ceciliannee


Saat kakinya berputar dan dihadapkan oleh dua pasang mata di ruangan pengantin wanita, jantung Sherin berdebar kian membara. Bianca mengambil lembar demi lembar tisu yang kemudian ia layangkan ke muka, sementara Tony—papa Sherin yang berdiri tak jauh darinya dengan setelan resmi—menatap Sherin tanpa berkedip.

“Kamu mirip sekali sama Mama kamu, Sherin,” katanya, masih belum mengedipkan kelopak matanya. Bayi yang dua puluh empat tahun lalu berada dalam dekapannya, kini siap ia antar menuju ke kehidupan pernikahan.

Sherin meloloskan senyum ketika Tony masih melibatkan Clarisa meski keabsenannya hari ini adalah kehendak Tony. “Papa juga keren banget, pake fancy tux!

You guys ready?” Bianca menyudahi tangisan kilasnya dan beranjak dari duduknya. Ia melemparkan buket bunga lavender yang dirangkai praktis dalam satu genggaman ke arah Sherin, lalu membetulkan tule gaunnya. “Remember our rehearsel, okay?

Bianca mengintruksi dengan jelas, bridesmaid berjalan terlebih dahulu, sepuluh detik kemudian Sherin melangkah dalam genggaman Tony. Namun Tony mencekal lengan Sherin dengan lembut, membuat jadwal mereka di altar melambat beberapa detik.

“Papa simpan sesuatu khusus untuk hari ini,” ucapnya kecil kemudian mengeluarkan kotak kecil dari saku celana licinnya. “Mungkin ini bisa jadi something blue, atau something borrowed untuk kamu.”

Kotak beludru itu tidak berisi berlian yang mewah dan berkilau, melainkan sebuah penjepit rambut biru pudar berbahan plastik berhiaskan pita warna putih kecil di atasnya.

I remember this,” kekeh Sherin, “ini something blue-nya Mama, kan?”

Tony ikut terkekeh, “betul,” kemudian jemarinya menyisipkan jepit rambut plastik ke sela-sela gulungan rambut Sherin. “Sekarang ini punya kamu.”

“Papa…”

“Ini mungkin bukan hal yang bisa dinilai dengan uang, tapi ini berharga—buat Papa.” Tony mengeratkan cengkeraman di jemari Sherin, “ini jepit rambut yang dipakai Mama waktu pertama kali Papa ajak ngedate. Papa sengaja simpan ini buat bisa dipakai hari ini.”

“Pa…,” suara Sherin tertahan di kerongkongan, “I love it, makasih, Papa.”

“Sama-sama, Sayang,” kecupan kecil dilayangkan ke puncak kepala Sherin, “let’s get you married.”

Sherin bersandar ke bahu Papanya, ungkapan kecil Tony melengkapi hari bahagianya. Tony memang bukan figur papa yang menembakinya dengan serbuan kasih sayang, tetapi pria itu mempunyai caranya sendiri untuk menunjukkannya. Dan hairpin itu adalah salah satunya.

Lorong altar tidak seperti dalam bayangannya—menakutkan dan menyeramkan. Ia takut tergelincir dari sepatu heelsnya, atau berjalan terlalu lambat hingga tamu undangan bosan menatapnya. Tidak. Sherin tersenyum ringan di dalam naungan papanya. Degup jantungnya menormal sampai sesuatu di altar membuatnya kehilangan oksigennya. Jean berdiri di altar.

Ia melirik Gavi yang juga berada di altar, pria itu menyunggingkan senyuman mengejek. Permainan apa yang sedang Gavi coba mainkan dengan menempatkan Jean sejajar dengannya di altar? Apa ini sebuah ujian? Ataukah teka-teki? Kenapa di saat serius begini Gavi bersikap sangat Gavi?

Sherin menjaga kontak matanya tetap pada Gavi ketika Jean berdiri tak jauh darinya. Ia menangkap senyuman kecil dari tempat Jean berpijak. Sebuah senyum kerelaan yang persis seperti di bayangan Sherin. Pria itu sepenuhnya merelakannya, walaupun Sherin perlu mengancamnya dengan embel-embel jabang bayinya. Sherin kembali dilanda ketenangan, meski ia harus memukul Gavi setelah upacara pernikahan usai.

Ketika ia sampai di altar, papanya melepaskan genggaman jemarinya dan menyerahkan Sherin pada tangan Gavi. Tatapannya mengunci pada Gavi, begitu pula pria itu yang memandangnya samar-samar dibalik tudung gaun.

What is he doing here?” bisik Sherin kecil, wajahnya menampilkan senyum terbaik karena adanya kamera yang mengambil gambar.

Gavi mengabaikan pengantinnya, ia hanya mengulang kalimat pendeta sebagai janji suci yang akan ia jaga hingga maut memisahkan. Senyum jahilnya mungkin tercetak di bibirnya, tapi jantungnya tak berhenti merapalkan sebuah mantera. Tidak.. jangan batalkan pernikahan ini, Sherin.. tidak mungkin kamu mau membatalkannya hanya karena melihat Jean, kan? Tidak.. jangan..

“Saya menerima kamu, Gaviandra Saputra…,” suara lirih Sherin menembus dadanya, membuat lubang di sana dan mengisinya dengan masa depan indah yang akan mengiringi pernikahan mereka, “… sebagai seorang suami, dalam suka maupun duka…”

Rentetan janji yang terucap dari bibir Sherin ditutup dengan napas Gavi yang panjang dan berat. Taruhannya telah usai, dan ia maju sebagai pemenang.

Gavi meraih ujung tudung Sherin, menyibaknya ke belakang gulungan rambut dan mendapati wajah Sherin yang tak bisa dideskripsikannya dengan kata-kata. Pada senyuman manis itulah Gavi menjatuhkan hati. Seperti hari-hari penyiksaan yang dialami Gavi beberapa tahun terakhir, akhirnya Tuhan mengabulkan satu pintanya. Namanya dan nama Sherin melabuh dalam ikatan pernikahan.

Kiss me now, you idiot,” titah Sherin dengan tarikan geli di ujung bibirnya.

Gavi terlalu mengagumi indah paras Sherin hingga membuat tamu undangan—yang jumlahnya hanya belasan orang—menunggu. Gavi mendaratkan kecupan kecil di bibir Sherin, yang kemudian disambut meriah oleh tamu undangan.

Sherin menarik Gavi mendekat, membisikkan sesuatu di telinga pria itu. “I thought the idea of me and you kissing at the altar might be awkward. Turns out it wasn’t at all.”

Untuk membalasnya, Gavi-pun mendekatkan bibirnya di sela-sela tudung Sherin. “Mungkin karena ciuman yang ini bukan yang pertama kalinya, makanya nggak canggung sama sekali.”

“What?”

Gavi menarik pinggang ramping Sherin mendekat untuk sesi pemotretan dengan tamu undangan. Ia mengabaikan kedua alis Sherin yang terpaut sepanjang sore, sepertinya sengaja membuat Sherin penasaran dengan kalimat ambigu yang Gavi lontarkan padanya. Bukan yang pertama kali? Sherin tidak ingat pernah mencium pria itu, ia bahkan tak ingat berada di radius kurang dari semeter darinya!

Spekulasi demi spekulasi yang tercipta di kepala Sherin membuatnya disibukkan. Sepenuhnya melupakan kehadiran Jean di tengah-tengah resepsi yang diadakan tepat setelah acara pemberkatan. Ia berdansa dengan papanya, mungkin menjadi pertama kali dan satu-satunya dansa yang akan diberikan Tony padanya.

“Maksud lo apa tadi?” Sherin menarik tangan Gavi menjauh ke ujung ruangan, tempat yang jarang tersorot oleh tamu undangan.

Gavi mengedikkan bahunya kecil, “I said what I said.”

“Ya maksudnya apa?” desak Sherin tidak sabar, “kita kan nggak pernah ciuman sama sekali!”

“Seinget gue sih pernah,” sahut Gavi ambigu, “lo aja yang lupa.”

Sherin terpaksa tersenyum sambil meletakkan tangannya di kedua bahu Gavi yang lebar. “Jangan bertele-tele, Gav, maksud lo apa?”

“Penasaran?”

Yuh-huh!

“Tapi jangan marah, ya?”

Don’t give me a reason to get mad!

Gavi tersenyum jahil, “ingat pesta ulang tahun Bianca ke-tujuh belas?”

The one that I get drunk from a bottle of wine?

“Lo inget sempat ngobrol sama Jean, kan? And then uncle Jo was caught you both di taman belakang Eleanor?”

Do you have a point?

“Jadi malam itu, uncle Jo suruh gue buat bawa lo yang lagi mabuk ke kamar atas Eleanor.”

Sherin tersenyum kecut, “oh, pas itu ternyata. Well, sorry, Gav, I don’t remember it at all.”

Gavi meringis, menampakkan deretan gigi depannya yang seputih gading. “Nggak sampai di situ, we kinda did little more…

Mata Sherin menyipit, “little more of what?

You hammered and you danced naked in front of me… and—

I am—what?!” Rahang Sherin melemas, “jadi kapan tepatnya lo mau bilang ini ke gue, Gav?”

Gavi terkekeh, berbanding terbalik dengan reaksi Sherin yang malu. “Pas kita honeymoon, mungkin? Jadi pas malam pertama gue bakalan ceritain ini biar lo ngerasa nggak canggung—”

“Ugh, Gavi!” Sherin memukul bahu di depannya untuk menutupi semburat malu yang muncul di pipinya, “you’re the one who take my v-card?! Kenapa nggak cerita?!”

“Ya gue malu lah,” sahut Gavi memegangi bahunya yang tak sakit, “it was my first time too, tapi gue inget dan lo enggak.”

We were 16 back then, Gav? Oh my God!”

“Ya, thank God we’re married now.

Now I didn’t feel sorry for pregnant with Jean.”

Tangan Gavi merangkulnya kecil, “I don’t mind it at all, you’re mine now.”

You little piece of shit,” umpat Sherin untuk pengantin prianya.

Your little piece of shit,” koreksi Gavi kemudian menjatuhkan ciuman ke bibir Sherin. “Good luck marrying me.

Ya, I need it.

Mereka berdua sepakat tidak akan pernah membicarakan hal itu lagi sampai kapanpun. Lebih tepatnya Sherin yang memohon pada Gavi untuk berhenti mengejeknya tentang insiden delapan tahun lalu yang bahkan tak diingat Sherin.

Setelah kembali bergabung dengan tamu undangan, Bianca tiba-tiba menarik Sherin untuk memberikan toast. Kini Sherin hanya bisa berpura-pura tersenyum ketika seluruh pasang mata terarah kepadanya.

I remember the first day I met Gavi, kita sama-sama berumur lima tahun dan lagi main petak umpet sama Bianca di Eleanor, and we all three became a bestfriends since then,” ujar Sherin di depan pengeras suara dengan gelas tinggi berisi apple cider yang mirip dengan sampanye.

Kemudian Sherin terkekeh kecil, menutupi kegugupan dalam dirinya. Meski kegugupannya tidak sebanyak ketika ia berjalan di lorong altar, sementara pengantin pria dan ayah dari bayi di kandungannya sama-sama sedang berdiri menunggunya di ujung.

Tatapannya lari kepada Jean yang berdiri bersanding dengan papanya. Sesosok pangeran tampan yang ia kira akan menjadi pemeran utama di hari bahagianya, tetapi berakhir sebagai salah satu bab di bukunya yang telah ia rampungkan. Bibir pria itu tersenyum tipis, membuat Sherin kembali menatap pengantin prianya, Gavi, dengan kebenaran yang baru ia ketahui beberapa menit lalu.

When my world fell apart, Gavi was there for me, stroked his tumb to wipe my tears, comfort me, while I wish someone else could do.” Sherin menundukkan pandangan, “dan di situlah saya sadar, selalu Gavi yang ada di sana di saat saya terpuruk. Dia nggak pernah berubah, selalu tulus dan berlaku sebaik-baiknya sebagai seorang teman. Teman seperti dia yang selalu saya minta kepada Tuhan, dan sekarang saya bersyukur kita menjadi teman sehidup selamanya.”

Sherin mengusapkan sapu tangan putih ke bulu matanya yang basah, lalu mengangkat pandangan. Ia bertemu pandang dengan mata Gavi yang memerah, bulir bening membuat netranya berkilauan. Padahal pria itu baru saja terkekeh geli karena untuk menjahilinya.

Setelah memberi jeda yang cukup untuk membuat seluruh tamu undangan terbalut rasa haru, Sherin menutup kalimatnya. “Untuk Gavi dan petualangan seru kami yang baru dimulai. Cheers!

Cheers!” Dentingan gelas bergemuruh mengisi ruang pesta, tak terkecuali Gavi dengan orang-orang di sekelilingnya.


You completely lost.”

Jean tersentak, mengalihkan pandang dari cairan martini biru di meja bar ke arah sumber suara yang mengajaknya berbincang. “I am.”

Adel terkekeh geli lalu mengeluarkan sesuatu dari clutch abu-abu di tangan kanannya. “Gue bisa buat lo move on, sekarang-pun masih bisa,” gumamnya sambil meletakkan dua tiket perjalanan kelas bisnis ke Rome, Italy.

“Gue nggak yakin yang ini bisa disembuhkan,” sahut Jean menatap lembaran tiket itu dengan tak acuh.

Come on, Jean, don’t be such a jerk and just take a trip with me. It’s all on me.

Jean meraih martini-nya dan menyesapnya perlahan, “lo kira dengan kekalahan gue hari ini bisa membuat lo memenangkan perdebatan sama gue? I don’t think so.

She’s married now, lo nggak berharap buat menghancurkan sebuah pernikahan demi ego lo sendiri, kan?”

Please, I’m not you,” sindir Jean lalu membawa gelasnya menjauh dari Adel, “gue bertahan karena hal lain.”

