The Beginning of Goodbye
Saat kakinya berputar dan dihadapkan oleh dua pasang mata di ruangan pengantin wanita, jantung Sherin berdebar kian membara. Bianca mengambil lembar demi lembar tisu yang kemudian ia layangkan ke muka, sementara Tony—papa Sherin yang berdiri tak jauh darinya dengan setelan resmi—menatap Sherin tanpa berkedip.
“Kamu mirip sekali sama Mama kamu, Sherin,” katanya, masih belum mengedipkan kelopak matanya. Bayi yang dua puluh empat tahun lalu berada dalam dekapannya, kini siap ia antar menuju ke kehidupan pernikahan.
Sherin meloloskan senyum ketika Tony masih melibatkan Clarisa meski keabsenannya hari ini adalah kehendak Tony. “Papa juga keren banget, pake fancy tux!”
“You guys ready?” Bianca menyudahi tangisan kilasnya dan beranjak dari duduknya. Ia melemparkan buket bunga lavender yang dirangkai praktis dalam satu genggaman ke arah Sherin, lalu membetulkan tule gaunnya. “Remember our rehearsel, okay?”
Bianca mengintruksi dengan jelas, bridesmaid berjalan terlebih dahulu, sepuluh detik kemudian Sherin melangkah dalam genggaman Tony. Namun Tony mencekal lengan Sherin dengan lembut, membuat jadwal mereka di altar melambat beberapa detik.
“Papa simpan sesuatu khusus untuk hari ini,” ucapnya kecil kemudian mengeluarkan kotak kecil dari saku celana licinnya. “Mungkin ini bisa jadi something blue, atau something borrowed untuk kamu.”
Kotak beludru itu tidak berisi berlian yang mewah dan berkilau, melainkan sebuah penjepit rambut biru pudar berbahan plastik berhiaskan pita warna putih kecil di atasnya.
“I remember this,” kekeh Sherin, “ini something blue-nya Mama, kan?”
Tony ikut terkekeh, “betul,” kemudian jemarinya menyisipkan jepit rambut plastik ke sela-sela gulungan rambut Sherin. “Sekarang ini punya kamu.”
“Papa…”
“Ini mungkin bukan hal yang bisa dinilai dengan uang, tapi ini berharga—buat Papa.” Tony mengeratkan cengkeraman di jemari Sherin, “ini jepit rambut yang dipakai Mama waktu pertama kali Papa ajak ngedate. Papa sengaja simpan ini buat bisa dipakai hari ini.”
“Pa…,” suara Sherin tertahan di kerongkongan, “I love it, makasih, Papa.”
“Sama-sama, Sayang,” kecupan kecil dilayangkan ke puncak kepala Sherin, “let’s get you married.”
Sherin bersandar ke bahu Papanya, ungkapan kecil Tony melengkapi hari bahagianya. Tony memang bukan figur papa yang menembakinya dengan serbuan kasih sayang, tetapi pria itu mempunyai caranya sendiri untuk menunjukkannya. Dan hairpin itu adalah salah satunya.
Lorong altar tidak seperti dalam bayangannya—menakutkan dan menyeramkan. Ia takut tergelincir dari sepatu heelsnya, atau berjalan terlalu lambat hingga tamu undangan bosan menatapnya. Tidak. Sherin tersenyum ringan di dalam naungan papanya. Degup jantungnya menormal sampai sesuatu di altar membuatnya kehilangan oksigennya. Jean berdiri di altar.
Ia melirik Gavi yang juga berada di altar, pria itu menyunggingkan senyuman mengejek. Permainan apa yang sedang Gavi coba mainkan dengan menempatkan Jean sejajar dengannya di altar? Apa ini sebuah ujian? Ataukah teka-teki? Kenapa di saat serius begini Gavi bersikap sangat Gavi?
Sherin menjaga kontak matanya tetap pada Gavi ketika Jean berdiri tak jauh darinya. Ia menangkap senyuman kecil dari tempat Jean berpijak. Sebuah senyum kerelaan yang persis seperti di bayangan Sherin. Pria itu sepenuhnya merelakannya, walaupun Sherin perlu mengancamnya dengan embel-embel jabang bayinya. Sherin kembali dilanda ketenangan, meski ia harus memukul Gavi setelah upacara pernikahan usai.
