luput juga, kenapa tiba-tiba abangnya peduli dengan kandungan Jovanka dan mendadak ingin test DNA padahal selama ini Jovanka ada di rumah inti saja ia tak acuh.

Kalau jeli, ia bisa mencium aroma gosong dari kepalanya karena having too much on his plate.

Tapi kemudian ia mengintip berkas kecacatan dalam laporan Precast di pulau Kalimantan tahun 2018 yang terkesan dibuat-buat. Lalu beralih ke laporan Mahesa perkara penyelidikkan kecilnya tentang penerbangan yang ditumpangi Jayson Handoyo setiap bulan di tahun 2021. Kemudian loncat ke pesan chatting yang dikirimkan Jovanka, terlalu aneh jika semua ini tidak ada kaitannya.

Holyshit

“Bentar-bentar,” Carlos terkejut dengan ide aneh dalam otaknya, “apa bang Jay tahu ya? Holyshit.”


Di lorong yang sunyi itu, terdengar derap langkah dari sepasang sepatu fantofel mahal milik Carlos. Langkahnya agresif, menapakkan kaki jenjangnya menuju ruangan di sudut lorong, sudut paling eksklusif di gedung Hartono Group. Ruangan sang CEO sekaligus Presiden Direktur yang menjabat sejak kepergian sang perintis, Surya Hartono.

Ruangan kakaknya, Jayson Hartono, tidak pernah seredup itu di mata Carlos. Ia mengintip dari luar ruangan, sangat jelas karena dinding ruangan itu hampir seluruhnya terbuat dari kaca yang transparan. Kerongkongannya dengan kasar menelan salivanya sendiri begitu wajah pemilik ruangan menyadari kehadiran Carlos, seolah menunggu untuk dikunjungi sang adik.

“Bang, I can explain,” ucapnya begitu membuka pintu kaca, walau si penghuni kursi kebesaran kakeknya itu tak mengucapkan sepatah katapun. “Gue—” kata-katanya berhenti, termakan oleh kegugupannya sendiri.

Shit! Carlos gemetaran hanya karena tatapan dingin kakaknya seolah mengintainya. Bibirnya mengatup rapat, rahangnya mengetat dan matanya—Carlos bisa saja terintimidasi begitu saja hanya dengan tatapan mata itu. Pesona abangnya sebagai pemegang posisi tertinggi di Dinasti Perusahaan keluarga memang tak perlu dipertanyakan.

“Maaf, bang.”

Jay menarik satu ujung bibirnya, “what did you say? Maaf?”

“Gue gak punya pilihan lain, bang, pas lo tiba-tiba mau ganti posisi Direktur Operasional yang gue pegang—”

“Hold on, Car, apa?” Jay terbahak, ia menutup layar macBook di depannya dan mengernyit konyol di depan adiknya, “oh, Carlos, lo tahu kan diantara kita berempat—lo, gue, Theo dan Aurora—cuma lo yang gue percaya?”

Carlos mengedipkan matanya secepat yang ia bisa, selagi otaknya bekerja semaksimal mungkin memproses kalimat abangnya. “Bentar, jadi—?”

“Ya, lo dipermainin sama Theo,” potong Jay menertawakan kelinglungan Carlos, “lo tahu kan Chief HRO—Johnny Pratama—disini itu kakaknya Shella, naif banget lo kegocek bualannya Theo?”

“Motherfucker!” Carlos mengumpat, memundurkan langkahnya karena merasa alat pemompa darahnya merosot ke perutnya, “bajingan—jadi selama ini gue ditipu? Bang, sorry, bang, jadi selama ini lo tahu?”

Tangan Jay melipat di depan dada, “ya gue tahu, to be honest, gue tahu semuanya.”

Carlos mengacak rambutnya yang klimis, “fuck! Like everything—semuanya?”

Kepala Jay mengangguk tenang, “gue juga tahu kalo yang dikandung Jovanka bukan darah daging gue.”

“Bang, sumpah gue mau kasih tahu lo, Jovanka juga ngedesak gue tapi guenya aja yang bego,” kata Carlos membela diri, “dan soal kak Renata—”

“Don't you dare talking about my wife,” sela Jay cepat tak berempati, “untungnya Renata tahu rencana lo-lo pada, jadi sakit hatinya gak seberapa.”

“Kak Renata juga tahu?! Shit.” Carlos terkejut dua kali, nafasnya engap padahal di ruangan ber-AC. “Bang, gue minta maaf, gue bener-bener gak tahu soal Theo yang rekayasa keputusan lo dan Jovanka suruh gue buat ngomong jujur ke lo karena dia mau gue tanggung jawab.”

“Ya, gue tahu lo juga korban dari kelakuan Theo.”

Carlos menghembuskan nafas lega, “thank God, lo ngertiin posisi gue—”

“Oh! Itu gak membenarkan kelakuan lo sama Aurora memojokkan Renata dan buat dia depresi,” sela Jay lagi, berhasil membuat Carlos kembali deg-deg an. “Lo semua tahu dia hamil and she did nothing wrong, tega banget kalian sama dia.”