Are you serious right now?” Adel bergelanyut ke satu lengan Jean untuk tidak lari dari pembicaraannya, “lo udah ditinggal married dan lo masih menolak gue?”

Jean menarik lengannya dari jeratan Adel, “you’re not even worth it. Let me excuse myself.

Berhasil melepaskan diri dari Adel—yang kemudian meninggalkan pesta, kini Jean bertemu mimpi buruknya. Sherin dengan gaun resepsi selutut yang sederhana, tetapi tetap menawan.

“Gavi sent me to talk with you,” ucapnya sambil mengambil gelas martini di tangan Jean dan menggantinya dengan gelas tinggi sampanye yang beralkohol rendah.

“Saya kira kita udah cukup ngobrol kemarin di apartemen saya?”

Sherin tergelak kaku, “gue nggak mau ngomongin soal kita, tapi soal bayinya,” ia kemudian menambahkan, “oh, iya, om Jean bisa ngomong santai sekarang, jangan pake ‘saya’ lagi.”

“Aneh rasanya harus ngomong ‘lo-gue’ sama kamu.”

“Biasakan mulai sekarang,” tegas Sherin dengan senyuman yang memaksa, “karena kalau lo mau ini berhasil, lo harus berhenti berlaku like you used to be. Bisa, kan?”

Mau tak mau Jean harus tersenyum, “gue coba pelan-pelan.”

That’s a good start.” Sherin mengapresiasi, “gue akan kabari lo soal perkembangan bayinya, lo bisa ikut andil senyaman lo, mungkin bisa kunjungan tiga kali seminggu atau kurang—dengan persetujuan Gavi tentunya.”

“Makasih, Sherin,” Jean mengangguk lega mendengarnya. Setidaknya ada yang tersisa dari hubungannya, meski akan berhenti sebatas dua orang—tanpa status—yang berhubungan baik demi calon anak mereka.

Sherin tak bisa menahan dirinya untuk maju dan memeluk Jean yang dua puluh senti lebih tinggi darinya. “You’re gonna be a good dad, Jean,” bisiknya di tengah-tengah pelukannya. “Don’t forget to date, you’ll love it.

Not as lovely as I dated you, pikirnya memejamkan matanya sembari memenuhi hidungnya dengan aroma stroberi yang tidak pernah tanggal dari diri Sherin dalam dekapannya. “I work on it,” kekehnya membalas.

Beberapa detik berada di dekat Jean terasa seperti puluhan jam yang Sherin tempuh untuk pergi berkeliling dunia. Mual, dan menyesakkan. “Jean,” ujarnya memperingatkan orang yang tak ingin pelukan itu segera usai. “People are watching us.

Di detik Jean melonggarkan dekapannya, di situlah selamat tinggal menampar wajah tampannya. “I just want you to know that no matter what happen, I will always—

“Jean, no,” sela Sherin cepat.

—always love you.”

I love you too, Jean,” balas Sherin lalu buru-buru menambahkan, “I love you as the baby’s father.”

Song related : Before You Go by Lewis Capaldi


“Waah!”

Mulut penuh Bianca menganga, mencermati Sherin yang keluar dari tirai putih tempatnya menge-pas gaun dan membuatnya seperti seorang putri kerajaan. Gaun panjang yang membungkus lekuk tubuh Sherin terlihat sederhana, berbahan satin tanpa lengan yang berkilau bila ditempa cahaya lampu. Potongan dadanya setinggi tulang selangkanya, tetapi ketika Sherin memutar, Bianca bisa melihat gaun itu mengekspos punggung mulusnya.

Okay, what do you think?” Sherin menarik senyum kaku sembari membetulkan tudung berenda yang menutupi seluruh wajahnya.

Bianca meletakkan gelas sampanye-nya di meja rendah, ia bahkan beranjak dari sofa empuk hanya untuk bertepuk tangan. “Lo cantik banget,” pujinya dengan buliran bening yang lolos dari pelupuk matanya.

Sherin membalikkan muka secepat kilat, menyembunyikan matanya yang berair karena ekspresi Bianca. “Baru gaun pertama udah dibilang cantik aja.”

“Ini aja, you should take this,” desak Bianca dengan jemari menutupi mulutnya, “I can’t believe you’re getting married!

Sherin benci mengatakan bahwa ia lebih suka Bianca yang judes dan kejam daripada Bianca yang berusaha mati-matian menahan tangisan agar tidak berubah menjadi rengekan penuh haru. Bukan saja itu membuat Sherin ikut menangis, hal itu membuatnya cemas. Ia memiliki keraguan. Apa keputusannya sudah cukup matang? Menikahi orang yang tidak seharusnya ia beri tanggung jawab sebesar seorang bayi? Dan bagaimana pendapat pria yang seharusnya ia nikahi? Apa mereka akan menjadi co-parents meski Sherin menikahi pria lain?

Matanya memicing pada pantulan dirinya di cermin. Ketika tirai putih yang membatasi tempat ia berganti gaun ditutup dan hanya ada dirinya di sana, ia bergulat dengan bayangan dirinya sendiri. Mengabaikan betapa indahnya gaun yang melekat di tubuhnya dan lebih mementingkan nasib pernikahan dadakan ini ke depannya.

Bukan Jean, melainkan Gavi. Kepalanya berputar pada skenario jahat yang Sherin limpahkan pada Gavi. Setelah menjadi manusia tersadis karena mengabaikan perasaan pria itu selama bertahun-tahun, kini ia kembali menghukum Gavi dengan ikatan pernikahan. Gavi memang menginginkan pernikahan ini, tetapi Sherin membutuhkannya, untuk lari dari Jean.

Tirai putih di belakangnya dibuka paksa, membuat Sherin buru-buru menyeka pipinya yang basah karena airmata pengampunan. Jean berdiri di sana untuk beberapa detik penuh keheningan, kemudian menutup tirai setelah memasukkan dirinya ke tempat Sherin akan mengganti gaunnya. Pria itu mengenakan jaket kulit kasualnya, celana jins belel dan mukanya terlihat berantakan. Rambutnya tidak tertata seperti biasanya, wajahnya kusut dan jelas jika pria itu tidak bercukur selama berhari-hari.

Sherin tidak sempat terkejut dengan kedatangannya, ia terlalu sibuk menyamarkan airmatanya begitu melihat pria itu menatapnya dengan pandangan terluka. Ia asumsikan bahwa pria itu tahu tentang pernikahan dadakan ini.

You look beautiful,” Jean berdiri tepat di belakang Sherin, sementara Sherin menatapnya balik melalui cermin di hadapan mereka. “This is exactly what happened in my dream. You in the white wedding dress.

Do you want to be there? At my wedding?” Sherin bertanya, tak ada salahnya berbasa-basi walau ia tak berharap pria itu akan menjawab iya.

We need to talk,” kata Jean melangkah mendekati Sherin, “kamu mau keluar sendiri atau saya yang robek gaunnya dan gotong kamu keluar?”

Sherin tersenyum miring, “gaun ini harganya jutaan, lo mau ganti rugi kalau sampai rusak?”

“Saya bisa beli ratusan gaun untuk saya robek, kalau gaun itu bukan gaun yang kamu pakai di pernikahan kita.”

Desisan Jean masuk ke telinga Sherin bagai ancaman penuh kesungguhan. Bibir pria itu mengatup rapat, kemarahan terpampang menyala di sorot matanya. Sherin menggigil berada tak jauh dari sosok Jean, bahkan untuk menelan saliva-nya saja ia tak mampu.

“Tunggu di luar, gimme five.”

Jean melangkah keluar, menyibakkan tirai dan menampakkan Bianca yang melontarkan argumen kasar kepada Jean. Sherin buru-buru melepaskan gaun mewah itu dan merasa muram ketika ia kembali mengenakan pakaiannya yang biasa. Celana santai dan sweternya tidak membuatnya merasa spesial. Apalagi kenyataan bahwa Jean menunggunya di balik tirai putih itu, menyeretnya untuk berbicara empat mata… Sherin mendadak merasakan perutnya yang menggulung.

“Sherin, don’t!” Bianca berseru, sebelah tangannya menghadang Sherin yang baru keluar dari tirai.

“Nggak papa, Bi,” gumamnya mengusap kecil lengan Bianca, “kayaknya emang harus diselesaikan, biar gue nggak ada beban di hari pernikahan.”

Jean mengulurkan satu lengannya, hendak menuntun Sherin ke dalam mobilnya dengan menggandengnya. Sherin menghapus senyum dan mengabaikan tangan Jean, kemudian ia berjalan melewatinya. “Di mana kita mau ngobrol?”

Merasa tertolak, Jean menghela napas sembari mengekori langkah Sherin yang tergesa-gesa. “Ke mana pun kamu mau,” ucapnya berhasil mendahului langkah Sherin dan membukakan pintu mobil untuknya.

Sherin berbelok ke sisi lain mobil, tepatnya di kursi pengemudi. “Gue yang nyetir,” gumamnya sebelum membanting pintu mobil.

Jean berusaha menahan amarah yang terkumpul di pembuluh darah kepalanya, tetapi ia sadar bila dirinya tidak sedang di pihak yang bisa menyuarakan kekesalan. Sudah bagus jika Sherin mau diajak untuk bicara berdua, setelah apa yang telah ia lakukan kepada wanita itu.

Bisa diduga jika Sherin membisu di perjalanan. Matanya fokus ke jalanan, menyetir tanpa mempedulikan kehadiran Jean di sampingnya dan membelokkan mobil tanpa kesepakatan ke gedung apartemen Jean. Bahkan di dalam kotak lift, Sherin melipat tangannya angkuh sambil memperhatikan dinding lift—mengabaikan setiap ucapan yang keluar dari Jean.

Now, talk.” Setelah masuk ke dalam apartemen, barulah wanita itu bersuara. Sherin berdiri di balkon, menjaga jarak dari Jean yang duduk di sofanya.

“Apa kita—” Jean berdeham memberi jeda, “apa kita betulan sudah selesai?”

“Ya.”

Jean mengerutkan keningnya tidak suka. “Kenapa kamu berdiri di situ? Duduk sini, Sher, I know how much you love this couch.

Sherin menyeringai, menyadari maksud perkataan Jean tentang sofa yang sedang diduduki pria itu. Di situlah tempat bayi di kandungannya diciptakan. “Kalau cuma mau ngomongin itu, gue mau—”

“Sherin.” Jean menyela cepat, “saya tahu kamu hamil. Anak saya.”

Tangan Sherin meraih pegangan balkon, menggenggam benda itu untuk mencari kekuatan. “Did Bianca—?”

“Gavi,” sahut Jean, “dia yang kasih tahu saya.”

“Gavi kasih tahu lo? Tapi… kenapa?”

Jean menyipitkan matanya seraya bangkit dari sofa, “jadi kamu berniat nggak akan pernah kasih tahu saya soal bayi saya?”

“Dih, tanya ke Adel juga sana, kali aja dia juga hamil anak lo!”

“Sherin!” Jean menaikkan nada ucapannya, amarah yang dipendamnya perlahan tumpah dan lepas dari kendalinya. “Bisa kah kita ngomongin kita dulu—dan bayi kita—tanpa melibatkan siapapun?”

Excuse me, bayi kita?” Sherin terbahak mendengar kenyataan konyol itu, “siapa bilang bayi ini akan jadi bayi lo? Haha, seriously?

“Maksud kamu apa, Sherin?”

“Bayi ini akan jadi anak gue… sama Gavi.”

Jean mendengar suara pecahan di kepalanya, cukup nyaring hingga oksigen yang ia hirup tertahan di nasofaring. Dan suara itu berasal dari pecahan hatinya yang hancur, tak bersisa. “You gotta be fucking kidding me,” bisiknya tak mempercayai apapun yang baru saja ia dengar.

Sherin menarik satu senyuman lebar ketika rencananya untuk membalas dendam pada pengkhianatan Jean itu berakhir mulus. Meski bayangan Jean bersama Adel akan selamanya tinggal secara gratis di kepala Sherin, setidaknya ia mendapatkan kesenangan sementara atas ekspresi Jean yang seperti tertampar bara api.

“Sherin… saya tahu kamu marah,” gumam Jean separuh memohon, “but, you can’t do this to me, Sher. Ini nggak adil.”

I think it’s fair enough,” kekeh Sherin, bagai busur panah yang menancap persis di jantung Jean. “Dari seseorang gue belajar sesuatu. Hukuman paling tepat untuk seseorang yang selingkuh adalah dengan nggak bisa ketemu dan nggak bisa memiliki darah dagingnya sendiri.”

Jean menelengkan kepalanya kecil, matanya memicing ketika pidato kecil Sherin terdengar seperti sebuah cerita orang yang dikenalnya. Itu potongan kisah kedua orangtua Sherin, teman-teman baiknya. Jean di sana ketika Tony diselingkuhi dan membatasi ruang gerak Clarisa ketika menyangkut putri semata wayang mereka. Dan kini Jean adalah Clarisa—yang akan dibatasi ruang geraknya.

“Saya bukan mama kamu, Sherin.”

Sherin mengeratkan pegangan di balkon, “memang bukan. Lo lebih buruk dari dia, Jean. Lo tahu tentang bokap nyokap gue karena mereka teman lo, dan lo mengulang sejarah mereka ke anak mereka.”

“Clarisa meninggalkan kamu dan Tony, tapi saya nggak.” Jean melangkah mendekati Sherin, masih dengan tatapan mengiba, “Sher, saya di sini, saya nggak kabur ke mana-mana.”

Ketika jemari Jean terulur untuk menariknya masuk ke dalam apartemen, Sherin menurut. Bahkan ketika Jean menariknya dalam dekapan posesif, ia menerimanya.

“Janji nggak bakal ke mana-mana?” tanya Sherin nyaris berbisik.

Jean mengangguk dalam pelukannya. Ia menyesap lekat-lekat aroma yang menguar dari puncak kepala Sherin, mengobati kerinduan yang menggila. “I love you, Sherin, I will never leave, not now. Not ever.

