ceciliannee

#interface

Renata dan Winarta keluar dari ruangan dokter kandungan, bukan sebagai pasangan yang kontrol kehamilan, melainkan sebagai teman kecil yang saling menjaga bahkan ketika kereta mereka berada di jalur yang berbeda.

Awalnya ia berpikir, anak dalam kandungannya akan menjadi pelengkap yang sempurna di keluarga kecilnya. Lenyap begitu saja ketika ia sadar anaknya akan bernama belakang Hartono, tumbuh bergelimang harta namun berada di tengah-tengah keluarga yang haus akan kekuasaan. Ia bimbang, padahal menikah dengan Jay tidak pernah menjadi bahan keraguannya.

“Kayaknya percuma ya gue lari, Win,” ujar Renata menyandarkan kepalanya ke bahu lebar Winarta sembari menunggu di ruang tunggu rumah sakit, “sejauh gue pergi, lo selalu jadi tempat gue pulang. Even for now, gue udah nikah pun, lo orang pertama yang gue hubungi pas emergency kayak gini.”

Winarta menghela nafas, melirik kecil manusia kecil di sebelahnya yang menggenggam ujung kemejanya gemetaran. “Ren, I love you as a big brother, I care about you, a lot. Gue tahu lo dari kita pertama kali sarapan di panti, main kelereng bareng, rebutan sepatu karena selera kita sama. Lo ngomong gini karena lo lagi kalut, you didnt mean it. Sejauh apapun lo pergi jauh dari gue, gue anggep lo pergi bersama rumah ternyaman lo—Jay.”

Renata memejamkan kelopak matanya, genangan airmata akhirnya tercipta di sana. “Jay selingkuh, Win.”

“You sure?” tanya Winarta tidak kaget, “yakin bukan kelakuan Hartono—lagi?”

Kalau boleh jujur Renata sendiri tak yakin. “Ya gue tahu, mereka semua bikin rencana besar biar gue sama Jay pisah. Dan kayaknya mereka berhasil, they win.”

“Lo gak berfikir ninggalin Jay di keluarga yang begitu kan? Apa jadinya Jay tanpa lo, Ren, he's gonna screw up knowing you left him like this.”

Renata bangkit dari duduknya yang menyandar, “gue capek, Win, living in the middle of chaos like this.”

“Ibu Renata.”

Panggilan dari staff rumah sakit membuat Winarta bangkit dari duduk dan meninggalkan Renata di ruang tunggu. Tak lama kemudian ia kembali bersama dengan map putih besar berlogo rumah sakit dan membantu Renata untuk jalan keluar gedung karena prosedur kunjungan pertama ke dokter kandungannya telah usai.

Sepanjang perjalanan balik apartemen, keduanya diam di dalam taksi online. Renata dengan sekelumit pikirannya yang akan gila memikirkan keluarga barunya, sementara Winarta tidak tega meninggalkan adik kecilnya untuk melanjutkan studi ke London. Hubungan mereka kini jauh dari sebuah mantan kekasih, bahkan lebih mirip kakak-adik.

“Gue flight malem ini balik ke London,” kata Winarta ketika sudah sampai di gedung apartemen tempat Renata tinggal dan mereka keluar dari taksi, “pikirin baik-baik apa yang gue bilang ke lo, kalo ada apa-apa, lo selalu bisa hubungin gue.”

“Ok, Win, sorry gue kayaknya gabisa anter ke airport,” kata Renata lalu memeluk haru sahabat baiknya—melebihi Ruby, “gue janji gue bakalan samperin lo ke London kalo gue jauh dari kata chaos kayak gini.”

“Take your time,” kata Winarta mengusap punggung Renata lalu masuk ke taksi, “gue kabarin kalo gue dah sampe London.”

That's it, that's how Renata lost one of her souls—again. Melihat kepergian alat transportasi yang diisi Winarta, nyawa Renata seolah melayang terbang dibawahya. Oh, tidak secepat itu. Ia kehilangan dua nyawa begitu melihat Jay di lobby, berdiri di depan lift dan juga melihat ke arahnya. Pasti pria itu melihat ia dan Winarta berpelukan mengucapkan selamat tinggal.


Baru saja Jay memarkirkan mobilnya di basement ketika ia melihat istrinya di depan lobby, tersenyum manis pada satu pria yang kemarin membuat skandal di keluarga cukup fenomenal. Lift terlanjur terbuka untuk ia masuki, tapi ia memilih berbalik arah ketika Renata menyadari tatapan tidak sukanya.

“Don't make a scene, let's talk upside,” ujar Renata tenang, langkahnya memasuki lift, masih dengan map putih besar di tangan.

Jay mengekorinya, “kamu darimana?”

Renata diam dalam kebisuan lift. Tatapan Renata lurus ke arah pintu lift yang tertutup, samar-sama melihat pantulan buram postur suaminya dari sana. Masih jas yang sama, penampilan yang sama seperti kemarin. Teringat foto yang dikirimkan Jovanka pagi tadi membuatnya ingin menjejalkan flatshoesnya ke wajah gusar Jay. Marah tapi disisi lain, ia harus tetap tenang demi bayinya.

Sampai di apartemen mereka di lantai sepuluh—atau bisa dibilang penthouse, Jay duduk di meja makan, menenggak segelas air mineral. Satu gelas penuh, frustasi setengah mati.

“Son of a bitch!” teriaknya membanting gelas kaca yang baru saja ia gunakan untuk minum. “What the fuck is wrong with that guy, huh?”

Here we come, Mad Jay, batin Renata tidak begitu heran dengan bantingan gelas itu. Ia mengambil duduk di sofa, menjauhkan janinnya yang masih terlalu dini untuk berada di tengah-tengah permasalahan ayahnya. “Who? Winarta? Kalo kamu marah aku pergi ke obgyn bareng Winarta, you deserve it, soalnya kamu sendiri malah tidur di pavilium KITA sama wanita lain!”