“Ya, gue tahu gue salah, tapi lo kenal Theo,” Carlos mengeluarkan alibi akhirnya, berharap-harap cemas agar setidaknya 100% kesalahan tak berada di pundaknya. “Dia ngancem gue. Dan soal penggantian Direktur Operasional itu—sumpah gue gak tahu.”

Jay beranjak dari duduknya, tangannya menepuk pundak Carlos. Seberapa ia bencinya adiknya itu, ia pastinya lebih benci Theo. “Jadi gimana?”

Carlos bingung, “maksud lo, bang?”

“Lo kira gue selama ini diem aja buat apa?” Jay tertawa lalu menampar kecil pipi Carlos, “biar lo dan Aurora paham, you put your trust on the wrong hand.”

Carlos melengos, akhirnya jantungnya kembali ke tempatnya semula begitu melihat senyuman tulus tercetak di wajah Jay. Ia memeluk abangnya kecil, “thanks, bang, and sorry buat semuanya. Tapi gausah khawatir, bang, gue bisa bujuk Aurora buat gak lagi percaya ke Theo.”

Langkah Jay berjalan ke arah bar, menuang whiskey di dua gelas sloki yang sama. “Lo gak usah khawatirin itu, Car, gue udah ada rencana sendiri buat Aurora.”

“Apa rencana lo? You better hurry up, soalnya Theo lagi cari-cari kesalahan lo biar lo bener-bener gak ada jabatan di Hartono, inget gak precast di Kalimantan?”

Jay menyodorkan gelas whiskey dengan wajah tenang, “oh little dirty secret is not secret anymore.”

“Wait, lo tahu?” Carlos melotot, menenggak whiskey dalam sekali teguk. “Damn, Bang! Apa yang lo gak tau sih?”

“Itu semua udah gue rencanain, Carlos,” gumam Jay sambil mengunyah es di gelas whiskeynya lalu menyeringai, “gue emang sengaja salah kasih laporan ke dewan soal proyek precast di Kalimantan sejak gue nikah, gue rasa dia bakalan ajak lo sama Aurora against me, dan ternyata bener. Dia kumpulin semua dewan, yakinin mereka kalo gue gak lagi becus sebagai CEO, dan bam! Dia mengajukan dirinya sendiri sebagai brand new CEO of Hartono.”

“Kita bertiga kelar sih kalo Hartono dipegang dia,” desis Carlos ngeri membayangkan kursi CEO diisi oleh Theodore, menyesal kenapa ia memvoting kakaknya yang paling besar itu.

“Gak lama kok, biarin Theo nikmati kemenangan dia sementara. Setelah itu gue—atau kita, kalo lo mau jadi bagian tim gue lagi—bakalan jadiin lo CEO yang baru setelah Theo.”

Carlos tersedak sisa whiskey di lidahnya, “gue? Kok gue? No offense to myself, tapi gue ini gak cocok jadi CEO, bang, serius.”

Jay mengangkat bahunya, “can't believe I'm gonna say this tapi lo kandidat paling potensial sejauh ini, Car.”

“Bentar,” Carlos membelalakkan mata ketika menyadari sesuatu, “lo pasti punya alesan buat ngelakuin ini semua, apa motif lo, bang? Kalo tujuan lo bukan jadi CEO masa depan Hartono, then what?”

“Jujur? Gue mau memupus harapan orangtua Theo buat kuasain Hartono. Kita semua tahu, tante Sarah itu anak pertama Opa, ambisi dia untuk kuasain Hartono besar. Karena dia cewek, Opa jadi kasih kekuasaan ke bokap gue. Dan sekarang ke gue.”

“Mamanya Theo gak bisa dapetin Hartono, jadi dia desak Theo buat jadi future CEO, no matter what it cost. Kita maklumi aja kenapa Theo kayak gitu,” kekeh Jay lalu duduk ke kursinya lagi, menyilangkan kaki bersamaan wibawanya yang nampak. “Lagian gue punya anak, Car, lo tahu kan kalo gue punya anak—”

“Lo mau keluar dari Hartono?”

“Secara terhormat,” tambah Jay lalu nyengir, “Renata sama anak gue much more worthy than this kinda shit.”

Hampir saja Carlos bertepuk tangan karena takjub. Orang-orang bilang, semakin tinggi jabatan pria, maka satu wanita saja takkan cukup untuknya. Tapi abangnya mematahkan omongan itu, ia menyerahkan the whole dynasty buat dunia kecil bernama keluarga. Ia, istrinya dan dirinya versi mini. Ini sih gak klise lagi namanya.

Carlos tertawa, “shit, I really am put my trust on the wrong hand.”

“Just remember, Carlos, if you want to be trusted, be honest.”

#no longer noname

Daddy's home

Belum semenit pesan itu masuk ke ponsel Renata, bunyi langkah kaki di lantai kayu rumah terdengar jelas dari tempat Renata duduk. Ia mendesah pelan karena harus berdiri dan menyambut kontak bernama noname yang telah menghiasi ponselnya sejak ia berpisah dari mantan suaminya, Jayson Hartono.

Tanpa dibukakan pintu, pria berbadan tinggi itu masuk dan lari ke pelukan Renata, menciumi tiap inchi wajahnya, dan turun ke perutnya untuk memberi benjolan di perut Renata ciuman juga.