Then lemme go,” Sherin memejamkan matanya, menikmati detak jantung Jean dan pelukan yang bisa jadi adalah pelukan terakhir mereka. Ia sudah memilih, dan tidak bersama Jean adalah keputusan yang bijak. “Lemme go, Jean.”

“Sher?”

Sherin mendorong dada Jean untuk memberi jarak dan menyeka sudut matanya yang sempat meloloskan bulir bening. “Gue tetap akan nikah sama Gavi, I don’t need your blessing.”

“Maka siap-siap pernikahan kamu kacau karena percayalah, Sherin, saya nggak akan diam saja melihat kamu menikah—tapi bukan sama saya.”

“Kalau lo mengacau, gue pastikan lo nggak akan pernah ketemu anak lo, Jean.” Sherin mengambil langkah mundur, keyakinannya tidak semudah itu digoyahkan oleh Jean. “Tentukan pilihan lo, Jean.”

Jean mengerang, “pilihan? Kamu nggak kasih saya pilihan, Sherin! Kalau saya pilih bayinya, saya kehilangan kamu! Kalau saya pilih kamu, saya kehilangan kalian berdua! Pilihan apa yang saya punya sekarang?”

You do,” kata Sherin dengan berat hati, “terima pernikahan gue dan Gavi, maka lo akan punya kesempatan sama anak lo.”

Jean menghela napas kasar dan menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Ia menunduk, dengan siku tertekuk di paha dan menyangga kedua tangannya yang diletakkan di kepalanya. Bukan akhir seperti ini yang ia harapkan dari hubungannya dengan Sherin, apalagi melibatkan seorang bayi, yang bisa jadi adalah satu-satunya kesempatannya memiliki seorang bayi. Itu-pun bila ibu dari bayi itu mengizinkan Jean untuk memilikinya. Jika tidak, ia benar-benar hancur. Kehilangan ibu dari anaknya beserta anaknya.

“Pilih saya, Sherin. Apa yang nggak saya punya yang dimiliki Gavi? Kenapa harus Gavi? Kenapa bukan saya?”

Sherin mati-matian menahan airmata membanjiri mukanya. Ia berusaha tersenyum, meski melihat Jean sehancur itu membuatnya hancur pula.

“Lo punya segalanya, Jean. Lo lebih dewasa, lo jauh lebih kaya, dan yang terpenting you own my heart, sepenuhnya punya lo, sesuatu yang nggak dimiliki Gavi. But you break it, and that’s something Gavi would never do.

Warning : there's some inappropriate words below, please be wise.


Jemari Sherin nyaris mengetikkan sandi apartemen Jean, karena susunan angka itu telah diingatnya diluar kepala. Tapi kemudian ia berhenti dan memilih menekan bel apartemen yang letaknya tepat di sebelah papan sandi.

Ia menyiapkan senyum terbaiknya, berharap ketika pintu itu terbuka, pelukan Jean lah yang akan menyambutnya.

“Sherin?”

Senyumnya tandas begitu melihat seorang wanita yang berdiri di sana, hanya mengenakan bathrob dan rambut panjangnya yang kusut karena basah. Adel tersenyum menatap mata Sherin yang membulat kaget, tangannya terlipat di depan dada dan badannya menyandar kecil ke pintu besi yang dibuka lebar.

May we help you, Sherin?” tanyanya menggoda, menekankan kalimat 'we' yang merajuk pada 'ia dan Jean' sebagai penghuni apartemen pada Sherin, tamu tak diundang.

Kelu, Sherin kehilangan kosakata. Ia membuang muka lalu memilih menapakkan kaki menjauhi apartemen nomer 127 dengan perasaan tak karuan. Kakinya setengah berlari begitu pintu lift yang berhasil membawanya ke lobby gedung apartemen terbuka. Ia ingin secepat kilat menghilang dari bumi, daripada menghadapi kenyataan bahwa ayah dari anak yang dikandungnya sedang berduaan di apartemen dengan mantan pacarnya.


Who's that?” Jean bertanya, lalu melemparkan handuk kering ke tangan Adel untuk mengeringkan kepalanya yang lembab.

“Biasa, pihak gedung cuma mau ngecek keadaan sekitar,” jawab Adel sambil mengusap rambutnya dengan handuk kecil, “thanks ya, gue nggak tahu kemana lagi harus minta tolong.”

Jean mengangguk dan duduk di sofa, “lain kali kalau mau photoshoot tuh bawa baju ganti.”

“Iya-iya, bawel!”

“Lo bisa cepet pergi nggak?” desak Jean sembari beberapa kali mengecek jam di pergelengan tangannya, “soalnya Sherin mau kesini, gue nggak mau dia salah paham sama situasi kayak gini.”

Oh! “Kalian udah baikan?” tanya Adel basa-basi, berusaha menahan tawanya.

Jean melirik jemari Adel yang dihiasi banyak cincin, tapi hanya satu cincin yang menarik di matanya. “Bisa balikin cincin yang lo curi? Gue mau lamar Sherin pake cincin itu.”

“Ups, sorry,” Adel melepaskan benda berkilau dari jari manisnya, “gue kira cincin ini buat gue.”

Why would you think so?

Berat rasanya melepaskan lingkaran perak dilapisi belasan karat dari tangannya. Adel terlanjur jatuh cinta oleh cincin tersebut walau ia tahu bukan dirinyalah alasan benda itu dibeli Jean. “Gue kira lo mau lamar gue di malam.. you know, di malam kita.. you know..”

Had sex?” potong Jean kilat sembari menerima uluran cincin dari Adel, “gue mabuk, that's all, it didn't mean anything.

Jean tersenyum kecil pada benda mengkilat itu dan meletakkannya di rumahnya, kotak belundru warna maroon. Dirinya tak sabar melihat betapa kagetnya Sherin ketika ia berlutut dan melamarnya di balkon apartemennya. Tanpa tahu bahwa Sherin takkan pernah datang hari itu—setelah memergoki keeksistensian Adel di apartemen nomer 127 milik Jean.


“Nangis terus, nggak laper apa?”

Sherin mengerjapkan matanya yang membengkak, entah sejak kapan alat pengelihatannya terus-menerus memproduksi tetesan airmata yang kemudian membuat wajahnya seperti ditonjok dua kepalan tangan orang dewasa. Ia melihat Gavi duduk di kursi riasnya, memandangi Sherin diatas ranjang kamarnya seolah dirinya adalah seonggok daging lemas tanpa tulang.

“Makan yuk, lo mau apa?” tanya Gavi dengan segala effortnya yang patut Sherin acungi dua jempol, “jangan bilang diet, itu kalori makanan kemarin udah habis lewat tangisan lo soalnya.”

“Gue nggak bisa makan gitu aja setelah tahu ternyata nyokap gue selingkuh.”

So what? Dunia ini tetep berjalan semestinya walaupun lo jatuh, keseleo, mau patah tulang pun, dunia nggak peduli, Sher,” ucap cowok itu lalu ikut merebahkan diri di atas ranjang—tepat di sebelah Sherin berbaring telungkup. “Sekarang makan dulu, ya? Oke?”

“Nggak laper.”

“Apa perlu gue ajak Bianca juga?” tawar Gavi memandangi penampakan Sherin yang luar biasa kacau, “cocok deh kita bertiga, bikin perkumpulan anak broken home sabi kali ya?”

Mengabaikan banyolan Gavi, Sherin bergumam lirih, “gue nggak nyangka hidup gue bakalan kayak gini.”

“Kayak gini gimana, sih? Lo punya gue, si goblok yang dengan tololnya naksir lo even though ada nama cowok lain yang ada di hati lo sekarang.”

Sherin berbisik, “gue rasa lo akan jijik setelah tahu semuanya.”

Which is..?” Gavi menyibakkan anak rambut yang basah dari wajah Sherin akibat terkena airmatanya sendiri. “Lo bisa ngomong apa aja ke gue, Sher. Anggep gue sebagai brankas kecil yang passwordnya cuma lo yang tahu.”

“Apa passwordnya?”

“Gavi ganteng?”

Sherin tertawa kecil, “oke, Gavi ganteng.”

Password identified,” katanya membuat suaranya seperti kotak peti besi yang.

“Jean selingkuh.”

Your 39 years old boyfriend—Jean?

Sherin mengangguk, “dan gue lagi hamil anaknya.”

Satu alis Gavi terangkat, sungguh ia tak berharap sesuatu seperti itu yang ia dengar sekarang. Tapi pikirannya melayang pada perasaan cewek di depannya, hamil dan diselingkuhi, what a day.

“Melihat dari ekspresi lo, lo udah mulai jijik ya sama gue?”

“Sebaliknya, gue nggak terima, Sher,” jawab Gavi menggeser tubuhnya mendekati Sherin dan menawarkan sebuah lengan untuk merengkuhnya lebih dekat, “you choose him over me and look what he did now? Dia sadar nggak sih, lo berkorban banyak cuma demi bisa pacaran sama dia?”

Sherin menerima lengan Gavi yang hendak memeluknya, itu pertama kali ia merasakan rengkuhan hangat cowok tengil di sebelahnya. Ia merebahkan kepala beratnya di dada Gavi, memenuhi rongga hidungnya dengan parfum khas cowok itu—wangi musk segar kekayuan yang maskulin—dan mendengarkan debar jantungnya yang terpacu secara abnormal.

“Kenapa lo deg-deg an?”

“Pertanyaan bodoh macam apa tuh anjir?” Gavi tertawa menyamarkan merah di pipinya, “siapa yang nggak deg-deg an cuddle kayak gini sama lo?”

Cuddle? Sherin tak menyalahkan Gavi kalau cowok itu bilang mereka sedang cuddling karena posisi keduanya yang berpelukan diatas ranjang. Ia tak tahu jika dua lengan Gavi yang memeluknya erat bisa membuatnya nostalgia pada pelukan sang mama. Hangat dan manis, seolah memang kesanalah tempat untuk berpulang.

“Harusnya gue anggap lo lebih dari temen biasa dan harusnya gue nggak coba-coba sama omnya Bianca,” aku Sherin dan menggalungkan sebelah tangan melingkari pinggang Gavi, kian menempatkan dirinya di posisi ternyaman.

“Masih belum terlambat buat anggap gue lebih dari sekedar teman,” kata Gavi lalu berdeham kecil, “marry me, Sher.”

Sherin mendongak, bertemu pandang dengan pemilik badan kekar yang dipeluknya bagai teddy bear raksasa. “Did you not hear what I said? Gue hamil, Gav, anaknya Jean.”

So?” Gavi mengedikkan bahunya enteng, “jangan remehin gue, gue bisa kok jadi suami dan bapak yang baik.”

You're too good to be true, Gav,” gumam Sherin mengangkat jemarinya untuk menyapu rambut Gavi yang menutupi sebagian jidatnya, “I can't do this to you, lo harus dapat cewek lain yang memang layak dapatin lo. Bukan gue.”

Gavi menghela nafas panjang, lalu berujar kecil, “gue mau tanya—mungkin pertanyaan ini kedengeran basi, tapi—kenapa Jean, Sher?”

“Karena gue cinta sama dia.”

“Cuma itu?”

“Gue ngerasain kupu-kupu di perut gue—kayak yang orang-orang bilang pas kita lagi jatuh cinta,” gumam Sherin tak sedikitpun berbohong, “dan gue ngerasain itu sama Jean. Kayak, kalau sama dia gue berasa hidup dan semuanya jadi terasa lebih gampang.”

Just so you know, butterflies are just excitement, Sher, its not love, it could be a moment of joy,” masih dengan tatapannya yang sayu, Gavi kembali berkata, “or it could be a daddy issues.”

Ucapan Gavi terlalu masuk di akal Sherin, ia bahkan tak bisa menyangkal tembakan fakta yang Gavi arahkan padanya. Ia menelan salivanya berkali-kali, mencoba berbohong dengan berkata no, you're wrong, gue nggak mungkin kena daddy issues, tapi mustahil untuk berujar dusta ketika ia mengobrol empat mata dengan tatapan intens cowok di depannya.

“Mungkin lo kangen sama bokap lo yang dulu, lo butuh sosoknya tapi lo nggak dapet itu. Kebetulan aja ada Jean dan lo ngerasa itu adalah cinta, Sher, please wake up, dia itu nggak pantes buat lo, Sher.”

“Dia bapaknya anak gue, Gav,” itu satu-satunya pembelaan Sherin, ia mengaku kehabisan alasan lain untuk bertahan dengan Jean.

“Gue bisa jadi bapaknya.” Gavi melepas kontak mata dan kembali memeluk Sherin, “gue bisa dan gue mampu.”


Nyaris dua jam berlalu, Sherin membaringkan dirinya di atas ranjang ruangan terlarang di rumahnya—kamar pribadi mamanya. Ia mengabaikan debu-debu yang menjadi penghuni tetap ruangan itu, membiarkan dirinya dikerubungi oleh bayang-bayang samar kenangan terakhir kalinya ia bisa bebas berkeliaran di ruangan itu dengan mamanya.

Ia menarik satu sudut bibirnya, membayangkan Sherin kecil ikut mengabur bersama bayangan itu. Terjebak dalam pusaran masa lalu yang palsu, tanpa tahu jika waktunya dengan sang mama akan lenyap begitu ketok palu Pengadilan Agama ada di penghujung hubungan pernikahan Tony dengan Clarisa. Pernikahan yang kata orang-orang adalah sebuah happily ever after, tapi lucunya berujung perpisahan.

“Kamu ngapain di sini?”

Sebuah suara membuyarkan ruang fantasi Sherin, papanya berdiri di ambang pintu masuk—dengan kemeja garis-garisnya, lengkap dengan kacamata kerjanya yang bening. Tampaknya pria empat puluhan tahunan itu baru saja pulang dari jadwal kerjanya yang tak beraturan.