Alih-alih mengeluarkan argumen seperti perdebatan-perdebatan sebelumnya, Jay terkekeh sarkastik. Cukup membuat Renata menatapnya bingung dan menganggapnya gila. “Jay, are you okay?”

“Apa aku kelihatan baik-baik aja?”

No, you scared me, batin hati kecil Renata, semakin yakin dengan keputusannya meninggalkan jejak Hartono di masa depan anaknya kelak.

#the report

“Studio lo gak banyak berubah ya, kak.”

Renata terkekeh santai, menahan dirinya untuk tidak lari mencakar wajah Aurora dan berteriak liar. You and your whole family is a hell of mess! Tapi tidak, Renata, kau terlibat dalam urusan Hartono, kau harus bermain halus. Lalu ketika tiba saatnya, barulah kau menancapkan belati ke punggungnya.

Ya, tipikal rencana Hartono banget.

“Bulan ini lo bikin dress-dress ya kak?” tanya Aurora lagi, dengan tangan memilah-milah sample dress yang digantung. Biasanya baju-baju itu perlu perbaikan satu atau dua sampai dalam tahap final dan dilakukan pemotretan. “Mau gue promosiin, nggak? Followers IG gue lumayan loh.”

No thanks please gue gak mau hutang budi sama lo “Haha, boleh kok, Ra, tapi apa lo mau? Dress bikinan gue gak sekelas LV, YSL atau Dior.”

Aurora terbahak, “apaan sih, kak? Ya enggaklah, gue harus support small business kakak gue!”

Gue kakak lo? Adek gak harusnya kudeta kakaknya sendiri cuma karena pingin menguasai perusahaan, batin Renata meringis, tertawa dalam ironi. Ia mengambil gelas starbucks berisi Pumpkin Spice Latte punya Aurora yang ia belikan barusan, lalu menyodorkannya ke cewek itu.

“Nih, gue tadi beliin ini, suka kan?” tanya Renata, tapi kemudian merasa ada yang mendesak perutnya untuk keluar, “By! Ruby!” teriaknya spontan.

Aurora ikutan panik melihat wajah Renata yang berubah panik, “loh! Kenapa, kak? Lo gapapa?”

“Bentar, Ra,” kata Renata lalu berlari ke kamar mandi, memuntahkan semua isi perutnya yang tadi mendesaknya untuk dikeluarkan. Oh, jangan tambah masalah baru dengan sakit, dong!

Masih lemas, ia keluar dari kamar mandi dan dihadang oleh Ruby. “Duduk aja dulu,” ujar temannya itu lalu membopongnya ke belakang studio, ranjang di sebuah kamar yang kadang dipakainya tidur siang kalau lagi buntu ide.

Aurora mengekori mereka, lalu duduk di tepi ranjang, “lo muntah? Hamil, ya?”

Renata terkekeh, “gue udah tes kemarin, negatif kok. Kayaknya masuk angin deh, cuacanya emang lagi ekstrim banget.”

“Lo mau pulang aja? Ntar detil design dress nya kirim email aja,” tawar Ruby dengan wajah khawatir. Disaat badannya lemas tak berdaya, wajah khawatir temannya itu lumayan menghibur Renata.

“Iya kak, balik bareng gue aja gimana?” Aurora ikut mengompori Ruby, “sebagai ucapan makasih buat Pumpkin Lattenya.”


Mini cooper merah muda milik Aurora berhenti di depan gedung apartemen tinggi yang ditinggali Jay dengan Renata.

“Lo yakin gak mau gue anter sampe penthouse lo?”

Renata melepas seatbeltnya dan menenteng tas tangannya, “gak usah, gue udah cukup merepotkan lo, Ra, makasih ya.”

“Ngerepotin apa sih, kak, enggak kok!” jawab Aurora tersenyum tulus, hampir saja membuat Renata yang lemas terpukau akan actingnya. Bagus juga pura-puranya setan kecil ini.

Ketika Renata melambai dan masuk ke dalam lobby apartemen, Aurora mengemudikan mini coopernya perlahan-lahan kembali ke jalan raya. Tangannya dengan aktif mengetikkan sesuatu di ponselnya, seolah baru dapat inspirasi untuk mengetik informasi di majalah fashion.

#fresh start

Hidup Keiko Adrienne lima tahun belakangan tertata dengan rapi. Program bahasa satu tahun, empat tahun sisanya habis untuk mengejar gelar sarjana, menjadi part-time youtuber dan menjadi lumayan terkenal di negara asalnya. Walau sejak kejadian itu, ia tak pernah berani menapakkan kaki di tanah kelahirannya.

Bukan takut, lebih ke ketidakmampuannya menghadapi kenyataan pahit. Indonesia bermetamorfosa. Yang awalnya sebagai negara dimana ia menghabiskan lebih dari separuh usianya, menjadi negara dengan bayang-bayang ingatan fatal.

Papanya meninggal setelah Kimmy dan Keenan lulus kuliah, dikuburkan disebelah tempat persemayaman terakhir istri pertamanya. Sementara Stephanie—si istri kedua—melarikan diri, mungkin telah menikah dengan duda kaya raya dan menjadi simpanan yang tak terekspos. Baik Kimmy, Keenan dan Keiko sama sekali tak peduli.

Keiko bangga dengan semua pencapaiannya. Ia populer—baik di youtube dan di kampus, ia pandai—terbukti dengan beberapa profesor kampusnya yang ingin menjadikannya asisten, dan banyak perusahaan ekspat siap mempekerjakannya. Paling penting dari semua itu, she changed. Like really changed her life, starting how capable she is to not smoke again. That's what she called a fresh start.