Ketika ia sampai di altar, papanya melepaskan genggaman jemarinya dan menyerahkan Sherin pada tangan Gavi. Tatapannya mengunci pada Gavi, begitu pula pria itu yang memandangnya samar-samar dibalik tudung gaun.
“What is he doing here?” bisik Sherin kecil, wajahnya menampilkan senyum terbaik karena adanya kamera yang mengambil gambar.
Gavi mengabaikan pengantinnya, ia hanya mengulang kalimat pendeta sebagai janji suci yang akan ia jaga hingga maut memisahkan. Senyum jahilnya mungkin tercetak di bibirnya, tapi jantungnya tak berhenti merapalkan sebuah mantera. Tidak.. jangan batalkan pernikahan ini, Sherin.. tidak mungkin kamu mau membatalkannya hanya karena melihat Jean, kan? Tidak.. jangan..
“Saya menerima kamu, Gaviandra Saputra…,” suara lirih Sherin menembus dadanya, membuat lubang di sana dan mengisinya dengan masa depan indah yang akan mengiringi pernikahan mereka, “… sebagai seorang suami, dalam suka maupun duka…”
Rentetan janji yang terucap dari bibir Sherin ditutup dengan napas Gavi yang panjang dan berat. Taruhannya telah usai, dan ia maju sebagai pemenang.
Gavi meraih ujung tudung Sherin, menyibaknya ke belakang gulungan rambut dan mendapati wajah Sherin yang tak bisa dideskripsikannya dengan kata-kata. Pada senyuman manis itulah Gavi menjatuhkan hati. Seperti hari-hari penyiksaan yang dialami Gavi beberapa tahun terakhir, akhirnya Tuhan mengabulkan satu pintanya. Namanya dan nama Sherin melabuh dalam ikatan pernikahan.
“Kiss me now, you idiot,” titah Sherin dengan tarikan geli di ujung bibirnya.
Gavi terlalu mengagumi indah paras Sherin hingga membuat tamu undangan—yang jumlahnya hanya belasan orang—menunggu. Gavi mendaratkan kecupan kecil di bibir Sherin, yang kemudian disambut meriah oleh tamu undangan.
Sherin menarik Gavi mendekat, membisikkan sesuatu di telinga pria itu. “I thought the idea of me and you kissing at the altar might be awkward. Turns out it wasn’t at all.”
Untuk membalasnya, Gavi-pun mendekatkan bibirnya di sela-sela tudung Sherin. “Mungkin karena ciuman yang ini bukan yang pertama kalinya, makanya nggak canggung sama sekali.”
“What?”
Gavi menarik pinggang ramping Sherin mendekat untuk sesi pemotretan dengan tamu undangan. Ia mengabaikan kedua alis Sherin yang terpaut sepanjang sore, sepertinya sengaja membuat Sherin penasaran dengan kalimat ambigu yang Gavi lontarkan padanya. Bukan yang pertama kali? Sherin tidak ingat pernah mencium pria itu, ia bahkan tak ingat berada di radius kurang dari semeter darinya!
Spekulasi demi spekulasi yang tercipta di kepala Sherin membuatnya disibukkan. Sepenuhnya melupakan kehadiran Jean di tengah-tengah resepsi yang diadakan tepat setelah acara pemberkatan. Ia berdansa dengan papanya, mungkin menjadi pertama kali dan satu-satunya dansa yang akan diberikan Tony padanya.
“Maksud lo apa tadi?” Sherin menarik tangan Gavi menjauh ke ujung ruangan, tempat yang jarang tersorot oleh tamu undangan.
Gavi mengedikkan bahunya kecil, “I said what I said.”
“Ya maksudnya apa?” desak Sherin tidak sabar, “kita kan nggak pernah ciuman sama sekali!”
“Seinget gue sih pernah,” sahut Gavi ambigu, “lo aja yang lupa.”
Sherin terpaksa tersenyum sambil meletakkan tangannya di kedua bahu Gavi yang lebar. “Jangan bertele-tele, Gav, maksud lo apa?”
“Penasaran?”
“Yuh-huh!”
“Tapi jangan marah, ya?”
“Don’t give me a reason to get mad!”
Gavi tersenyum jahil, “ingat pesta ulang tahun Bianca ke-tujuh belas?”
“The one that I get drunk from a bottle of wine?”