Sherin beranjak dari tidurnya, diiringi perasaan amarah yang terpupuk belasan tahun begitu menatap papanya—penyebab dirinya tak lagi bisa menemui mamanya. Ia bisa menipu perasaannya sendiri selama lebih dari seabad, tapi hari itu adalah puncak kekecewaannya. Melarangnya bertukar kabar dengan orang yang melahirkannya, seolah itu adalah dosa besar yang layak Sherin tebus bertahun-tahun.

“Kenapa? Nggak boleh juga?” tanyanya ketus, sambil meremas sprei kusut di ranjang, berharap ia bisa menahan emosinya yang meledak.

Tony membuang nafas panjang, kemudian melangkah masuk. Ia mengedarkan pandangan ke seisi ruangan nuansa putih gading tersebut, “di sini kotor, kamu kan ada alergi sama debu.”

Well, it doesn't matter, cuma ini yang kesisa dari Mama. Kenapa, Pa? Mau ambil yang ini juga?”

Bohong jika Tony tak acuh pada nada sarkasme yang anak gadisnya lontarkan. Tapi ia memilih melenggang pergi dengan bergumam kecil, “lebih baik kamu lupakan saja mamamu itu.”

Hah, gimana? “Maksud Papa?”

“Lupakan saja dia, lagipula kamu sudah lama nggak ketemu dengan dia, akan lebih mudah buat lupa, kan?”

Sherin tak percaya kalimat itu baru saja masuk ke gendang telinganya, mengalir kasar ke ulu hatinya dan sontak membuat dadanya sesak. Bagaimana bisa papanya menyuruhnya melupakan kenangan yang tak seberapa jumlahnya bersama mamanya?

“Pa, Mama lukain Papa sesakit apa sih, sampe Papa bersikap kayak gini?”

Tersentak akan pertanyaan anaknya, Tony tiba-tiba merasa canggung dan melangkah keluar ruangan. “Mana ada dia lukai Papa? Namanya saja orang bercerai, jelas sudah nggak berhak berhubungan.”

Sherin diujung batas kesabarannya, enough is enough. Sudah cukup jauh papanya lari dari kenyataan, ini saatnya Sherin tahu kebenaran dibalik sandiwara yang telah dilakoni papanya bertahun-tahun. Ia mengekori papanya keluar ruangan dan menembaknya dengan pernyataan, “Papa nggak mungkin bersikap kayak gini kalo kalian pisah baik-baik!”

“Kita bercerai, apa fakta itu kurang cukup untuk kamu pahami?”

“Pertanyaannya: kenapa, Pa? Dua orang yang disatukan Tuhan nggak mungkin dong tiba-tiba memutuskan buat bercerai gitu aja? Dan lagi, aku kena imbasnya, Pa! Aku nggak bisa ketemu Mama lagi, and sure I'm old enough to know what happened a dozen years ago.

Wajah Tony tanpa ekspresi membuat Sherin gagal membaca apa yang sebenarnya papanya itu pikirkan saat ini. Apakah ia sedang sedih, kecewa, dan marah? Atau ia sedang mati-matian menjaga airmukanya tetap datar, agar Sherin menyerah dan melupakan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini ia coba hindari?

Tiba-tiba senyum kecil di wajah lelah papanya membuat Sherin kian bingung. Apakah itu senyuman kekalahan? Senyum kebahagiaan? Senyum yang kemudian membuat Sherin tahu, itu adalah sebuah senyuman kerelaan. Rela menanggung beban secara individual tanpa mau mempertaruhkan potret 'bunda' di masa kecil anaknya.

“Mama kamu selingkuh dari Papa,” akhirnya bibir itu mengucap, membeberkan luka busuk yang gagal disembuhkannya oleh sepotong band-aid. “Dia secara sukarela menukar keluarga kecilnya dengan hubungan nggak lazimnya sama model yang seumuran sama anaknya.”

Bisu. Sherin merasakan déja vu kuat yang menohok sisi lain hatinya.

“Itu kenapa hak asuh kamu jatuh ke tangan Papa,” ujarnya lagi, “dan sepertinya Papa masih belum sudi melihat kamu berhubungan sama orang yang buat sebuah keluarga hancur kayak gini.”

Sherin buka suara, “kalau aku berhubungan sama Mama, bukan berarti aku juga ninggalin Papa kok. Aku kangen dia, Pa, apapun yang terjadi diantara kalian, dia Mama aku, I need her around.”

“Tahu apa kamu soal perasaan pihak yang diselingkuhi, Sherin?”

Tahu apa, katanya? Pa, anakmu ini juga lagi diselingkuhin, Pa! Aku tahu rasanya emang sakit, Pa!

“Orang menikah sama orang yang berpacaran itu beda, Sherin. Orang yang sudah menikah itu nggak main-main komitmennya, begitu dikhianati oleh orang sama yang paling kita percaya, di situlah awal dari kehancuran pernikahan.”

“Papa nggak mau belajar memaafkan Mama?” Sherin dengan lancang bertanya, mengkorelasikan perasaan terluka papanya dengan yang ia rasakan saat ini—sebagai dua korban perselingkuhan.

Tony melangkah mendekati anak gadisnya, melayangkan usapan kecil di puncak kepala Sherin seraya menjawab, “kamu masih lugu, Nak, semoga kamu nggak merasakan apa yang Papa rasakan, karena rasanya sakit bukan main.”

Betul, rasanya sakit bukan main. Begitu Sherin mendengar itu, ia berlari ke pelukan papanya, menumpahkan derai airmata yang ditahannya selama beberapa menit. “Maafin aku, Pa, aku nggak tahu kalau selama ini Mama yang jahat bisa bikin Papa matirasa kayak gini.” Dan sekarang aku juga ngerasain apa yang Papa rasain, Pa. Jean selingkuhin aku, Pa, dia selingkuh, tambahnya dalam hati, menambah kuat arus pertumpahan airmatanya.

“Maaf ya, Papa baru ngomong sekarang,” kata Tony disela usapan punggung di anak gadisnya, “Papa nggak tahu harus ngomong darimana, Sherin, di sisi lain Papa juga belum siap lihat kamu dekat dengan orang yang buat keluarga kecil kita nggak utuh, Nak.”

Sherin melepas pelukannya dengan nafas sesenggukkan, “nggak, Pa, aku nggak perlu lagi berhubungan sama dia, Pa. Papa aja udah cukup buat aku.”

Tony mengangguk-anggukkan kepalanya, “ya, lebih baik begitu. Karena tahu nggak? Nggak bisa ketemu kamu dan dekat sama kamu adalah hukuman paling pantas buat dia.”

Sherin menyeka mukanya yang basah, kini ia mendapat jawabannya. Ia tahu jelas apa yang kemudian harus ia lakukan di hubungannya bersama Jean.


7 years earlier, Bianca's sweet seventeen birthday party

Eleanor—rumah kastil warisan turun temurun di keluarga besar Geraldine—malam ini kehilangan sisi kunonya. Bangunan tua setinggi tiga lantai dengan aksen pilar-pilar gaya keeropaan tersebut disulap oleh Event Organizer sewaan Joan Geraldine untuk perayaan besar pesta ulangtahun putri semata wayangnya yang menginjak usia tujuh belas malam ini.

Ratusan undangan berpendar kesegala sudut kastil, menikmati hidangan yang disuguhkan tuan rumah. Pesta informal malam itu diisi ratusan siswa Nirvana Elite Olympian—atau biasa disingkat Neo School, dan relasi undangan Joan dari kedutaan. Tak lupa kehadiran The Alpha, geng bukan sembarang geng beranggotakan Joan, Jean—adiknya, Tony, David, Yuda dan Tama.

Bisa dikatakan, acara malam itu begitu meriah walau diadakan di dalam satu atap Eleanor. Setidaknya hingga sebuah kejadian janggal terjadi di sana.

Tengah malam pergantian hari, yang harusnya menjadi prosesi peniupan lilin diatas cake tingkat dua, diundur karena penanggung jawab bagian tiup lilin menghilang. Sherin Agatha mendadak lenyap ditengah-tengah besarnya kastil dan banyaknya kerumunan tamu pesta undangan.

Dari sekian banyak manusia yang mencari keberadaannya, menyisir penjuru Eleanor, mengapa harus Jean-Pierre Geraldine yang berhasil menemukannya?

There you are,” ucap Jean setelah menyipitkan matanya, memastikan bahwa yang ia lihat betulan manusia atau cuma rakun iseng yang nongkrong santai di semak-semak.

Sebagai status ODP (orang dalam pencarian), gadis itu duduk di balik rerumputan tinggi pinggiran kolam yang dikelilingi tembok granite. Bermodalkan sebotol wine putih yang diam-diam dicurinya dari ruangan penyimpanan anggur keluarga Geraldine, ia bersandar ke tembok dalam keadaan teler. Suatu kesalahan besar bagi Sherin malam itu bahwa ia memilih mengenakan oversized t-shirt dengan celana pendek ketat. Karena ketika ia mabuk, oversized t-shirt itu gagal menutupi bagian bawah dirinya.

Jean mendesah malas, melihat ABG arogan seumuran keponakannya yang masih coba-coba dengan alkohol, dan seolah tak peduli dengan resiko yang diakibatkan cairan psikoaktif penurun kesadaran tersebut. Ia tak punya pilihan selain melucuti jaket denimnya, kemudian menutupi Sherin yang menatapnya dengan kekehan geli.

Gezz, look what you've done.

Jean mengorbankan dirinya kedinginan dengan kaus tipis di tubuhnya hanya untuk bersikap gentle pada bocah itu, and for what? Bocah tersebut tak mengatakan terimakasih atau basa-basi ringan dan hanya menatapnya konyol. Tipikal pemabuk pemula tapi memaksa dirinya sendiri untuk menenggak sebotol white wine. Tunggu, bahkan botol itu baru berkurang sepertiga bagian saja.

“Sini botolnya,” kata Jean dengan dahi berkerut saat Sherin hendak menenggak minuman itu. “Udah mabuk parah juga masih aja minum terus.”

Cengiran tak lepas dari wajah Sherin yang kemerahan, ia terkekeh kecil sembari menarik denim Jean di pangkuannya dan membau aromanya. “Ih! Enak!” pekiknya kecil lalu menatap pemilik jaket di sebelahnya, “kok selera parfum lo dari dulu nggak berubah sih, om?”

Ikut tergelak, Jean membalas, “emang kamu tau darimana selera saya berubah apa nggak?” tanyanya terkesan percuma, karena tak ada untungnya membuka perbincangan dengan orang separuh sadar.

Tiba-tiba Sherin memajukan indra penciumannya mendekat ke arah Jean, menghirup dalam-dalam tengkuk pria itu tanpa pamrih. “Oh, ini bukan bau parfum ya? Tapi emang aroma badan lo yang enak begini?”

Kaku, Jean duduk di sebelah orang mabuk dan ada bocah teler yang menciumi aroma lehernya. “H-ha?” Jean mengernyit, cuma itu yang muncul di pembendaharaan kalimatnya. Bahkan beberapa detik berlalu, ia kehilangan kemampuan untuk bernapas dengan leluasa dan menggeser badannya beberapa jengkal menjauh.

Sherin menarik wajahnya, menyipitkan matanya kecil lalu bibirnya berucap kembali. “Loh?!” serunya dan mengacungkan telunjuk, “lo om Jean, kan? Omnya Bianca, kan? Iya, kan? Ayo, ngaku aja deh!”

Jean mengalihkan pandang, berusaha menahan tawanya karena bocah di sebelahnya baru saja membuatnya panik tapi membuatnya terhibur di waktu yang sama. “Iya, saya Jean, kamu ingat saya?”

“Inget lah!” ucapnya dengan nada kelewat tinggi, “lo kan yang bikin gue pingin cepet-cepet gede!”

May I know why?

Sherin memejamkan matanya, seperti memikirkan sebuah jawaban dengan gumaman panjang. “Hmmm... Well... Bianca bilang kalo mau jadi pacarnya om Jean, gue harus gede dulu! Kalo masih kecil nggak boleh.”

Berkali-kali terjebak dalam pengaruh alkohol berkadar tinggi, Jean masih saja takjub dengan efek minuman etanol itu. Sherin di kacamata Jean adalah teman keponakannya yang sopan dan menggemaskan. Di bawah pengaruh alkohol, bayangan Sherin di usia tujuh tahun seolah tanggal dari memori Jean. Jean sadar, gadis cilik itu sedang menggodanya dalam keadaan mabuk.

You drunk,” gumam Jean menyadarkan dadanya yang sempat berdegup kencang. “Kita harus balik ke pesta, semua orang nyariin kamu, Sher.”

Wait, here's the question,” Sherin cekikikan kecil, “gue udah tujuh belas tahun, om, gue udah cukup dewasa belum buat jadi pacar lo?”

She's drunk, Jean, she's drunk, she doesn't mean it, she's just fucking wasted, dibalik ketenangan wajahnya, Jean berusaha membuat isi kepalanya kondusif. Sialan betul, he can't be catching strange feelings with 17 years old girl, isn't he?

“Kita masuk dulu ya, Sher,” ujarnya kemudian, “kamu dicariin banyak orang.”

Peracau itu terdiam dan limbung, mencondongkan tubuhnya pada Jean seraya Jean membopongnya keluar dari persembunyian. Ia mendudukkan Sherin di kursi kolam renang, membetulkan jaket denim yang melilit di pinggang bocah itu agar pahanya tertutup dengan sempurna.

What the fuck, Jean?!

Seperti tertangkap basah, Jean dipergoki abangnya dengan seorang wanita berambut brunette sepunggung yang wajahnya tak asing, dan juga Gavi—teman keponakannya juga. Situasinya yang berduaan dengan gadis mabuk sepertinya akan membuatnya tersudut.