Tapi Keiko akui, lima tahun belakangan ini adalah sebuah kebohongan besar. Biarpun waktunya banyak tersita, ia tak bisa mengelakkan luka menganga yang mulai muncul ke permukaan. Habis sudah alasan Keiko untuk tetap berada di Jepang, ketika selama ini nyawa dan pikirannya sering melayang ke Indonesia.

Ketika melihat Skylar Willick—gadis bungsu dari perusahaan kayaraya di Los Angeles—mencemplungkan uangnya ke proposal bisnisnya di Indonesia, Keiko tak yakin dirinya bisa terbang kembali ke tanah air walaupun untuk alasan berbisnis. Butuh berbulan-bulan bagi Keiko mengumpulkan nyalinya dan merekatkan kembali patahan-patahan hatinya sisa kepergian cinta pertamanya. Tapi disinilah dia, memberanikan diri chalenging herself to make the better version of herself—berdamai dengan Indonesia.

Keiko tak menyangka ada orang yang mau mendanainya dan menghidupkan mimpi Kimmy untuk membuka toko pakaiannya sendiri. Tak Keiko tahu, calon investornya itu not so stranger to her.

“I'm sorry for interupting your plan, but I gotta fly before weekend.”

“It's okay, Sky, I'm very grateful you trust me to guide you in Tokyo,” balas Keiko sembari tersenyum girang.

This is her, the famous Keiko Adrienne, Keikonya Jericho, batin Skylar menatap gadis di sebelahnya yang lebih pendek dan terlihat ramah?. Jujur saja, Skylar berharap ia bertemu perempuan gila yang tak peduli apapun selain kebebasannya—karena begitulah pendeskripsian calon tunangannya. Tapi yang ia temui malah gadis Jepang santun, jauh dari kata bebas.

Mungkin dibilang sinting saja tak cukup, Skylar merasa dirinya terobsesi. Ia bahkan cemburu oleh orang yang tak dikenalnya, si masa lalu Jericho yang membuatnya nampak tak eksis. Ya, gadis itu, gadis yang akhirnya ia temui secara fisik. Terlihat normal, cenderung terlihat gadis baik-baik yang tak pantas ia permainkan. Tapi—

“Gue liat-liat lo hepi banget,” ujar Skylar ketika mereka naik taksi untuk sampai ke hotel, “sorry bukannya gue kepo or something but im so sad, I wanna hear your happy story.”

“Hey, it's okay,” jawab Keiko kelewat excited, “gue ketemu dua sahabat baik gue yang lama lost contact, not exactly meeting soalnya mereka di Indonesia.”

Skylar meringis, jelas tahu siapa yang dibicarakan gadis itu. “Do you wanna meet them? Gimana kalo kesepakatan ini dipercepat?”

Keiko mengerutkan keningnya lalu tertawa, “lo bercanda? Lo bahkan belum membaca detail proposal lanjutan yang mau gue ajuin besok?”

“Gak perlu,” jawab Skylar enteng, “I've seen enough.”

Weird, batinnya curiga tapi Keiko tetap terkekeh. Apa proposal gue semengesankan itu sampe dia sereckless itu percaya ke gue?

Hidup Keiko Adrienne lima tahun belakangan tertata dengan rapi. Program bahasa satu tahun, empat tahun sisanya habis untuk mengejar gelar sarjana, menjadi part-time youtuber dan menjadi lumayan terkenal di negara asalnya. Walau sejak kejadian itu, ia tak pernah berani menapakkan kaki di tanah kelahirannya.

Bukan takut, lebih ke ketidakmampuannya menghadapi kenyataan pahit. Indonesia bermetamorfosa. Yang awalnya sebagai negara dimana ia menghabiskan lebih dari separuh usianya, menjadi negara dengan bayang-bayang ingatan fatal.

Papanya meninggal setelah Kimmy dan Keenan lulus kuliah, dikuburkan disebelah tempat persemayaman terakhir istri pertamanya. Sementara Stephanie—si istri kedua—melarikan diri, mungkin telah menikah dengan duda kaya raya dan menjadi simpanan yang tak terekspos. Baik Kimmy, Keenan dan Keiko sama sekali tak peduli.

Keiko bangga dengan semua pencapaiannya. Ia populer—baik di youtube dan di kampus, ia pandai—terbukti dengan beberapa profesor kampusnya yang ingin menjadikannya asisten, dan banyak perusahaan ekspat siap mempekerjakannya. Paling penting dari semua itu, she changed. Like really changed her life, starting how capable she is to not smoke again. That's what she called a fresh start.

Tapi Keiko akui, lima tahun belakangan ini adalah sebuah kebohongan besar. Biarpun waktunya banyak tersita, ia tak bisa mengelakkan luka menganga yang mulai muncul ke permukaan. Habis sudah alasan Keiko untuk tetap berada di Jepang, ketika selama ini nyawa dan pikirannya sering melayang ke Indonesia.

Ketika melihat Skylar Willick—gadis bungsu dari perusahaan kayaraya di Los Angeles—mencemplungkan uangnya ke proposal bisnisnya di Indonesia, Keiko tak yakin dirinya bisa terbang kembali ke tanah air walaupun untuk alasan berbisnis. Butuh berbulan-bulan bagi Keiko mengumpulkan nyalinya dan merekatkan kembali patahan-patahan hatinya sisa kepergian cinta pertamanya. Tapi disinilah dia, memberanikan diri chalenging herself to make the better version of herself—berdamai dengan Indonesia.

Keiko tak menyangka ada orang yang mau mendanainya dan menghidupkan mimpi Kimmy untuk membuka toko pakaiannya sendiri. Tak Keiko tahu, calon investornya itu not so stranger to her.

“I'm sorry for interupting your plan, but I gotta fly before weekend.”

“It's okay, Sky, I'm very grateful you trust me to guide you in Tokyo,” balas Keiko sembari tersenyum girang.