“Lo inget sempat ngobrol sama Jean, kan? And then uncle Jo was caught you both di taman belakang Eleanor?”
“Do you have a point?”
“Jadi malam itu, uncle Jo suruh gue buat bawa lo yang lagi mabuk ke kamar atas Eleanor.”
Sherin tersenyum kecut, “oh, pas itu ternyata. Well, sorry, Gav, I don’t remember it at all.”
Gavi meringis, menampakkan deretan gigi depannya yang seputih gading. “Nggak sampai di situ, we kinda did little more…”
Mata Sherin menyipit, “little more of what?”
“You hammered and you danced naked in front of me… and—”
“I am—what?!” Rahang Sherin melemas, “jadi kapan tepatnya lo mau bilang ini ke gue, Gav?”
Gavi terkekeh, berbanding terbalik dengan reaksi Sherin yang malu. “Pas kita honeymoon, mungkin? Jadi pas malam pertama gue bakalan ceritain ini biar lo ngerasa nggak canggung—”
“Ugh, Gavi!” Sherin memukul bahu di depannya untuk menutupi semburat malu yang muncul di pipinya, “you’re the one who take my v-card?! Kenapa nggak cerita?!”
“Ya gue malu lah,” sahut Gavi memegangi bahunya yang tak sakit, “it was my first time too, tapi gue inget dan lo enggak.”
“We were 16 back then, Gav? Oh my God!”
“Ya, thank God we’re married now.”
“Now I didn’t feel sorry for pregnant with Jean.”
Tangan Gavi merangkulnya kecil, “I don’t mind it at all, you’re mine now.”
“You little piece of shit,” umpat Sherin untuk pengantin prianya.
“Your little piece of shit,” koreksi Gavi kemudian menjatuhkan ciuman ke bibir Sherin. “Good luck marrying me.”
“Ya, I need it.”
Mereka berdua sepakat tidak akan pernah membicarakan hal itu lagi sampai kapanpun. Lebih tepatnya Sherin yang memohon pada Gavi untuk berhenti mengejeknya tentang insiden delapan tahun lalu yang bahkan tak diingat Sherin.
Setelah kembali bergabung dengan tamu undangan, Bianca tiba-tiba menarik Sherin untuk memberikan toast. Kini Sherin hanya bisa berpura-pura tersenyum ketika seluruh pasang mata terarah kepadanya.
“I remember the first day I met Gavi, kita sama-sama berumur lima tahun dan lagi main petak umpet sama Bianca di Eleanor, and we all three became a bestfriends since then,” ujar Sherin di depan pengeras suara dengan gelas tinggi berisi apple cider yang mirip dengan sampanye.
Kemudian Sherin terkekeh kecil, menutupi kegugupan dalam dirinya. Meski kegugupannya tidak sebanyak ketika ia berjalan di lorong altar, sementara pengantin pria dan ayah dari bayi di kandungannya sama-sama sedang berdiri menunggunya di ujung.
Tatapannya lari kepada Jean yang berdiri bersanding dengan papanya. Sesosok pangeran tampan yang ia kira akan menjadi pemeran utama di hari bahagianya, tetapi berakhir sebagai salah satu bab di bukunya yang telah ia rampungkan. Bibir pria itu tersenyum tipis, membuat Sherin kembali menatap pengantin prianya, Gavi, dengan kebenaran yang baru ia ketahui beberapa menit lalu.
“When my world fell apart, Gavi was there for me, stroked his tumb to wipe my tears, comfort me, while I wish someone else could do.” Sherin menundukkan pandangan, “dan di situlah saya sadar, selalu Gavi yang ada di sana di saat saya terpuruk. Dia nggak pernah berubah, selalu tulus dan berlaku sebaik-baiknya sebagai seorang teman. Teman seperti dia yang selalu saya minta kepada Tuhan, dan sekarang saya bersyukur kita menjadi teman sehidup selamanya.”
Sherin mengusapkan sapu tangan putih ke bulu matanya yang basah, lalu mengangkat pandangan. Ia bertemu pandang dengan mata Gavi yang memerah, bulir bening membuat netranya berkilauan. Padahal pria itu baru saja terkekeh geli karena untuk menjahilinya.
Setelah memberi jeda yang cukup untuk membuat seluruh tamu undangan terbalut rasa haru, Sherin menutup kalimatnya. “Untuk Gavi dan petualangan seru kami yang baru dimulai. Cheers!”