“Gue—”

“Gav, tolong bawa Sherin ke kamar atas, ya?” titah Joan, masih dengan tatapan menghakimi, “lo dah gila ya, Jean?! Dia temennya Bianca, keponakan lo sendiri, for God's sake!

Selagi Sherin digendong oleh Gavi di punggung, Joan menggeleng-gelengkan kepala—berikut dengan decakannya yang membuat Jean layaknya pendosa paling asusila di muka bumi. Kejadian malam itu akan menambah panjang daftar kelakuan buruknya dimata Joan. Padahal yang dilakukan Jean hanyalah membantu bocah mabuk?

“Sebaiknya Tony nggak tahu kejadian ini,” ujarnya menutup kasus tanpa memberikan Jean kesempatan untuk menjelaskan. “Kita semua tahu betapa sensitifnya Tony perkara anak perempuannya.”

All I did was just helping that drunk girl, Jo!”

Pembelaan Jean terasa hambar di mata Joan, terbukti dari tatapan menuduh abangnya yang tercetak jelas. “Kalau sampai ada apa-apa sama Sherin, lo harus tanggung jawab!”

“Tanggung jawab apa? Gue nggak ngapa-ngapain!”

“Joan, kayaknya emang nggak ada apa-apa yang terjadi, deh,” ucap wanita di sebelah Joan yang tiba-tiba berada di kubu Jean.

Jean mengerjapkan mata beberapa kali menelaah wanita bermuka familiar di depannya, “lo artis?” tanya Jean dengan senyuman maut penakluk cewek-cewek, wajar karena wanita di depannya terlihat begitu cantik—jauh lebih cantik daripada Sherin Agatha yang tadi menggodanya lebih dulu.

“Model,” koreksi wanita itu lalu mengulurkan tangan, termakan senyuman mautnya Jean yang begitu mematikan, “gue Adel, juniornya Joan di kuliah.”

“Jean,” jawab Jean sambil menjabat jemari wanita itu dengan gestur merayu. “Gue nggak tahu Joan punya adik tingkat secantik ini.”

Melihat kelakuan adiknya di depan cewek jelita membuat Joan muak. “Del, gue mau cek anak gue bentar,” ujar Joan lalu memberikan lirikan tajam ke Jean, “tolong awasi adek gue ya, gue takut cari mangsa lagi.”

See? That's how Joan's perspective of him. Jean tersenyum kaku ke arah Adel, berharap wanita itu menganggap ucapan Joan hanya sebuah gurauan belaka.

Adel tertawa, “I knew he's just joking, santai.”

Well, thank God,” kata Jean lalu tersenyum miring lalu menambahkan, “gue nggak mau lo ngira gue lagi cari mangsa.”

“Emang kenapa, coba?”

“Ya kan udah ketemu,” Jean mengerling, “elo.”

Adel terkekeh dengan rayuan kecil itu, tapi tak bisa membohongi dirinya sendiri jika pesona pria di depannya tak bisa dengan mudah ditolak. “How about that lil' girl? I saw how care you were toward her.

She's family,” balas Jean singkat, bertolak belakang dengan gejolak dalam dirinya yang tertahan untuk tidak lari menggantikan Gavi untuk membawa tubuh mungil gadis itu. “Of course gue harus peduli.”

“Iya deh, percaya,” kata Adel, dengan dua tangan terlipat di depan dada, menertawakan sikap salah tingkah Jean.

“Lagian nih ya, ngapain gue lebih milih bocah itu? Jelas-jelas di depan gue ada yang lebih cantik,” gumam Jean. “Eh, sadar kan kalo gue lagi ngomongin lo?”

Adel lagi-lagi cuma bisa ketawa-ketiwi, mukanya memerah bukan main dengan si ahli perayu di hadapannya. “Jean, you gotta ask me on a date properly ya, gue capek dighosting!”

Jean dengan bibirnya yang cas-cis-cus menanggapi, “yauda sini gue refill gelas lo, biar gue bisa ask you on a date properly like you want me to do.”

Keduanya masuk Eleanor, trik manuver Jean dalam menggaet Adel untuk berkencan berhasil membuat ia meluapkan perasaan anehnya pada Sherin Agatha. Kini ia berbincang dengan wanita berkarir cemerlang sebagai model, yang sebaya dengannya, dan yang lebih utama, cukup sober untuk diajak berkencan.

Yes, she's pretty, someone around his age, and cheerful. Talkative, cute, of course mature. Jean nyaman mengobrol dengannya selama kurang lebih sejaman, membicarakan ini dan itu, dari mulai pekerjaan, hingga hal-hal sepele yang mengundang tawa keduanya. Memang sudah kebiasaannya untuk merayu dengan mulus, Jean seperti terlahir mahir dalam berkencan.

Tapi.. ada yang kurang.. Jean tak merasakan getarannya, pacuan aneh di dadanya ketika bocah mabuk itu mengajaknya berpacaran, walau tanpa sadar.

You'll never regret for asking me on a date, Jean,” kata Adel di penghujung pesta, diiringi kecupan ringan di bibir sebagai tanda jadi awal masa pendekatan mereka.

Jean meragukannya, bahkan sampai detik ini berjalan, ia tak melupakan kejadian malam pesta ulangtahun Bianca yang membuatnya terngiang-ngiang, bagaimana rasanya mengencani Sherin Agatha?

What the fuck?!

Reaksi tidak wajar itu dipertontonkan Jean—dewa mabuk malam ini, ketika Tony lengkap bersama David mengumumkan penyatuan keluarga kecil mereka dengan perjodohan kedua anak mereka. Sherin dan Gavi.

Pria itu di menelengkan kepalanya, whiskey neat di gelasnya bergoyang menandakan ketidakstabilan tangannya. Ia terkekeh sarkasme, tak mengacuhkan tiap pasang mata yang menatapnya aneh. Ada apa dengan si mabuk yang tertawa terpingkal-pingkal ketika ada pengumuman penting dari kerabat dekatnya?

“Lo kalo ada masalah, ngomong aja, Jean,” sinis Tony, memasang tampang kurang ramah, “gue lihat-lihat lo dari sore kayak orang nggak niat kumpul bareng kita semua, tahu nggak?”

“Lo yang ada masalah apa, hah?!” Suara Jean menginterupsi, ia bahkan beranjak dari duduknya dan mengacungkan telunjuknya ke arah Tony. “Harus banget lo umumin perjodohan anak lo di depan gue?”

Joan sebagai saksi dibalik ketidaksadaran adiknya itu hanya bisa menghela nafas kasarnya. “Enough, Jean, lo udah mabuk berat,” ucapnya menarik tangan Jean dan hendak menggeretnya pergi dari belasan orang di ruang keluarga.

Tangan Jean menampik Joan, ia menolak menyudahi konfrontasi yang ia sebabkan. “Bisa diem dulu, Jo? Gue belum denger pendapat calon pengantin perempuannya!”

Oh-oh!

Baik Bianca, Gavi, bahkan Sherin sendiri saling tatap ketika Jean berkata demikian. Apalagi ketika seisi penghuni ruangan keluarga itu menjatuhkan pandangan pada Sherin. Siapapun tolong beri Sherin kekuatan untuk lenyap dari tempatnya, saat itu juga.

Adel, yang keberadaannya baru Sherin ketahui malam ini, membaca situasi canggung dengan cepat. Dengan kode singkat—eye-contact—dari Joan, wanita bertubuh tinggi semampai itu mencairkan suasana dengan kekehan kecilnya.

“Hadeh, nih anak masih sama aja kalo lagi mabuk, ya?” Adel tertawa, ikut merangkul sebelah lengan Jean sesuai instruksi Joan agar pria teler itu absen dari perkumpulan mereka.

Jean yang melemah karena terlalu banyak menenggak cairan beralkohol, limbung dalam pelukan Adel. Alhasil keduanya membopong pemabuk itu secara perlahan-lahan, menaiki tangga dan berbelok ke kanan, ke kamar pria itu.

Sherin benci melihat aksi heroik Adel—seolah wanita itu begitu ingat kebiasaan Jean dengan rinci. Ia pun benci, mengapa bukan dirinya yang merangkul Jean? Mengapa hubungan Jean-Adel lebih masuk akal dan diterima masyarakat luas, sedangkan namanya dengan Jean tak layak bersanding berdua? Mengapa, mengapa, dan mengapa?


Sepanjang perjalanan pulang dari Eleanor menjadi rekor perjalanan terpanjang yang pernah Sherin tempuh. Padahal jarak rumah megah itu dengan komplek perumahannya hanya berkisar di angka tiga kilometer. Sisa rasa canggung di Eleanor masih membekas, terbukti dengan heningnya mobil yang ditumpangi Sherin dan papanya terlihat tak ingin memulai percakapan dengannya.

Tony berdeham, sebelum akhirnya membuka obrolan. “Maksudnya om Jean tadi apa, Sher? Kenapa dia begitu ofensif mendengar perjodohan kamu sama Gavi?”

Tuhan, apakah ini saatnya aku mati? Sherin membuang nafas pasrah, bibirnya berakhir mengatakan, “aku nggak tahu, pa.” Sebuah portal pelariannya, berharap papanya tidak mengulik lebih dalam.

Bisu kembali menyelimuti situasi di sekeliling keduanya. Sherin dan papanya yang tak tersentuh, sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Menambah panjang durasi perjalanan yang Sherin harap segera usai.

Apa yang Sherin harapkan dari papanya yang kaku itu? Jika saja bongkahan es dalam wujud papanya itu leleh beberapa cc, mamanya takkan pernah angkat kaki dari rumah mereka. Mamanya pasti bisa bertahan sedikit lebih lama hanya untuk memperhatikan kembang tumbuh anak gadisnya. Mungkin gadis usia lima tahun itu bisa mendapatkan kasih sayang utuh dari sebuah keluarga lengkap. Dan label anak 'broken home' mungkin takkan pernah tersematkan dalam jati diri Sherin.

Perpisahan kedua orangtua yang tak jelas apa penyebabnya itu sedikit banyak mempengaruhi separuh hidup Sherin. Hak asuh yang jatuh pada pihak papanya membuat Sherin jarang bertemu sang ibunda. Terakhir kali mamanya menampakkan batang hidungnya adalah ketika Sherin lulus SMP, itupun untuk mengumumkan bahwa ia hendak tinggal di Hongkong. Sebuah perpisahan singkat yang bahkan tak Sherin ingat.

“Papa sama mama cerai karena apa sih?” Pertanyaan itu tiba-tiba saja tercipta dari mulutnya, menyuarakan suara batinnya yang menggema meminta jawaban.

“Kamu kangen mama?” tanya Tony, sama sekali tak menjawab pertanyaan anak perempuannya.

“Nggak juga.”

Sherin menjawab seadanya, mengaku muak dengan dinding tinggi pertahanan papanya yang tak runtuh bahkan jika perang dunia ketiga terjadi. Seakan-akan Sherin perlu menyebrangi samudera luas, mengarungi berhektar gurun gersang, hanya sekedar sampai pada pintu gerbang hati kecil papanya. Apa dan kenapa yang membuat papanya begitu tak tersentuh, Sherin pun kehabisan petunjuk.

Seolah tak cukup satu kejadian malapetaka yang hadir bertubi-tubi di satu malam, Sherin kembali dihadapkan pejodohan irasional yang diatur bahkan tanpa keterlibatan izin darinya. Papanya, pemilik perusahaan broker rumah terkenal menganggap dirinya adalah properti yang dapat dialih-tangankan ke orang lain, dengan ikatan pernikahan.

Tak sampai di situ, objek perjodohan tersebut adalah ia dan teman ingusannya, Gaviandra Saputra.

Apa-apaan?

Pria itu.. Tidak, cowok itu, bisa Sherin katakan sebagai kandidat paling tak layak untuk dijadikan pasangan sehidup semati. Dimulai dari mulut kasar yang selalu ia suguhkan untuk Sherin, perlakuan-perlakuan tidak etis seolah Sherin adalah kacung yang wajib dibully serta kelakuan kekanak-kanakan cowok itu sepanjang hidupnya.

Sherin pernah bersumpah pada dirinya sendiri, jikalau ada hambatan di antara kisah kasihnya dengan Jean-Pierre Geraldine, yang menyebabkan keretakan hubungan fatal dan yang takkan pernah bisa diperbaiki lagi, Sherin terikat janji oleh dirinya sendiri akan menaikkan standar tipe pria yang bisa mengencaninya. Dan Gaviandra is totally a downgrade.

Apalagi untuk menikah dengan cowok itu, sepertinya ia harus dalam keadaan setengah sakau jika Tony memaksanya berjalan di altar dan bersanding dengan cowok itu—saling mengikat janji suci perkawinan.

“Papa said something hilarious,” Sherin menenggak coke di kalengnya sembari menatap jauh ke langit-langit malam di rooftop Eleanor. “Katanya kita berdua dijodohin.”

Dengan ekspresi kelewat tenang, Gavi yang sedang tertidur tanpa alas—membiarkan kaos abu-abunya dihinggapi debu-debu rooftop Eleanor—lalu melirik Sherin yang duduk di sebelahnya. “Bukannya gue udah pernah bilang, ya? Kalau kita dijodohin?”

Masih bisa terkekeh, walau dipaksakan, Sherin kembali berucap. “Can you imagine? Us? Married? Perasaan baru kemarin main petak umpet di Eleanor bareng Bianca.”

“Gue bisa kok jadi suami yang baik buat lo, buat calon anak-anak kita.”

What the hell?! Stop bilang hal-hal cringe, Gav, geli gue dengernya,” kekeh Sherin lalu meninju paha cowok di sebelahnya, berusaha mencairkan suasana yang canggung setelah kejadian tidak wajar di kolam renang antara ia dan om Jean.

Gavi beranjak duduk, menenggak kaleng sama yang Sherin minum. “Do you have anybody else? Kalo lo punya, lo tinggal bilang om Tony—jadi perjodohan kita bisa batal.”

Awalnya ada, sekarang posisi itu.. kosong.