This is her, the famous Keiko Adrienne, Keikonya Jericho, batin Skylar menatap gadis di sebelahnya yang lebih pendek dan terlihat ramah?. Jujur saja, Skylar berharap ia bertemu perempuan gila yang tak peduli apapun selain kebebasannya—karena begitulah pendeskripsian calon tunangannya. Tapi yang ia temui malah gadis Jepang santun, jauh dari kata bebas.

Mungkin dibilang sinting saja tak cukup, Skylar merasa dirinya terobsesi. Ia bahkan cemburu oleh orang yang tak dikenalnya, si masa lalu Jericho yang membuatnya nampak tak eksis. Ya, gadis itu, gadis yang akhirnya ia temui secara fisik. Terlihat normal, cenderung terlihat gadis baik-baik yang tak pantas ia permainkan. Tapi—

“Gue liat-liat lo hepi banget,” ujar Skylar ketika mereka naik taksi untuk sampai ke hotel, “sorry bukannya gue kepo or something but im so sad, I wanna hear your happy story.”

“Hey, it's okay,” jawab Keiko kelewat excited, “gue ketemu dua sahabat baik gue yang lama lost contact, not exactly meeting soalnya mereka di Indonesia.”

Skylar meringis, jelas tahu siapa yang dibicarakan gadis itu. “Do you wanna meet them? Gimana kalo kesepakatan ini dipercepat?”

Keiko mengerutkan keningnya lalu tertawa, “lo bercanda? Lo bahkan belum membaca detail proposal lanjutan yang mau gue ajuin besok?”

“Gak perlu,” jawab Skylar enteng, “I've seen enough.”

Weird, batinnya curiga tapi Keiko tetap terkekeh. Apa proposal gue semengesankan itu sampe dia sereckless itu percaya ke gue?

Keiko menutup ponselnya dengan perasaan super bahagia, tapi ia berusaha meredamnya karena ia harus berhadapan dengan calon investornya. Skylar Willick. Gadis itu berjalan beriringan dengannya keluar bandara, sesekali menyibakkan rambutnya yang blonde kecoklatan dan gesturnya sangat anggun.

*Now this is how you called true

#cout d'etat

Menghabiskan waktu dengan Paris nampaknya tak buruk juga untuk kesehatan mental Renata. Ia lebih banyak tertawa, tersenyum dan bersenang-senang seharian ini daripada menangis, mengurung diri di kamar dan mencari-cari kesalahannya sendiri.

Apalagi ketika menunjukkan satu ruangan di sebelah gudang belakang yang membuat Renata deja vu. Ia seperti berjalan-jalan lintas memori melihat hampir semua karya lukisnya tidak hanya dipajang, tapi dirawat dengan sangat baik di sana.

“Tuan Jay tak pernah absen datang kemari, bahkan setelah Tuan Jay menikah dengan anda, Nona.”

Renata membalikkan badan ke arah Paris yang ada di akses pintu keluar dari ruangan itu dengan wajah bingung, “kenapa? Kenapa kesini kalo dia bisa pulang ke apartemen and meeting me in person?”

Paris menaikkan dua bahunya, “saya rasa Tuan Jay merindukan masa lalu dimana kalian berdua masih belum terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Tuan Jay dengan Hartono Group, anda dengan Brand pakaian anda sendiri.”

Netra Renata menangkap putung rokok di ujung ruangan, bersama dengan gelas sloki bekas minum yang terlihat baru. “dia masing sering kesini?”

“Selama anda tak mau sekamar dengannya, ia bermalam di sini, tak mau makan apa-apa selain minum whiskey,” jawab Paris lalu menghela nafas beratnya, “ini mungkin bukan tempat saya untuk bicara seperti ini, tapi setidaknya beri Tuan Jay kesempatan untuk menjelaskan. Saya hanya tak mau pernikahan Tuan Jay berakhir seperti kedua orangtuanya.”

Mau tak mau Renata merasa tersadarkan oleh ucapan Paris. Ucapannya ada benarnya juga. Sulit bagi seorang Jayson Hartono, bocah kecil yang lahir diantara bisnis dan perceraian orangtua diusia dini untuk berkomitmen. Butuh banyak perdebatan dan perselisihan Renata dengan pria itu untuk meyakinkan pria itu bahwa pernikahan mereka tidak akan berujung seperti orangtuanya. Tak ia sangka, ia berada di titik dimana ia sendirilah yang menghancurkan keyakinan itu.

“Tuan Jay pernah bilang pada saya, dari puluhan gadis yang ia kencani, cuma anda yang paling layak menyandang gelar Nyonya Jayson Hartono,” ujar Paris lagi tersenyum di sela-sela keriput wajahnya yang muncul karena usianya yang tak lagi muda. “Anda berhak marah karena Tuan Jay mengacau, anda mendiamkannya, itu sudah cukup menyiksanya. Bahkan hukuman dari Tuan Besar tidak begitu membuatnya sedepresi ini.”

“Terimakasih, Paris, lo butler terkeren sepanjang sejarah,” ujar Renata lalu berlari memeluk kepala pelayan tua itu dengan penuh semangat. “Now will you excuse me, gue mau balik ke kamar dan telepon Jay.”


Berjalan menyusuri rumah inti keluarga Hartono bukanlah hal pertama bagi Renata. Bahkan sebelum dirinya menjadi bagian dari keluarga itu, ia sering diajak berkeliling oleh suaminya. Tapi sepanjang yang ia tahu, ia tak pernah tahu bahwa Shella dan Theo memang memiliki kamar terpisah.

Harusnya Renata tak tahu, tapi begitu ia melewati Pavilium Barat untuk menuju kamarnya, ia mendengar suara lengkingan perempuan. Suara khas alto Shella. Bukan melengking hendak menyanyi seriosa, tapi melengking marah, berteriak, lalu suara benda dibanting terdengar heboh. Renata berhenti sejenak dibalik pilar untuk menguping, ya dia menguping karena wanita jalang yang hamil itu berkali-kali meruntuhkan kesehatan mentalnya.