“Cheers!” Dentingan gelas bergemuruh mengisi ruang pesta, tak terkecuali Gavi dengan orang-orang di sekelilingnya.
“You completely lost.”
Jean tersentak, mengalihkan pandang dari cairan martini biru di meja bar ke arah sumber suara yang mengajaknya berbincang. “I am.”
Adel terkekeh geli lalu mengeluarkan sesuatu dari clutch abu-abu di tangan kanannya. “Gue bisa buat lo move on, sekarang-pun masih bisa,” gumamnya sambil meletakkan dua tiket perjalanan kelas bisnis ke Rome, Italy.
“Gue nggak yakin yang ini bisa disembuhkan,” sahut Jean menatap lembaran tiket itu dengan tak acuh.
“Come on, Jean, don’t be such a jerk and just take a trip with me. It’s all on me.”
Jean meraih martini-nya dan menyesapnya perlahan, “lo kira dengan kekalahan gue hari ini bisa membuat lo memenangkan perdebatan sama gue? I don’t think so.”
“She’s married now, lo nggak berharap buat menghancurkan sebuah pernikahan demi ego lo sendiri, kan?”
“Please, I’m not you,” sindir Jean lalu membawa gelasnya menjauh dari Adel, “gue bertahan karena hal lain.”
“Are you serious right now?” Adel bergelanyut ke satu lengan Jean untuk tidak lari dari pembicaraannya, “lo udah ditinggal married dan lo masih menolak gue?”
Jean menarik lengannya dari jeratan Adel, “you’re not even worth it. Let me excuse myself.”
Berhasil melepaskan diri dari Adel—yang kemudian meninggalkan pesta, kini Jean bertemu mimpi buruknya. Sherin dengan gaun resepsi selutut yang sederhana, tetapi tetap menawan.
“Gavi sent me to talk with you,” ucapnya sambil mengambil gelas martini di tangan Jean dan menggantinya dengan gelas tinggi sampanye yang beralkohol rendah.
“Saya kira kita udah cukup ngobrol kemarin di apartemen saya?”
Sherin tergelak kaku, “gue nggak mau ngomongin soal kita, tapi soal bayinya,” ia kemudian menambahkan, “oh, iya, om Jean bisa ngomong santai sekarang, jangan pake ‘saya’ lagi.”
“Aneh rasanya harus ngomong ‘lo-gue’ sama kamu.”
“Biasakan mulai sekarang,” tegas Sherin dengan senyuman yang memaksa, “karena kalau lo mau ini berhasil, lo harus berhenti berlaku like you used to be. Bisa, kan?”
Mau tak mau Jean harus tersenyum, “gue coba pelan-pelan.”
“That’s a good start.” Sherin mengapresiasi, “gue akan kabari lo soal perkembangan bayinya, lo bisa ikut andil senyaman lo, mungkin bisa kunjungan tiga kali seminggu atau kurang—dengan persetujuan Gavi tentunya.”
“Makasih, Sherin,” Jean mengangguk lega mendengarnya. Setidaknya ada yang tersisa dari hubungannya, meski akan berhenti sebatas dua orang—tanpa status—yang berhubungan baik demi calon anak mereka.
Sherin tak bisa menahan dirinya untuk maju dan memeluk Jean yang dua puluh senti lebih tinggi darinya. “You’re gonna be a good dad, Jean,” bisiknya di tengah-tengah pelukannya. “Don’t forget to date, you’ll love it.”
Not as lovely as I dated you, pikirnya memejamkan matanya sembari memenuhi hidungnya dengan aroma stroberi yang tidak pernah tanggal dari diri Sherin dalam dekapannya. “I work on it,” kekehnya membalas.
Beberapa detik berada di dekat Jean terasa seperti puluhan jam yang Sherin tempuh untuk pergi berkeliling dunia. Mual, dan menyesakkan. “Jean,” ujarnya memperingatkan orang yang tak ingin pelukan itu segera usai. “People are watching us.”
Di detik Jean melonggarkan dekapannya, di situlah selamat tinggal menampar wajah tampannya. “I just want you to know that no matter what happen, I will always—”
“Jean, no,” sela Sherin cepat.
“—always love you.”
“I love you too, Jean,” balas Sherin lalu buru-buru menambahkan, “I love you as the baby’s father.”