Sherin menarik oksigen, memompa rongga dadanya yang pengap. “Lo tahu, kan, gue sama om Jean—”

“Pacaran?” potong Gavi kilat, mengkaitkan beberapa hal janggal yang terjadi belakangan. “I know.

Dalam sepersekian detik, Sherin cukup kaget dengan jawaban Gavi yang masuk di sela-sela rungunya.

Ternyata perasaan itu nyata, ia tak menyangka dirinya merasa tak nyaman ketika mengakui hubungan gelapnya dengan Jean. Sebuah ikatan yang lebih pantas dicap sebagai hubungan terlarang, dan tak seharusnya ada percikan itu diantara ia dan teman papanya.

I don't judge you,” ucap Gavi, seolah sadar lawan bicaranya yang diam seribu bahasa. “Jatuh cinta itu nggak berbatas, Sher, tapi kepada siapa kita jatuh cinta itulah yang harus dibatasi.”

Sherin menjatuhkan pandangannya ke manik Gavi, “apa sebegitu tercelanya gue buat jatuh cinta sama om Jean?”

“Lo mau jawaban jujur, atau sebaliknya?”

Pertanyaan macam apa yang baru saja Sherin dengar? Tentu saja Sherin ingin jawaban sebaliknya, jawaban dusta yang akan menutupi kesenangan sesaatnya karena dengan lancang beradu cinta dengan seseorang yang cukup tua untuk ia sebut sebagai 'om'.

“Kalau om Jean nikahin gue—”

“Kalau nggak?” Gavi memotong kalimatnya dengan kilat, pertanyaan lain yang membuat Sherin kelimpungan. “Kalau lo cuma dijadiin pelarian dia, apa itu bisa buat lo sadar, Sher? Sadar kalau lo salah langkah dan keluar dari jalur batasan lo.”

Kerutan di kening Sherin kian tercetak dalam, matanya dipenuhi tanda tanya besar. “Maksudnya gimana? He loves me, Gav, he's gonna risk everything for me.”

Is he?” Raut sangsi Gavi meragukannya, “apa dia yang bilang gitu? Dia bilang mau nikahin lo juga, iya? Apa dia bilang sesuatu soal tante Adel? Tentang betapa depresinya dia saat tahu tante Adel memilih buat ninggalin dia demi menikah sama model Italia?”

“Itu kan persepsi lo,” sanggah Sherin, ia jelas terganggu dengan arah pembicaraan Gavi yang sangat menyudutkannya, “bisa aja kan dia udah move on, and then there's me, dan tiba-tiba kita punya perasaan saling suka? Apa orang depresi yang ditinggal nikah sama mantannya itu nggak boleh suka lagi sama orang lain?”

Lemme ask you a question, and I'm highly hoping an honest answer,” gumam Gavi dengan muka seriusnya yang jarang diperlihatkan pada Sherin. “Lo sama dia udah berapa lama?”

Saliva kasar tanpa izin menyusuri kerongkongan Sherin. Itu pertanyaan mudah, tapi ia bagai di bilik pengakuan dosa. Dan ekspresi tanpa senyum dari Gavi menyebabkan atmosfir di sekitar mereka seakan hampa dan kekurangan kadar oksigen. Sherin kesusahan bernapas, ternyata mengakui dosa tak semudah menjetikkan jari.

“Kita jalan udah hampir enam bulanan..,” jawab Sherin akhirnya, dengan menundukkan kepalanya—pasrah akan reaksi Gavi selanjutnya.

“Cih, typical banget. Lo nggak ngerasa janggal? Tepat setelah tante Adel nikah, dia langsung pacaran sama lo?” tanya Gavi lagi, “Sher, wake up, jangan karena dia spoiling you, that doesn't prove that he loves you.

Dalam keadaan tertohok dengan ucapan Gavi yang masuk akal, Sherin masih mempertahankan pendiriannya. “Dia yang minta hubungan ini go public—bilang ke bokap dan semua orang, gue rasa itu bukan sifat dari orang yang gagal move on.”

Kedua alis Gavi bertaut, berirama dengan bibirnya yang menipis karena menahan sesuatu agar tak keluar begitu saja yang kemudian bisa menyakiti Sherin. Ia menghembuskan nafas kasar, lalu ekspresinya kembali tenang.

“Oke, kalau lo sebegitu yakinnya sama om Jean, ucapan gue semuanya bakalan sia-sia,” ucap Gavi menutup sanggahannya. “Unless, lo lihat Jean Geraldine yang sebenarnya. Udah cukup siap buat tahu kenyataannya?”

Kembali diam, Sherin hanya bisa menatap Gavi dengan pandangan pura-pura sedia akan tantangan kecil yang cowok itu lontarkan padanya. Kendati demikian, ia sendiri tak bisa menghentikan raungan di dadanya yang tak bisa berbohong—kalau ternyata ada perasaan meragu dalam dirinya pada sesosok Jean yang kelewat ia agung-agungkan keberadaannya.

Warning : Kissing, Forced Kiss Read at your own risk And please, be wise;)


Bukan suatu kebetulan ketika Sherin dan papanya, Tony, datang ke kediaman Geraldine dan rumah bak kastil itu diisi belasan mobil berjajar hingga di sepanjang jalanan luarnya. Joan Geraldine dan gengnya itu bisa disebut bukan sembarang geng.

Joan Geraldine—papanya Bianca—adalah duta besar Indonesia, anak sulung pewaris utama Geraldine Empire yang namanya seliweran di pemerintahan Indonesia sejak tahun 1980an. Ia bersama Jean-Pierre Geraldine—adiknya—melanjutkan jejak kedua orangtuanya di pemerintahan. Bedanya, Jean mengambil posisi di Bea Cukai.

Tama Bagaskara, ketua Polisi Republik Indonesia juga masuk ke dalam gengnya Joan Geraldine. Ada juga Yuda Prasetya yang merupakan Wakil Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kemudian ada Tony—papa Sherin—pengusaha properti terkenal se-Jabodetabek. Dan tak lupa, David Saputra—orangtua dari Gaviandra—yang merupakan bos besar tambang batubara.

Seperti yang baru saja dijabarkan, geng bapak-bapak itu tak bisa dikatakan sebagai geng biasa.

Malam itu pertemuan para bapak-bapak itu dibumbui dengan kehadiran Gavi, Bianca serta Sherin yang ikut bergabung pesta minum-minum di ruang keluarga Geraldine. Mereka bertiga nyaris dua puluh lima tahun, sudah cukup legal untuk diajak minum bersama orangtua mereka.

Tak bisa Sherin pungkiri, ia gagal mengatasi kegugupannya malam itu, berada di satu ruangan bersama Jean-Pierre, dan juga papanya. Sherin bersumpah, ia berada di level kegilaan tertinggi sebagai simpanan om Jean dan fakta bahwa pria itu adalah teman baik papanya.

Mengingat deadline 24 jam kian menipis, Sherin beberapa kali harus memutus kontak matanya dengan Jean yang duduk bersebrangan dengannya. Walau pria itu banyak diam dan memilih menenggak sloki demi sloki vodkanya, keeksistensiannya begitu mempengaruhi Sherin, seolah kehadirannya adalah bom waktu yang seakan-akan dapat meletus—tanpa bisa Sherin kontrol.

“Gimana bisnis?” Samar-samar Sherin mendengar om Tama melemparkan pertanyaan itu kepada papanya, yang kemudian hanya dijawab dengan guyonan kecil Tony Kurniawan.

“Gavi sama Sherin udah seberapa jauh?”

Pertanyaan itu membuat Sherin berhenti memperhatikan gerak-gerik Jean, ia tersedak bir di kaleng minumannya ketika om Yuda tiba-tiba menanyainya begitu. “Nggak gitu jauh kok, om Yuda, sejauh ini Gavi cocok banget buat jadi supirnya Sherin.”

“Gila lo ganteng begini cuma dianggep supir?” Gavi melemparinya potongan chips, dengan muka pura-pura garang.

“Gue mau sebat bentar,” ujar Jean menengahi suara penuh tawa di ruang keluarga, beranjak dengan wajah telernya dan melangkah sempoyongan ke arah taman belakang Eleanor—rumah kediaman Geraldine.

Tony melirik Joan yang menikmati bir dari botolnya, “tumben si Jean mabuk banget begitu? Segitu nervousnya buat ketemu sama Adel?”

“Tante Adel dateng?!” Bianca memotong dengan pekikan khasnya, “kapan? Ya ampun, papa! Kenapa papa nggak ngomong kalo tante Adel mau dateng?”

Sherin mengusung bisikan ke rungu Bianca, “tante Adel siapa, sih?”

“Temen baiknya bokap juga,” bisik balik Bianca. Lalu ia terkekeh kecil, “jangan kaget, ya, tante Adel itu mantannya om Jean.”

Oh, pantesan.


Adelaine Nugraha, mantan model yang pernah jalan di catwalk Paris Fashion Week di tahun 2002 itu benar-benar nyata keberadaannya. Wanita itu tak layak 100% untuk dipanggil sebagai tante oleh Bianca, lebih tepat dijuluki kakak perempuan ketimbang tante. Ia bermuka anggun, dengan rambut peraknya yang terlihat halus, hidung tingginya dan wajah minim kerutannya membuat Sherin sedikit iri.

Entah iri karena Adel tetap cantik di usianya saat ini, atau fakta bahwa wanita itu pernah menjadi masa lalu Jean, membuat ginjalnya merasa tergelitik.

Karena kandung kemihnya tak lagi cukup untuk mengantongi urinnya, Sherin undur diri ke toilet untuk mengosongkan organnya itu. Kebetulan juga kehadiran Adel membuatnya merasa asing, menjadi satu-satunya orang disitu yang tak mengenalnya secara personal.

“Nggak dingin apa?” tanyanya pada pria yang nongkrong di pinggir kolam dengan putung rokok di tangannya. Ia memutuskan untuk mengecek keadaan Jean yang mabuk, merasa ngeri jika membayangkan Jean yang teler, terjungkal masuk ke kolam renang dan tak ada yang tahu.

Jean mendongak dengan mata setengah tertutup, “I guess you didn't tell your father yet, didn't you?

“Rencananya sih nanti malem, pulang dari sini,” jawab Sherin lalu menambahkan, “ada tante Adel tuh, lo nggak mau ketemu apa?”

What?” Jean mengernyit, menyesap ujung rokoknya dalam-dalam dan mengeluarkan asapnya yang mengepup dari lubang hidungnya.

“Karena ini kan lo mabuk kayak gini?” tuduh Sherin, tanpa basa-basi, “yaa.. jelas sih lo nggak bisa move on dari tante Adel, orang tante Adel secakep dan secantik itu.”

Jean membuang putung rokoknya ke rerumputan taman, lalu berjalan mendekati Sherin di ambang pintu masuk rumah. “Ngomong apa kamu, Sher?”

“Kalau udah move on tuh berani hadapi, jangan kayak pengecut gini—mabuk dan menghindar!”

Dengan dahinya yang berkerut, Jean terkekeh, “apa? Kamu bilang saya apa?”

“Pengecut.” Sherin melipat tangan di dada, “lo pengecut,” ulangnya dengan telunjuk melayang ke arah Jean.

Jika saja alkohol tak sedang menguasai akal sehatnya, Jean mungkin hanya menghela nafas dan membuktikan bahwa ucapan Sherin tak benar. Namun sayang, Jean yang waras telah hilang. Termakan sebotol vodka berkadar 70% alkohol dan lenyap bersama kecemburuannya.

Ia menangkap telunjuk Sherin dan menariknya mendekat, terlalu dekat. “Kamu kira saya kayak gini karena apa? Karena kamu sama Gavi—bocah sialan itu.”

“Om—,” Sherin mencoba menarik jemarinya yang ada digenggaman Jean, selagi mengawasi area di sekitar mereka. Merasa kesulitan, ia berkata dengan pelan berharap ekspresi Jean di depannya melunak. “Om, jangan kayak gini. Ada papa, ada om-om semuanya, nanti kalau mereka lihat gimana?”

“Emang kenapa kalau mereka lihat kita?” desisnya dengan satu tangan di dagu Sherin dan posisi wajahnya yang tinggal sejengkal jaraknya. “Dari awal kamu memang nggak ada niat buat ngomong ke papa kamu, kan?”

“Ng-nggak gitu,” jawab Sherin dengan nada terbata, ia ketakutan setengah mati melihat Jean yang seperti kerasukan setan. “Om, sakit.. Lepasin..”

Alih-alih melepaskan sesuai permintaan Sherin, Jean menarik dagu Sherin mendekat dan menciumnya sepihak. Sebelah tangannya seolah tak ingin melepaskan pergelangan tangan Sherin yang memberontak. Tak hanya aroma alkohol yang Sherin dapat di bibirnya, tapi juga bekas rokok dan juga perlakuan kasar pria itu terhadapnya.

Belum berhenti sampai di situ, Sherin kembali dikejutkan oleh tangan Jean yang berpindah ke dadanya. Sherin dengan seluruh kekuatannya gagal membentengi dirinya sendiri dari Jean yang mabuk. Mata yang biasanya ia gunakan untuk menatap Jean dengan segala kesempurnaannya, kini dialiri buliran airmata—yang tragisnya disebabkan oleh Jean sendiri.

Nyaris saja pria itu mengoyak kemeja tartan Sherin, ketika tiba-tiba tubuh Jean tak lagi membelenggunya. Gavi di sana, dengan posisi menengahi antara Sherin dan Jean.

“Lo nggak papa?”

Pertanyaan itu begitu sederhana, tapi mengapa Sherin tak bisa berbohong dan mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Tubuhnya bergetar, merasa ada teror horor menghujam sekujur badannya.

“Sher?” Gavi kembali bersuara, jemarinya menangkup tangan Sherin yang gemetaran—mencoba meredakan syoknya. “Lo nggak papa, Sher, tenang ya.”