“Daddy's here, kiddo!” ucapnya mengusap perut Renata yang mulai membesar, “proud of you for not making any trouble to Mommy.”

“Do you wanna know the sex?” tanya Renata, ia membelalak ketika tatapan pria di depan perutnya itu tak sesuai dengan yang ia bayangkan. “I mean, the sex of the baby!”

Pria itu tergelak, “I didn't expect much but okay, you can tell me.”

“It's a boy.”

Pria itu sumringah, ya siapa yang tidak sumringah mendapat kabar baik bertubi-tubi. “Minggu ini tuh happiness banget, Jayson Hartono hengkang dari Hartono Group, and I have a son!”

Renata tak begitu excited mendengar nama mantan suaminya disebutkan di berita yang tak menyenangkan. Apalagi pria di depannya adalah orang itu, bertingkah seolah orang lain padahal Jayson Hartono adalah dirinya sendiri. Entah tawa itu betulan ekspresi kebahagiaan atau hanya sebuah tawa sarkasme yang sering dilakukannya.

“Maksudnya?”

“Jayson Hartono dipecat, he's no longer a CEO of Hartono Group,” jawab pria itu kelewat sumringah, “yeah I know its kinda sad, tapi kabar baiknya, Jordan Hendrawan meluncur mulus masuk ke Hartono Group dan punya aset di keluarga Hartono. Kabar bagus, kan?”

“Kenapa kamu ngomong seolah Jayson Hartono itu orang lain? It's you, Jay!”

Pria noname yang tak lain dan tak bukan Jayson itu duduk di sofa dan memasang tampang penuh tanya. “Mungkin kamu mau panggil pake nama lain, karena sekarang namanya Jordan Hendrawan.”

“I hate Jordan,” kata Renata mengambil duduk agak jauh dari suaminya—yang secara hukum telah ia ceraikan, “gue lebih suka nama Jayson. Dan gue mau tetep panggil Jay, entah lo ngerasa kepanggil apa kagak terserah.”

“Kita kan udah ngomongin ini, Ren,” kata Jayson menghela nafas panjang sembari menggeser duduknya mendekati istrinya yang sedang hamil, “Jayson out, Jordan in. Thats the whole plan-nya.”

Mau tak mau Renata mengangguk. Untuk kali pertama, pelukan Jayson terasa sangat asing baginya. Semua rencana yang dibeberkan Jayson diawal pelariannya ke Labuan Bajo terdengar menyenangkan—awalnya. Sampai ketika ia sadar bahwa suaminya itu tak benar-benar bisa melepaskan Hartono Group, itu terlalu mengganggunya.

Membayangkan berganti nama dan identitas, melarikan diri, bertindak seperti orang lain, tapi kemudian tetap berada di lingkaran setan keluarga Hartono. Renata pikir Jayson lupa tujuan utama mereka untuk berpura-pura bercerai.


Dalam beberapa bulan belakangan, ketika putusan Pengadilan Agama resmi mengeluarkan surat cerai atas nama dirinya dan Jayson, ia senang bisa hidup tenang jauh dari hiruk-pikuknya Ibukota, terbang melewati berbagai kota demi sampai ke Labuan Bajo hanya untuk menghindari keluarga gila berkedok perusahaan satu biliun rupiah.

Tapi perasaannya tak lagi sama. Soal Jayson, keluarganya, dan semuanya. Ia bahkan teringat kembali mengapa ia mau melakukan semua ini.

flashback read chapter 119 first to know where this flashback exactly

Sampai di apartemen mereka di lantai sepuluh—atau bisa dibilang penthouse, Jay duduk di meja makan, menenggak segelas air mineral. Satu gelas penuh, frustasi setengah mati.

“Son of a bitch!” teriaknya membanting gelas kaca yang baru saja ia gunakan untuk minum. “What the fuck is wrong with that guy, huh?”

Here we come, Mad Jay, batin Renata tidak begitu heran dengan bantingan gelas itu. Ia mengambil duduk di sofa, menjauhkan janinnya yang masih terlalu dini untuk berada di tengah-tengah permasalahan ayahnya. “Who? Winarta? Kalo kamu marah aku pergi ke obgyn bareng Winarta, you deserve it, soalnya kamu sendiri malah tidur di pavilium KITA sama wanita lain!”

Alih-alih mengeluarkan argumen seperti perdebatan-perdebatan sebelumnya, Jay terkekeh sarkastik. Cukup membuat Renata menatapnya bingung dan menganggapnya gila. “Jay, are you okay?”

“Apa aku kelihatan baik-baik aja?”

No, you scared me, batin hati kecil Renata, semakin yakin dengan keputusannya meninggalkan jejak Hartono di masa depan anaknya kelak.

Tawa Jay yang mengisi kekosongan penthouse perlahan menjadi backsound film horror, menggelitik bulu kuduk Renata yang gampang berdiri. Ia melirik lagi ke suaminya yang duduk di atas bar, dengan kepala menunduk dan dua telapak tangannya di wajah. Bisu, hanya pria berantakan yang tiba-tiba menjadi bungkam tanpa sebab.

“Jay?” Renata bersuara lagi, kini lebih keras karena khawatir dengan suaminya. Langkahnya mendekat ke mini bar sembari menghindari pecahan gelas yang tersebar di sepanjang lantai dapur. “JAY? Sayang? Kamu kenapa?”