“Bajingan lo, Theo! Gue minta cerai!”

Wow, sepertinya bukan hanya Renata dan Jay yang mengalami krisis pernikahan, sejoli ini juga.

“Lo ingat isi surat perjanjian pra-nikah kita? Lo gak bakal dapat kekayaan sepeserpun dari Hartono kalo lo belum kasih gue anak!”

“Yang gue kandung ini apa? Ini anak lo, bajingan, gue gak nyangka gue mau mengandung anak seorang bajingan kayak lo!”

“Hei, jaga ucapan lo! Lo kira para pembantu sama staff gak tahu? Sejak nikah kita gak pernah tidur sekamar, gimana bisa kita punya anak?”

“Bagus bener ucapan lo, Theo. Ya, makanya lo bawa bocah bernama Jovanka itu? Itu jalang lo yang baru kan? Ngaku lo!”

Suara tawa Theo terdengar cukup keras, “hei hei hei, lo juga seneng kan karena adanya Jovanka kita bisa jebak Jay? Kalo Jay dan Renata cerai, kita yang paling diuntungkan, Shella. Gue yang akan duduk di kursi CEO, dan Jay akan lengser karena hidupnya terlalu banyak skandal.”

Oh.. too much information.. shit..

“Gue jijik liat Renata keliaran di sini, ditambah Jovanka.. lo dapet darimana sih cewek itu hah? Dan hamil..? Anaknya siapa, Theo? Kok bisa lo jebak Jay kayak begini, apa yang gak lo bilang ke gue hah?”

“Carlos.”

“Carlos terlibat?”

“Jay terlalu selektif, rencana dia mau kick gue sama Carlos itu bocor dan buat Carlos berbalik arah melawan Jay. Ini perfect timing buat gue, gue punya Carlos dan Aurora, sedangkan Jay sendirian. Plus, ia ditinggal Renata, imagine how fragile he is!”

Renata memaksa kakinya berlari ke arah kamarnya, sembari mengantongi terlalu banyak fakta baru yang menusuk indra pendengarannya. Ini kudeta untuk menggulingkan jabatan Jay. Theo, Carlos dan Aurora, mereka bertiga bekerjasama. Apa-apa an ini?

Poor Jay, batin Renata berdesir, membayangkan satu keluarga melawan dirinya sendirian ketika ia rapuh kalau ditinggal Renata sang istri. Bahkan Renata tak bisa membayangkan betapa berat beban di pundak suaminya saat ini.

Begitu masuk kamarnya, ia gemetaran hebat. Masalah keluarga ini lebih rumit dari kelihatannya, bahkan terlalu rumit. “This family is so fucked up,” bisiknya entah pada siapa.

#cracked

“Selamat datang, Nona Renata.”

Paris—butler di Hartono Residence, pria paruh baya berkepala putih itu tersenyum ramah, satu-satunya manusia beradab yang sanggup menyambut Renata di rumah inti dengan kehangatan. Pria itu sudah melayani keluarga Hartono di tiga generasi, lebih lama dari umur Renata di dunia.

“Long time no see, Paris,” sapa balik Renata lalu menyerahkan coatnya, “apa semuanya udah dateng?”

“Tuan Theo dan Nona Shella masih di dokter kandungan, hanya ada Aurora, Carlos dan suami anda, Nona,” jawabnya sopan sambil menerima coat Renata, “anda mau teh? Kopi? Atau whiskey seperti suami anda?”

“Jay minum?”

“Hampir separuh botol,” jawab Paris lalu melenggang pergi membawa coat Renata untuk digantung. “Oh, let me give you some spoiler, Nona, mereka bertiga tidak sendirian di ruang keluarga.”

Renata mengerutkan kening, langkah kakinya berjalan ke arah ruang keluarga, secepat rasa keingintahuannya terpuaskan. Semua pasang mata menatapnya—Jay, Carlos dan Aurora—oh! Dan tambahan satu personil lagi. Seorang perempuan berdress hitam dan berambut brunette panjang.

“Uh-oh!” Aurora bersuara, lalu beranjak dari duduknya. “I can't watch this. Car, kalo bang Theo dateng lo imess gue ya, gue ke kamar dulu.”

Ingin sekali Carlos mengekori Aurora untuk pergi dari ruangan itu, tapi terlambat begitu Renata duduk disebelahnya dan bertanya padanya. “Carlos, ada apaan nih? Kata Paris abang lo minum whiskey kayak minum susu, banyak banget. Siapa nih? Pacar lo?”

Sementara yang sedang dibicarakan, duduk di sofa dengan tenang, satu tangan menyangga kepalanya yang mulai kabur karena alkohol, satu tangan lainnya memegang gelas whiskey. Sudah jelas wajahnya teler, minum segelas whiskey lagi pria itu akan tergeletak di lantai dan baru siuman keesokan harinya.

“Actually, gue Jovanka,” ujar cewek rambut brunet itu sambil mengulurkan tangannya yang lentik.

“Renata.”

Jovanka tersenyum girang, “I know who you are,” ujarnya sumringah, “gue sering banget ikutan PO di brand clothing Victory, design lo semuanya bagus banget!”

“Thanks,” jawab Renata mencoba sopan, tapi sungguh tak bisa menutupi rasa keponya, “Jay? Would you give me a favor, be sober and explain what happen to me?”

Jay melirik istrinya dengan tatapan yang tak terbaca, “kamu inget kita sempet putus dua bulan sebelum pernikahan?”

Renata terdiam, menunggu kalimat yang akan diucapkan suaminya selanjutnya. Semoga gak kayak yang gue pikirin.. semoga gak kayak yang gue pikirin.. please God.. No..