“Lo nggak usah ikut campur,” gumam Jean dengan radius tiga meter di depan Gavi, masih belum tersadar akan tingkah impulsifnya.

“Lo nyakitin Sherin, Bajingan!” Suara Gavi meninggi, mendorong bahu Jean menjauh dengan satu tangannya.

Di tempatnya, Jean memandang Sherin dengan kepalanya yang miring ke kiri, “Sherin, kamu tahu, kan? Saya akan jadi orang terakhir yang nyakitin kamu.”

“Bullshit, bangsat!”

Hampir saja Gavi membawa kepalan tangannya menonjok wajah Jean, tapi Sherin menahannya. “Gav,” panggilnya lirih, masih dengan ketremoran tangannya. “Kita masuk aja yuk.”

Tatapan Gavi mengiba, ia merangkul Sherin, mengusap punggung Sherin dan mencoba tersenyum menenangkan. “Alright,” gumamnya. “Dan lo.. sadar, dude! Be sober!

Sherin mengusap bekas tangisan di sudut matanya. Ia berusaha melangkah menjauhi Jean—suatu aksi yang tak pernah terbesit di kepalanya. Apalagi berada dalam genggaman jemari Gavi, orang yang tak terduga bisa memberinya suatu perlindungan, yang mana sangat Sherin butuhkan saat ini.

Warning : Mature Content please be wise


Bualan Bianca sukses mengerubungi kepala Sherin dengan segala ocehan tentang komitmen, keseriusan dan masa depan. Satu nama yang ikut berjejer rapi dengan rak kosakatanya, Jean-Pierre Geraldine, seolah keeksistensiannya di sisi Sherin sebagai pendamping dari kalimat-kalimat itu.

Ia bahkan berkunjung ke sarang pria itu, apartemen bernomor 127, mengantongi percakapan empat mata yang ia siapkan sejak imajinasinya melintasi ruang waktu dan menemukan dirinya dengan Jean berdiri di mimbar pernikahan, bersiap mengutus janji suci.

Bayangan itu diperkuat dengan kepiawaiannya mengetikkan sandi apartemen, memasukkan dirinya tanpa permisi seolah memang disanalah tempatnya bernaung, seolah ruangan itu tempatnya berpulang.

“Om?”

Sherin berdeham, menyadari kekakuan dalam suaranya, seraya langkahnya menyusuri ruang tamu dengan minim pencahayaan. Ia menyunggingkan senyum simpul begitu menangkap basah Jean terlelap di atas sofa dengan kepala menengadah karena mengikuti lekukan sandaran sofa. Sudah sejauh mana pria itu tertidur hingga tak menyadari kehadiran Sherin di apartemen nya.

Menatap om-om yang usianya terpaut dengannya cukup jauh sedang tak sadarkan diri, melalang buana ke alam mimpinya, dengan bibir tak terkatup sempurna membuat Sherin gemas bukan main. Wajah polos pria itu mampu membuat Sherin berjongkok menatapnya hingga bermenit-menit, senyumnya tak berhenti merekah karena betapa langka bagi dirinya melihat Jean-Pierre, menjadi less Jean-Pierre yang biasanya orang lain lihat.

Sherin bangga pada dirinya, cuma dirinya yang bisa melihat sisi Jean yang ini. Jean tanpa dinding pembatas, Jean yang.. menjadi dirinya sendiri.

“Om ganteng banget, ya?” Bibir tak terkatup itu bergeser, bergerak diiringi suara seraknya dan menjadi satu-satunya suara yang mengisi rungu Sherin. Kelopaknya perlahan membuka, mengerjap beberapa kali kemudian menatap Sherin lekat-lekat. “Sampai kamu diem anteng begitu?”

Tawa Sherin meledak, “emangnya gue nggak pernah diem anteng begini, apa?”

“Nggak, pasti ada aja yang kamu omongin,” ujarnya dengan seringaian kecil, “sini, Sher, ngapain kamu disitu terus?”

Melihat lengan Jean terulur agar dirinya mendekat, Sherin beranjak dari tempatnya dan mengambil duduk di sebelah pria itu. Sejenak nafasnya tertahan di kerongkongan, mendapati dirinya terkagum-kagum dengan muka khas bangun tidur Jean yang kelewat sempurna. Seolah terlalu fiktif bagi seorang manusia fana untuk menjadi setampan itu. Mustahil banget ini orang.. bangun tidur langsung cakep begini..

“Kayaknya pas bikin om Jean, mood Tuhan lagi baik banget deh,” celetuk Sherin tanpa basa-basi, “kok bisa sih, ada orang seganteng ini?”

Jean terkekeh, memunculkan dua lesung di kedua sisi wajahnya yang cukup dalam. Ia menutupi perasaan salah tingkahnya dengan pergerseran tubuhnya yang menjauh dari tempat Sherin duduk. “Sher, om ini udah milik kamu, nggak perlu digombalin terus.”

Astaga gemes banget, batin Sherin menjerit, melihat wajah Jean yang tersipu malu karena terang-terangan dipuji olehnya. Ia pun ikut menggeser dirinya kembali mendekati pria itu, kemudian setengah memeluk tubuhnya yang terbungkus kaus broken white tipis. “Serius? Gue punya hak kepemilikan atas om Jean yang gantengnya nggak masuk akal ini?”

“Sher.”

Alunan suara Jean terdengar berat di telinga Sherin, diiringi perubahan air muka Jean yang serius dan tangannya yang perlahan menyingkirkan pelukan Sherin. “Kalau kamu kayak gini terus, saya nggak jamin bisa kontrol apa yang bakalan kejadian selanjutnya.”

Bohong jika Sherin tak merasakan adanya pertambahan ritme dalam jantungnya ketika mendengar Jean mengatakan itu. Apa-apaan? Sherin menyatukan dua alisnya, merasakan adanya kembali jarak yang membentengi antara dirinya dengan pria itu. Seolah tiga setengah bulan jalinan kisah mereka yang dilakoni secara diam-diam itu tak berlalu sia-sia.

Tapi hari itu Sherin memberanikan diri untuk menjadi pihak yang mengambil langkah. Ia bukan lagi bocah tujuh tahun manja yang merengek ketika tak lagi mendapat belaian dari sang ibunda. Usianya 25 tahun depan, usia yang cukup dewasa baginya untuk memberi tatapan sensual pada pria di sebelahnya yang baru saja menolaknya mentah-mentah.

Then don't.” Sherin berkata lugas, tidak pernah ia bicara seserius itu pada pria di hadapannya yang terpaut 15 tahun darinya. “Kalau emang om nggak bisa kontrol, ya jangan dikontrol.”

Lekukan di satu alis Jean yang terangkat tanpa sadar mengakui betapa terkejutnya ia dengan jawaban berani gadis belia di sebelahnya. Gadis belia sialan itu, yang berhasil mengacak-acak hidupnya belakangan ini baru saja menantangnya untuk melepaskan kontrol yang semata-mata ia lakukan demi menjaga martabatnya sebagai pria terhormat. How dare you, Sherin Agatha..

Bahu Sherin menegang, ia yakin suatu kesalahan besar memancing amarah monster di dasar gairah Jean yang terpendam secara misterius dibalik mata teduhnya. Kini sepasang netra kelam itu menatapnya tanpa ekspresi, seolah melepas jeruji besi tahanan satu per satu karena ucapannya mengizinkan sosok itu bebas. Ia menenggak salivanya sendiri, terkesan berat dan getir, mendadak menyesali umpan yang ia katakan tanpa pemikiran panjang.

Ketegangan keduanya berakhir saat Jean dengan tidak senonohnya mengangkat pinggang ringkih Sherin ke atas pangkuannya sendiri. Masih sama, sorot tajamnya membuat Sherin bergidik karena ketakutan setengah mati.

“Om—”

Ibu jari Jean menyapu lembut bibir Sherin yang kemerahan, seakan-akan menyalurkan gairah dari ujung jemarinya ke benda kenyal itu. “Rule number one, Sher, the louder you scream, the harder you get, understood?”

Belum sempat Sherin menganggukkan kepala, bibirnya disambar oleh pria sama yang telah acap kali melabuhkan paduannya di sana. Jean meraih tengkuk Sherin dengan telapak tangan lebarnya, memimpin percumbuan tanpa memberikan sedikit ruang jeda bagi Sherin barang untuk meraup helaan nafas. Karena sekali monster itu dilepaskan, tak ada jalan putar balik bagi pemancingnya.

Merasa tak cukup dengan pergulatan bibir mereka, jemari Jean mengedarkan penjajahannya akan permukaan punggung Sherin dibalik crewneck polos berwarna peach pudar. Menjelajahi tiap jengkal kulit sehalus sutra itu dengan sentuhannya, sementara tangan yang lain dengan gesitnya menyikap skirt tartan dan membuka aksesnya pada pusat gairah gadis itu.

Tak begitu sulit bagi Jean menemukan titik terlemah setiap wanita dibalik celana dalam mereka. Ia menarik diri dari pergumulan bibir mereka, semata-mata untuk mengamati perubahan ekspresi Sherin. Bisa Jean lihat kegelisahan melanda di raut wajah gadisnya, diiringi percepatan nafas Sherin, reaksi yang amat wajar ketika jemari Jean dengan kurang ajarnya bermain di pangkal pahanya.

Who took your virginity, Sher?” tanyanya parau, menyadari dengan mudahnya satu jemari menyusup masuk ke lubang kewanitaannya. Ia berbisik menuntut di lekung leher Sherin, “siapa, hmm?”

Bukannya menjawab, Sherin malah mendongakkan kepalanya ke langit-langit apartemen dan mendesah kencang tatkala mengalami pelepasannya hingga kedua kakinya bergetar hebat. Satu-satunya yang menjadi tumpuannya hanya dua tangannya di bahu Jean, meremas ujung kausnya kuat-kuat—tanda pelepasan itu berhasil hanya dengan gerakan ahli jemari Jean.

Jean menikmati pemandangan tubuh Sherin yang meliuk-liuk diatasnya. Tapi tunggu sebentar, permainannya belum selesai hanya karena Sherin telah mencapai orgasme dan membasahi celana jeans Jean dengan cairan pelepasannya.

Tangannya menarik leher Sherin mendekat, sengaja membenturkan keningnya dengan kening gadis yang lemas di pangkuannya. “Saya tanya siapa yang ambil keperawanan kamu, Sherin?” tanyanya disela-sela ciumannya pada ranum Sherin yang candu.

Does it matter, Om?

Call me by my name,” interuksi Jean tegas, seiring tak tanggalnya tangannya dari leher Sherin, menggelitik dasar perut Sherin yang dipenuhi kupu-kupu.

“Jean.”

Goodgirl.

Sherin tersenyum kecil, menyugar anak rambut Jean yang jatuh mengenai kening berkerutnya, “does it matter, Jean?” ulangnya sama sekali tak terganggu dengan lehernya yang dikungkung oleh tangan Jean. “He didn't make me cum the way you just did,” tambahnya mengakhiri kalimatnya dengan senyuman euphoria bekas orgasmenya yang terasa begitu luar biasa.

If you like it that much, you're gonna love the second one,” bisik Jean di ceruk leher Sherin, menggigit kulitnya dan meninggalkan tanda disana. “You ready?

Who wouldn't?


Bagi Sherin Agatha, rollercoaster adalah sarana pemompa jantung terdahsyat yang pernah dialaminya. Sensasi tubuhnya dinaik-turunkan di udara, hanya bergantung pada sabuk pengaman ringkih dan besi-besi berkarat yang berdecit. Ia akui, walau jantungnya serasa lenyap dari tempatnya, ia menyukai adrenalinnya.

Tidak sampai hari ini, di kediaman sang JPG, sosok itu menggantikan posisi rollercoaster di hidupnya. Ya, pria yang sedang ditungganginya saat ini.

Kewarasan sepenuhnya tanggal dari ruang pikiran keduanya yang terisi penuh akan gairah. Ketika dua orang dengan ketertarikan biologis dipertemukan dengan percikan sensual yang sama-sama kuat, pergumulan seks adalah hal yang lazim terjadi. Apalagi dengan keadaan sehelai kainpun yang sama sekali tak membungkus permukaan kulit mereka.

Sherin bukanlah gadis lugu yang tak pernah disentuh pria, tapi perlakuan Jean padanya jelas tak ditunjukkan pria manapun yang pernah menjamahnya. Dan Jean, keahliannya yang begitu lihai tentu saja membuat cap eligible bachelor begitu khas untuknya. Siapapun wanita yang pernai bersanding dengannya di ranjang akan menganggukkan kepala mereka tanda setuju.

Lihatlah Sherin sekarang. Ia bahkan rela melucuti pakaiannya sendiri, memposisikan dirinya di pangkuan Jean tanpa paksaan, bahkan mengendalikan ritme penyatuan mereka dengan gerakan naik turunnya. Suatu kehormatan bagi Sherin tatkala Jean membiarkannya memimpin kegiatan panas mereka.

“Jean..,” gumamnya mengabur dengan sensasi hangat sapuan bibir Jean di puncak payudaranya, ia kewalahan dengan aktivitas yang menggetarkan pangkal pahanya sementara lidah tak bertulang Jean meraup habis gundukannya. “I think I'm gonna cum.

Jean terkekeh sarkasme di depan benjolan lembut dada Sherin, “no, not yet,” desisnya mengomando, mencengkeram dua sisi pinggang Sherin, mengisyaratkan agar pergerakannya diperlambat.

Cecapnya meninggalkan gelenyar aneh di dada Sherin, hangatnya tak lagi menyelimuti kedua gundukan itu mengingat Jean menarik wajahnya dari sana hanya untuk menunjukkan seringaiannya. Kembali ke wajah gadis itu, Jean tak membiarkan bibir itu menganggur di hadapannya. Ciumannya kembali berlabuh, bergairah dan menuntut.

“Sherin-ku,” gumamnya di sela-sela ciumannya, “kamu punyaku, Sher.”