Tangan Jay melepaskan wajahnya, menampakkan wajah yang tak pernah Renata lihat sebelumnya. Acak-acakan. Matanya memerah dan rahangnya yang mengetat, lebih seperti orang yang memegang kuat-kuat amarahnya agar tak lepas kendali.

“Bajingan semua mereka, Ren,” ucapnya dengan tangan perlahan memeluk Renata di depannya. “Dan tega-teganya mereka jadiin kamu sasaran mereka! Berulang-ulang, what the fuck?!”

Sepertinya Renata tahu alur pembicaraan suaminya. “Kita ngomong baik-baik, ya? Kamu tenang dulu, oke sayang?”

Nafas Jayson dipelukan Renata berangsur tenang, tinggal pelukan pria itu yang masih mendekap Renata seperti takut tidak bisa memeluk dirinya lagi. Sepanjang menjalin kisah kasih dengan pria itu, belum pernah ia melihat Jayson Hartono dalam versi yang begini. Hancur, rapuh, tersesat.

Di mata Renata, Jayson selalu menjadi sosok yang kuat, berintelek tinggi, berpandangan luas, sometimes terkesan arogan. Entah itu pandangan Renata, atau memang Jayson ingin Renata melihatnya begitu. Mengingat puluhan trauma masa lalu yang Paris beberkan, mulai dari perceraian dini kedua orangtuanya, kakeknya yang mendidiknya begitu keras, hingga dirinya yang mau tak mau dipaksa memimpin dinasti keluarga Hartono. Dan sekarang, saudaranya sendiri mencoba menyingkirkannya dengan menghalalkan segala cara. Segala cara means menghancurkan pernikahannya, memfitnah, mengadu domba, nyaris saja membuat Renata gila.

“Theo—that motherfucker—berhasil ajak Carlos dan Aurora berpihak ke dia,” gumamnya, masih di pelukan Renata. “Mereka bahkan fitnah kita berdua, trying to separate us with Jovanka's situation. Ren, I would never sleep with another woman, kamu percaya kan sama aku?”

This is it, its time to spill what you know, Ren, come on, don't be shy.

“Actually,” Renata menarik nafas panjang, melepaskan pelukan Jay dan menyingkirkan anak rambut di wajah suaminya, “aku udah tahu semuanya, Jay, I overheard Theo and Shella's fights. Jangan salahin aku, mereka keras banget kalo adu argumen.”

“Kamu tahu?”

Renata menampar kecil wajah di depannya, “ya menurutmu kenapa aku gak marah liat kamu tidur bareng Jovanka di pavilium selatan, pavilium kita? Dah gila apa mereka, ya? Misahin kita pake cara yang fair dong, pake cara kayak gini tuh disgusting tahu nggak?”

Tak terduga, kekehan muncul dari wajah di depannya. Ya, Jay ngekek menunjukkan barisan gigi depannya, padahal menit sebelumnya wajah itu menunjukkan tanda-tanda depresi berat.

“Ketawa lu liat istri lu dikerjain sodara-sodara lu?”

Jay memeluknya lagi, “maaf, maaf, bukannya aku diem aja tapi aku lagi nyusun rencana, sayang.”

“Tell me, Jay, let me help you,” kata Renata menggenggam telapak tangan Jay, menatapnya tepat di manik tanpa berkedip berharap keseriusannya dapat terlihat. “Aku tahu kamu bisa, tapi this time I wanna involve myself. Mereka gak sakitin aku aja, mereka sakitin anak aku juga loh!”

“Anak kita,” koreksi Jay kilat, “ciee hamil.”

Renata menampar lagi muka Jay, menyadarkan pria itu bahwa itu bukan waktunya ia untuk cengengesan. “Jay, serius, apa rencana kamu?”

“Bikin Theo jadi CEO.”

“Habis mecahin gelas kayaknya otak kamu ikut pecah kececeran di lantai?”

Jay nyengir, “Theo itu banyak cacatnya—I mean di bisnis—gak lama dewan komisaris juga bakalan tahu, Carlos dan Aurora bakalan sadar kalau mereka cuma diperbudak sama Theo jadi mereka juga bakalan sadar—hopefully.”

“Terus?”

“Terus, selagi Theo jadi CEO, aku urus kepergian aku dari Hartono Group, sesuai janji aku kalo kita punya anak,” kata Jay sambil curi-curi ciuman, “aku gak bisa pergi gitu aja ninggalin warisan aku, Renata, this isn't about money lagi, this is about legacy. Sampai aku temukan CEO masa depan Hartono, aku gak bisa lari dari tanggung jawab aku. Jadi.. mau gak kamu sabar sebentar?”

Renata melebarkan tangan untuk kembali memeluk manusia di depannya yang memang tidak sempurna, tapi setidaknya ia mencoba untuk menutupi ketidaksempurnaannya dengan menepati janjinya. “Jadi kamu mau aku bantu apa?”

“Pura-pura cerai sama aku.”

“Do you ever listen to yourself?”

Jay terkekeh, “beneran, kita harus cerai. Buat seolah posisi aku di perusahaan emang layak buat digantiin. Tapi kita gak beneran cerai lah, dah gila apa cerai sama istriku yang paling cantik sejagad raya ini.”