“I was with Jovanka that time,” ujar Jay kemudian, menampar do'a dalam batin Renata yang baru saja ia panjatkan ke Tuhan, seolah Tuhan bilang padanya bahwa doanya baru saja ditolak mentah-mentah. “And now, she's pregnant.”

Holy motherfuc—apa? Hamil?

Renata memutar kepala ke arah Jovanka yang tadinya tersenyum sumringah, kini gadis itu duduk di tempatnya menundukkan kepala dengan dua tangan menyatu di atas lututnya. Apa ia tidak salah dengar? Suaminya menghamili gadis itu ketika mereka hanya putus selama seminggu?

“Lo becanda, kan?” tanya Renata naik satu oktaf, serasa ada yang menarik tali kesabarannya dan suaminya yang bertanggungjawab atas hal itu. “Gue jemput Winarta, jalan-jalan keliling Jakarta, I know we had a history but I do not sleep with him, gitu aja lo marah ke gue, Jay? Sedangkan lo? I can't—I can't deal with this right now.”

Renata beranjak dari duduknya, menanggalkan ruang keluarga dengan perasaan nano-nano. Lebih banyak rasa marah daripada sedihnya. Jay pun mengekorinya, menarik lengannya dan memaksanya tinggal. “Let me explain, sayang.”

“You explain it enough! Don't you even dare calling me with that word!” Renata berteriak, melayangkan tinju yang tak seberapa kekuatannya karena nyawanya hampir saja melayang mendengar ada seorang gadis yang dihamili suaminya. “Lepasin gue. Gue mo ke pengadilan sekarang. Tunggu surat cerai dari gue!”

“Woah woah woah!”

Theo dan Shella yang baru tiba bingung. Mereka berjalan dengan juru bicara keluarga yang memang ditunggu kehadirannya, Pak Christian. Ya kaget dong baru sampe rumah udah disuguhin adegan Jay dan Renata yang bertengkar hebat. Setahu orang-orang, sepasang suami-istri itu tak pernah terlihat dalam perselisihan.

“Kenapa nih?!” tanya Shella panik, “and who the hell is that?” tanyanya lagi ketika melihat Jovanka tak jauh dari sejoli.

“Apapun masalah kalian, save it. Pak Christian udah dateng dan kita bahas aja skandal itu,” kata Theo menatap tajam baik Jay maupun Renata.

Dengan berat hati, Renata menarik lengannya dari genggaman Jay dan kembali ke ruang keluarga dengan perasaan tak karuan. Marah? Tentu saja. Sedih? Sedikit. Kecewa, lebih tepatnya. Mereka hanya putus beberapa hari lalu tiba-tiba Jay punya anak dari wanita lain, what a fucking asshole.

“Jadi.. apa perselingkuhan itu bener, Nona Renata?”

Pak Christian memulai pertemuan keluarga Hartono, bersamaan dengan datangnya Aurora dan duduk di sebelah Renata. Apa itu? Apa Renata tidak salah? Tangan Aurora mengenggam tangannya, seperti memberi dukungan moral. Cewek itu kemarin memakinya sebagai jalang di group keluarga, sekarang cewek itu memberinya uluran tangan kehangatan?

“Oh it was true,” kata Renata tersenyum getir, mengasumsikan bahwa Aurora tahu kehamilan Jovanka dari genggaman tangannya dan sepertinya cewek itu berbalik mendukungnya. “Tapi bukan gue. Jay sama cewek itu lebih tepatnya.”

“Hah?” Theo menganga, “Jay? Beneran?”

“Ya,” Renata yang menjawab lalu menatap suaminya yang duduk agak jauh darinya, “malahan, cewek itu sekarang lagi hamil anaknya Jay. Coba tebak siapa yang bajingan? Sodara kalian sendiri nih, bukan gue.”

“Nona Renata, meeting ini belum selesei, tolong kembali duduk ke tempat semula,” kata Pak Christian dengan tegas menginteruksi Renata yang mau kabur dari pertemuan keluarga Hartono yang dramatis. “Mungkin ini terlihat palsu, tapi saya sarankan semua Hartono, baik menantu maupun para sepupu, harus tinggal di Hartono Residence untuk beberapa hari untuk menghindari penurunan citra baik keluarga Hartono yang dibangun susah payah oleh kakek kalian, Surya Hartono.”

“Gue gak bisa serumah sama suami gue sama selingkuhannya! Nggak! Nggak bisa! Gue bisa gila lama-lama!”

“Yang, please, kejadian aku sama Jovanka udah dua bulan yang lalu, lagian itu pas kita putus. Aku mabuk—coba tanya Carlos, aku gak kerja di Hartono selama seminggu karena putus cinta—”

“Dan lo lari ke pelukan cewek ini?” potong Renata tak kuat menahan kebakaran yang ada dalam dadanya, “bayangin kalo gue sekarang hamil anak Winarta, lo pasti ngamuk kayak yang gue lakuin sekarang!”

“Cukup.” Theo menengahi, “bener kata pak Christian, lagian ada banyak wartawan diluar gerbang, mau gak mau lo harus disini beberapa waktu dulu. Sampai waktunya udah tenang dan masalah ini kelar, baru kalian rundingan mau lanjut apa cerai.”

“Gue gakmau cerai.”

“Excuse me?” Renata naik pitam, “lo ngehamilin anak orang lain, lo harus tanggung jawab. Gue yang gak hamil ini harus ngalah, dan itu tandanya kita harus cerai.”

“Car, kenapa lo diem aja? Lo ada disana kan? Di bar pas gue mabuk? Semabuk-mabuknya gue, gue gak pernah tidur sama cewek manapun. Iya kan, Car? Carlos? Jawab!” Jay membanting gelas whiskey yang daritadi ditentengnya, membuat semuanya terkejut, bahkan Shella menjerit kecil karena mengalami shock ringan. “Gue mau test DNA dulu, gue mau buktiin nih anak bener anak gue apa nggak.”