“HUh?” tanya Sherin, entah mengeluh karena area kewanitaannya yang mulai berkedut keenakan, atau mencoba menanggapi kalimat posesif Jean. “I'm yours, Jean.

Itu seks terbaik di hidup Sherin, no doubt. Pria itu—Jean-Pierre—membuatnya bergumul dengan dirinya di posisi atas. Ya, dia, mengangkangi pria lebih tua itu dengan sukarela, secara adil tanpa paksaan.

Saking hebatnya, Sherin serasa hanyut dalam aliran air tenang ciptaan Jean. Pria itu sekilas terlihat seperti genangan danau yang dangkal, takkan ada yang bisa tenggelam disana. Bahkan niat awalnya hanya akan membasahi ujung kakinya, tapi di detik berikutnya tanpa sadar ia mendapati seonggok dirinya yang menggenang di dasarnya, terperangkap dalam pusaran permainan pria itu.

Karena kini ia telah terjerembab cukup jauh di dasar diri Jean, saatnya bagi Sherin menyesuaikan diri di sana. Atau, ia bisa memilih berenang ke permukaan dan kembali bermain-main dengan percikannya.

“Sherin Agatha, who could've thought I'd get you?

Warning : kiss Mild NSFW, please be wise


Kejadian langka bagi Sherin Agatha ketika ia merasa tidak aman berada di Eleanor, rumah keresidenan bergaya abad ke-18, yang menjadi kediaman keluarga duta besar Amerika Serikat, Joan Geraldine—ayahanda temannya. Bukan perkara rumah layaknya kastil tua itu yang mengintimidasinya, tapi sebab lain yang membuat Sherin akhirnya mempersingkat kunjungannya kali ini.

“Kalo ini soal uncle Jean..,” gumam Bianca yang rebahan diatas ranjangnya, mengoceh layaknya menembus pikiran Sherin yang kebetulan memikirkan nama itu, “..gue minta maaf, Sher. Percaya deh, dia juga pasti ngira ini semua cuma jokes doang.”

Sherin tergelak, menutupi ribuan syaraf bergidik yang menjalari sepanjang bulu kuduknya begitu nama itu terucap di bibir Bianca. Gelagatnya terlihat tak acuh, tapi otaknya menyuarakan nama sialan itu berkali-kali. Seolah memberi label tiap ingatan samarnya akan kiriman airdrop pria itu, dengan tulisan warna merah darah unclenya Bianca, Jean.

Ya, he's a fucking uncle, which is 20 years something older than her. Or in this case, 15 years, because she and Bianca turn 24 this year.

Ia memasukkan semua kepunyaannya ke dalam ransel, lalu memesan ojek lewat aplikasi di telepon genggamnya. “Ini bukan soal itu kok, Bi, tapi gue beneran harus balik.”

Liar Diri Sherin yang lain duduk di sudut benaknya, melipat dua tangan di depan dada dan menatapnya nyalang. You fucking liar, ujarnya lagi, mencerca Sherin karena bibir dan isi kepalanya mengaungkan dua pendapat yang berbeda.

“Okay, deh, see you lagi besok!”

Sherin melambai, tak benar-benar mendengarkan kalimat terakhir Bianca. Skripsi? Apa itu skripsi? Ia kehilangan separuh draft skripsi yang telah ada di angan-angannya karena ingin segera enyah dari kediaman Geraldine, sebelum wajahnya berpas-pasan dengan uncle Jeannya Bianca.

Bicara tentang JPG; Jean-Pierre Geraldine—Sherin menarik ujung bibirnya karena yakin dirinya telah berbohong hebat dengan mengatakan ketidaktertarikannya pada pria itu. Terlihat dari bagaimana caranya begitu pengecut—lari dari pertanyaan-pertanyaan Bianca, atau ketika saat ini ia tengah kabur sebelum akhirnya bertemu pria itu di depan pagar utama Eleanor.

Putar balik putar balik putar balik

“Sherin!”

Fuck!

Entah doa Bianca yang begitu gencar pada Tuhan, atau memang Tuhan sendirilah yang memilih hari itu sebagai pertemuannya kembali dengan si JPG, pria yang pantas ia sebut om, tapi anehnya tak terlihat telah memiliki keponakan usia 24 tahun. Oh, Jean.. Gimana rasanya jadi God's favorite? Pasti capek ya jadi ganteng terus.

“Halo, om,” sapanya kikuk, mencoba nyengir bersikap natural dan berharap pria itu lupa dengan percakapan di iMessage yang membuatnya nampak seperti stalker kacangan dengan tindakan mengintipnya yang dinilai kurang terpuji.

Pria itu menyunggingkan senyum berkekuatan sepuluh juta volt, membius siapapun yang ada di sekitarnya termasuk Sherin yang kini membeku di tempatnya. Jean berjalan mendekatinya, dengan seputung rokok di jemari yang hampir terbakar habis dan tangan lain yang tiba-tiba mendarat di puncak kepala Sherin.

“Sudah besar kamu, ya? Sudah berani naksir om.”

What the hell in the sky and the ocean is he talking about? Anjing, yakali gue—tapi ya siapa sih yang kagak naksir elu, om?

Cengiran Sherin kian melebar seiring pengakuannya yang membenarkan kalimat pria itu. Ia bahkan mengarang cerita perihal ciuman pertamanya yang ia klaim telah diambil oleh Jean kala usianya menginjak tujuh tahun. Padahal Jean adalah pria gentle, paling sopan yang pernah Sherin temui. Mana mungkin pria itu lancang mengambil ciuman pertamanya.

Jean menyesap putung rokoknya dalam-dalam lalu membuang sisa bakarannya ke batu taman. “Dimana om cium kamu? Di sini?” Lalu mendaratkan kecupan kecil di puncak kepala Sherin yang mematung, “sudah om balikin ciuman pertamanya, impas ya?”

Hampir saja jantung Sherin lepas dari sekatnya begitu pria itu tersenyum dan berjalan melaluinya begitu saja setelah mengecup keningnya. “Om,” panggilnya kilat, sebelum pria itu melangkah lebih masuk ke dalam Eleanor.

“Ya, Sher?”

“Bukan di situ,” ujar Sherin lalu menelan salivanya kuat-kuat, ia mengarahkan telunjuk ke bibirnya, “tapi di sini, om.”

Wah, nyali lo.. gede juga ya, Sher?

Kekehan ringan tercipta dari bibir yang sama yang mendaratkan ciuman kilas di kening Sherin, lalu satu alisnya terangkat naik. “Kamu yakin?”

Sherin ikut tertawa, mencoba peruntungannya untuk dicium oleh Jean-Pierre fucking Geraldine. “I'm pretty sure.”

Masih dengan kekehan ringannya, Jean kembali menyuarakan keraguannya. “Kamu yakin? Karena kalau saya udah cium kamu, I don't think I could ever stop.

Ritme kerja jantungnya kian membuncah, Sherin mendengar peringatan itu sebagai sebuah tantangan. Tantangan yang entah kenapa harus ia lalui setidaknya sekali dalam seumur hidup. Well, kapan lagi akan datang kesempatan seperti ini di hidupnya?

Well, nevermind,” Sherin terkekeh, bayangan kegelian muncul ketika membayangkan Jean betulan memberinya ciuman, “lupain apa yang gue omongin, om Jean.”

Senyuman lenyap dari wajah ramah Jean-Pierre, menyisakan tampang tanpa ekspresi beserta tatapan tajam yang membelah bolamata Sherin dalam kilatan sekali tatap. Perlahan langkahnya memotong jarak diantara dirinya dan Sherin, satu telapak tangannya lari ke sisi wajah gadis seusia keponakannya lalu iris legamnya menyusup ke netra kecokelatan Sherin, seolah menimbang-nimbang sesuatu.

“Sejak kapan Sherin polos yang om kenal berubah nakal begini, hmm?”

Suara Sherin tertahan di tenggorokannya, tatkala Jean membawa tampang rupawannya memangkas ruang kosong diantara mereka dan sengaja memberi jarak seminim mungkin, hingga aroma mint memenuhi indra penciuman Sherin. Tercium bau asap rokok Malboro dari rongga cecap Jean ketika pria itu terkekeh kecil di depan wajah Sherin, maju sesenti lagi, bibir itu akan bertemu ranumnya Sherin.

Sherin berdiri kaku di sana, kentara sekali wajahnya yang terkejut dikarenakan betapa jelasnya wajah Jean di depannya. Mereka bahkan berbagi udara, bersahut-sahutan menghirup pasokan oksigen yang menipis karena sempitnya jarak diantara mereka.

Ia mengaku kesulitan bernafas leluasa, dengan ujung hidungnya yang bertemu dengan hidung Jean. Sherin tak menghindar, ia hanya berpijak di tempatnya, mematung dan menunggu aksi Jean berikutnya. Dalam posisinya saat ini, Sherin menggila dalam kebisuannya.

“Kenapa?” Suara serak Jean menginterupsi keheningan diantara mereka, “nunggu dicium, ya?”

Iya, jawab Sherin dalam bentuk teriakan di kepalanya. Ia mengunci pandangannya pada satu wajah—wajah Jean—menangkap seringaian tipis yang pria itu ukir dalam senyuman miringnya.

Debaran di rongga dada Sherin membuncah, merasakan puing-puing adrenalin akibat tampang Jean yang tampannya diluar nalar, menyentuhkan keningnya ke kening Sherin. Kapan lagi kesempatan seperti ini datang lagi di hidupnya? batinnya beberapa menit lalu, namun sekarang ia tak begitu yakin dengan dirinya sendiri. Ciuman belum dilayangkan, tapi jantungnya telah meledak-ledak. Perasaan yang ia sendiri tak tahu akan tercipta barang hanya bertatapan dengan pemilik netra sekelam langit malam tanpa sinar rembulan itu, membahayakan segala hormon di tubuhnya.

Jean menarik dirinya, memberi ruang dengan bibir ranum merah muda milik Sherin yang bisa membuatnya kalap. Ia berhasil mengontrol dirinya untuk tidak melewati batasnya siang itu, hingga dehamannya terasa begitu kaku membasahi betapa kering kerongkongannya. Ya, dirinya, Jean Geraldine, sejenak merasakan canggung bersama dengan gadis belia yang sedari kecil ia jaga keberadaannya.

“Om antar pulang,” gumamnya membalikkan badan, tak mampu menatap sosok Sherin lebih lama lagi.

Sebuah garis merah terbentang membelah antara dirinya dengan gadis itu. Jean—sebagai sosok yang lebih dewasa, tak selayaknya berpura-pura buta dengan jauhnya perbedaan usia mereka, lengkap dengan memori masa kecil Sherin yang sudah ia anggap sebagai keponakannya sendiri.

Sherin emosi bukan kepalang, merasa dipermainkan oleh pria 39 tahun yang terang-terangan menarik ulur perasaannya. Awalnya om-om itu menggodanya, lalu ia terpancing, nyaris berciuman, tapi ternyata gagal berciuman. What do you want exactly sih, om Jean?

“Gue udah pesen ojol,” ketusnya berjalan bersebrangan dengan arah langkah Jean. Pijakan kakinya di batu kali yang menghiasi pekarangan Eleanor menjelaskan dengan detil betapa kesalnya Sherin siang itu.

“Tadi sudah saya bayar orangnya, saya suruh pulang,” jawab Jean dengan helaan nafas panjng, “ayo, Sherin.”

Sherin berbalik, bukan untuk mengalah dan menuruti perkataan Jean, tapi untuk melangkahkan kaki lebar-lebar dan melakukan apa yang harusnya mereka lakukan daritadi. Berciuman.

Ciuman sekilas itu manis, aroma jus strawberry yang tertinggal di ujung bibir Sherin menguar menjadi satu dengan Malboro Jean. Strawberry dan rokok, sejak kapan dua kombinasi itu berubah menjadi perpaduan yang sempurna?

Kini giliran Jean yang terkejut. Gadis di depannya begitu frontal, menutupi raut kemerahan di garis frecklesnya dengan wajahnya yang ingin mengajak perang. Persetan perbedaan usia, she wants it, I want it.

Begitu Jean merengkuh tengkuk Sherin agar kembali menyatu dengan bibirnya dalam pergulatan ciuman, ia melakukan persis dengan yang ia katakan. Karena kalau saya udah cium kamu, I don't think I could ever stop. Kedua tulang lunak terbuka, berbagi saliva dan mengabaikan fakta bahwa mereka tak sedang berada di ruangan tertutup yang aman digunakan sebagai tempat berciuman.

Sherin menarik diri ketika dadanya kekurangan pasokan oksigen, menikmati helaan nafas hangat Jean yang menyapu permukaan wajahnya. Sherin tersenyum simpul, tanpa ia sadari, efek ciuman dengan crush lamanya bisa jadi euphoria yang ia sendiri tak tahu akan tercipta dalam dirinya.

Kelopak netra Jean terpejam, berbanding terbalik dengan bibirnya yang menganga kecil—memburu udara segar. Tak bisa dipungkiri, ciuman itu mempengaruhinya sebegitu dahsyatnya. Seolah ada yang memberi nyala api dalam titik bekunya, seolah bibir itulah tempatnya berlabuh, dan seolah kalau bukan dengan bibir itu, Jean takkan dapat percikan magisnya.

“Wow,” gumam Sherin secara tak langsung memuji sosok di depannya, “pantes aja disebut The Most Eligible Bachelor.”

Wajah Jean meledak dalam tawa, “come on, i'll let you drive,” ujarnya merogok sakunya dan melemparkan kunci ke arah Sherin.

Sherin mendelik, hampir saja membuat bolamatanya tercongkel keluar. “Eh, serius?! Gue boleh nyetir Audi lo, om?”

“Udah ada SIM A, kan?”

“Belum sih.”

“Yasudah, om saja yang nyetir.”

“YAAAHHH, kok gitu sih..”