“Oke, and then?”

“Kalau aku dah nemu pengganti CEO yang paling oke dan bisa dihandalkan, kita bisa balik lagi.”

Renata menghembuskan nafas kasar, “ada plan B nggak?”

Gelengan di kepala Jay jadi pertanda negatif, seolah hanya itu jalan satu-satunya jalan membuat dirinya bebas dari Hartono Group. “Gak ada cara lain, sayang, walaupun Theo jadi CEO pun, kita gak bakalan bisa hidup tenang bersama.”

Wajah Renata cemberut, “kalo aku kangen kamu gimana?”

“Aku beli ponsel baru, nomer baru. Kamu chatting aku pake nomer yang itu ya, karena bisa aja hape aku yang ini disadap, we'll never know jaga-jaga aja, dan—”

Jayson menuruni duduknya, berjalan ke arah suitcase nya yang ia lempar di depan pintu lift dan membawanya ke meja bar. “Say hello to the new us.”

Ketika Renata disodori dua paspor warna merah—yang mana tidak mungkin merupakan paspor buatan Indonesia—ia menatap ngeri suaminya. Ia membuka alat identitas internasional itu dengan jantung berdebar, its just a pasport, why are you acting like this?.

“What is it, Jay?” tanya Renata begitu melihat isinya. Itu jelas foto mereka di dua paspor itu tapi namanya bukanlah nama mereka. “Jordan Hendrawan? Regina Hendrawan? Lo mau kita berubah identitas? Lo dah gila?”

“Ren, mereka main kotor sama gue, Ren, sama kita berdua. Gue gak bisa biarin seluruh hidup kita direcoki sama mereka!”

Renata terkekeh sarkasme, “and what is the plan, again?”

“Seluruh saham kita berdua akan dibeli pasangan muda Warga Negara Malaysia, Jordan dan Regina. Kita emang keluar dari Hartono tapi anak kita masih berhak saham kepemilikan di Hartono, saham ini punya anak kita, Ren.”

“Terus Jayson Hartono sama Renata Hartono kemana entar?”

Terkekeh lagi, Jayson memeluk istrinya yang duduk di kursi bar sementara dirinya berdiri. “Mereka masih ada, sayang, tapi mereka bukan lagi fokusnya Theo. Jadi mereka aman selagi Jordan dan Regina ada, oke?”

“Gue suka nama Jordan, feels like I'm dating Michael B. Jordan.”

“You wish!”

flashback off

Renata melirik Jayson yang tidur di sisi ranjang sebelahnya, ingin sekali memutar waktu sebelum terlibat semuanya. Terlambat, kini pilihannya cuma dua. Tetap di sisi Jayson sampai semuanya selesai, atau mengeluarkan diri membawa janin di kandungannya sebelum anaknya benar-benar terlibat.

Know your limit, Renata, choose now or never.

Daddy's home

Belum semenit pesan itu masuk ke ponsel Renata, bunyi langkah kaki di lantai kayu rumah terdengar jelas dari tempat Renata duduk. Ia mendesah pelan karena harus berdiri dan menyambut kontak bernama noname yang telah menghiasi ponselnya sejak ia berpisah dari mantan suaminya, Jayson Hartono.

Tanpa dibukakan pintu, pria berbadan tinggi itu masuk dan lari ke pelukan Renata, menciumi tiap inchi wajahnya, dan turun ke perutnya untuk memberi benjolan di perut Renata ciuman juga.

“Daddy's here, kid!” ucapnya mengusap perut Renata yang mulai membesar, “proud of you for not making any trouble to Mommy.”

“Do you wanna know the sex?” tanya Renata, ia membelalak ketika tatapan pria di depan perutnya itu tak sesuai dengan yang ia bayangkan. “I mean, the sex of the baby!”

Pria itu tergelak, “I didn't expect much but okay, you can tell me.”

“It's a boy.”

Pria itu sumringah, ya siapa yang tidak sumringah mendapat kabar baik bertubi-tubi. “Minggu ini tuh happiness banget, Jayson Hartono hengkang dari Hartono Group, and I have a son!”

Renata tak begitu excited mendengar nama mantan suaminya disebutkan di berita yang tak menyenangkan. Apalagi pria di depannya adalah orang itu, bertingkah seolah orang lain padahal Jayson Hartono adalah dirinya sendiri. Entah tawa itu betulan ekspresi kebahagiaan atau hanya sebuah tawa sarkasme yang sering dilakukannya.

“Maksudnya?”

“Jayson Hartono dipecat, he's no longer a CEO of Hartono Group,” jawab pria itu kelewat sumringah, “yeah I know its kinda sad, tapi kabar baiknya, Jordan Hendrawan meluncur mulus masuk ke Hartono Group dan punya aset di keluarga Hartono. Kabar bagus, kan?”

“Kenapa kamu ngomong seolah Jayson Hartono itu orang lain? It's you, Jay!”

Pria noname yang tak lain dan tak bukan Jayson itu duduk di sofa dan memasang tampang penuh tanya. “Mungkin kamu mau panggil pake nama lain, karena sekarang namanya Jordan Hendrawan.”