Jovanka yang diam saja daritadi bersuara, “lo perkosa gue dan lo nuduh gue bohong? Yakali gue gaktau bapaknya anak gue?”

“Udah, kak, lo tidur aja disini sementara ya? Lo gakbisa menghadapi wartawan diluar sana,” kata Aurora, meraih lengan Renata mencoba menenangkannya. “Gue minta maaf kemarin jahat sama lo, ternyata lo gak bener-bener selingkuh dari cowok itu.”

“Kok tahu?” Theo penasaran.

Aurora melemparkan ponsel ke arah abangnya, menampilkan video rekaman cctv lobby hotel Hartono yang merekam footage Winarta. Mulai dari check in hingga masuk ke kamar hotelnya, cowok itu berjalan sendiri sambil menggeret kopernya. Sendiri. Berarti ia dan Renata tidak menginap dalam satu kamar di malam itu. Cukup membuktikan bahwa kabar burung itu tidak benar.

“Oke, tapi tetep aja, lo mau konferensi pers di depan wartawan segitu banyak di depan gerbang? Silahkan.”

Renata tidak menyangka ia menghela nafas dan setuju dengan omongan Theo barusan. Ia menatap tajam ke arah Jay yang menatapnya penuh rasa bersalah. “Fine,” ucapnya melirik Paris yang berdiri tak jauh dari semua orang, “tapi Paris, gue mau kamar terpisah.”

#a trust

Kepulangan Jay dari Bali tak seperti bisnis trip yang biasanya. Harusnya ketika pulang, Jay sudah menghabiskan waktu di sofa untuk Netflix and chill bareng istrinya sambil ngobrol-ngobrol santai. Yaa semacam quality time berdua setelah beberapa hari tak ketemu.

Tapi, hari itu berbeda. Sikap Jay berbeda, ia duduk di sofa yang berbeda dengan Renata, seolah menjaga jarak.

Renata pun sama. Tak ada satupun keinginan dalam dirinya untuk minta maaf, karena dirinya mengaku tidak melakukan kesalahan apapun. Tuduhan selingkuh hingga membawa latar belakang keluarganya yang dari panti asuhan sudah cukup membuat hatinya teriris. Ia disudutkan dan tak sedikitpun diberi kesempatan untuk membuktikan bahwa dirinya bukanlah seperti yang dituduhkan padanya.

Apa yang lo bayangkan? Lo berada di tengah-tengah keluarga Hartono, ya pasti gak bakalan kelar cuma karena lo minta maaf.

Untungnya pria itu cukup bijaksana, tak ingin membesar-besarkan kejadian di group keluarga dan malah membicarakan berdua dengan Renata. Ia bahkan membungkam Aurora, adik sepupunya yang memberi informasi tuduhan Renata.

“Masih suka sama Winarta?”

Renata mendesah lelah, pertanyaan itu seperti pertanyaan jebakan. “Jemput temen di bandara dan ngajak keliling-keliling Jakarta itu dianggep suka?”

“Mungkin.”

“Kamu percaya sama aku?” tanya balik Renata, tatapannya lurus ke wajah suaminya, mencari jawaban dari wajah kaku Jay yang tak berekspresi. “Jay? Aku tanya ke kamu, kamu percaya gak sama aku?”

Jay membisu, tak ada tanda-tanda akan menjawab pertanyaan Renata.

“Kalo kamu aja udah gak percaya sama aku, terus kita nikah landasannya apa, Jay? Kamu kira modal cinta aja cukup buat pernikahan utuh sampai kita kakek-nenek? No. Ada yang namanya komitmen dan kepercayaan. Aku memilih kamu, aku komitmen sama kamu bahkan sejak kamu nembak aku di depan kampusku.”

Renata menghela nafas, kembali berucap karena Jay tak kunjung membalasnya. “Kita udah pacaran lama, dibandingin kamu, Winarta itu gak ada apa-apanya.”

“Kalian mau ketemuan lagi setelah kejadian ini?” tanya Jay dengan tangan terlipat di depan dada.

“Nggak mungkin, kalo emang harus milih antara dia atau kamu, jelas aku pilih kamu.”

Jay berdeham kecil, “serius?”

“Iya,” jawab Renata mantab.

Tangan Jay terulur, “sini,” ucapnya sambil menarik lengan Renata mendekat dan membuat Renata pindah posisi di sebelahnya. “Aku percaya sama kamu,” ujarnya kemudian.

Renata menghela nafas lega lalu lari ke pelukan suaminya yang berhasil ia yakinkan. Tak peduli kalau bajingan-bajingan itu bilang ia selingkuh, kalau Jay percaya ia tak melakukannya, itu sudah cukup untuk Renata.

“Kalo kamu janji gak bakalan ketemu cowok itu lagi, aku percaya sama kamu.”

Walau satu masalah telah teratasi dengan kepala dingin, Renata tak henti-hentinya menahan dirinya untuk tidak menangis. Secara sadar, hubungannya dengan Jay berubah menjadi hubungan yang tak sehat. Keterlibatan saudara sepupu yang terlalu kuat membuat Renata tak tenang.

Oh, Tuhan, jika memang aku tak bisa berbaikan dengan keluarga ini maka biarkanlah begini adanya. Tapi tolong jangan buat Jay memandangku seperti orang-orang di Hartono (kecuali Carlos) memandangku, doa Renata dalam hati, menguatkan dirinya sendiri.

#just do it

Ketika bel di lift apartemen berbunyi nyaring, itu tandanya Jay sudah pulang dari hari panjangnya di kantor. Menyadari itu, Renata berlarian kecil ke arah pintu masuk utama apartemen dan berakhir di pelukan suaminya. Samar-samar tercium parfum dari kemejanya yang bercampur keringat dan debu jalanan.