“I hate Jordan,” kata Renata mengambil duduk agak jauh dari suaminya—yang secara hukum telah ia ceraikan, “gue lebih suka nama Jayson. Dan gue mau tetep panggil Jay, entah lo ngerasa kepanggil apa kagak terserah.”

“Kita kan udah ngomongin ini, Ren,” kata Jayson menghela nafas panjang sembari menggeser duduknya mendekati istrinya yang sedang hamil, “Jayson out, Jordan in. Thats the whole plan-nya.”

Mau tak mau Renata mengangguk. Untuk kali pertama, pelukan Jayson terasa sangat asing baginya. Semua rencana yang dibeberkan Jayson diawal pelariannya ke Labuan Bajo terdengar menyenangkan—awalnya. Sampai ketika ia sadar bahwa suaminya itu tak benar-benar bisa melepaskan Hartono Group, itu terlalu mengganggunya.

Membayangkan berganti nama dan identitas, melarikan diri, bertindak seperti orang lain, tapi kemudian tetap berada di lingkaran setan keluarga Hartono. Renata pikir Jayson lupa tujuan utama mereka untuk berpura-pura bercerai.


Dalam beberapa bulan belakangan, ketika putusan Pengadilan Agama resmi mengeluarkan surat cerai atas nama dirinya dan Jayson, ia senang bisa hidup tenang jauh dari hiruk-pikuknya Ibukota, terbang melewati berbagai kota demi sampai ke Labuan Bajo hanya untuk menghindari keluarga gila berkedok perusahaan satu biliun rupiah.

Tapi perasaannya tak lagi sama. Soal Jayson, keluarganya, dan semuanya. Ia bahkan teringat kembali mengapa ia mau melakukan semua ini.

flashback read chapter 119 first to know where this flashback exactly

Sampai di apartemen mereka di lantai sepuluh—atau bisa dibilang penthouse, Jay duduk di meja makan, menenggak segelas air mineral. Satu gelas penuh, frustasi setengah mati.

“Son of a bitch!” teriaknya membanting gelas kaca yang baru saja ia gunakan untuk minum. “What the fuck is wrong with that guy, huh?”

Here we come, Mad Jay, batin Renata tidak begitu heran dengan bantingan gelas itu. Ia mengambil duduk di sofa, menjauhkan janinnya yang masih terlalu dini untuk berada di tengah-tengah permasalahan ayahnya. “Who? Winarta? Kalo kamu marah aku pergi ke obgyn bareng Winarta, you deserve it, soalnya kamu sendiri malah tidur di pavilium KITA sama wanita lain!”

Alih-alih mengeluarkan argumen seperti perdebatan-perdebatan sebelumnya, Jay terkekeh sarkastik. Cukup membuat Renata menatapnya bingung dan menganggapnya gila. “Jay, are you okay?”

“Apa aku kelihatan baik-baik aja?”

No, you scared me, batin hati kecil Renata, semakin yakin dengan keputusannya meninggalkan jejak Hartono di masa depan anaknya kelak.

Tawa Jay yang mengisi kekosongan penthouse perlahan menjadi backsound film horror, menggelitik bulu kuduk Renata yang gampang berdiri. Ia melirik lagi ke suaminya yang duduk di atas bar, dengan kepala menunduk dan dua telapak tangannya di wajah. Bisu, hanya pria berantakan yang tiba-tiba menjadi bungkam tanpa sebab.

“Jay?” Renata bersuara lagi, kini lebih keras karena khawatir dengan suaminya. Langkahnya mendekat ke mini bar sembari menghindari pecahan gelas yang tersebar di sepanjang lantai dapur. “JAY? Sayang? Kamu kenapa?”

Tangan Jay melepaskan wajahnya, menampakkan wajah yang tak pernah Renata lihat sebelumnya. Acak-acakan. Matanya memerah dan bibirnya menipis, lebih seperti orang yang memegang kuat-kuat amarahnya agar tak lepas kendali.

“Bajingan semua mereka, Ren,” ucapnya dengan tangan perlahan memeluk Renata di depannya. “Dan tega-teganya mereka jadiin kamu sasaran mereka! Berulang-ulang, what the fuck?!”

Sepertinya Renata tahu alur pembicaraan suaminya. “Kita ngomong baik-baik, ya? Kamu tenang dulu, oke sayang?”

Nafas Jayson dipelukan Renata berangsur tenang, tinggal pelukan pria itu yang masih mendekap Renata seperti takut tidak bisa memeluk dirinya lagi. Sepanjang menjalin kisah kasih dengan pria itu, belum pernah ia melihat Jayson Hartono dalam versi yang begini. Hancur, rapuh, tersesat.

Di mata Renata, Jayson selalu menjadi sosok yang kuat, berintelek tinggi, berpandangan luas, sometimes terkesan arogan. Entah itu pandangan Renata, atau memang Jayson ingin Renata melihatnya begitu. Mengingat puluhan trauma masa lalu yang Paris beberkan, mulai dari perceraian dini kedua orangtuanya, kakeknya yang mendidiknya begitu keras, hingga dirinya yang mau tak mau dipaksa memimpin dinasti keluarga Hartono. Dan sekarang, saudaranya sendiri mencoba menyingkirkannya dengan menghalalkan segala cara. Segala cara means menghancurkan pernikahannya, memfitnah, mengadu domba, nyaris saja membuat Renata gila.

“Theo—that motherfucker—berhasil ajak Carlos dan Aurora berpihak ke dia,” gumamnya, masih di pelukan Renata dan mencoba membuka lembaran luka yang akan ia bagi. “Mereka bahkan fitnah kita berdua, trying to separate us with Jovanka's situation. Ren, I would never sleep with another woman, kamu percaya kan sama aku?”

This is it, its time to spill what you know, Ren, come on, don't be shy.

“Actually,” Renata menarik nafas panjang, melepaskan pelukan Jay dan menyingkirkan anak rambut di wajah suaminya, “aku udah tahu semuanya, Jay, I overheard Theo and Shella's fights. Jangan salahin aku, mereka keras banget kalo adu argumen.”

“Kamu tahu?”

Renata menampar kecil wajah di depannya, “ya menurutmu kenapa aku gak marah liat kamu tidur bareng Jovanka di pavilium selatan, pavilium kita? Dah gila apa mereka, ya? Misahin kita pake cara yang fair dong, pake cara kayak gini tuh disgusting tahu nggak?”

Tak terduga, kekehan muncul dari wajah di depannya. Ya, Jay ngekek menunjukkan barisan gigi depannya, padahal menit sebelumnya wajah itu menunjukkan tanda-tanda depresi berat.

“Ketawa lu liat istri lu dikerjain sodara-sodara lu?”

Jay memeluknya lagi, “maaf, maaf, bukannya aku diem aja tapi aku lagi nyusun rencana, sayang.”

“Tell me, Jay, let me help you,” kata Renata menggenggam telapak tangan Jay, menatapnya tepat di manik tanpa berkedip berharap keseriusannya dapat terlihat. “Aku tahu kamu bisa, tapi this time I wanna involve myself. Mereka gak sakitin aku aja, mereka sakitin anak aku juga loh!”

“Anak kita,” koreksi Jay kilat, “ciee hamil.”

Renata menampar lagi muka Jay, menyadarkan pria itu bahwa itu bukan waktunya ia untuk cengengesan. “Jay, serius, apa rencana kamu?”

“Bikin Theo jadi CEO.”

“Habis mecahin gelas kayaknya otak kamu ikut pecah kececeran di lantai?”

Jay nyengir, “Theo itu banyak cacatnya—I mean di bisnis—gak lama dewan komisaris juga bakalan tahu, Carlos dan Aurora bakalan sadar kalau mereka cuma diperbudak sama Theo jadi mereka juga bakalan sadar—hopefully.”

“Terus?”

“Terus, selagi Theo jadi CEO, aku urus kepergian aku dari Hartono Group, sesuai janji aku kalo kita punya anak,” kata Jay sambil curi-curi ciuman, “aku gak bisa pergi gitu aja ninggalin warisan aku, Renata, this isn't about money lagi, this is about legacy. Sampai aku temukan CEO masa depan Hartono, aku gak bisa lari dari tanggung jawab aku. Jadi.. mau gak kamu sabar sebentar?”

Renata melebarkan tangan untuk kembali memeluk manusia di depannya yang memang tidak sempurna, tapi setidaknya ia mencoba untuk menutupi ketidaksempurnaannya dengan menepati janjinya. “Jadi kamu mau aku bantu apa?”

“Pura-pura cerai sama aku.”

“Do you ever listen to yourself?”

Jay terkekeh, “beneran, kita harus cerai. Buat seolah posisi aku di perusahaan emang layak buat digantiin. Tapi kita gak beneran cerai lah, dah gila apa cerai sama istriku yang paling cantik sejagad raya ini.”

“Oke, and then?”

“Kalau aku dah nemu pengganti CEO yang paling oke dan bisa dihandalkan, kita bisa balik lagi.”

Renata menghembuskan nafas kasar, “ada plan B nggak?”

Gelengan di kepala Jay jadi pertanda negatif, seolah hanya itu jalan satu-satunya jalan membuat dirinya bebas dari Hartono Group. “Gak ada cara lain, sayang, walaupun Theo jadi CEO pun, kita gak bakalan bisa tenang bersama.”

Wajah Renata cemberut, “kalo aku kangen kamu gimana?”

“Aku beli ponsel baru, nomer baru. Kamu chatting aku pake nomer yang itu ya, karena bisa aja hape aku yang ini disadap, we'll never know jaga-jaga aja, dan—”

Jayson menuruni duduknya, berjalan ke arah suitcase nya yang ia lempar di depan pintu lift dan membawanya ke meja bar. “Say hello to the new us.”

Ketika Renata disodori dua paspor warna merah—yang mana tidak mungkin merupakan paspor buatan Indonesia—ia menatap ngeri suaminya. Ia membuka alat identitas internasional itu dengan jantung berdebar, its just a pasport, why are you acting like this?.

“What is it, Jay?” tanya Renata begitu melihat isinya. Itu jelas foto mereka di dua paspor itu tapi namanya bukanlah nama mereka. “Jordan Hendrawan? Regina Hendrawan? Lo mau kita berubah identitas? Lo dah gila?”