“Kangen..,” gumam Renata sambil memanyunkan bibirnya tanpa melepaskan tangannya di leher suaminya.

Jay menyambar bibir Renata singkat, “miss you too,” gumamnya kecil lalu mendesah malas. “Bad news, aku harus ke Bali ntar malem jam dua dini hari.”

Renata nyengir, “ngurusin proyek precast yang sama Carlos itu?”

Tangan Jay mengangkat tubuh Renata dan menggendongnya di depan dada sambil menggodanya, “istriku yang independent woman ini tahu darimana? Stalker-in suaminya, ya? Ayo ngaku!”

“JAY!” pekik Renata, takut-takut kalau dirinya jatuh ke lantai yang keras. “Aku mau ngomong sesuatu, serius bentar.”

Jay menjatuhkan Renata ke sofa lalu melenggang ke pintu kamar. “Aku mandi dulu ya, kasihan kamu pasti aku bau asem banget,” ujarnya sebelum benar-benar lenyap masuk kamar dan kemudian terdengar pancuran air shower.

Renata yang duduk di sofa mencoba menetralkan degup jantungnya. It's not a big deal, lo bilang aja, lo jujur aja, then it's gonna be alright. Lagian ini cuma Winarta, bilang aja Carlos kenal, pasti dibolehin kok sama Jay. Oke? Stop nervous!

Tak lama kemudian, Jay keluar dari pintu yang sama dengan tampilan yang lebih fresh. Kaos putih dengan celana piyama garis-garis. Tanpa pikir panjang, ia rebahan di sofa dan menjadikan paha Renata sebagai bantalan kepalanya.

“Kamu mau ngomong apa?” tanya Jay sambil menyalakan televisi, dan menonton benda kotak itu dalam keadaan rebahan.

“Kamu inget temen aku yang ngelanjutin study ke London? Besok dia mau vacay di Indo beberapa hari, dan aku mau jemput dia di bandara. Boleh?”

“Cowok?”

Renata menelan salivanya, “iya, Winarta, kamu pernah ketemu gak sih? Pas kamu jemput aku ngampus dulu? Dia temennya Carlos juga kok.”

Jay mengangguk-anggukan kepalanya kecil, “oohh, yaudah gapapa. Udah dapet hotel belum? Kalo belum biar dia nginep ke Hartono Hotel aja.”

“Hah? Emang boleh?”

Kekehan muncul di mulut Jay, “yang, kamu itu yang punya hotel itu. Mau kamu nginep disitu, tinggal disitu, party disitu atau kamu bakar tuh hotel, gak ada satu staff pun yang bakalan larang kamu kok.”

Lah lupa lo nikah ama yang punya Hartono Group? Pea banget sih?

#per mission

Ketika bel di lift apartemen berbunyi nyaring, itu tandanya Jay sudah pulang dari hari panjangnya di kantor. Menyadari itu, Renata berlarian kecil ke arah pintu masuk utama apartemen dan berakhir di pelukan suaminya. Samar-samar tercium parfum dari kemejanya yang bercampur keringat dan debu jalanan.

“Kangen..,” gumam Renata sambil memanyunkan bibirnya tanpa melepaskan tangannya di leher suaminya.

Jay menyambar bibir Renata singkat, “miss you too,” gumamnya kecil lalu mendesah malas. “Bad news, aku harus ke Bali ntar malem jam dua dini hari.”

Renata nyengir, “ngurusin proyek precast yang sama Carlos itu?”

Tangan Jay mengangkat tubuh Renata dan menggendongnya di depan dada sambil menggodanya, “istriku yang independent woman ini tahu darimana? Stalker-in suaminya, ya? Ayo ngaku!”

“JAY!” pekik Renata, takut-takut kalau dirinya jatuh ke lantai yang keras. “Aku mau ngomong sesuatu, serius bentar.”

Jay menjatuhkan Renata ke sofa lalu melenggang ke pintu kamar. “Aku mandi dulu ya, kasihan kamu pasti aku bau asem banget,” ujarnya sebelum benar-benar lenyap masuk kamar dan kemudian terdengar pancuran air shower.

Renata yang duduk di sofa mencoba menetralkan degup jantungnya. It's not a big deal, lo bilang aja, lo jujur aja, then it's gonna be alright. Lagian ini cuma Winarta, bilang aja Carlos kenal, pasti dibolehin kok sama Jay. Oke? Stop nervous!

Tak lama kemudian, Jay keluar dari pintu yang sama dengan tampilan yang lebih fresh. Kaos putih dengan celana piyama garis-garis. Tanpa pikir panjang, ia rebahan di sofa dan menjadikan paha Renata sebagai bantalan kepalanya.

“Kamu mau ngomong apa?” tanya Jay sambil menyalakan televisi, dan menonton benda kotak itu dalam keadaan rebahan.

“Kamu inget temen aku yang ngelanjutin study ke London? Besok dia mau vacay di Indo beberapa hari, dan aku mau jemput dia di bandara. Boleh?”

“Cowok?”

Renata menelan salivanya, “iya, Winarta, kamu pernah ketemu gak sih? Pas kamu jemput aku ngampus dulu? Dia temennya Carlos juga kok.”

Jay mengangguk-anggukan kepalanya kecil, “oohh, yaudah gapapa. Udah dapet hotel belum? Kalo belum biar dia nginep ke Hartono Hotel aja.”

“Hah? Emang boleh?”

Kekehan muncul di mulut Jay, “yang, kamu itu yang punya hotel itu. Mau kamu nginep disitu, tinggal disitu, party disitu atau kamu bakar tuh hotel, gak ada satu staff pun yang bakalan larang kamu kok.”

Lah lupa lo nikah ama yang punya Hartono Group? Pea banget sih?