“Ren, mereka main kotor sama gue, Ren, sama kita berdua. Gue gak bisa biarin seluruh hidup kita direcoki sama mereka!”

Renata terkekeh sarkasme, “and what is the plan, again?”

“Seluruh saham kita berdua akan dibeli pasangan muda Warga Negara Malaysia, Jordan dan Regina. Kita emang keluar dari Hartono tapi anak kita masih berhak saham kepemilikan di Hartono, saham ini punya anak kita, Ren.”

“Terus Jayson Hartono sama Renata Hartono kemana entar?”

Terkekeh lagi, Jayson memeluk istrinya yang duduk di kursi bar sementara dirinya berdiri. “Mereka masih ada, sayang, tapi mereka bukan lagi fokusnya Theo. Jadi mereka aman selagi Jordan dan Regina ada, oke?”

“Gue suka nama Jordan, feels like I'm dating Michael B. Jordan.”

“You wish!”

flashback off

Renata melirik Jayson yang tidur di sisi ranjang sebelahnya, ingin sekali memutar waktu sebelum terlibat semuanya. Terlambat, kini pilihannya cuma dua. Tetap di sisi Jayson sampai semuanya selesai, atau mengeluarkan diri membawa janin di kandungannya sebelum anaknya benar-benar terlibat.

Know your limit, Renata, choose now or never.

#the meeting

Theo dan Carlos datang bersamaan ke Hartono Hall pada pagi Senin itu dengan pakaian terbaik mereka. Jas mereka licin, Carlos mengenakan setelan navy sementara Theo berjas maroon. Mereka berdua datang untuk menjemput kemenangan atas Jayson yang baru beberapa bulan menduduki kursi CEO, itupun terkesan seperti paksaan karena Surya Hartono tiba-tiba wafat.

Hall yang diisi meja berbentuk setengah lingkaran dengan fokus ke satu layar itu masih kosong, terpantau hanya Jayson dengan setelan serba hitamnya yang duduk di salah satu audience, diam menatap layar ponselnya dengan wajah agak mengantuk.

“Insomnia?” suara Theo menggema ke penjuru Hall yang sepi, menyapa sekaligus mengomentari sepupunya yang berjarak hanya dua tahun itu.

Jayson tersenyum di tempatnya sembari menahan kantuk. “Lil bit, I had the worst flight.”

Carlos mengambil duduk di sebelahnya lalu membuka ponselnya, “habis darimana? Kenapa gak pake private jet Hartono? Nganggur tuh ada lima.”

Jayson tak begitu menanggapi pertanyaan Carlos mengingat mereka bertiga kembali sibuk masing-masing dengan layar ponselnya. Ia pun tahu bahwa adik sepupunya itu hanya berbasa-basi, tak betulan perhatian.

“Jay,” panggil Carlos pelan, “rapat hari ini kita adakan secara fair, mulai dari voting dan semuanya jadi no hard feeling ya.”

“As a CEO, semuanya jadi no hard feeling when it comes to the business, brother,” jawab Jay santai, tak tahu menahu apa yang akan terjadi dalam beberapa jam kemudian.

Get out of there, Jay, they gonna eat you up. Alive.


“Kan gue udah bilang, Jay, no hard feeling.”

Theo memiringkan bibirnya, memasang tampang arogan karena dirinya resmi menjadi CEO Hartono Group yang baru terhitung periode tahun 2021. Wajah dan gesturnya seketika berubah. Belum apa-apa ia sudah merasa bisa mengendalikan apapun yang terlibat di Hartono Group.

Ekspresi Jayson setenang air, ia mengaku menerima kekalahannya dan pemecatannya sebagai CEO perusahaan keluarganya. “Congratulation, brother,” ucapnya berjalan mendekat ke arah Theo dan merentangkan dua lengannya untuk memeluk sepupunya itu.

Hampir saja Theo kira Jayson akan memeluknya ketika kepalan tangan Jayson melayang ke sisi wajahnya, membuat Theo tersungkur hanya dalam sekali pukulan. Carlos, Johnny dan Dirga langsung turun dari meja audience dan mendorong Jayson untuk menjauhi badan Theo di lantai.

“You son of a bitch!” teriak Jayson murka, “gue tahu lo rencanain semua ini kan, bajingan? Liat aja lo, HG bakalan jadi debu satu dekade kedepan kalo punya CEO modelan kayak lo!”

Butuh Carlos dan Johnny untuk mendorong tubuh Jayson keluar dari ruangan Hall yang luas. Sementara Dirga membantu Theo untuk berdiri karena kepalanya mulai pening terkena pukulan maut Jayson. Bahkan hidungnya mengeluarkan banyak darah.

“Apa harus kayak gini?” Dirga bergumam, menangkap seringaian Theo di tengah-tengah hidungnya yang mimisan. “I mean lo bisa kan ngomong baik-baik ke Jay, you two would be a great deal in business world kalo kalian kerjasama.”

Masih dalam bopongan tangan Dirga, Theo nyengir. “Sejak awal gue tahu, gue sama dia gabakalan cocok. Dia dengan logikanya yang kurang—atau bahkan gak punya logika karana terlalu mengandalkan feeling. Cih! Untungnya sekarang dia beneran lengser.”